Share

5 - Masih Cinta Yang Sama

"Keluar terus," sindir Mama saat aku turun dari tangga dengan pakaian rapi. 

Aku berdecak, maklum saja, pengangguran banyak acara memang begini. Baik ada kegiatan formal atau tidak, pokoknya jalan terus. Lagipula, aku ini seperti remaja pada umumnya, yang rapi jali kalau mau keluar, tapi kalau di rumah hanya mengenakan celana dan kaus belel yang nyaman.

"Ada sesuatu yang mau kulakukan," ujarku dengan tangan terkepal dan terangkat layaknya orator dalam demonstrasi mahasiswa. Toh aku juga calon mahasiswa. "Demi masa depan yang lebih baik!" 

Ayah yang baru muncul untuk sarapan menatapku dengan kening berkerut, namun tak ambil pusing. Katanya, tingkah absurdku menurun dari Ayah dan Mama sekaligus, jadi absurdnya double-double. "Mau kemana?"

"Mau jalan, dengan Maxi." Aku meneguk susu UHT favoritku dan melahap sarapan dengan tenang. Untuk saat ini, orang tuaku tidak perlu tau rencanaku yang akan mencari kostan, bisa-bisa dia juga tau. 

Tapi yang lebih penting, tidak ada yang boleh tau dimana kostanku berada nanti, kecuali Maxi tentu saja. Kalau tidak tau, mana mungkin ia bisa menjemputku. 

Ingat, persahabatan kami lebih kental dari darah. Jadi selain sahabat, profesi terselubungnya adalah sebagai supir pribadiku karena aku tidak bisa menyetir motor dan mobil. Mengenaskan. 

Aku lantas menyelesaikan sarapan lebih cepat, jaga-jaga kalau Saverio ikut sarapan lagi disini. Aku juga memakai sepatu, dan Maxi datang tak lama kemudian. Karena jarak bepergian kami kali ini agak jauh, jadi Maxi datang dengan mengendarai Baleno hitam milik Bundanya. 

Baguslah, aku tidak perlu masuk angin jadinya.

***

Aku sudah menentukan kamar kost mana yang akan kupilih, dan sudah kuputuskan untuk menyewa di tempat yang jalannya agak masuk ke jalan kecil, biar tidak terlalu terekspos. Karena rencanaku memilih kamar kost juga dalam rangka melarikan diri.

Katakanlah aku terlalu percaya diri karena berpikira Saverio akan mencariku, tapi tidak ada salahnya berjaga-jaga. Hanya... demi mengamankan hatiku yang masih sangat kacau ini. 

Sebab aku tau pasti, kalau Saverio sudah bertekad mencari sesuatu, dia akan menemukannya. Kan seram. Jadi wajar kalau aku sedikit paranoid. 

Dan aku juga bersyukur alamat kostnya tertukar dengan alamat lain, jadi cukup membingungkan. Untuk sampai kesini saja aku sempat salah alamat berkali-kali, dan Maxi dengan syahdunya menyanyikan lagu Salah Alamat. Tapi ini namanya pucuk dicinta, ulam pun tiba. 

Kalau Maxi sendiri sudah berencana menyewa rumah kontrakan dengan beberapa teman SMA yang juga lanjut di UNJ. Katanya, semakin dekat dengan kampus, semakin baik. Rencananya saat kuliah nanti, ia akan tetap membawa motor matic putih kesayangannya itu yang anti macet dibanding Baleno hitam Bundanya.

Kalau ingin pulang ke rumah, aku sudah membayangkan kalau aku duduk di dalam kereta KRL atau MRT, dan keliling Jakarta dengan seru, baru turun di stasiun dekat rumah. Ide yang bagus. Aku jadi punya banyak rencana mengenai apa saja yang ingin kulakukan saat sudah kuliah nanti.

Aku membayangkan masa depan yang sempurna. Meski tanpa Saverio, aku yakin ke depannya aku akan baik-baik saja. 

Semua urusanku untuk uang kost sudah beres. Aku sudah membayar DP dan siap pindah kemari akhir bulan depan. Pada saat itu, Maxi harus bersedia mengantarku lagi.

"Langsung pulang atau bagaimana?" Tanya Maxi seraya memasang sabuk pengaman. 

Aku berdecak. "Kita? Langsung pulang?"

Maxi terkekeh, mulai mengemudi. "Aku lupa kalau aku sedang bersama anak jalanan."

"Tolong berkaca," tukasku. "Yang lebih mirip anak jalanan itu kamu." 

"Sudah. Dan kata cerminnya, aku adalah pemuda paling tampan di dunia." 

"Aku yakin cerminnya langsung pecah karena sudah berdusta." 

Maxi tertawa lepas. "Memang," sahutnya. "Aku berkaca di cermin sebuah rumah makan, dan setelahnya cermin itu pecah karena kena bola basket."

Aku tertawa lepas tanpa bisa ditahan, membayangkan kalau Maxi malu sekali pada saat itu. Kalau aku jadi Maxi sih malu. Sedang enak-enaknya berkaca, lalu cerminnya pecah karena kena bola basket. Tapi sepertinya cowok itu tidak terluka sedikit pun, buktinya ia masih bisa cengar-cengir bahagia, aku jadi benar-benar bisa menertawainya habis-habisan. Maxi sendiri hanya nyengir.

"Sekalian ke Dufan, mau?"

"Mau!"

***

Well, Dufan di hari Selasa adalah yang terbaik. Kami tidak perlu berdesak-desakkan saat berkeliling, juga tidak perlu mengantre panjang untuk naik ke banyak wahana. Aku bahkan sempat berlarian saking tidak percayanya kalau Dufan bisa selengang ini.

Rupanya, jadi pengangguran enak juga. Tidak terikat pada hari aktif KBM, dan bisa main sepuasnya. Apalagi transferan dari Ayah tetap lancar. Ditambah lagi, Maxi punya hobi mentraktirku. 

Kami benar-benar menikmati semua wahana layaknya tahanan baru keluar dari penjara. Maxi bahkan mengajakku menaiki wahana ekstrem dan kami berjalan sempoyongan setelahnya sembari tertawa layaknya orang mabuk.

Aku bahkan sempat muntah, dan jijiknya, muntahan itu mengenai bajuku sendiri dan ujung lengan Maxi. 

Cowok itu lantas sok higienis dengan membeli baju baru untuk kami yang modelnya sama sehingga kami bak anak kembar beda jenis yang kalah imut dibanding Upin Ipin, dan membungkus baju lama kami.

Dari caranya membungkus baju kotor kami dalam satu kantung, aku tau betul apa maksudnya saat ia menatapku dengan sebelah alis terangkat, kamu juga harus mencucikan bajuku!

Tentu saja, hal seperti ini selalu terjadi. Maxi pernah tidak sengaja menumpahkan kuah baksonya dan mengenai seragamku, jadi dia yang mencucinya. 

Kesepakatan semacam ini seperti sudah jadi kesepakatan tidak tertulis, bukan sesuatu yang disepakati bersama karena ini lahir dari keterpaksaan. Maxi awalnya mengataiku semena-mena. Dan sekarang lihat siapa yang semena-mena. Cowok itu menyerahkan kresek berisi baju kotor kami, siapapun pasti mengira aku seperti dikacung-kacungi. Ya kan? 

Setelah muntah itu, akhirnya kami berhenti untuk makan sore, dan lanjut lagi keliling dengan menaiki wahana-wahana ringan yang tidak perlu mengobok perut kami layaknya mesin cuci. 

Di penghujung sore, aku menikmati pantai bersama Maxi, menikmati matahari terbenam yang cantik sekali. Dan tentu saja, aku mengabadikannya di i***a story milikku. Ada beberapa video yang kuupload.

"Max, bicaralah kepada netizen." Aku menyenggol lengannya yang duduk di sebelah dengan kedua tangannya menahan kedua lututnya yang ditekuk.

Cowok itu berdecak, memalingkan wajah dari kamera. Ia paling malas kalau muncul di storyku yang pengikutnya memang kebanyakan kaum hawa dan akun olshop. 

"Ayo, bicaralah." Aku menoel-noel dagu dan pipinya, namun menyerah karena cowok itu malah semakin cemberut dan malah bersandar di bahunya. Seharian ini melelahkan juga ternyata. Aku menguap lebar, yang membuat mulut kudanilku disumpal tangan Maxi. Kututup i***a storyku, memasukkan ponsel ke tas kecil, dan kembali duduk tegak. "Ayo pulang, aku mengantuk."

"Yang nyetir siapa, yang ngantuk siapa."

"Yang jadi penumpang biasanya lebih rentan ngantuk," sergahku seraya membawa kantung berisi buntelan baju kotor kami, melangkah berat meninggalkan pantai. 

Langit telah gelap. Dan aku masih bisa menikmati sekumpulan bintang dari sini, indah sekali.

***

Seharusnya aku tidak menggunggah itu di i***a storyku.

Masalahnya, Saverio melihatnya dan langsung mengirimiku balasan pesan, 'pulang!'

Orang tuaku bahkan tidak pernah menyuruhku pulang dengan tanda seru seperti itu kalau sedang bersama Maxi. Mama dan Ayah lebih cuek dengan kepergianku. Mendadak aku takut kalau Saverio melihatku saat pulang nanti. Semoga saja tidak.

Aku tidak mau Saverio tiba-tiba menghampiriku lagi. Dan lebih parahnya, memarahiku. 

"Kenapa? Beser? Butuh toilet?"

"Aku tidak butuh toilet." Rasanya aku perlu sembunyi.

"Tingkahmu seperti cacing kepanasan. Memangnya kurang dingin?" Maxi memeriksa pendingin mobil dan tidak ada yang salah. 

Cowok itu akhirnya diam setelah memutuskan menyalakan radio. 

Satu jam kemudian ketika sampai rumah, aku mendapati mobil Saverio malah ada di depan rumahku, dan sudah telat bagiku untuk menghindar karena dia keluar dari rumahku begitu mobil Maxi berhenti di depan.

"Itu Kak Saverio, bukan? Yang baru menikah kapan hari?" Maxi mengernyit melihatnya di halaman rumahku.

"Memang masih tinggal di rumah orang tuanya dan sering main ke rumahku," sahutku senormal mungkin. Maxi bahkan tidak tau menahu soal hubunganku dengan Saverio. 

"Sepertinya dia sedang suntuk," komentar Maxi sebab wajah Saverio tidak terlihat ramah sama sekali.

"Entahlah." Aku mengendikkan bahu karena tak ingin ambil pusing.

Maxi kemudian menatapku sengit. "Sudah sana, turun. Aku juga ngantuk," usirnya.

Aku cemberut. Heran kenapa cowok satu itu tidak ada manis-manisnya padaku. Padahal kan aku sahabatnya. Dan seorang perempuan pula! Anak ini benar-benar! 

Lagipula rumahnya ada di blok belakang rumahku, tapi lagaknya seolah ia tinggal di tempat jauh. Dan Maxi benar-benar mengumpanku pada singa marah.

Dia malah membuka pintu kemudi di sampingku, menyapa Maxi sebentar, dan melepas sabuk pengaman yang aku kenakan. "Ayo turun," katanya datar.

Aku menelan ludah susah payah, menoleh pada Maxi dengan wajah memelas. "Jangan pulang sampai aku masuk rumah ya."

Maxi tak menyahut sampai aku turun dari mobil, dan sesaat setelah dia menutup pintu kemudi, Baleno hitam itu langsung pergi.

Oh. Sahabat durhaka! 

Sekarang aku menciut saat dia menghadangku di antara pagar dan tembok carport. Tangan kanannya menghadang sisi kiriku, sementara sisi kananku sudah terhadang pagar yang ditutup. "Can you explain me?"

"Apa?" Tanyaku menunduk, memandangi kakinya yang mengenakan sandal. Lalu aku mengalihkan pandangan untuk menatap sekitar. Dia betulan gila, bertingkah sebegini beraninya di depan rumahku. Apa jadinya kalau ada yang melihat?

"Kakak sudah bilang, jangan sedekat itu dengan Maxi."

"Kakak tidak punya hak untuk itu. Ayah dan Mama saja tidak pernah melarang," cicitku. Ini benar-benar menakutkan, aku berharap seseorang menolongku. Tapi aku juga takut dilihat dalam posisi seperti ini. Aku tidak mau dicap aneh-aneh.

"Haruskah aku juga membuat Ayah dan Mama melarang?"

Aku menunduk, berusaha mengembalikan akal sehatku yang menciut ketakutan, lantas memberanikan diri mendongak membalas tatapannya. Jarak wajah kami hanya sejengkal, dan aku hampir mengurungkan niatku saat melihat netra cokelat muda itu.

Mata yang menatapku dengan banyak perasaan terpendam. Mata itu masih menyiratkan rasa frustasi yang sama, tatapan yang risau dan banyak pikiran, namun tertutupi ketika dia menatapku tajam.

"Kenapa Kakak harus seperti ini?" Suaraku mendesau bagai bisikan angin, lirih, namun cukuplah hanya dia yang mendengarnya.

Dan dibalasnya dengan lirih yang sama, netra cokelat muda itu menjadi sayu. "Kakak masih mencintai kamu, dan perasaan ini tidak akan berubah," balasnya dengan berbisik. 

***

[] 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status