Jeffry, yang sedang duduk tepat di depannya, menatap pramusaji yang sedang mengantar pesanan mereka dengan berani. Memang, semua pramusaji perempuan di restoran itu memakai blus pas badan dengan beberapa kancing atas dibiarkan terbuka. Cukup mengekspos area dada yang umumnya berbalut kulit terang. Lalu, masih dipadu dengan rok mini berwarna hitam yang panjangnya berada di atas lutut. Pakaian yang cukup provokatif.
Violet sendiri tidak melihat apa hubungan antara laris-tidaknya suatu restoran dengan pakaian pramusajinya. Dia tak pernah bisa berhenti mengerti hal-hal seperti itu. Bagi Violet, itu hanyalah salah satu cara untuk mengeksploitasi perempuan. Anehnya, yang dieksploitir sendiri tidak merasa keberatan.
“Selamat menikmati,” pungkas si pramusaji dengan senyum indah yang merekah.
“Terima kasih, Mbak,” Jeffry yang menjawab dengan antusias. Violet memperhatikan dengan bibir terkatup.
“Jeff,”panggilnya dengan suara rendah. Sebagian harga diri Violet ingin memberontak dengan cara menyiramkan semua makanan yang baru datang itu ke wajah Jeffry. Namun, akal sehatnya tidak memberi izin. Dengan susah payah, dia berusaha menarik napas.
“Vi, kenapa tidak mulai makan? Ayo, nanti kalau keburu dingin, malah tidak enak, lho!” Jeff dengan antusias mulai mengambil sendok. Dia bahkan sempat menyeruput minumannya, segelas orange float yang tampak nikmat. Violet terpaku dan ingin mengucapkan sesuatu, tapi kemudian mengurungkan niatnya. Violet memutuskan untuk makan, mengumpulkan tenaga sebelum bertengkar dengan Jeffry. Karena biasanya lelaki itu punya segunung alasan.
Violet menyantap menu yang dipilihnya dalam diam. Sementara Jeffry kadang berceloteh tentang sesuatu. Entah apa. Violet kehilangan konsentrasi dan semangat untuk mendengar setiap kata yang meluncur dari bibir pacarnya. Ada yang sedang menggeliat sakit di dalam dadanya. Bagi orang lain, ini mungkin hal sepele. Karena Jeffry “cuma” jelalatan, bukan berselingkuh. Bagi Violet, sebaliknya.
“Vi, kenapa? Kok kamu diam saja? Apa makanannya tidak enak? Ingin memesan yang lain?” Jeffry mengerutkan kening, keheranan dengan sikap pacarnya.
Violet menggeleng. “Makanannya enak dan aku nggak mau memesan apa-apa lagi.
“Atau kamu memang sangat ingin pulang ke Medan?” Mata Jeffry berpendar penuh perhatian. Lelaki itu berhenti mengunyah untuk sesaat. “Kan aku tadi sudah bilang, aku bisa mengantarmu, Vi. Lihat, kamu cemberut sejak bicara tentang kerinduan pada mamamu. Kamu nggak apa-apa? Atau ada masalah?”
Tatapan lembut Jeffry ditujukan pada Violet. Gadis itu mendesah dalam hati. Entah harus mensyukuri atau melaknat mata itu. Jeffry memiliki mata yang bersinar lembut dan mampu memberi efek menenangkan untuk Violet. Namun sekarang gadis itu juga tahu bahwa tatapan mata Jeffry mampu menyihir banyak perempuan. Violet bertanya-tanya, mungkinkah dirinya juga termasuk di dalamnya?
“Jeff, sebelum pulang, bisa temani aku ke toko buku sebentar?” Violet memilih untuk mengalihkan pembahasan. Dia sudah memutuskan untuk tak bertengkar dengan Jeffry hari ini. Mereka harus bicara untuk kesekian kalinya, tapi nanti saja. Saat hati Violet sedang tenang dan dia bisa objektif serta berpikir jernih.
“Oke. Kamu mau beli apa? Novel lagi?”
Violet mengangguk. “Bukan saatnya menimbun buku pelajaran. Sudah lewat masanya. Sekarang, aku sedang menikmati hidup sebagai manusia bebas tanpa kewajiban untuk belajar.”
Jeffry tertawa kecil. “Kegemaranmu membaca kadang membuatku iri. Kamar kosmu sepertinya penuh dengan novel.”
“Hmm, nggak juga. Kamar kosku masih jauh dari perpustakaan mini. ”
Jeffry memang bukan penggemar buku. Selera film mereka pun sebenarnya berbeda jauh. Violet memuja film aksi dan serial detektif. Jeffry justru penggemar film komedi. Violet bahkan merasa bahwa mereka nyaris tidak punya kesamaan minat. Tapi itulah rahasia terbesar tentang cinta. Mereka berdua bisa memintal dua hati dalam cinta.
Keluar dari restoran, Jeffry menggandeng Violet dengan mesra. Seperti biasa. Namun ganjalan di dada Violet tidak berkurang karenanya. Violet merasa dirinya bukanlah tipe pencemburu. Namun dia tidak bisa terus menoleransi sikap kekasihnya yang sangat suka “memanjakan mata” dan menatap tanpa kedip pada sosok perempuan-perempuan menawan yang mereka temui.
“Yang terpenting, aku kan nggak pernah selingkuh, Vi! Aku setia padamu, sejak awal kita pacaran. Masa aku tidak boleh melihat perempuan lain, sih?” Itu argumen Jeffry yang diulang-ulang sejak kali pertama Violet menegur kebiasaannya. “Kamu nggak perlu cemburu.”
“Aku nggak cemburu!” bantah Violet. “Kamu mungkin nggak selingkuh. Tapi, memandangi perempuan lain dengan penuh perhatian sementara ada aku di sebelahmu, itu sangat mengganggu, Jeff. Ini soal kepantasan. Aku merasa kamu nggak menghargaiku.”
Kalimat senada juga pernah dilontarkan Violet entah berapa kali. Namun, tak ada perubahan berarti. Jeffry masih tetap suka memandangi perempuan lain dengan mata penuh binar. Bukan sekali dua pula Violet mendengar orang-orang yang mereka temui berkomentar negatif tentang hal itu. Violet tak tahu bagaimana cara terbaik supaya Jeffry menganggap serius masalah itu.
Di toko buku, Jeffry berhenti di rak psikologi, sementara Violet berlama-lama di rak novel. Dia menjangkau beberapa novel lokal dan terjemahan. Saat itu, dunia Violet menyempit. Hanya ada dirinya dan lautan buku yang membentengi gadis itu dari dunia luar.
“Aku menunggu di sini,” kata Jeffry sebelum mereka berpisah.
Suara hiruk-pikuk pengunjung yang memenuhi toko buku sama sekali tidak mempengaruhinya. Violet melangkah di atas ombak gairah. Hal magis yang tak bisa diungkapkan dengan bahasa verbal, sesuatu yang selalu terjadi saat dia berada di toko buku. Violet bisa melupakan segalanya saat berada di antara buku-buku yang menarik minatnya.
Gadis itu menggerakkan kepalanya, membuat rambut panjangnya bergoyang lembut. Kulitnya yang berwarna cokelat karamel itu tampak bersinar di bawah siraman lampu. Violet berkonsentrasi pada buku-buku yang memenuhi rak.
Setelah menemukan dua buah novel lokal dan tiga buah novel terjemahan, mata Violet mulai mencari-cari sosok Jeffry. Kekesalannya sudah mereda. Diam-diam Violet bersyukur karena tadi tidak langsung menumpahkan kegeramannya saat di restoran. Sehingga mereka terhindar dari pertengkaran atau minimal adu mulut.
Jeffry sudah pindah ke rak komputer yang bersebelahan dengan buku-buku psikologi disusun saat Violet mendatanginya. Jumlah pengunjung yang membludak di akhir pekan membuat gadis itu memilih untuk tak berlama-lama di toko buku. Violet pun mendekat ke arah Jeffry.
“Jeff,” panggilnya.
Violet ternganga karena mendapati kekasihnya sedang menumpukan konsentrasi pada seorang gadis remaja yang memakai kaus ketat dan hot pants yang menampakkan kaki jenjangnya nan mulus. Jeffry bahkan tidak menghiraukan panggilan Violet. Atau mungkin tidak mendengar namanya disebut karena seluruh inderanya terfokus pada gadis muda tersebut.
“Jeffry!” Suara Violet dipenuhi tekanan.
Jeffry tak bisa menyembunyikan kekagetannya saat menoleh ke arah sang pacar. Namun lelaki itu segera menguasai diri dengan “Kamu sudah selesai?” tanyanya tenang, seakan tidak terjadi apa-apa barusan. Senyum tipisnya bahkan mengembang. Violet tidak yakin apakah Jeffry menyadari bahwa yang dilakukannya tadi sudah membuat kekasihnya kesal.“Sudah!” cetus Violet dengan wajah merengut. Tanpa bicara, gadis itu melangkah menuju kasir dan harus antre di sana. Dia sempat melirik Jeffry yang berdiri menunggu di dekat pintu keluar. Kali ini, lelaki itu menunduk karena sibuk memainkan gawainya.Violet berkali-kali menghela napas untuk menenangkan diri sekaligus meredakan kemarahannya. Di tak mau mempermalukan diri sendiri. Meski begitu, dadanya masih naik turun karena emosi yang bergelombang di dalam sana. Seakan siap merubuhkan dinding-dinding ketenangan yang dimiliki Violet.Nyaris sepuluh menit gadis itu harus mengantre. Sebenarnya, ketidaksabaran
Quinn Zaugustus mendengarkan sang kekasih yang sedang bicara dengan penuh semangat. Eireen, nama gadis yang berhasil menaklukkan hati Quinn itu. Keduanya menjadi pasangan sejak enam minggu silam. Mereka sedang berada di restoran yang menyajikan steak, makanan favorit Eireen. Quinn tak terlalu menikmati menu western, tapi dia ingin menyenangkan sang pacar.Eireen adalah gadis supel yang begitu menawan. Bukan hanya secara fisik, melainkan juga karena kepercayaan dirinya yang kuat. Eireen merupakan sosok yang langsung menarik perhatian kaum adam. Itu juga yang terjadi pada Quinn. Dia baru berkenalan dengan Eireen tujuh bulan silam. Kala itu, Eireen menjadi salah satu pagar ayu di sebuah resepsi yang digelar di hotel tempat Quinn bekerja, The Suite.Sejak itu, Quinn tak melepaskan kesempatan untuk mendekati gadis itu. Apalagi setelah Eireen memastikan bahwa dia tidak memiliki kekasih. Quinn pun cukup intensif berkomunikasi dengan gadis itu hingga akhirnya
Setelah tiba di halaman parkir ke The Suite, Quinn menyempatkan diri menelepon Eireen, mencari tahu apakah gadis itu sudah tiba di rumahnya atau belum. Eireen malah mengaku dia sedang mampir ke sebuah coffee shop untuk bertemu seorang teman.Satu setengah tahun terakhir, Quinn menduduki posisi bergengsi sebagai residence manager. Jabatan itu membuatnya mengepalai delapan manajer lini pertama. Jadi, tanggung jawab Quinn memang cukup berat karena harus mengawasi dan bertanggung jawab atas kinerja semua departemen di bawahnya.Sudah bergabung di The Suite sejak berusia 24 tahun, hanya berjarak sebulan sejak meraih gelar sarjana, Quinn mengawali kariernya sebagai petugas housekeeping. Setelah itu, secara berkala Quinn berpindah bagian. Mulai dari bagian akunting, food and beverage, front office, engineering, hingga marketing.“Kamu harus paham tiap bagian di hotel ini. Bahkan, kalau bisa, nggak sekadar paham. T
Quinn bertemu dengan Eireen sekitar dua puluh menit kemudian. Sepanjang perjalanan, dia menyetir dengan jantung dag dig dug tak keruan. Quinn tidak tahu pasti apa yang terjadi selain bahwa Eireen terlibat kecelakaan. Karena tadi dia buru-buru memutuskan perbincangan mereka. Bodohnya Quinn, dia bahkan tidak bertanya apakah Eireen terluka atau tidak.“Kamu baik-baik saja, kan?” tanya Quinn setelah bertemu pacarnya. Dia menatap Eireen dari ujung rambut sampai ujung kaki dan menarik napas lega karena tidak menemukan tanda-tanda bahwa gadis itu terluka. Mobil Eireen diparkir di halaman sebuah restoran cepat saji yang jam operasionalnya sudah berakhir.“Aku baik-baik saja,” balas Eireen. Perempuan itu berderap ke arah Quinn sebelum memeluk sang kekasih. “Tadi, aku betul-betul takut, Quinn,” bisiknya.Lelaki itu mendekap kekasihnya. Tangan kanannya mengusap punggung Eireen dengan gerakan lembut. Dari tempatnya berdiri, Quinn bisa mel
Hari Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu oleh para karyawan, bukan? Karena dua hari ke depan ada libur yang bisa dimanfaatkan untuk melepaskan diri dari rutinitas. Dan melakukan hal-hal yang menggembirakan hati tanpa harus memikirkan pekerjaan. Bersantai.Violet melirik sekilas jam dinding. Sudah hampir pukul lima. Itu artinya, dia akan segera meninggalkan kantor tak lama lagi. Lebih bergegas lagi, perempuan itu membereskan mejanya seraya meneliti lagi hasil pekerjaannya. Violet tersenyum manis, kombinasi antara perasaan lega dan senang.Menjadi sarjana sastra Inggris, Violet diterima bekerja sebagai staf HRD di sebuah perusahaan manufaktur yang memproduksi produk perawatan wajah khusus untuk kaum hawa. Sepanjang pengalamannya setahun terakhir ini, pendidikannya nyaris tidak berkorelasi dengan pekerjaan yang dilakukannya. Kecuali kemampuannya bercas cis cus dalam bahasa negeri Pangeran William itu saja. Itu pun tidak banyak dibutuhkan dalam menuntaskan pekerjaannya
Violet pulang dengan kepala yang terasa berat. Dia masih bisa membayangkan detail garis wajah Nindy saat mendengar kata-katanya. Temannya itu seperti habis disambar petir. Bahkan mungkin lebih parah. Tak hanya hangus, Nindy berubah seperti debu.“Apa? Dari mana kamu tahu ... eh ... mengambil kesimpulan seperti itu?” Nindy langsung panik. Kepucatan di wajahnya kembali lagi.Violet tersenyum tipis. Namun dia yakin jika senyum yang terukir di bibirnya menyerupai lekukan patah yang menyedihkan. Hati Violet ikut nyeri melihat eskpresi temannya. Mengapa Nindy bertahan dengan pria kasar seperti Randy? Apakah tampang dan latar belakang keluarga memang segalanya?“Aku pernah beberapa kali melihat memar-memar di pipi atau lenganmu. Meski kamu berusaha menutupinya dengan make up atau beralasan macam-macam, aku tahu kalau bukan itu yang terjadi,” gumam Violet hati-hati. Di depan gadis itu, bibir Nindy terbuka.Violet memang tidak berd
“Teman sekantormu, ya? Apa dia tak ingin putus dari kekasih yang seperti itu? Sepupuku juga ada yang mengalami hal semacam itu. Bedanya, yang memukuli adalah suaminya sendiri. Sepupuku itu sempat kabur bertahun-tahun sebelum pulang ke Indonesia.” Kelly ikut emosional. “Kalau aku, tak akan pernah kubiarkan ada orang yang mengaku mencintaiku tapi melakukan hal-hal itu padaku. Aku anti kekerasan, fisik ataupun verbal.”Violet mengangkat bahu. Dia benar-benar merasa lelah. “Yang kudengar, mereka akan segera bertunangan.”Mata Kelly membesar. “Apa?”“Iya, sudah beberapa minggu ini temanku bercerita tentang rencana pertunangannya.”“Dan kayaknya dia tetap akan melanjutkan rencana itu? Walau pacarnya begitu berengsek?” desak Kelly dengan nada tak percaya.“Sepertinya begitu. Tadi, kubilang kalau aku tahu dia sering dipukuli. Tapi katanya itu semua karena kesalahannya. Dia tak in
Quinn melepas kacamata bacanya, meletakkan benda itu di atas laptop yang baru saja ditutup. Punggungnya terasa pegal. Lelaki itu bersandar di kursi sembari meregangkan tubuh. Dia memejamkan mata selama sesaat. Saat ini sudah pukul lima sore. Hari Jumat. Bagi karyawan kantoran biasa, Jumat selalu menjadi hari yang ditunggu-tunggu. Namun hal itu tidak berlaku bagi Quinn atau orang-orang yang bekerja di The Suite.Setelah berlalu sekitar lima menit, Quinn pun menegakkan tubuh. Tatapannya disapukan ke arah dua kursi kosong tepat di depannya. Sebelum beralih ke layar monitor di bagian kanan mejanya yang menampilkan rekaman kamera CCTV di berbagai titik. Ya, The Suite memang memiliki ruang khusus yang menampilkan semua gambar dari kamera CCTV yang dipasang. Beberapa di antaranya bisa dilihat Quinn dari ruangannya.“Kenapa kamu minta layar monitor juga ditaruh di ruang kerjamu, Quinn?” tanya Jan, kala pertama kali cucunya mengajukan permintaan itu.“S