Pria itu tersenyum sabar. “Baiklah, aku akan menjelaskan sekali lagi.” Mereka saling bertatapan dalam satu garis pandangan. Meski suasana di sekitar kian ramai karena bertambahnya pengunjung yang ingin menikmati keindahan senja berlatar Gunung Salak, Violet merasakan sebaliknya. Keheningan menaungi mereka berdua begitu intens. Hingga dia merasa khawatir jika Quinn bisa mendengar suara denyut nadinya dengan jelas.
“Seperti katamu, Jeffry dan Eirene adalah manusia merdeka. Kita tidak mungkin melarang mereka untuk saling berkomunikasi. Sementara di lain sisi, kita berdua –terutama aku- mencemaskan mereka. Artinya, kita khawatir kalau akhirnya mereka benar-benar melampaui garis. Karena ... hmm ... semua bisa melihat kalau mereka saling tertarik.” Quinn berdeham lagi. “Sampai di sini, apakah kamu dan aku sepakat?” tanyanya.
Violet tak punya pilihan selain mengangguk. “Ya,” jawabnya pendek.
“Kita berdua
“Apa suasananya selalu seperti ini?” Violet akhirnya bersuara juga.Quinn balik bertanya, “Suasana apa?”Violet mengangkat wajahnya. “Kamu selalu diperhatikan para gadis. Mustahil kamu tidak menyadari kalau para cewek di meja itu berbisik-bisik dan cekikikan sejak tadi.”Bibir Quinn merekah dalam senyum tipis yang –astaga- menawan. Suaranya yang berat dan serak itu terdengar lembut saat mengurai satu demi satu kata sebagai respons.“Aku tahu, tapi aku tidak peduli. Untuk apa? Aku sebenarnya tidak nyaman dan terganggu. Tapi aku kan tidak bisa melarang mereka untuk tidak melihatku dan bertingkah seperti itu. Jadi, tindakan yang paling aman dan masuk akal adalah mengabaikannya.”Violet terkesima. Entah kenapa, hal itu malah mendorongnya untuk kembali menunduk dan melanjutkan makan. Kebisuan kembali bertahan hingga beberapa menit ke depan. Violet menghabiskan makanannya.“Jadi, apa kepu
Hari Jumat itu, Vivian melangkah dengan santai sembari membenahi posisi tas di bahu kanannya. Dia sedang bersiap untuk pulang. Benaknya sudah menyusun apa saja rencana yang akan dilakukannya malam ini. Karena tak ada aktivitas apa pun, Vivian akan menghabiskan waktu di tempat indekosnya. Mungkin dia akan mengajak teman-temannya memesan makanan yang banyak.Saat itulah resepsionis memanggil namanya. “Vi, ada tamu,” ucap perempuan bernama May itu. Telunjuk kanan May terarah ke satu tempat, ruang tunggu yang berada tak jauh dari meja resepsionis.Violet terpana saat menyaksikan Quinn berdiri dari tempat duduknya. “Quinn?”“Iya, ini aku, Quinn,” balas pria itu sembari berjalan mendekat.Quinn ternyata sangat serius dengan “latihan” yang disebut-sebutnya kemarin. Padahal, Violet cuma menanggapinya dengan santai dan cenderung sambil lalu. Quinn benar-benar sengaja datang ke kantor Violet untuk menjemput gadis itu.
Senyum pria itu menulari Violet. Hingga gadis itu menjadi lebih rileks. Kemarin, Quinn sudah bercerita lumayan banyak tentang latar belakangnya. Demikian juga Violet. Tujuannya, supaya mereka lebih saling mengenal. “Yuk, kita rebut apa yang memang seharusnya jadi milik kita,” gurau Violet. “Kita ini sudah mirip dua pejuang kemerdekaan,” imbuh gadis itu.Violet mengira Quinn cuma akan mengantarnya pulang. Atau mengajaknya mampir ke suatu tempat untuk makan malam barangkali? Kenyataannya, Quinn malah membawa Violet ke hotel tempat lelaki itu bekerja. Setelah sebelumnya meminta maaf berkali-kali karena harus menyelesaikan pekerjaan penting.“Inilah aku dan mulut besarku. Pada kenyataannya, aku harus bekerja lebih keras dibanding yang lain. Kadang setelah makan malam pun aku harus kembali ke sini. Kamu tahu kenapa aku melakukan itu?”Violet mengangguk. Mereka sedang memasuki lobi hotel yang megah itu. Para petugas berseragam menya
“Kakekmu bule ya, Quinn? Pantas saja kamu pun nggak mirip orang Indonesia asli,” gumam Vivian.“Kakekku blasteran, Vi. Campuran Belanda dan Jawa,” beri tahu Quinn. "Asal jangan aku dianggap lebih mirip orangutan saja," candanya."Tentu saja bukan!" bantah Violet sambil terkekeh geli.“Duduklah dulu, Vi!” Quinn menunjuk ke arah sofa yang berhadapan dengan meja kerjanya. Sofa itu terlihat empuk dan menjanjikan kenyamanan. “Aku harus bekerja menyelesaikan beberapa laporan penting. Kamu tidak ke....”“Aku kan sudah bilang, berhenti meminta maaf.” Violet sudah membaca ke mana arah ucapan Quinn.Lelaki itu tergelak sambil meremas rambutnya sekilas. “Iya, aku tahu. Aku tidak akan minta maaf. Oh ya, kamu mau minum apa? Atau ingin makan sesuatu?” Quinn menatapnya.“Tidak usah, terima kasih. Untuk sementara, aku masih kenyang,” balas Violet seraya menghenyakkan tubuhny
“Vi, apakah di dalam toilet sana lebih nyaman dibanding di ruanganku? Sampai-sampai kamu betah di dalam lebih dari delapan menit. Aku cemas kamu pingsan atau mengalami sesuatu,” ucap Quinn begitu Violet membuka pintu kamar mandi. Gadis itu terpaksa harus menahan jengah karena ucapan Quinn itu. Di saat bersamaan, Violet bahkan sangat yakin jika dirinya sedang terserang hipertermia.“Aku suka main air,” balas Violet asal-asalan.“Daftarmu?” Quinn mengingatkan. “Aku sudah selesai sejak kemarin, sepulang dari rumahmu,” aku pria itu.Fokus Violet kembali lagi ke tempat yang seharusnya. “Aku belum membuatnya sama sekali. Hmmm, akan kutulis sekarang.”Quinn kembali bekerja sementara Violet mengambil buku catatan dan pulpen dari dalam tas. Dengan cekatan dia mulai menulis serangkaian poin seputar dirinya. Hal yang disukai dan tidak disukai.Quinn bicara di telepon lagi, tapi Violet tidak memperhat
Seperti iklan yang meluncur dari bibir Quinn tadi, pangsit pengantin hotel berbintang lima itu memang layak menjadi jagoan. Rasanya sangat enak. Violet hampir yakin, dia belum pernah mencicipi pangsit pengantin selezat ini. Karenanya, Violet tak mampu menahan diri begitu mangkuknya licin. Ibu jarinya terangkat ke udara.“Quinn, makanannya benar-benar enak. Lain kali kalau aku tidak punya uang dan ingin makan enak, boleh aku datang ke sini untuk mencarimu?” kelakarnya. “Aku tak bisa hidup tanpa makanan lezat.”Quinn terkekeh geli mendengar gurauan Violet. “Vi, walaupun kamu sedang punya banyak uang, boleh kok datang ke sini dan mencariku.”“Aku iri padamu,” gumam Violet terus terang.“Iri? Kenapa?” Quinn yang sudah bersiap untuk bangkit dari sofa, mengurungkan niatnya. Mereka bertatapan selama beberapa saat.“Pekerjaanmu bagus, ruang kerjamu nyaman. Bahkan kamu punya kamar tidur di si
Keduanya berdebat dan meributkan hal-hal kecil selama bermenit-menit, dalam suasana hangat nan akrab. Violet dan Quinn sama-sama takjub saat tahu mereka penggila novel dan betah berlama-lama di toko buku. Violet tidak pernah mengalami situasi serupa ini saat bersama Jeffry. Atau pria lain. Bahkan, di mata Violet. Menemukan pria penggila novel tergolong agak langka.Saat gadis bersama Jeffry, mereka tak pernah membahas hal-hal apa saja yang disukai atau dibenci masing-masing. Mereka lebih banyak membicarakan pekerjaan dan teman-teman.Teman-teman Jeffry.Quinn kembali ke mejanya dan bekerja lagi. Meninggalkan Violet yang duduk bersandar dengan nyaman di sofa. Diam-diam Violet terpukau oleh suasana saat itu. Meski Quinn sibuk, Violet tak merasa diabaikan. Padahal sangat wajar jika Quinn melakukan itu.Di sela-sela kesibukannya, Quinn menyempatkan diri mendatangi Violet. Entah itu untuk makan, membicarakan daftar aneh mereka, menanyakan apakah Viole
Andai tidak ada Eirene di dunia ini.Andai Jeffry adalah lelaki setipe Quinn yang tak suka “memanjakan” matanya dengan memandangi gadis-gadis menawan.Andai Violet memiliki kepercayaan mutlak kepada kekasihnya.Andai Quinn tidak pernah merapat dalam hidup Violet dalam seminggu terakhir.Maka sudah pasti saat ini Violet lebih memilih tidur di kamar indekosnya yang lumayan nyaman ketimbang terjebak dalam kemacetan menuju Puncak. Kegelapan sudah jatuh sejak tadi, sementara perut Violet mulai berbunyi. Saat ini sudah hampir pukul setengah delapan dan mobil yang dikendarai Jeffry baru melewati pertigaan Taman Safari. Masih tersisa beberapa kilometer lagi sebelum mereka tiba di tempat tujuan.Kamu sudah sampai mana?Violet tersenyum tanpa sadar membaca pesan WhatsApp kiriman Quinn itu. Dengan cekatan dia membalas.Baru lewat Cisarua. Macet parah. Kamu sudah sampai, ya? Kalau sedang menyetir,