Share

3 - Kita Sudah Selesai

Aku sampai rumah ketika malam sudah larut. Kami berenam sedang puas-puasnya menghabiskan waktu bersama karena Vernon dan Eric akan lanjut kuliah di Singapura. Sementara Viona di Jepang karena orang tuanya yang Kedubes bekerja disana. Zana akan ke Bandung. Lalu di Jakarta, tinggal aku dan Maxi. 

Yeah, kami lagi-kami lagi. Aku dan Maxi memang duo yang tidak terpisahkan. 

Buktinya meski kami sering baku hantam, Maxi selalu rela mengantar-jemputku. 

"Besok tidak usah menjemput. Aku mau tidur sampai siang," kataku seraya melepas helmet dan menyerahkannya pada Maxi.

Cowok itu mendengus. "Siapa juga yang mau menjemput."

Aku berusaha tabah karena hari ini Maxi bersedia menjadi supirku seharian. "Ya sudah sana pulang," usirku sehalus mungkin yang membuatnya mengetuk kepalaku kesal. Sekejap kemudian, motor matic putihnya sudah melesat pergi. 

Aku beranjak ke rumahku, tepat saat pagar di belakangku terbuka, pagar di seberang rumahku.

"Lyra."

Jantungku mencelos.

Itu suara Saverio. 

Aku enggan berbalik, hendak meneruskan langkah agar segera masuk rumah, tapi bahuku sudah diraih sampai kami berdiri berhadapan. Untuk sesaat aku terpaku pada netra cokelat muda di hadapanku, yang menatapku sendu.

Rambut cokelat gelapnya sedikit berantakan oleh angin malam dan tanganku hampir terulur untuk merapikannya. Hanya saja, itu terasa salah dan aku menahan tanganku di sisi tubuh, mengepal.

Tidak, aku tidak boleh lagi merapikan riap rambutnya dengan tanganku. Kami bukan lagi Lyra-Saverio yang seperti dulu. 

"Sudah lulus ya," ia mengawali percakapan, aku mengangguk kaku. "Mau lanjut kemana?"

"UNJ."

"Ambil jurusan apa?"

"Tata Boga."

Saverio langsung tersenyum lebar,  senyum yang kurindukan. Matanya menyipit bak bulan sabit. Dan binar matanya... seperti segala hal masih baik-baik saja. Seolah tidak ada yang salah dengan kami yang berdiri berhadapan, dengan pusara rindu yang sebenarnya masih meletup-letupan. "Lain kali masakkan lagi sesuatu untuk kakak, bagaimana?"

Tenggorokanku tercekat karena permintaannya yang sederhana itu terasa berat kali ini. Aku mengendikkan bahu dengan lemah. "Tidak janji."

Ia lantas memberiku paper bag yang isinya lumayan berat. "Sampaikan terima kasih kakak untuk Mama, bolunya selalu yang terbaik." 

Demikian juga kamu, sudut hatiku seperti mendengar suaranya.

Iya, dulu Saverio pernah bilang begitu. Katanya, aku adalah gadis terbaik untuknya. 

Kadang aku masih terngiang semua kenangan itu, saat berpikir bahwa lelaki di hadapanku ini adalah yang terbaik. Tapi aku tau itu hanya imajinasiku, yang bercampur dengan harapan masa lalu padahal saat ini waktu terus berputar. 

Aku menerima paper bag itu dan berlalu ke dalam rumah, tanpa kata meninggalkan Saverio di depan pagar. Pertahananku hampir runtuh ketika menatap netra cokelat muda itu. Meski aku tidak tau pertahanan macam apa yang sedang kubangun. Mungkin semacam pertahanan 'Dilarang jatuh cinta kepada suami orang!'

Oh, sial. Itu terdengar memalukan sekali. Dan mengenaskan. 

Tapi sebelum memasuki pintu rumah, sempat-sempatnya aku menoleh ke arah belakang tempatku berdiri semula, mendapati Saverio masih disana, tersenyum lembut kepadaku di bawah pijaran lampu jalan.

Senyumnya masih sama. Hanya... binar matanya tampak redup. 

Aku cepat-cepat memasuki rumah dengan mata berair dan perasaan sesak. Seharusnya aku tidak perlu seperti ini. 

Semuanya sudah selesai. Tidak ada yang tersisa di antara aku dan Saverio selain dua orang yang pernah menjalin hubungan secara sembunyi-sembunyi. 

Karena... Saverio adalah tetangga depan rumahku yang selama ini dianggap keluarga. Tapi kemudian baik aku maupun Saverio menyadari, bahwa perasaan kami bukanlah perasaan yang dimiliki selayaknya antar anggota keluarga pada umumnya. 

Atas dasar itu, maka kami sepakat untuk menyembunyikan hubungan ini sampai aku lulus SMA. Dimana itu akan terjadi sebentar lagi. 

Tapi rupanya, pengkhiatan Saverio datang lebih dulu. 

***

Pagi-pagi sekali aku terbangun, bukan karena kebiasaanku, tapi karena mendadak perutku mulas. Pasti karena semalam aku terlalu banyak menaruh sambal di kuah sotoku.

Setelah memenuhi panggilan alam, aku tidak bisa tidur lagi dan turun ke dapur. Aku tidak menyampaikan titipannya pada Mama, hanya menaruhnya di meja dapur. Kulihat Mama sedang memasak nasi goreng untuk sarapan.

"Kacang polongnya yang banyak, Mam." Aku nyempil dari balik bahunya, membuat Mama berjengit kaget.

"Bisa tidak, tidak membuat Mama kaget?!" 

"Uh, Mama. Selalu memarahiku. Aku kan tidak mengagetkan Mama. Maksudnya, tidak dengan sengaja."

Mama mendengus melihatku. "Oiya, itu dari siapa?" Menunjuk paper bag dari Saverio semalam. 

"Dari Saverio." 

"Kamu sudah minta maaf?"

Aku menaikkan sebelah alis. "Memang aku salah apa?"

Mama betulan hampir melemparku dengan spatula kalau Ayah tidak muncul, lengkap dengan pakaian olahraganya yang lepek oleh keringat. Pasti baru selesai lari pagi.

"Ayah lari pagi lama sekali," komentar Mama. Nasi gorengnya sudah matang dan sedang dipindahkan ke piring. 

"Ayah lari pagi bersama Saverio, sambil mengobrol juga. Sepertinya dia jadi lebih dewasa setelah menikah," sahut Ayah seraya duduk untuk meneguk segelas air mineralnya, sebelum meraih koran di sudut meja. 

"Memangnya pernikahan seajaib itu? Kalau begitu aku juga mau menikah biar cepat dewasa," sambungku asal.

Ayah menjitak kepalaku pelan. "Kasihan suamimu kalau punya istri masih kekanakkan begini."

"Tidak juga, Ayah. Kalau Lyra menjadi seorang istri, suaminya bakal bahagia karena ia ceria." 

Aku menoleh ketika suara Saverio terdengar di dapur, menyahuti ucapan Ayah. Dia melangkah mendekat, tubuhnya terbalut pakaian olahraga yang juga sudah lepek oleh keringat. Rambutnya yang berkeringat tampak berantakan. Sialnya lagi, dia duduk di sebelahku.

Sesaat, kami bertatapan. 

Lagi. Tatapan itu lagi. Aku membenci binar sendu itu. 

"Pagi," sapanya ramah.

Aku membuang muka dengan pura-pura batuk lantas meneguk air mineral. Aku cepat-cepat mengambil piring nasi gorengku dan beranjak pergi.

"Kamu mau kemana?" Ayah menatapku heran.

"Kamar. Aku mau menonton film." 

Mama berdecak malas, namun pada akhirnya membiarkanku dan langsung mengajak Saverio ngobrol, berbicara seputar kehidupan barunya sebagai suami, dan lain-lain.

Untung saja aku melarikan diri. Kupingku tidak perlu jadi panas dan berasap karena Mama pasti akan memuji-muji Angela, atau seseorang akan mendapati wajahku tampak murung dan... hampir menangis lagi. 

***

Ponselku berbunyi tak lama setelah aku menikmati nasi goreng sekaligus oppa berwajah bening. Rasanya nasi goreng ini jadi lebih enak berkali lipat.

'Sedang apa?'

Dari Maxi, tumben sekali pagi-pagi mengirimi pesan. Aku langsung membalas, 'makan oppa'

'Dasar kanibal!' rutuknya. 

'Maksudku, makan dan lihat oppa'

'Dasar rakus! Pagi-pagi sudah makan'

Memang aku ini nista sekali di mata Maxi. Lagipula ia mengataiku seperti ia bersih dari dosa dan maksiat saja. Namun aku mengabaikannya karena pesannya tidak berfaedah dibanding nasi goreng dan oppa. 

Tak lama ponselku berdering oleh telepon. Masih dari Maxi.

"Apa?" Sentakku kesal. Ia mengganggu pagi tenangku yang damai.

Cowok itu terkekeh di seberang sana. "Cuma mau mengganggu."

Aku berdecak malas. "Sahabat jahanam."

"Tolong berkaca siapa yang jahanam." 

"Lalu apa maumu?"

"Aku bosan. Ayo keluar." 

"Nanti siang saja."

"Oke. Nanti siang kujemput." Kan, dia ini memang bisa diandalkan untuk urusan jemput-menjemput. 

"Hmm." Aku mematikan ponsel, tidak bertanya lebih lanjut kemana tujuannya. 

Kalau bersama Maxi, pos ronda yang kumuh bisa serasa bioskop. Bersama Maxi, bioskop yang classy juga bisa berasa pos ronda. Intinya, semua sama saja kalau bersama Maxi. Sungai Han pun bisa berasa parit kalau bersamanya.

***

Maxi akan datang sebentar lagi. Rumahnya hanya beda beberapa blok dari rumahku, tapi kadang ia bertingkah seperti tinggal di planet lain. Bawel menyuruhku bersiap saat ia sendiri baru selesai mandi. 

Aku sudah siap dengan pakaianku. Hanya jeans hitam dan kaus hitam belel yang kata pegawai tokonya sedang tren. Ya sudahlah, toh juga aku tidak punga kaus belel begini. Masalahnya, Mama pernah hampir menyumbangkan kaus yang baru kubeli itu karena katanya sudah lusuh.

"Ya ampun, Mam, ini namanya tren." Aku membantah sok tau, padahal hanya menggubah kalimat pegawai toko saja.

Setelah mengenakan sepatu, yang akhirnya kuganti lagi dengan sandal Cortica favoritku, aku duduk di kursi teras, menunggu Maxi.

Namun tanpa kuduga, Saverio membuka pagar rumahku. Tubuh tinggi tegapnya yang dibalut setelan kerja rapi beringsut menghampiri. 

"Mau kemana?" Dia bertanya. 

"Keluar."

"Dengan Maxi?"

"Hmm. Yang bisa kusuruh menjemput hanya Maxi," sahutku cuek sembari menatap ke arah lain, menghindari tatapan matanya itu. 

Saverio menghela napas pelan. Ditatapnya sandal yang kukenakan, sebelum meraih sepatuku dan berlutut di hadapanku. Dia melepas sandalku dan menggantinya dengan sepatu, mengikat talinya dengan simpul pita yang rapi, tanpa kata. 

Sudut hatiku berdenyut sakit saat dia berlutut dan mengikatkan tali sepatuku. Rambut cokelat gelapnya seolah memanggilku dengan bisikan halus, usap aku seperti kamu selalu melakukannya! 

Seperti dulu. 

Aku bisa gila kalau berdekatan dengannya seperti ini terus.

Jadi aku menarik kaki kiriku yang tali sepatunya belum diikat, dan membungkuk untuk mengikatnya sendiri. Saverio lantas mengusap rambutku dengan lembut, sentuhan pertamanya padaku setelah pernikahan itu, membuat tenggorokanku tercekat lagi. 

Tatapan itu... Saverio, bisakah dia berhenti menatapku seolah sedang memohon sesuatu? 

Aku tidak bisa. 

Tahan, Lyra. Jangan nangis lagi. 

"Bisakah kamu tidak sedekat itu dengan Maxi?" Pinta Saverio dengan suara lirih.

Aku menghela napas keras. "Bukan urusan kakak."

"Urusan kakak." Dia menekan nada suaranya. Namun suara itu terdengar frustasi dan menyedihkan. "Kamu masih urusan kakak, Lyra. Selamanya begitu."

Aku mendongak ke arahnya, netra cokelat mudanya balas menatapku lekat. Ketika melihat binarnya yang frustasi, aku takut kalau aku jadi lebih frustasi dari ini. Aku tidak mau berpikir bahwa sebenarnya Saverio tidak bahagia di hari pernikahannya yang bahkan belum genap seminggu.

Tapi sialnya pikiran itu menyelusup ke benakku begitu saja. Membuatku menyadari bahwa Saverio memang tidak terlihat bahagia. Dia hanya terlihat seperti permukaan laut dalam yang tenang.

Jadi aku berdiri, menyamankan posisi sepatuku sebelum beranjak, dan berujar dingin, "Bukankah kita sudah selesai?"

Saverio terdiam. 

Kemudian aku melanjutkan dengan kekecewaan yang terasa menyayat, "Iya, kita sudah selesai. Tanpa kata." 

***

[] 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status