Share

Quinn dan Eireen [3]

Quinn bertemu dengan Eireen sekitar dua puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan, dia menyetir dengan jantung dag dig dug tak keruan. Quinn tidak tahu pasti apa yang terjadi selain bahwa Eireen terlibat kecelakaan. Karena tadi dia buru-buru memutuskan perbincangan mereka. Bodohnya Quinn, dia bahkan tidak bertanya apakah Eireen terluka atau tidak.

“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Quinn setelah bertemu pacarnya. Dia menatap Eireen dari ujung rambut sampai ujung kaki dan menarik napas lega karena tidak menemukan tanda-tanda bahwa gadis itu terluka. Mobil Eireen diparkir di halaman sebuah restoran cepat saji yang jam operasionalnya sudah berakhir.

“Aku baik-baik saja,” balas Eireen. Perempuan itu berderap ke arah Quinn sebelum memeluk sang kekasih. “Tadi, aku betul-betul takut, Quinn,” bisiknya.

Lelaki itu mendekap kekasihnya. Tangan kanannya mengusap punggung Eireen dengan gerakan lembut. Dari tempatnya berdiri, Quinn bisa melihat bagian depan sedan Eireen yang penyok. Namun, tidak ada orang lain di tempat itu. Hanya Eireen sendiri. Selain mobil mereka berdua, Quinn memindai keberadaan tiga mobil lain yang diparkir agak jauh.

“Bagaimana ceritanya sampai kamu menabrak mobil orang?” tanya Quinn. Lelaki itu melepaskan pelukan. “Eh, sebentar! Kamu betul-betul nggak apa-apa? Mau ke dokter? Tadi kamu bilang kepalamu pusing, kan? Apa itu efek tabrakan, Reen?”

Eireen menggeleng. Gadis yang tingginya hanya 155 sentimeter itu mendongak untuk menatap Quinn. “Aku nggak apa-apa. Kepalaku pusing karena gugup dan takut. Untungnya yang kutabrak orangnya baik. Urusan ganti rugi bisa selesai dengan mudah.”

Quinn menahan diri agar tidak berjengit karena mencium aroma minuman keras dari mulut sang pacar. Dia bukan pria sok alim yang menolak keras minuman beralkohol, sepanjang dinikmati secukupnya. Meski demikian, Quinn sendiri tidak pernah mengonsumsi minuman sejenis.

“Kamu mabuk ya, Reen?” tanya Quinn dengan hati-hati. Dia tak pernah tahu jika kekasihnya suka mengonsumsi minuman keras.

Eireen menggeleng. “Nggak, kok! Tadi cuma minum sedikit. Kenapa? Kamu nggak marah, kan?” tanya gadis itu dengan kening berkerut.

“Nggak marah. Kenapa harus? Yang penting, jangan sampai berlebihan. Apalagi kalau harus menyetir. Supaya nggak terjadi sesuatu yang tak diinginkan,” ucap Quinn dengan nada sabar. Lelaki itu tersenyum pada sang kekasih.

Dia memang pacar Eireen, tapi Quinn merasa bahwa dirinya tidak berhak mengatur hidup gadis yang dicintainya itu. Eireen adalah perempuan dewasa, sudah berusia 26 tahun. Sudah memiliki pekerjaan yang bagus. Jadi, sudah pasti Eireen lebih dari mampu untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri.

“Serius kamu nggak marah, kan? Aku memang sengaja nggak bilang padamu kalau sesekali aku minum bersama teman. Itu karena aku takut kamu menghakimi dan me—”

“Aku bukan laki-laki seperti itu,” tukas Quinn. “Artinya, aku nggak akan menghakimi orang lain, apalagi kamu. Lagi pula, kamu perempuan merdeka sekaligus dewasa. Kamu berhak melakukan apa pun yang kamu mau, Reen. Asal nggak berlebihan,” ulangnya. “Sebaiknya memang nggak minum kalau harus menyetir. Karena sudah banyak terjadi kecelakaan karena hal itu.”

Eireen kembali menggeleng. “Aku nggak mabuk. Tadi memang agak telat menginjak rem gara-gara aku mengambil tas yang terjatuh dari jok depan. Padahal, cuma menunduk sekitar satu detik. Alhasil, aku nggak memperhatikan rambu-rambu lalu lintas dan menabrak mobil di depanku karena ada lampu merah.” Gadis itu kembali maju selangkah untuk memeluk Quinn. “Jangan omeli aku.”

Lelaki itu akhirnya mengulum senyum. Dia kembali menautkan kedua tangan di punggung Eireen. “Aku nggak mengomelimu. Aku cuma mengingatkan. Eh iya, bagaimana dengan mobil yang kamu tabrak? Di mana pengemudinya?”

“Sudah pulang barusan. Kami sudah bersepakat soal ganti rugi. Jadi, sudah nggak ada masalah. Makanya nggak menunggu sampai kamu datang. Aku beruntung karena cewek yang kutabrak sangat kooperatif.” Eireen menempelkan pipinya di dada kiri Quinn. “Lututku masih lemas kalau mengingat kejadian tadi.”

“Mending masuk ke mobil dan duduk dulu di sana. Nanti kamu kuantar pulang naik mobilmu,” ucap Quinn.

“Oke,” kata Eireen patuh. Mereka pun berjalan bersisian sambil berpegangan tangan menuju ke mobil Eireen. Quinn sengaja minta izin untuk duduk di kursi pengemudi.

“Kamu pengin makan atau minum sesuatu?” tanya Quinn lagi. Dia memandang beberapa gerobak yang mangkal di trotoar dengan aneka dagangan. Ada soto bogor, martabak telur, hingga sate padang.

“Nggak pengin apa-apa. Aku cuma pengin pulang.”

“Ya, sudah, kita jalan sekarang saja. Kunci mobilnya mana?”

“Kalau kamu mengantarku, mobilmu bagaimana?” Eireen agak cemas.

“Nanti dari rumahmu, aku naik taksi ke sini untuk mengambil mobil,” sahut Quinn.

“Tapi, itu berarti kamu harus bolak-balik, Quinn,” Eireen mengingatkan.

“Nggak apa-apa. Aku cuma pengin memastikan kamu sampai di rumah dengan aman,” sahut Quinn. “Jadi, bukan masalah besar kalau harus kembali ke sini.”

“Nggak apa-apa?” Eireen kembali mencari penegasan.

“Nggak, Reen,” jawab Quinn sambil tersenyum.

Eireen akhirnya menyerahkan kunci mobilnya pada sang pacar. Mereka pun menempuh perjalanan selama hampir dua puluh menit sambil mengobrol. Seperti biasa, Eireen yang ekspresif itu pun bicara dengan penuh semangat. Seperti biasa pula, Quinn adalah pendengar yang baik. Dia suka melihat bagaimana Eireen menggerak-gerakkan kedua tangannya tiap kali bicara.

“Kamu nggak apa-apa pulang selarut ini, Reen? Sekarang sudah lewat pukul dua belas,” gumam Quinn. Mereka cuma berjarak kurang dari setengah kilometer dari rumah Eireen. Sejak mereka pacaran, Quinn pernah dua kali mengantar Eireen pulang. Namun, hingga detik ini, dia belum pernah mampir di rumah sang kekasih.

“Nggak apa-apa. Aku kan tadi pamit pada Mama dan Papa,” aku Eireen.

“Mereka tahu soal insiden di lampu merah?” Quinn mengerling ke kiri.

“Nggak tahu. Cuma kamu yang tahu, Quinn. Tadi, orang yang terpikirkan pertama kali untuk kutelepon, ya kamu.”

Kata-kata gadis itu membuat Quinn kembali tersenyum. Tentu saja dia merasa menjadi lelaki istimewa karena ucapan Eireen barusan.

“Kalau nanti ditanya soal penyok di bagian depan, bagaimana?” tanyanya lagi.

“Entahlah, belum terpikirkan. Mungkin akan kubilang kalau tadi aku menabrak tong sampah tanpa sengaja.”

“Hmmm, boleh juga. Itu alasan yang cukup masuk akal.”

Setelah tiba di tempat tujuan, Quinn buru-buru memesan taksi online. Saat ini, setelah memastikan Eireen baik-baik saja, dia cuma ingin segera pulang dan beristirahat. Quinn sangat kelelahan dan begitu merindukan ranjangnya yang nyaman. Untungnya dia tak perlu menunggu lama sebelum mendapat tumpangan yang akan membawanya kembali ke tempat mobilnya ditinggalkan.

Quinn baru tiba di mes sekitar pukul satu dini hari. Lelaki itu mandi lebih dulu sebelum tidur. Saat berada di kamar mandi, Quinn kembali teringat fakta yang baru ditemukannya tentang Eireen. Ternyata gadis itu penikmat minuman beralkohol. Entah mengapa, hal itu menjadi sesuatu yang cukup mengejutkan bagi Quinn.

Diam-diam lelaki itu bertanya-tanya. Apakah ada hal lain yang disembunyikan Eireen?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status