Kasih sampai di loker karyawan dengan napas terngah-engah. Beruntung dia masih belum terlambat. Masih ada beberapa menit tersisa. Dia segera menyimpan tas dan ponselnya ke dalam loker, lalu mengenakan celemek dan topi yang sudah disiapkan untuknya. Semua itu diberikan pada Kasih setelah sesi wawancara dengan bagian HRD kemarin. Dia pun langsung menyimpannya ke dalam loker yang diberikan untuknya.
Dia bergegas bergabung dengan para cleaning service yang sudah berdiri membuat lingkaran di dekat pantry. Sang leader yang bertugas mengatur pekerjaannya adalah seorang operator di bagian GA. Lelaki bertubuh subur itu menatap satu per satu para pekerja.“Selamat pagi semua!” sapanya sambil menatap satu per satu dari mereka. Total ada empat orang yang masuk shift pagi, termasuk Kasih yang menggantikan salah satu cleaning service yang mengundurkan diri.“Pagi, Pak Asep!” ucap mereka serempak.“Terima kasih sudah datang tepat waktu, ya! Hari ini pembagian tugasnya masih seperti biasa. Ibro di gardening, tolong pangkas rumput bagian belakang pabrik yang sudah agak tinggi, terus nanti siang buat lubang untuk tanam pohon di halaman depan. Akan ada customer dari Jepang yang datang lusa, dan kita mau memberikan momen berkesan dengan memberikan kehormatan pada mereka untuk menanam pohon itu. Nanti papan namanya akan saya orderkan siang ini!” jelasnya. Lelaki yang dipanggil Ibro itu mengangguk.“Terus Esih, kamu utamakan dulu kantin karyawan. Saya lihat pagi tadi sangat berantakan bekas shift malam makan. Baru setelah itu ke area mushola dan area produksi bagian belakang!” tukasnya lagi menjelaskan.“Baik, Pak!” Esih mengangguk sopan.“Untuk Ajat, pastikan kejadian kemarin tak terulang, ya! Pasokan galon ke semua divisi harus dicheck berkala! Saya gak mau lagi ada komplenan kamu malah tiduran, sedangkan kerjaan kamu terbengkalai!” tukasnya seraya melirik kepada Ajat.“Maaf Pak, saya salah! Kemarin memang lagi gak enak badan. Kalau gak masuk, nanti kena potongan! Maaf banget, Pak!” Ajat tampak memasang wajah penuh rasa sesal.“Oke, saya maafkan! Tapi tolong jangan diulangi, ya!” Asep bertutur tetap lembut dan sopan.“Terus kamu yang baru, Kasih ‘kan ya namanya?” Asep melirik Kasih.“Iy--Iya, Pak!” Kasih tergugup.“Kasih, kamu menggantikan Bu Wati. Bagian dia itu area office, pantry dan bagian depan lobi. Cuma di sini kamu harus kerja keras. Karena kamu ngepel dan nyapu gak hanya sekali. Selain itu, tugas kamu setiap pagi setelah menyapu, maka kamu harus melayani para staff yang meminta kopi.Jadi nanti kamu ambil nampan ini dan membagikan air putih dalam gelas ke kubikel semua staff, ya! Terus kalau ada yang minta kopi, kamu buatin. Nah, sebetulnya jam kerja kamu dua jam lebih awal.Jadinya mulai besok, kamu masuk jam enam, bukan jam delapan. Jadi sebetulnya jadwal kamu pulangnya jam tiga siang dan sabtunya libur. Tapi biasanya ada lembur otomatis selama dua jam, jadi tiap hari kamu pulangnya tetap jam lima sore. Paham?” Asep menjelaskan.“Paham, Pak!” Kasih mengangguk.“Oke, briefing kita selesai. Mari kita mulai hari ini dengan berdoa. Semoga dilancarkan semua pekerjaan kita!”Mereka menunduk sejenak. Lalu usai berdoa semuanya membubarkan diri dan mengambil alat kerja masing-masing.Kasih mengambil nampan dan mengisi air bening pada beberapa gelas tinggi. Ada sekitar tiga puluh staff yang harus dia layani. Asep mengarahkan dia pada beberapa kubikel dan memperkenalkannya. Lalu dia meninggalkan Kasih setelah dirasa dia paham. Asep sendiri merangkap sebagai staff GA yang bertanggungjawab terhadap pemesanan catering karyawan, pengaturan mobil operasional, pengadaan seragam, serta pastinya terhadap event-event customer juga dan lain-lain.Kasih mendekat dengan nampan di tangannya pada Vania tengah menyuap setangkup roti bakar yang dibawakan Reyvan---seniornya di divisi business development. Meskipun sudah sarapan, tetapi sayang jika harus melewatkan momen spesial dibawakan sarapan oleh Reyvan---assisten managernya yang masih sangat muda dan tentunya masih single.“Permisi, Pak, Bu!” Kasih meminta izin untuk masuk ke kubikel Vania di mana Reyvan duduk di sana juga.“Pagi … eh, kamu baru, ya?” Reyvan tersenyum ramah. Dia menatap wajah Kasih yang tampak gugup. Tangannya bahkan tampak gemetar ketika meletakkan gelas berisi air bening ke atas mejanya.“Iya, Pak! Saya menggantikan Bu Wati!” tukas Kasih setelah menyimpan gelas di dekat Vania yang tak mengacuhkannya.“Wah, semoga betah, ya! Umur kamu berapa, sih? Baru lulus, ya?” tanyanya seraya menatap wajah Kasih yang memang tampak lebih muda dari pada usianya.“Saya sudah dua puluh tahun, Pak! Nganggur dua tahun kemarin.” Kasih menjelaskan seraya memegang nampan dan tetap menundukkan pandangan.“Oh gitu, yang semangat ya kerjanya! Nanti jam sepuluh buatkan saya kopi, ya!” Reyvan mengangguk dan tersenyum menatap Kasih.“Baik, Pak! Makasih, Pak! Permisi!” Kasih bergegas pergi. Lirikan sinis Vania membuatnya benar-benar merasa tak nyaman.Kasih berjalan kembali ke pantry, dia bergegas menyimpan nampan dan segera mengambil alat pembersih kaca yang ada di tempat peralatan kerja. Namun suara seseorang derit pintu pantry membuat dirinya menoleh. Vania berjalan mendekat ke arahnya.“Kasih! Kamu lancang banget, sih! Bari hari pertama kerja sudah caper!” Vania mendekat dan menatapnya dengan penuh kemarahan.“Caper gimana, Mbak?” Kasih bingung dan menatap sang kakak.“Eh ini di kantor. Kamu panggilnya Ibu, jangan Mbak!” hardik Vania bertambah kesal.“Eh maaf aku lupa, Bu. Caper gimana, Bu?” Kasih mengulang kalimatnya.“Sok polos lah kamu! Nih saya kasih tahu, ya! Pak Reyvan itu sebentar lagi jadi calon suami saya! Jadi jangan sok keganjenan senyum-senyum di depan dia! Awas aja kalau makin lancang! Kontrak kamu bakal segera dihabiskan!” gerutunya seraya menatap Kasih dengan tajam.Kasih belum menjawab apa-apa ketika pintu pantry terdorong dari luar. Asep yang muncul di sana dan menatap Vania dan Kasih bergantian.“Eh ada Mbak Vania cantik. Ada apa ini pagi-pagi?” Dia melirik wajah Kasih yang tampak tertekan.“Eh Pak Asep, saya lagi ngasih tahu OB baru ini, Pak! Takutnya nanti pas buatin kopi buat Pak Reyvan salah takarannya. Baik-baik ya, Mbak kerjanya! Permisi, Pak!” Vania tersenyum dan menepuk bahu Kasih dengan lembut. Lalu berjalan meninggalkan Asep dan Kasih di sana.“Mbak Vania itu salah satu staff paling populer di sini, Kasih. Dia itu cerdas dan cekatan, sudah gitu samah pada semua orang! Makanya dia jadi kesayangan Tuan Gasendra dan Aoyama San.” Asep menjelaskan.Kasih hanya tersenyum dan mengangguk saja. Hatinya sedih dan terluka mendengar semua itu. Kenapa kakaknya bisa baik pada semua orang, sedangkan tidak pada dirinya. Seburuk itukah dirinya yang memang selalu dianggap bodoh di keluarga?“Eh sampai lupa … hmmm kamu gak berbuat salah kan sepagi ini pada bos besar?” Asep menatap Kasih.“Enggak, Pak! Ketemu saja belum!” Kasih cukup terkejut dengan ucapan Asep.“Syukurlah kalau gak ada, soalnya saya kaget saja, sepagi ini kamu diminta Tuan Gasendra ke ruangannya. Ditunggu sekarang katanya!” tukasnya.“Ada apa ya, Pak? Saya gak akan dipecat ‘kan Pak?” Kasih menatap Asep takut-takut. Dia teringat ancaman Vania tadi yang mengancamnya akan menghabiskan kontraknya.“Ada apa ya, Pak? Saya gak akan dipecat ‘kan Pak?” Kasih menatap Asep takut-takut. Dia teringat ancaman Vania tadi yang mengancamnya akan menghabiskan kontraknya. Asep terkekeh dan menggeleng kepala. “Gak ada lah, mana mungkin kalau gak salah tiba-tiba dipecat. Bisa jadi kamu tadi kurang bersih ketika membersihkan kaca ruangannya atau ada yang salah menata barangnya ketika habis mengelap meja. Soalnya dia orang perfeksionis,” jelas Asep. “Terus kalau saya salah gimana, Pak?” Wajah Kasih cukup pucat. “Pergilah dulu ke sana. Itu juga baru dugaan saya. Bisa jadi dia mau berterima kasih karena kerjaan kamu rapi. Intinya selama kita melakukan hal benar, jangan pernah takut. Tak ada orang sempurna yang tak melakukan kesalahan. Gih, sudah ditunggu!” titahnya lagi seraya berjalan meninggalkan Kasih dengan hati berdentum-dentum. Kasih menatap pintu kaca itu dengan ragu. Di dalam tampak ada Vania yang tengah tersenyum dan mengangguk-angguk di depan Tuan Gasendra. Kakaknya tampak berbicara
“Oh, padahal tadi bisa nebeng Bu Vania, Kas. Dia alamatnya di sana juga. Ya sudah saya anter, yuk! Saya pernah beberapa kali juga ke rumah Bu Vania, searah kok sama perumahan tempat saya! Yuk!” tukas Reyvan yang tak mengetahui jika Kasih adalah adik kandung staffnya. Awalnya Kasih hendak menolak. Namun tiba-tiba langit mendung menurunkan butiran hujan yang membuat Kasih tak punya pilihan. Kasih pun naik ke sisi sebelah kiri Reyvan. Mobil melaju meninggalkan kantor dan menuju ke perumahan tempatnya tinggal. Perjalanan cukup macet. Jarak dari perusahaan tempat mereka bekerja dengan perumahan tempat tinggal Kasih bisa menghabiskan waktu satu jam jika kondisi ramai lancar. Namun karena tersendat dan hujan perjalanan pun menjadi terasa lebih lambat, atau mungkin karena Kasih juga tengah merasa takut dan tak nyaman berada dalam satu mobil denga Reyvan.“Gimana kerja hari pertama? Betah?” tanyanya seraya tersenyum. Hanya menoleh sekilas pada Kasih lalu kembali melempar pandang ke depan. “
Sok alim kamu! Kamu pikir Mbak gak tahu kamu habis ngapain tadi, hah? Dasar sok suci.” Kalimat Vania menukik tajam. Kasih menatap wajah kakaknya dengan pandangan mengembun. Setengah mati dia menekan perasaan yang selama ini direndahkan. Namun tetap saja rasanya sakit diperlakukan demikian. “Salah aku apa sama, Mbak? Kenapa Mbak selalu seperti ini sama aku? Apa Mbak gak takut jika nanti semua perbuatan buruk Mbak akan balik pada diri Mbak sendiri?” tanya Kasih dengan suara gemetar. “Eh, baru kerja jadi OB sehari doang sudah songong. Memang kamu itu gak tahu diri ya. Mbak sudah susah-susah masukin kamu kerja biar kamu sedikit berguna. Eh malah neglunjak! Kamu pikir Mbak gak tahu kalau kamu tadi pulang ikut Pak Reyvan. Kamu pasti sengaja mau goda dia di belakang Mbak kan? Kamu pasti iri kan? Kamu pasti iri sama Mbak yang selalu lebih beruntung dari kamu!” oceh Vania. “Vani, Kasih! Kalian itu kebiasaan, ya! Ribut mulu kalau ketemu!”tegur Ibu. Perempuan paruh baya itu baru saja turun da
"Caranya?” Kasih menatap dengan tatapan polosnya. “Lu jadian sama gue!” tukas Evan. “Ih, kok jadi kesitu.” Kasih menautkan alis. Bingung dengan rencana Evan yang diluar nalarnya. “Kalau gak mau, ya sudah! Kalau lu setuju tinggal bilang gue. Gue juga gak maksa, cuma mau bantu lu dan lu juga bisa bantu gue!” Evan mengedik santai. Dia melenggang menuju sepeda motornya dan segera menyalakannya. “Aku gak ngerti rencananya kayak gimana. Lagian maen jadian aja. Kenal aja baru seminggu. Lihat muka kamu aja belum, Mas. Sama aja kayak beli kucing dalam karung.” Kasih menggerutu seraya cemberut. Tidak mengerti dengan jalan pikiran lelaki yang ada di depannya saat ini. Evan terkekeh, kedua matanya tampak menyipit. “Syukurlah kalau lu gak ngerti. Berarti lu gak mencurigai apapun tentang gue. Atau lu gak mau jadian sama gue karena gue cuma tukang ojol yang miskin?” Evan menarik satu alisnya ke atas.“Ih, kok kamu ngomongnya gitu, sih, Mas? Aku jadi takut. Jangan-jangan kamu itu penjahat, ya? L
Getar gawai membuyarkan kembali pikiran Evan. Sebuah pesanan masuk. Evan segera meluncur menuju tempat yang ditunjukkan oleh applikasi pada gawainya. Dia tiba di sebuah rumah mewah. Seorang perempuan paruh baya menunggunya di tepi jalan. Evan mengangguk dan menyapanya. Dia pun menyipitkan mata melihat sepasang lelaki dan perempuan yang tampak baru keluar dari teras dan saling bergandengan. “Kenapa lelaki itu mirip sekali dengan lelaki yang berfoto dengan Mami? Lalu bukankah perempuan itu Tante Niki?” Evan menyipitkan mata. Namun dia tak bisa berlama-lama perempuan paruh baya itu sudah naik ke sepeda motornya. Evan melajukan sepeda motornya menuju sebuah supermarket sesuai yang tertera dalam applikasi.“Ibu mau belanja?” Evan menatap perempuan paruh baya itu ketika baru saja turun di depan supermarket. “Iya biasa, belanja mingguan, Mas. Maklum majikannya royal jadi tiap minggu belanjanya. makasih ya, Mas.” Perempuan itu berjalan menjauh. Antara ragu dan ingin tahu, akhirnya Evan mem
Evan memandang remeh pada Vania. Dia tersenyum miring dari balik maskernya. “Silakan nikmati kemenangan sementaramu, Mbak. Saya pastikan kamu menyesal telah melakukan ini pada kami.” Evan berbicara tenang tetapi penuh penekanan. Vania belum sempat menjawab lagi ketika Evan membalikkan badan dan langsung melangkah keluar. Dia langsung menuju ke tempat di mana sepeda motornya terparkir tadi. Mungkin saja Kasih ada di sana. Namun rupanya gadis yang dicarinya tak ada. Evan memutar pandang ke sekitar. Menelisik kemungkinan keberadaan gadis yang tengah terluka itu. “Dasar cewek!” gerutu Evan seraya mengambil gawai. Dia langsung menelpon nomor Kasih yang memang pernah menghubunginya. Agak sedikit lama mencarinya karena Evan memang belum menyimpan nomor Kasih. Hanya ada empat nomor pada gawai barunya, nomor dua sahabatnya, dirinya dan Mama. Entah kenapa ada gerak dari hati yang mengatakan jika dirinya perlu peduli. Dia mendekatkan gawai itu ke telinganya, ada bunyi tersambung. Evan menun
“Kalau lo udah kayak gini, berarti lo udah siap jadian sama gue! Kita patahkan keangkuhan kakak lo yang sombong itu!” tukas Evan tenang dan datar. Sontak membuat Kasih menelan saliva karena merasa gugup luar biasa. “J--jadian?”Kasih menatap wajah tampan yang membuatnya penuh debar itu. “Ya, gue butuh seorang perempuan tangguh dan yang penting gak matre kayak lo untuk berada di sisi gue. Kalau lo keberatan untuk selamanya, gue juga gak maksa, kok. Kita bisa nikah dengan perjanjian. Yang penting gue bisa bawa lo ke depan bokap dan ngakuin lo jadi calon istri. Lo mau kan nikah sama gue?” Evan berucap dengan tenang. Seolah tak ada getar apapun dari dalam dadanya. “N--nikah?”Kasih menatap Evan tak percaya. “Kita bisa kerja sama. Walaupun gue tahu lo gak cinta sama gue, Kasih. Namun kesombongan kakak lo juga bikin gue gemes. Seolah hidup dia paling mulia dan paling beruntung. Baru jadi staff saja sudah belagu kayak gitu.”Evan berucap datar. “Kerja sama gimana?” Kasih menatap Evan. Bing
Tuan Gasendra masih menempelkan gawai pada daun telinganya. Terdengar suara seseorang yang begitu dia rindukan dari seberang sana. Ketiadaan Evan di rumah itu semenjak kepergian istrinya, membuat hari-harinya terasa kosong. Rasa rindu seorang ayah pada anaknya tak bisa dielakkan. Ya, Tuan Gasendra begitu merindukan kehadiran Evan di rumah itu. “Pah ini Evan!” “Evan! Akhirnya kamu menghubungi Papa juga! Di mana kamu tinggal sekarang, Nak? Papa jemput pulang, ya!” Suara Tuan Gasendra bergetar.Akhir-akhir ini jangankan bisa mengobrol seperti sekarang. Setiap kali dirinya menelpon, Evan selalu menolak panggilannya. Bahkan karena sudah tak tahan merindukan putranya itu, Tuan Gasendra pada akhirnya meminta Kasih untuk berlangganan ojol yang dia kenal betul sosoknya. Setidaknya dia bisa memandang putranya setiap pagi dari balik tirai lobi. “Aku mau ketemu, Pah! Aku mau Papa batalkan rencana perjodohan aku dengan keponakan Tante Niki. Seperti yang aku bilang sama Papa. Aku akan mencari se