Vania terus menjelaskan dengan bersemangat. Rasanya dirinya sudah menjadi orang yang sangat berguna. Memberikan informasi penting untuk calon papa mertua dan lelaki yang dia harap bisa menjadi calon suaminya.Diandra mengangguk-angguk. Dia mendengarkan pemaparan Vania dengan segala analisanya. Benar, memang Vania bisa diandalkan. Itulah satu kesimpulan yang Diandra tangkap.Mereka tak sadar, ada seseorang yang dari jauh memperhatikan. Lelaki dengan hoodie berwarna gelap itu gegas mengirimkan gambar yang didapatnya pada seseorang. [Bos, ini lelaki yang bertemu Vania dan dicurigai sebagai orang dalam dari pihak perusahaan lawan. Lihat dan perhatikan baik-baik lelaki yang ada di depan Vania.] Bobi lekas mengirim pesan. Lelaki itu gegas menghilang setelah mengirimkan sederet gambar dan pesan pada orang yang menyuruhnya menguntit Vania yaitu Evan. Pesan terkirim, tetapi masih centang dua warna hitam. Mungkin lelaki yang membayarnya itu sedang sibuk dan tak sempat membuka laman WA.Bobi
Kasih hampir menjerit ketika merasakan benda kenyal menyentuh bibirnya. Di antara rasa sadar dan tidak, Kasih mendorong tubuh yang terasa menindihnya. “Astaghfirulloh ….” Kasih memegang dadanya yang berdentum-dentum hebat. Dia duduk dengan kaki masih berselonjor. Evan yang terjungkal karena hilang keseimbangan menggaruk-garuk kepala. “Mas!” Kasih menatap Evan ketika kesadarannya telah berkumpul. “Kamu kenapa, sih? Teriak-teriak!” tukas Evan tanpa rasa bersalah.“Aku kira bukan kamu tadi! Astaghfirulloh ….” Kasih berulang kali mengatur napas. “Aku mau pindahin kamu ke atas, lagian kalau mau tidur ya di kamar!” tukas Evan seraya bangkit dan mengambil tas laptopnya. Dia berjalan begitu saja meninggalkan Kasih. Kasih mendengus pelan. Masih kesal dan kaget luar biasa. Dia perlahan memegang bibirnya. Meskipun alasan Evan tak masuk akal, tak akan mengaku juga jika dirinya bertanya. Dia pun mengikuti Evan ke kamar. Ingin rasanya berperan seperti istri sungguhan, tetapi rasanya tak mungki
Dion sudah rapi dengan pakaian formalnya, dia pun mengajak satu orang staff bernama Tiara. Pesan sudah dikirim pada Evan terkait waktu meeting yang sedikit lebih dicepatkan.[Good luck, Bro! Sebelumnya, makasih banyak atas bantuan lo!] Evan mengirim pesan pada Dion.[Sama-sama, Bro!]Dion pun berangkat bersama dengan Tiara menuju hotel tempat janjiannya dengan Hesti---marketing dari perusahaan Hangga Wijaya.Di tempat yang berlainan, Hesti sudah rapi dan sudah tiba di tempat yang dijanjikan untuk meeting dengan Dion. Lelaki yang selama ini berkecimpung di belakang layar dan jarang muncul ke permukaan itu akhirnya mau menampakkan dirinya di dunia perbisnisan demi seorang sahabat yaitu Evan.Tak berapa lama, Dion dan Tiara pun muncul. Mereka berjalan santai menuju ruang meeting yang sudah dibooking untuk acara hari ini.Hesti menyambut Dion dan Tiara lalu mempersilakannya untuk duduk. Keduanya saling bertukar kartu nama dan saling memperkenalkan diri. Dion menatap Hesti yang datang sendi
“Karena dia juga aku mati-matian membela Mas Diandra dan Papa! Aku gak suka dia sok menang, mentang-mentang dia sudah jadi menantu orang kaya terus bisa rendahin aku! Kalau dia bisa, aku yang selalu lebih baik dari dia dalam segala hal, harusnya juga bisa!” tukas Vania dengan nada pongah. Vania masih belum sadar akan takdir dan ketentuan di mana setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan. Hangga mengangguk-angguk mendengarkan semua isi hati Vania yang akhirnya tercurahkan. Semakin yakin dirinya, jika gadis yang ada di sampingnya adalah sosok yang paling tepat untuk dia manfaatkan. “Hmmm … kamu sudah benar, Vani! Kami adalah orang yang tepat untukmu. Andai kamu membantu perusahaan Papa untuk berkembang, nanti juga kamu sendiri dan Diandra yang akan memetiknya di masa depan. Kalian benar-benar jodoh yang tepat!” tukas Hangga sengaja untuk membesarkan hati Vania. Meskipun dia tahu, putranya itu tak menginginkan Vania, tetapi menginginkan Kasih---adik dari Vania. Namun demi mendapat
Kasih sekuat tenaga meronta, tetapi salah satu tangan melingkar kuat pada perutnya. Lalu tiba-tiba bekapan itu pun memudar dengan sendirinya seiring dengan rontaan dia dan tangan yang memegang handuk kecil itu beralih memeluknya. Kasih sudah hampir menjerit seandainya tak sadar dengan bau maskulin yang menguar. Tiba-tiba kepala orang yang merengkuhnya dari belakang itu bertumpu pada pundak kanannya dan menjadikan wajah mereka sejajar, pipi mereka hampir bersentuhan. “Mas, ih! Gak lucu!” Kasih melempar protes pada lelaki yang kini memeluknya dari belakang itu. “Kalau pengen lucu, lihat badut!” jawabnya tanpa mengubah posisi tubuhnya yang merengkuh Kasih dari belakang. “Aku kira, aku diculik!” Kasih masih mengatur napas turun naik karena dirinya benar-benar merasa takut. “Yang berani nyulik kamu, biar aku cincang! Kamu ngapain di sini, Sayang? Ayo temani aku makan!” Suara Evan terdengar lembut. Wajah mereka yang berhimpitan membuat Kasih bisa mencium aroma mint dari hembusan napas
Vania melenggang masuk dengan perasaan penuh tanda tanya. Apa sebenarnya yang terjadi sampai-sampai dirinya dipanggil ke ruangan HRD. Sementara itu, Reyvan gegas ke ruangan Evan untuk mengupdate kondisi terkini. Vania mengetuk pintu kaca ruangan sang manager, lalu mengangguk sopan ketika diberikan kode untuk masuk dari dalam. Didorongnya pintu itu perlahan lalu dirinya melangkah masuk. “Pagi Pak Ramdan! Tumben sepagi ini nyari saya?” Vania berbasa-basi seraya mendekat ke arah Pak Ramdan. Selama ini memang dirinya bukan karyawan bermasalah yang sering keluar masuk ruangan HRD untuk mendapatkan teguran. “Pagi Vania! Silakan duduk, Vani!” tukas Ramdan seraya mempersilakan Vania untuk duduk di depannya. “Makasih, Pak. Hmmm ada apa, nih? Jangan-jangan saya mau naik gaji, ya?” kekeh Vania yang sama sekali tak merasakan jika dirinya akan diberhentikan secara tidak hormat. “Sebentar, saya ambil dulu berkasnya, ya!” tukasnya seraya membuka lacinya yang masih dia kunci. Lalu dia mengeluark
Vania merasakan seluruh dunianya hancur. Hangga seolah mengangkatnya tinggi-tinggi lalu menjatuhkannya. Kedatangan Diandra yang beberapa saat lalu membuat hatinya berbunga-bunga, kini membuat rasa itu patah sepatah-patahnya. Setelah dia bisa mengendalikan tangisnya, Vania berdiri lalu melangkah gontai meninggalkan resto makanan cepat saji itu. Menuju ke parkiran dengan hati tercabik-cabik. Ingin rasanya dia berteriak agar semua orang tahu seburuk apa lelaki yang sering kali memamerkan pecitraan itu. Namun, akal sehatnya masih memiliki sedikit kewarasan. Vania mengendarai mobilnya tanpa arah, mengikuti jalanan yang entah akan membawanya ke mana. Rasa malu dan hancur membuatnya tak memiliki keberanian untuk pulang. Apalagi Ayah sudah dengan sangat bangga bercerita pada para tetangga jika Vania tak kalah beruntung dari adiknya. Vania dilamar satu-satunya pewari perusahaan Wijaya Grup yaitu Diandra. Kabar itu sempat membuat hari-hari Vania menyenangkan. Pujian demi pujian dia terima da
Alunan melodi mengiringi langkah Kasih yang beberapa saat lalu dipanggil ke atas pentas. Dia berjalan menunduk sambil mendengarkan irama untuk memulai mengambil nada. Evan, lelaki yang sejak tadi menggenggam tangannya tampak sudah berada pada kursi VVIP. Dia mengacungkan dua jempol padanya dan tersenyum. Ah, senyuman yang begitu tulus dan menyejukkan hati Kasih. Hingga perlahan wajahnya yang penuh ketegangan berubah sumringah. Kasaih memulai bait pertama dengan memandang Evan yang tampak tersenyum dan lekat memandangnya.Suara merdunya diiringi riuh tepukan tangan para fansnya yang terdengar memekik, bersorak sora menyarakan kata ter-kasih. Spanduk bertebaran pada beberapa deretan tempat duduk yang kebanyakan dipenuhi oleh para remaja. Kasih menyanyi dari hati, karena lagu itu dia tujukan untuk suami tercinta. Sebuah lagi yang di dalam liriknya mengungkapkan betapa beruntungnya dia dicintai oleh lelaki yang begitu sempurn, diangkat dari keterpurukan dan dibimbing meraih puncak kebah