Share

Violet dan Jeffry [3]

Jeffry, yang sedang duduk tepat di depannya, menatap pramusaji yang sedang mengantar pesanan mereka dengan berani. Memang, semua pramusaji perempuan di restoran itu memakai blus pas badan dengan beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Cukup mengekspos area dada yang umumnya berbalut kulit terang. Lalu, masih dipadu dengan rok mini berwarna hitam yang panjangnya berada di atas lutut. Pakaian yang cukup provokatif.

Violet sendiri tidak melihat apa hubungan antara laris-tidaknya suatu restoran dengan pakaian pramusajinya. Dia tak pernah bisa berhenti mengerti hal-hal seperti itu. Bagi Violet, itu hanyalah salah satu cara untuk mengeksploitasi perempuan. Anehnya, yang dieksploitir sendiri tidak merasa keberatan.

“Selamat menikmati,” pungkas si pramusaji dengan senyum indah yang merekah.

“Terima kasih, Mbak,” Jeffry yang menjawab dengan antusias. Violet memperhatikan dengan bibir terkatup.

“Jeff,”panggilnya dengan suara rendah. Sebagian harga diri Violet ingin memberontak dengan cara menyiramkan semua makanan yang baru datang itu ke wajah Jeffry. Namun, akal sehatnya tidak memberi izin. Dengan susah payah, dia berusaha menarik napas.

“Vi, kenapa tidak mulai makan? Ayo, nanti kalau keburu dingin, malah tidak enak, lho!” Jeff dengan antusias mulai mengambil sendok. Dia bahkan sempat menyeruput minumannya, segelas orange float yang tampak nikmat. Violet terpaku dan ingin mengucapkan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Violet memutuskan untuk makan, mengumpulkan tenaga sebelum bertengkar dengan Jeffry. Karena biasanya lelaki itu punya segunung alasan.

Violet menyantap menu yang dipilihnya dalam diam. Sementara Jeffry kadang berceloteh tentang sesuatu. Entah apa. Violet kehilangan konsentrasi dan semangat untuk mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir pacarnya. Ada yang sedang menggeliat sakit di dalam dadanya. Bagi orang lain, ini mungkin hal sepele. Karena Jeffry “cuma” jelalatan, bukan berselingkuh. Bagi Violet, sebaliknya.

“Vi, kenapa? Kok kamu diam saja? Apa makanannya tidak enak? Ingin memesan yang lain?” Jeffry mengerutkan kening, keheranan dengan sikap pacarnya.

Violet menggeleng. “Makanannya enak dan aku nggak mau memesan apa-apa lagi.

“Atau kamu memang sangat ingin pulang ke Medan?” Mata Jeffry berpendar penuh perhatian. Lelaki itu berhenti mengunyah untuk sesaat. “Kan aku tadi sudah bilang, aku bisa mengantarmu, Vi. Lihat, kamu cemberut sejak bicara tentang kerinduan pada mamamu. Kamu nggak apa-apa? Atau ada masalah?”

Tatapan lembut Jeffry ditujukan pada Violet. Gadis itu mendesah dalam hati. Entah harus mensyukuri atau melaknat mata itu. Jeffry memiliki mata yang bersinar lembut dan mampu memberi efek menenangkan untuk Violet. Namun sekarang gadis itu juga tahu bahwa tatapan mata Jeffry mampu menyihir banyak perempuan. Violet bertanya-tanya, mungkinkah dirinya juga termasuk di dalamnya?

“Jeff, sebelum pulang, bisa temani aku ke toko buku sebentar?” Violet memilih untuk mengalihkan pembahasan. Dia sudah memutuskan untuk tak bertengkar dengan Jeffry hari ini. Mereka harus bicara untuk kesekian kalinya, tapi nanti saja. Saat hati Violet sedang tenang dan dia bisa objektif serta berpikir jernih.

“Oke. Kamu mau beli apa? Novel lagi?”

Violet mengangguk. “Bukan saatnya menimbun buku pelajaran. Sudah lewat masanya. Sekarang, aku sedang menikmati hidup sebagai manusia bebas tanpa kewajiban untuk belajar.”

Jeffry tertawa kecil. “Kegemaranmu membaca kadang membuatku iri. Kamar kosmu sepertinya penuh dengan novel.”

“Hmm, nggak juga. Kamar kosku masih jauh dari perpustakaan mini. ”

Jeffry memang bukan penggemar buku. Selera film mereka pun sebenarnya berbeda jauh. Violet memuja film aksi dan serial detektif. Jeffry justru penggemar film komedi. Violet bahkan merasa bahwa mereka nyaris tidak punya kesamaan minat. Tapi itulah rahasia terbesar tentang cinta. Mereka berdua bisa memintal dua hati dalam cinta.

Keluar dari restoran, Jeffry menggandeng Violet dengan mesra. Seperti biasa. Namun ganjalan di dada Violet tidak berkurang karenanya. Violet merasa dirinya bukanlah tipe pencemburu. Namun dia tidak bisa terus menoleransi sikap kekasihnya yang sangat suka “memanjakan mata” dan menatap tanpa kedip pada sosok perempuan-perempuan menawan yang mereka temui.

“Yang terpenting, aku kan nggak pernah selingkuh, Vi! Aku setia padamu, sejak awal kita pacaran. Masa aku tidak boleh melihat perempuan lain, sih?” Itu argumen Jeffry yang diulang-ulang sejak kali pertama Violet menegur kebiasaannya. “Kamu nggak perlu cemburu.”

“Aku nggak cemburu!” bantah Violet. “Kamu mungkin nggak selingkuh. Tapi, memandangi perempuan lain dengan penuh perhatian sementara ada aku di sebelahmu, itu sangat mengganggu, Jeff. Ini soal kepantasan. Aku merasa kamu nggak menghargaiku.”

Kalimat senada juga pernah dilontarkan Violet entah berapa kali. Namun, tak ada perubahan berarti. Jeffry masih tetap suka memandangi perempuan lain dengan mata penuh binar. Bukan sekali dua pula Violet mendengar orang-orang yang mereka temui berkomentar negatif tentang hal itu. Violet tak tahu bagaimana cara terbaik supaya Jeffry menganggap serius masalah itu.

Di toko buku, Jeffry berhenti di rak psikologi, sementara Violet berlama-lama di rak novel. Dia menjangkau beberapa novel lokal dan terjemahan. Saat itu, dunia Violet menyempit. Hanya ada dirinya dan lautan buku yang membentengi gadis itu dari dunia luar.

“Aku menunggu di sini,” kata Jeffry sebelum mereka berpisah.

Suara hiruk-pikuk pengunjung yang memenuhi toko buku sama sekali tidak mempengaruhinya. Violet melangkah di atas ombak gairah. Hal magis yang tak bisa diungkapkan dengan bahasa verbal, sesuatu yang selalu terjadi saat dia berada di toko buku. Violet bisa melupakan segalanya saat berada di antara buku-buku yang menarik minatnya.

Gadis itu menggerakkan kepalanya, membuat rambut panjangnya bergoyang lembut. Kulitnya yang berwarna cokelat karamel itu tampak bersinar di bawah siraman lampu. Violet berkonsentrasi pada buku-buku yang memenuhi rak.

Setelah menemukan dua buah novel lokal dan tiga buah novel terjemahan, mata Violet mulai mencari-cari sosok Jeffry. Kekesalannya sudah mereda. Diam-diam Violet bersyukur karena tadi tidak langsung menumpahkan kegeramannya saat di restoran. Sehingga mereka terhindar dari pertengkaran atau minimal adu mulut.

Jeffry sudah pindah ke rak komputer yang bersebelahan dengan buku-buku psikologi disusun saat Violet mendatanginya. Jumlah pengunjung yang membludak di akhir pekan membuat gadis itu memilih untuk tak berlama-lama di toko buku. Violet pun mendekat ke arah Jeffry.

“Jeff,” panggilnya.

Violet ternganga karena mendapati kekasihnya sedang menumpukan konsentrasi pada seorang gadis remaja yang memakai kaus ketat dan hot pants yang menampakkan kaki jenjangnya nan mulus. Jeffry bahkan tidak menghiraukan panggilan Violet. Atau mungkin tidak mendengar namanya disebut karena seluruh inderanya terfokus pada gadis muda tersebut.

“Jeffry!” Suara Violet dipenuhi tekanan.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Sobri Bajri
walau ga selingkuh tapi mata jajan mulu ngeselin bgt sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status