Share

4 - Patah Hati Paling Menyakitkan

"Dramanya sad ending ya?" 

Aku mengerjap ke arah Maxi. Tangan kiriku menopang dagu dan tangan kanan mengaduk milkshake. Akhirnya aku mengangguki Maxi dengan wajah drama ala bucin oppa. "Sedih sekali, ya ampun." 

Mungkin ia mengingat kalau tadi pagi aku menonton drama. Kisahnya tidak sesedih itu, tapi aku tidak seharusnya menampakkan kegalauanku gara-gara percakapan di teras tadi.

"Kita tidak selesai, tidak akan pernah." Tanganku digenggam hangat olehnya saat hendak berlalu, membuat langkahku tertunda. Ia menyelusupkan jari telunjuknya ke jemariku yang mengepal lemah. Tangannya hangat dan nyaman, selalu seperti itu. "Kakak ingin kamu menunggu."

Apa? Apa yang harus kutunggu?!

"Makanan saja bisa kadaluwarsa, apalagi perasaanku." Untuk sesaat aku merasa lebay, tapi aku tidak tau harus berkata apa. Situasi ini terlalu sulit kalau harus kuhadapi sekarang. Aku hanya, , tidak siap. Tidak dengan ia yang memintaku menunggu. Tidak pula dengan jarinya yang ada dalam kepalan lemahku. Lagipula, itu terasa salah. Sangat salah.

Layaknya adegan di tv, aku melepas tangannya tanpa menoleh dan pergi. Beruntung tidak ada yang melihat. Aku tidak sudi dicap sebagai pelakor.

"Sesedih apa sih, dramanya sampai membuatmu melamum sepanjang hari?"

Aku berdecak kesal karena Maxi mengusik lamunanku dan mencomot kentang gorengku. "Apa sih?!"

"Aneh saja melihatmu sebisu orang-orangan sawah."

"Aku mau pulang saja." 

Maxi mengangguki aku dan mencomot kentang goreng terakhirku sebelum berdiri. "Ayo. Aku juga tidak mau membawa boneka sawah kemana-mana."

Cowok itu betulan minta kutimpuk rupanya! Untung ini tempat umum, aku menahan diri dan menunggunya yang sedang membayar di kasir. Sementara itu, aku menunduk memandangi ujung sepatuku membuat pola abstrak tak kasat mata di lantai. Beberapa menit kemudian, ponselku berbunyi mendapat pesan dari nomor tak dikenal.

Dari lelaki itu, si orang aneh yang kutemui di halaman samping hotel dan suaranya sama sekali tidak cocok menyanyi dangdut! 

Ia mengirimiku sebuah foto.

'Anak hilang! Dimana orang tuanya?!!'

Itu aku, astaga. Dilihat dari sudutnya, foto itu diambil dari sebelah kiriku dan, itu dia. Lelaki itu sedang berdiri di tepi pagar pembatas lantai 2 PIM, kedua sikunya bersandar ke pagar yang ada di belakangnya itu, dan kaki kanannya ditekuk sehingga ia tampak seperti sedang berpose. Tangan kanannya memegang ponsel, yang dipakainya untuk memotretku diam-diam. Pandangannya terarah padaku dan ia tersenyum dengan sebelah alis dinaikkan. Sok keren sekali!

Ia melangkah mendekat dan aku mendengus membuang pandangan.

"Halo, gadis kecil. Mau Abang temani, tidak?"

Aku mengerutkan hidung. "Jijik."

Orang itu tertawa lepas dan berdiri di hadapanku dengan kedua tangan di saku. "Sedang apa disini?"

"Magang. Siapa tau cocok jadi pengganti patung McDonald," sahutku ngawur.

Orang itu memandangiku dari atas ke bawah dengan gestur menilai, lantas menggeleng. "Dengan wajah seperti itu, kamu lebih cocok jadi boneka sawah."

Sial! Kenapa pikirannya sama dengan Maxi? 

Dan, sial lagi! Siapa sih dia? Bisa-bisanya mendapatkan nomor ponselku? 

Belum sempat aku membalas, Maxi sudah menghampiriku. Aku langsung menariknya pergi meninggalkan orang itu yang sempat-sempatnya melambaikan tangan dengan ceria. Orang aneh.

"Siapa?" Maxi mengernyit bingung, menoleh ke belakang sebentar.

"Oom-oom genit."

***

Ketika aku sampai rumah saat sore, bertepatan sekali dengan Saverio yang baru turun dari mobilnya, menatapku dan Maxi dengan raut tidak suka. Tanpa kuduga, Maxi menariki pipi kanan dan kiriku sampai wajahku rasanya molor sekali.

"Jangan lihat drama lagi kalau galaunya separah ini," katanya, berpesan (sok) bijak. 

Aku berdehem sekenanya, meninggalkan Maxi yang langsung pergi setelah menyerahkan helmet padanya. Andai tidak ada Saverio, mungkin aku masih meladeni Maxi dan berdebat dengannya.

Untuk sesaat aku melirik ke arah Saverio dari sudut mataku. Jantungku langsung berdegup kencang saat langkah lebarnya berderap ke arahku. Dan sebelum aku berada dalam jangkauannya, aku buru-buru lari. 

Parah. Aku bisa gila betulan kalau setiap hari diuber-uber seperti ini. Ini tidak baik bagi hati dan pikiranku. Sampai rumah pun aku langsung lari ke kamarku di lantai atas, menutup pintu dengan berisik dan bersandar di baliknya. 

Mau apa Saverio tadi? 

Aku mengintip dari jendela kamarku dan melihat Saverio memasuki rumahnya dengan kepala menunduk. Sejujurnya aku bingung, kenapa dia dan istrinya masih tinggal di rumah seberang yang merupakan rumah orang tua Saverio, rumah yang sudah kukenal sejak aku masih kecil. 

Rumah yang juga menjadi saksi bisu bagaimana aku tumbuh dalam penjagaan Saverio. 

Kenapa mereka tidak tinggal di rumah sendiri saja? 

Mereka kan sama-sama pewaris bisnis, pasti membeli rumah bukan hal yang sulit kan? 

Situasi ini menggangguku, karena aku seperti tidak bisa hidup tenang. Setiap hari, aku jadi merasa hidupku dihantui oleh Saverio. Maksudku, ketika dia sudah menikah, bagaimana pun kondisi kami sebelumnya, aku tau diri untuk tidak mengusik rumah tangga mereka meski rasanya berat. 

Sebab di dalam sini, perasaan itu masih tumbuh subur sekuat apapun aku memangkasnya. Kenangan-kenangan bersama Saverio menancap kuat dalam benakku, karena sejak kecil aku sudah bersamanya. 

Melihatnya tumbuh menjadi sosok dewasa yang kukagumi. Dan Saverio melihatku tumbuh menjadi gadis remaja-nya. 

Sampai kami sepakat untuk mengubah status kami diam-diam. Backstreet. 

Sialnya dari hubungan backstreet ini, kalau ada apa-apa, aku harus menanggung resikonya sendiri. Seperti hatiku yang masih porak poranda ini. 

Makanya aku tidak bisa kalau begini terus. Keberadaan dan sikap Saverio yang masih ingin mendekat saat semua sudah berubah hanya akan membuat situasi semakin rumit. Harusnya tidak begini. 

Tapi baiklah, kalau dia memang akan tetap tinggal di rumah seberang, maka aku yang akan pergi.

Lagipula calon kampusku ada di Jakarta Timur, cukup jauh dari rumahku di Pondok Indah jika harus pergi-pulang setiap hari.

Aku lantas bergegas membuka laptopku di meja belajar, jemariku mengetik cepat mencari rumah kost di sekitar kampus itu, dan mulai mencatat beberapa kost yang sesuai dengan keinginanku. Perihal harga tidak masalah, toh harga-harga itu tidak beda jauh.

Besok atau lusa aku akan survey bersama Maxi. Ah iya, si tengil itu seharusnya juga butuh kamar kost. 

Aku segera mengirimi pesan kepada Maxi mengenai rencana itu, dan segera dibalasnya dengan emoticon 'oke'. Sejak kelulusan, aku dan Maxi memang jarang punya kesibukan. Makanya kami sering keluar berdua, kemana pun, yang penting keluar, biar tidak terlihat seperti pengangguran mengenaskan. 

Aku memasukkan kertas berisi beberapa alamat itu ke dompet dan mematikan laptop, sekali lagi melirik keluar jendela. 

Saverio keluar rumahnya dengan pakaian formal yang rapi, tampak gagah dan dewasa. Dan di sebelahnya, istrinya yang anggun menggandeng lengannya dengan hangat.

Aku tersenyum kecut. Angela yang dewasa terlihat cocok sekali bersanding dengan Saverio. 

Tapi seolah hal random yang kulakukan belum cukup, Saverio mendongak ke arah jendela kamarku di saat istrinya sedang bercerita hal lucu karena sedang tertawa. Namun Saverio tidak ikut tertawa, bahkan terlihat tidak mendengarkan, karena tatapan laki-laki mengarah ke jendela ini. Dan kami seolah bertatapan melalui jendela.

Ini salah, mata adalah jendela hati dan kontak mata itu seolah menarikku ke dalam pusaran netra cokelat milik Saverio. Kami saling menatap tanpa ekspresi.

Pada akhirnya akulah yang memutus kontak mata itu dan menghela napas dalam. Aku tau, keputusanku untuk pergi adalah yang terbaik. Setidaknya aku tidak perlu sering-sering berada di lingkungan ini. Aku bisa pulang seminggu sekali, atau sebulan sekali. Suka-suka. Pokoknya pergi. 

Dan segera setelah memasuki perkuliahan nanti, aku akan menemukan lembaran baru dalam hidupku. Kalaupun tidak menemukannya, aku akan membuatnya sendiri.

Aku harus melupakan semua yang telah terjadi, antara aku dengannya. Aku harus melupakan semua kisah itu, merajut kisah yang baru, dan bahagia di jalanku sendiri.

Harusnya aku sadar, lembar yang baru bahkan sudah dimulai sejak Mama memberiku undangan pernikahannya bulan lalu. Itu adalah detik terburuk yang kurasakan dalam hidupku.

Ketika aku percaya padanya dengan sepenuh hati, percaya pada janjinya bahwa suatu hari kami akan menikah, namun pada saat itu pula dia menghancurkannya semudah membalikkan telapak tangan. Tidak ada yang dia bantah mengenai apapun yang tertera dalam undangan itu.

Meski awalnya aku berpikir bahwa ini hanyalah prank, nyatanya pernikahan itu nyata.

Pernikahan itu terjadi.

Dan aku bukan pengantin wanitanya, seperti yang perna h ia janjikan.

Semua itu terjadi, tanpa penjelasan sedikitpun.

Patah hati paling menyakitkanku. 

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status