"Astaghfirullah, Irfan!! Kenapa kamu makan duluan?! Kamu kan bisa nungguin Mas Indra sama si kembar, kita bisa makan sama-sama!" Aku menegurnya saat melihat sayur dan lauk pauk yang ada di meja makan sudah hampir tandas setengah piring. Irfan sudah memporak-porandakan isi piring saji hingga terlihat seperti makanan sisa di piring bekas di orang hajatan.
Berkali-kali aku menelan ludah kecewa. Ia bahkan tak peduli apakah yang lain sudah makan atau belum, masih cukup atau tidak. Yang ia pedulikan hanyalah perutnya sendiri. Benar-benar egois!!
Untung aku sudah menyisihkan sedikit dari beberapa menu yang ku masak tadi dan menyembunyikannya di lemari rak piring tempat persembunyianku. Aku memang sudah mengantisipasi akan hal ini dari awal. Dan dugaanku kejadian bener kan?
Kalau saja aku belum sempat menyisihkannya, sudah pasti aku akan mengamuk dan memaki-makinya. Apa dia tidak tahu aku capek sekali membuat berbagai menu makanan dari subuh hingga siang. Seenaknya saja dia habiskan sendirian tanpa mengingat nasib perut yang lainnya.
"Aku lapar! Dari pagi belum sarapan. Bapak sama ibu perginya subuh-subuh. Mana sempat mereka buatkan aku sarapan." Irfan menjawab dengan enteng sambil mengunyah makanan yang baru saja ia suap ke dalam mulutnya. Sepertinya ia sangat lahap dan menikmati masakanku.
Heh, alasan gak dibuatin sarapan? Emang kamu gak bisa beli sarapan sendiri? Oh iya lupa... mana mungkin beli sarapan, buat ongkos aja juga minta kok. Dasar 'mokondo' si manusia alien.
"Lapar ya lapar, tapi ingat sama yang lainnya juga. Kamu pikir kami juga gak lapar? Belum ada satupun dari kami yang makan dari pagi." sungutku kesal.
Bukannya merasa bersalah, Irfan dengan santai malah bersendawa lepas seolah tidak punya beban hidup apapun.
Aku mencengkram kuat gagang pel untuk meredakan emosi yang sudah tersulut. Mana lah badan sudah lelah dan kehabisan tenaga, ditambah sikap Irfan yang seolah dialah Tuan di rumah ini, membuat aku ingin mengusirnya segera. Rasanya ingin ku pukul kepalanya yang agak korsleting itu dengan gagang pel biar tambah njebluk sekalian.
"Tolong bersikap sopan di rumah orang meskipun itu rumah abangmu sendiri. Aku memasak dari pagi buta bukan untuk mengisi perutmu saja. Kami pun juga butuh makan. Kalau sudah kamu habiskan seperti ini, kami mau makan apa, hah?" Aku merepet dari sabang sampai merauke, tapi sepertinya tak ada satupun yang masuk ke kuping Irfan. Ia malah menaruh sendoknya menyudahi acara makan dan berlalu pergi ke area favoritnya di depan TV.
Ya iyalah, orang dia sudah makan banyak sampai kekenyangan begitu. Kalau masih memaksa untuk makan lagi bisa-bisa meledak itu perut si Irfan.
Piring dan sendok garpu ia taruh begitu saja di meja makan tanpa berniat untuk mencuci atau sekedar memindahkannya ke wastafel.
Seketika aku menjadi murka. Emosiku meluap-luap seolah lava panas hendak menyembur keluar. Kalau bisa digambarkan, mungkin di atas kepalaku sudah ada asap yang mengepul dari ubun-ubun.
"Heh, Irfan! Aku ini bukan pembantumu! Kalau habis makan tolong cuci piringmu sendiri!" Aku mengejarnya ke ruang santai dan kembali memarahinya.
Manusia alien itu benar-benar bebal dan bermuka tebal. Sudah ku amuk seperti itu, dia masih santai bergeming di tempatnya sambil main handphone.
Dasar, manusia tidak tahu diri!!
"Ada apa sih? Ribut aja dari tadi." Gerutu Mas Indra yang baru saja selesai mandi. Kini mukanya sudah terlihat lebih segar dan tak kusut seperti saat bangun tidur tadi.
Ku kira dia tadi masuk ke kamar hendak melanjutkan tidurnya. Tapi ternyata aku salah, dia mandi dan menyegarkan diri.
Aku gegas menarik lengan Mas Indra dengan gerakan sedikit kasar menuju ke dapur untuk mengadukan perbuatan adiknya yang sudah diluar batas.
"Lihat ini Mas!" Aku menunjuk pada piring-piring saji yang sudah berantakan isi di dalamnya dan mulai berkacak pinggang. "Kita aja belum ada yang makan. Tapi adikmu itu sudah menghabiskan separuh lebih isinya. Dan itu lihat! Dia meninggalkan piring bekas makannya tanpa berniat membersihkannya." Kini telunjuk ku mengarah ke piring bekas makan si Irfan yang masih teronggok diam di tempatnya semula.
Ia menggelengkan kepalanya dan mendengus pelan. "Maya, Maya, kaya gini aja kamu ributin!! Ini kan masih ada sisanya, masih bisa kita makan loh. Dan juga masalah piring bekas kan bisa kamu cuci sekalian nanti."
Jeger… bukannya belain istrinya eh malah belain adiknya. Pantas saja adiknya tambah besar kepala dan ngelunjak padaku.
"Mas lihat dong ini bukan lagi sisa makanan, tapi ini bekas dia." Aku memperlihatkan sayur capcay yang sudah berantakan hanya bersisa bunga brokoli nya saja karena setahuku Irfan memang tidak suka sayur brokoli. Lalu kuperlihatkan menu udang saus asam manis yang hanya tersisa bagian kepala dan cangkangnya saja. Juga menu ikan bumbu rujak thailand yang hanya menyisakan beberapa lembar selada dan potongan buah rujaknya saja.
Ia mendengus dan menyimpan piring kotor bekas Irfan ke dalam wastafel.
"Ini juga kan masih ada sayuran dan sausnya. Masih bisa dimakan gini kok. Gitu aja dibesar-besarkan, May. Pantas adikku gak betah kalau menginap di sini, kamu terlalu keras sama adikku."
Hah!! Percuma saja aku mengadu pada Mas Indra. Ia selalu membela dan membenarkan sikap keterlaluan adiknya.
"Kamu makan saja sendiri, Mas! Aku sudah kenyang." Ucapku dengan ketus dan segera berlalu pergi untuk membersihkan diri. Aku sudah tidak berselera melihat penampakan masakanku yang tadi tertata rapi di meja tapi kini sudah acak-acakan seperti bekas sisa makan orang.
Untung aku sudah menyisihkan lauk dan sayur untuk makan siang si kembar. Aku akan menyuapi mereka di kamar nanti.
"Assalamualaikum." Dari dalam kamar mandi aku mendengar sayup-sayup suara Keyla dan Keyra kompak mengucap salam. Mungkin mereka sudah selesai bermain karena matahari sudah mulai agak meninggi.
"Kumsalam!" Terdengar suara Mas Indra menyahut salam dengan asal. Gak kakak, gak adik, dua-duanya sama-sama minim akhlak.
Padahal menjawab salam dengan sempurna itu hukumnya wajib. Ini kok malah menjawab dengan asal-asalan. Sepertinya Mas Indra perlu diruqyah agar pikirannya waras kembali.
Lalu hening dan tak terdengar lagi suara lain kecuali suara gemericik air kran bak mandi yang sudah hampir penuh. Aku bergegas mengguyur badan yang sudah penat beraktifitas seharian. Juga mengguyur kepala untuk mendinginkan emosi sebelum menghadapi manusia alien yang menumpang di rumahku.
"Kalian kenapa disitu?" Tanyaku saat keluar dari kamar mandi dan mendapati si kembar meringkuk berdua di depan TV. Kemana perginya manusia alien tadi? Bukankah tadi sehabis mukbang masakanku dia leyeh-leyeh kekenyangan dan duduk sambil menonton TV.
Kenapa sekarang berganti jadi anak-anakku?
Mereka berdua kompak mengedikkan bahu dengan ekspresi tak terbaca. Bahkan pipi keyla sudah basah oleh linangan air mata.
POV Indra Laksmana."Apa-apaan? Kamu yang apa-apaan? Memangnya kamu itu siapa disini? Tuan putri? Harusnya kamu itu sadar diri, kamu itu disini menumpang. Bantuin ibu, kek, ini malah enak-enakan rebahan, main hape, tertawa cekikikan."Segala kekesalan ku luapkan semuanya pada Mona. Dia hanya menunduk dan mulai mengeluarkan jurus air matanya. "Maafin, Mona… tadi Mona kelelahan, jadi rebahan sebentar.""Lelah ngapain, Kamu? Lelah mainan hape?" Ku lontarkan sindiran tajam. Menurut pengakuan ibu, Mona tidak pernah menyentuh pekerjaan rumah sama sekali. Jadi lelah apanya? Mona sedikit gelagapan. Ia langsung menyembunyikan hp nya ke bawah bantal dan mulai mengalihkan perhatianku."Hm, Mas Indra jangan marah-marah lagi, ya! Ngomong-ngomong tumben Mas Indra masuk ke kamar Mona, apa Mas Indra sudah gak marah dan menginginkan Mona?" rayu Mona.Kalau dipikir-pikir, iya juga sih… semenjak kita menikah, kita langsung pisah kamar karena aku merasa jijik dengan Mona yang hanya memanfaatkanku saja.
POV Indra Laksmana.Hari ini, tumpukan masalah mulai menggunung di pundakku. Kesel, capek, lelah, dan kecewa bercampur aduk jadi satu.Rasanya, kejadian tadi siang di kantor terus saja membayangi pikiranku."Pak Indra, disuruh menghadap ke Pak Angga! Beliau saat ini berada di ruangan manager marketing." Sekretaris pribadi Angga memberitahukan pesan dari atasannya lewat sambungan line telepon kantor."Baik!!" Jawabku dengan semangat empat lima. Memang selama ini posisi manager marketing yang dulunya diduduki oleh Pak Doni kosong semenjak pemilik kursi sebelumnya digelandang oleh polisi karena terlibat menyembunyikan kasus pembunuhan berencana serta kasus penggelapan uang kantor.Entah apa kasusnya, yang jelas posisi Pak Doni sekarang menjadi kosong dan aku mengincar jabatan itu. Aku menginginkan naik ke puncak yang lebih tinggi. Dan saat ini, aku lah kandidat terkuat yang bisa menaiki tangga kesuksesan itu.Bahagia bukan main rasanya. Aku yakin Pak Angga pasti ingin berdiskusi dengank
POV Author.Bagas dan Soni lolos tes interview dan langsung diterima bekerja di perusahaan saat itu juga. Mulai besok, mereka resmi menyandang status sebagai karyawan di perusahaan Maya. Tak main-main, Maya langsung memberikan posisi jabatan yang tinggi untuk keduanya."Mbak, eh… B-bu Maya, apa ini tidak berlebihan?" Bagas merasa gugup sekaligus heran saat Maya menyebutkan posisi jabatan yang akan dirinya emban nanti.Wanita cantik yang telah bersemayam di hati Bagas sejak ia masih berstatus sebagai istri orang itu menggeleng lemah, "Gak kok, Gas. Mbak serius. Mbak tahu kamu pasti mampu melewati challenge ini.""Ta-tapi, Mbak…""Tolong terima dan lakukan yang terbaik! Izinkan putri Om ini untuk mengangkat derajat keluarga kalian. Ini adalah bentuk balas budiku karena kalian selama ini sangat baik kepada anak dan cucu-cucu Om." Sela Hadi dengan tegas memotong ucapan Bagas. Mendapati perkataan menyanjung dari papanya Maya, Bagas hanya bisa pasrah dan menerima kesempatan emas yang Hadi
POV Author. Sesuai dengan instruksi dari Maya, pagi ini Bagas dan Soni berangkat bersama untuk tes interview di perusahaan orang tua Maya dengan berboncengan mengendarai sepeda motor. Begitu tiba di lokasi, Bagas langsung mengirimkan pesan singkat kepada Maya, mengabarkan jika mereka sudah sampai di perusahaan. Alih-alih dipersilahkan masuk, Bagas dan Soni malah diinterogasi oleh satpam yang bertugas di gerbang depan. "Hee, bukannya kalian ini tetangga sebelah rumah abangku, ya?" Irfan yang kebetulan sedang bertugas menjaga gerbang depan langsung sksd, sok kenal sok dekat. Ha he ha he, kami berdua ini punya nama! Begitu gerutu Soni dalam hati. "Hee, bener, kan kalian memang tetangga abangku? Bang Indra namanya." Ulang Irfan saat tak mendapatkan respon dari Bagas dan Soni. Bukannya mereka berdua tak mau merespon, tapi mereka berdua memang tak terlalu mengenali Irfan. Mereka berdua baru sadar setelah Irfan menyebutkan nama Indra, sebagai abangnya. "Iya, bener, Mas. Rumah kami m
"Waalaikumsalam," aku dan Mbak Titin langsung kedepan untuk melihat si tamu. Ternyata oh ternyata, suara itu bukan suara yang berasal dari tamu. Suara itu merupakan suara Bagas, adik Mbak Titin, ia baru saja pulang bekerja. "Eh, ada tamu." Ucap Bagas malu-malu sambil menyalamiku. "Sudah lama, Mbak?" tanyanya kemudian. "Lumayan, Gas, dari siang tadi." Gak terasa ternyata waktu sudah menunjukkan sore, tanda sebentar lagi burung-burung pulang ke peraduannya. Begitupun dengan manusia, mereka mulai pulang ke rumah setelah lelah bekerja seharian di luar. Bagas tersenyum dan salah tingkah sendiri. Aduh, kenapa ini si Bagas kok malah jadi salah tingkah begini? "Baru pulang kerja, Gas?" Tanyaku untuk mengurai kecanggungan yang ada. Dia hanya mengangguk dan tersenyum malu-malu lagi. Ih, kenapa sih ni bocah? Ayolah, Gas. Baru berapa lama gak ketemu kok kamu udah lain banget. Dimana Bagas yang dulu tegas, pemberani, dan penuh wibawa? Kenapa berubah jadi Bagas yang kalem dan malu-malu begini
"Eh, ada bu boss datang!!" Sapa Mbak Titin ramah saat aku bertandang ke rumahnya. Ia terlihat sangat antusias dengan kedatanganku yang tiba-tiba dan tanpa kabar sebelumnya. Entah kenapa rasanya aku kangen sekali dengan lingkungan tempat tinggal lamaku ini. Aku langsung memeluk wanita yang dulu seringkali membantuku kala aku sedang dilanda kesusahan. "Apa kabarnya, Mbak?" Wanita itu mengangguk dan tersenyum bahagia seraya berkata, "Kabar kami baik, May." Ia lalu menoleh ke arah pintu rumahnya, "Lika… ada Keyla sama Keyra, nih." Teriak Mbak Titin memanggil anak gadisnya yang seumuran dengan si kembar. Tak butuh waktu lama, Lika, anaknya Mbak Titin langsung berlari keluar dengan senyum mengembang. "Keyla, Keyra… main bareng, yuk!!" Seru Lika kegirangan karena sudah beberapa bulan ini mereka tak berjumpa. Semenjak diboyong ke rumah Papa Hadi, si kembar praktis ikut pindah sekolah yang lebih dekat dengan kediaman Papa Hadi. Oleh sebab itu pertemanan mereka sempat terputus karena jarak