Share

9 - Menyerah

Sejak kapan aku menangis? 

Aku juga tidak tau. Aku menyusut air mataku dengan punggung tangan dan membalas tatapan Maxi. "Aku mimpi jadi Ratu, tapi tau-tau saja Rajanya pergi meninggalkanku," jelasku datar. "Bukankah mengenaskan?"

Bukannya simpati, Maxi malah mendengus. Caraku bercerita memang agak tengil untuknya. Tapi aku hanya tidak ingin orang lain tau apa yang sedang kurasakan. 

Aku tidak mau orang lain tau aku sedih, apalagi sedihnya gara-gara Saverio. 

Aku lantas meraih bungkusan di tangan Maxi dan membukanya, seporsi nasi padang yang sambal hijaunya banyak! 

Senyumku langsung mengembang cerah. 

Maxi tau benar apa yang kubutuhkan. Perasaanku kacau balau sejak bangun tidur. Mimpi itu menamparku pada realita menyakitkan, bahwa kenyataannya, Saverio memang meninggalkanku saat aku menaruh kepercayaan dan rasa sayang yang begitu besar, sampai aku tersesat oleh ketakutan dan kebingungan. 

Aku bahkan tidak ingin orang lain tau soal kegundahanku, karena ini memalukan. 

"Setelah ini kita langsung pulang," tukas Maxi, menyuap nasi padangnya dengan rakus. Dilihat dari wajahnya yang masih menguarkan hawa bantal, sepertinya ia juga bangun siang. Dan akibat dari bangun siang adalah, kami melewatkan sarapan.

Aku mengangguk sekenanya. Kami selesai makan dengan cepat dan aku hanya menaruh koper besarku di sudut kamar dekat lemari tanpa membereskannya. Bahkan kami hanya membasuh wajah sebelum akhirnya pulang ke rumah. 

Dan mendapati Bunda Maxi ada di rumahku dengan wajah cemas.

"Darimana saja kalian?!" Mama melotot ke arah kami dengan tangan berkacak pinggang. Aku melirik Maxi berharap ia mampu menjawab sesuatu, tapi cowok itu malah melirikku.

Aku menelan ludah. "Jalan-jalan shubuh."

"Jalan-jalan shubuh," desis Mama kesal. "Mobil tidak ada, anak tidak ada, tidak bisa ditelepon, siapa yang tidak panik?"

Oh. Jadi ponsel kami tidak ada yang aktif? "Mam, kan pakai mobil Maxi."

"Oke. Mobil Bundanya Maxi," ralat Mama kesal.

"Iya, tapi kan tidak pakai mobil Mama."

"Kamu pikir Mama khawatir soal apa? Mama khawatir kamu hilang." Mama akhirnya menghela napas panjang dan raut wajahnya lebih terkontrol. "Dan kamu, Maxi, bisa-bisanya kamu pergi pagi-pagi buta tanpa ijin, membawa anak gadis orang pula."

Maxi gelagapan, Bundanya hanya mengamati bagaimana anak bungsunya diomeli ibu tetangga. Pada akhirnya, Maxi menunduk. "Maaf, Mam."

"Jangan diulangi," hardik Mama. "Kalau kamu kelayapan seperti ini lagi, Mama tidak akan bolehkan kamu tinggal di kost!" 

Aku meringis, ancaman Mama biasanya tidak main-main. 

Tapi aku bingung. Kenapa Mama harus khawatir? 

Bukankah Mama dan Ayah sering sibuk dan sering membiarkanku di rumah? Lalu kenapa tiba-tiba saja keberadaanku menjadi dikhawatirkan? 

Aku akhirnya menatap Bunda Maxi dan tersenyum lemah. "Maaf, Bunda."

"Jangan diulangi lagi, kamu anak perempuan, Lyra. Bahaya keluar tanpa pamit seperti itu."

"Iya, Bunda."

"Ya sudah sana, sekarang kembali ke habitat masing-masing." 

Maxi langsung menyeretku ke kamarku sendiri, dan ia merebahkan diri di kasurku yang rapi. "Entah Ibu siapa yang lebih galak, tapi aku bersyukur kita tidak dijewer."

Sontak aku tertawa. Tahun lalu kami berdua dijewer karena baru pulang lewat tengah malam. Sebabnya, aku memaksa Maxi menemaniku menonton konser hingga larut. 

Cowok itu adalah partner in crime sepanjang masa. Meski sambil menggerutu, pada akhirnya dia juga terlarut dalam euforia itu. 

Sedangkan Saverio, dia sama sekali tidak mengijinkanku menonton konser.

Aku lantas memberi pijitan di bahu Maxi dengan asal. "Aku betulan berterima kasih pada sahabatku yang satu ini," ujarku random.

Maxi mengerutkan kening, menatapku aneh, namun ia tak ambil pusing dan menyuruhku memijit bahunya dengan lebih baik. "Nah iya, disitu. Rasanya pegal sekali jadi supir belakangan ini."

Ia jelas-jelas menyindirku yang memang belakangan ini membuatnya menjadi supir tak resmiku, supir tanpa gaji. 

"Lebih kencang sedikit! Ahh!"

Aku memberi tenaga tambahan, dan cowok itu mengerang sakit. 

"Pelan-pelan, argh! Ohh!! Sakit, tau!" 

Dan tau-tau saja pintu kamarku dibuka dengan dobrakan yang sama sekali tidak selow. 

Saverio, dengan mata sipitnya yang membelalak, menatap kami marah. "Apa-apaan kalian?!!" bentaknya. 

***

"Kalian bersahabat bukan, sih?" Mama menatap kami bergantian, membuatku cemberut sewot.

"Iyalah!"  balasku kesal dengan tangan bersedekap. 

Masalahnya, aku dan Maxi dituduh melakukan sesuatu yang iya-iya gara-gara Saverio membuka pintu kamar saat aku sedang memijat Maxi dan cowok itu mendesah, sebenarnya lebih tepat mengerang sakit. 

Saverio marah, seperti ketidaksukaannya selama ini kalau aku dekat dengan Maxi. Tapi aduannya kali ini benar-benar merepotkan, dan menyebalkan. Karena ini membuat nama baikku tercemar. 

Meski aku tak yakin kalau namaku memang baik.

Pokoknya, Saverio menyebalkan karena harus membuatku diomeli untuk kedua kalinya hanya dalam rentang waktu tidak sampai 10 menit. 

Sial. 

Aku merengut kesal, melirik Saverio yang menatapku dengan tangan bersedekap dan ekspresi datar. Aku mencibir kesal ke arahnya, dan Saverio malah tertawa ringan seolah aku anak kecil merajuk. 

"Kak Saverio salah paham," elakku. 

"Sudah, kalian ini benar-benar. Dan kamu, Lyra. Bisa-bisanya..." 

Yeah, aku lagi yang disalahkan. 

Meskipun ini perkara kecil karena salah paham, tapi sepertinya Mama selalu beranggapan kalau aku yang salah. Apa-apa aku... 

Pada akhirnya, Mama mengijinkan Maxi pulang dan masalah ini tidak memiliki kesimpulan lain selain ngambang. 

Sepertinya Mama masih kesal sehingga mudah dikonfrontasi. 

Mama beranjak ke dapur, lanjut memasak untuk dibawa berkunjung ke rumah salah seorang temannya, sementara aku dan Saverio masih di ruang tamu.

Aku masih jengkel, tapi sepertinya Saverio merasa cukup puas melihatku diomeli. Lebih tepatnya, merasa puas karena mendapat dukungan atas ketidak sukaannya kalau aku dekat-dekat Maxi. "Kakak menyebalkan!" 

"Terima kasih." Saverio hanya tersenyum, tapi kali ini terasa betulan menyebalkan. 

Aku mendengus, hendak meninggalkan Saverio, tapi dia sudah berdiri di hadapanku dan menarik tanganku. "Apa?"

"Bisa, jauhi Maxi? Sudah Kakak bilang Kakak tidak suka kamu dekat-dekat dengan Maxi." 

"Astaga?! Maxi itu sahabatku yang lebih kental dari darah, mana bisa? Lagipula Kakak siapa melarangku dekat-dekat Maxi? Kakak bukan siapa-siapa dan bukan orang yang bisa melarangku mau dekat dengan siapa. Jadi berhentilah dengan semua omong kosong itu! Cinta? Itu hanya sampah!"

Rahang Saverio mengetat. 

Aku melepaskan tanganku, namun Saverio meraihnya lagi dan menarikku keluar menuju mobilnya, memasukkanku dengan tatapan penuh peringatan, dan memasangkan sabuk pengaman untukku. 

Wajahnya datar tanpa ekspresi. Tapi aku tau lebih baik. Saverio sedang menahan banyak emosi dalam benaknya. Belakangan ini, Saverio terlihat memiliki banyak emosi terpendam yang tak kupahami. 

Usai memasangkan sabuk pengaman untukku, Saverio memandangku selama sesaat, pandangannya melembut sebelum dia mendekatkan wajahnya. 

Aku blank seketika. 

Gila, sempat-sempatnya dia memagutku selama beberapa saat. 

Aku mendorongnya. "Kakak apa-apaan?!"

Namun Saverio setuli itu sampai tidak menggubris pekikanku dan memutari mobil setelah menutup pintu, duduk di bangku kemudi, lalu mulai menyetir tanpa kata. 

Kami seperti hanya berputar di kompleks perumahan yang memang luas, tapi akhirnya mobil melaju di atas jalan raya menuju Jakarta Utara, melewati jalan flyover, menerjang macet demi menuruti entah apa maunya lelaki di sebelahku ini.

Mobil lantas memasuki area Tanjung Priok yang ramai, terus melaju sambil memencet klakson dengan jendela terbuka dan beberapa orang balas menyapanya. Dan kami berhenti di salah satu sisi dermaga yang sepi, dengan muka menghadap laut.

Tidak ada satupun dari kami yang bicara, sehingga situasi jadi begitu sunyi oleh keheningan yang tidak nyaman.

Aku meremat jemariku pada sabuk pengaman, dengan pandangan lurus ke arah lautan di depan. Kapal-kapal yang datang dan pergi jadi sesuatu yang lebih menarik untuk kuamati. 

Namun karena jengah, aku melirik Saverio. 

Dia tengah bersandar pada kursi kemudi dengan mata terpejam. Napasnya tenang dan teratur. Tatapanku turun, dan tidak ada satupun cincin yang melingkar di jarinya, seperti seseorang yang baru menikah dan biasanya selalu mengenakan cincin di jari manisnya. 

Tapi dia tidak. Jangan-jangan cincinnya hilang, atau ia lupa menaruh dimana dan tertinggal.

"Kemana cincin Kakak?" tanyaku akhirnya. 

Saverio tidak menjawab, hanya menatap minta jemarinya yang tidak terpasang cincin apapun. 

Menyadari dia tidak akan menjawab, aku menghela napas. 

Aku memang tidak seharusnya bertanya. Dia--

"Hidup kakak dibeli," ujarnya tiba-tiba.

Aku mendongak ke arah Saverio, bingung dan kaget, netra cokelat muda itu menatap lurus pada lautan di hadapan kami. 

Binar matanya kosong. Ekspresinya hampir tidak bisa kutebak. 

"Angela," dia melanjutkan, "Papanya membuat bisnis Papa gulung tikar dan terancam dipenjara dengan bermacam tuduhan berat. Tuduhan itu akan memberatkan Papa dan mengancam perusahaan. Kalau tidak mau, sebagai gantinya, kakak harus menikahi anaknya." 

Saverio membuang pandangan ke arah lain, ke arah manapun asal tidak ke arahku, dia menghindari tatapanku. 

Apalagi di saat aku juga terdiam, merasa tidak siap mendengar apa yang dikatakan Saverio selanjutnya. 

"Tidak ada sedikitpun niat kakak untuk berkhianat. Sekedar berpikir meninggalkan kamu pun tidak. Tidak sama sekali."

Aku terpaku pada kata-katanya, berusaha menatap netra cokelat muda itu untuk mencari tau kebenarannya. 

Tapi Saverio menghindari pandanganku. Laki-laki itu tampak gusar, seolah dia terdesak sampai ujung jurang dan satu-satunya pilihan untuk menyelamatkan diri hanyalah loncat ke bawah sana. 

Tanpa ada jaminan bahwa dia akan selamat. 

Sedangkan aku... terlihat seperti hanya menyaksikan bahwa Saverio terdesak. 

"Kakak tau sikap Kakak benar-benar memuakkan belakangan ini, Kakak minta maaf." Sekali lagi Saverio berujar tanpa menatapku, membuatku dilanda kebingungan. "Kakak takut kamu pergi. Kakak takut kehilangan kamu." 

"Kenapa?" Aku tercekat dengan air mata tertahan di pelupuk mata. Sedikit lagi, air mata itu betulan menetes. "Kenapa baru mengatakannya sekarang?" 

Seandainya... 

Seandainya dia mengatakan semua itu sebelum menikah... 

Tapi aku bahkan tidak yakin bisa membantu kalau mendengar semua ini lebih awal. Memang apa yang akan kulakukan lebih awal? 

Menolong Saverio menyelamatkan perusahaan keluarganya? Tidak mungkin, aku tidak memiliki kekuatan untuk itu. 

"Kakak masih ingin berjuang agar kamu tidak pergi. Tapi situasi ini menyiksamu. Dan kakak pikir, sebaiknya kakak berhenti. Hanya saja kakak tidak ingin kamu berpikir bahwa kakak tidak menyayangi kamu lagi. I love you still for a long time. And i always do, Schatz." 

Dan aku diam, tenggelam dalam kata-katanya yang bermunculan di benakku.

Dia akan tetap mencintaiku untuk waktu yang panjang. Dan dia akan selalu mencintaiku. 

Miris sekali. 

Saverio lantas mengeluarkan sebuah kotak yang ukurannya lebih besar dari rubik dan terbuat dari kayu berplitur. "Sudah lama kakak membuatnya. Ambil ini." 

"Ini apa?"

"Kenang-kenangan terakhir." Saverio tersenyum, wajahnya tampak getir oleh keadaan yang membuatnya menyerah. "Kakak tidak akan mengganggumu lagi setelah ini."

Pada kotak itu, terukir huruf-huruf yang dibuat oleh tangan yang tidak terampil membuat ukiran. Aku tau, huruf-huruf itu diukir sendiri oleh Saverio. 

Dan itu bukan hal yang mudah. Saverio meluangkan waktu, di antara sekian banyak tanggung jawab yang dibebankan di pundaknya, hanya untuk mengukir sebuah nama disana. 

Namaku. 

l-y-r-a e-l-i-z-a-b-e-t-h

Dengan ujung jari merasakan ukiran huruf-huruf acak itu, aku kembali menatap lautan. Kapal-kapal bermuatan masih tampak sibuk hilir mudik, riuh rendah suara pelabuhan terdengar samar di kejauhan, bersamaan dengan suara burung camar. Aku merasa gamang.

Dan hampa. 

Inikah akhirnya? 

Akhir buat kisah yang tadinya kupikir tak pernah usai. 

"Lyra, Scahtz." Saverio kembali memanggil. 

"Hmm?" sahutku lirih. 

"Bisa kakak memelukmu? Ini-- akan jadi yang terakhir." 

Aku menoleh menatapnya, merasa kacau oleh perpisahan ini. "Ya," balasku pelan. 

Saverio juga menoleh, menatapku dengan sama kacaunya. Dan saat ia meraihku dalam pelukannya yang hangat itu, aku merasakan lelaki yang selalu terlihat baik-baik saja ini menangis di bahuku. 

Isakannya semakin keras dan ia sesenggukan. 

Aku merasakan pelukannya semakin erat, amat berlawanan dari kalimat perpisahannya yang akan membiarkanku pergi. 

Sedalam inikah perasaannya? 

Beginikah akhirnya? Ketika Saverio menyerah? 

Dan bukankah ini adalah yang selalu kuharapkan? 

***

[]

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status