"Hei, aku bisa mendengar nada cemburu dari kalimatmu!" ujar Danish. Bianca melengos.
"Cemburu apanya? Aku justru merasa jijik!" sergah Bianca.
Danish meraih bahu gadis itu dan memutar agar menghadapnya.
"Hei, kau menangis?" tanyanya lirih. Jempol kanannya mengusap air yang tanpa sadar berjatuhan di sudut mata Bianca. Gadis berseragam pelayan itu menunduk dalam, merasa malu. Seperti seorang maling yang kepergok sekuriti.
Danish mengangkat dagu gadis itu dengan ujung jarinya.
"Lihat aku!" pintanya. Perlahan dua pasang mata itu bertemu. Danish seolah ingin menyelam ke dalam palung hati gadis di depannya, melalui sorot mata itu.
Tangan Danish meraih tubuh mungil itu ke dalam dekapannya. Dia hirup puncak kepala Bianca dalam-dalam.
"Maaf, jika aku membuatmu terluka," bisik Danish lirih.
Entah mengapa, dekapan itu begitu menenangkan hati Bianca.
Beberapa saat Bianca mulai bisa menguasai diri. Dia dorong tubuh jangkung lelaki yang mendekapnya.
"Hei, kau jangan coba-coba mengambil kesempatan dariku, ya! Enak aja peluk-peluk!" umpat Bianca lalu berlari ke dalam rumah.
"Huh, dasar gadis tidak tau diuntung! Bukannya bersyukur, malah meninggalkanku begitu saja!" Danish ikut-ikutan mengumpat.
.
Saat masuk ke dalam rumah, sekilas Bianca bisa melihat wanita yang tadi ada di ranjang Danish itu sedang duduk menopang kaki di sofa ruang tengah. Wanita cantik dengan make up tebal. Pakaiannya begiti seksi menggoda iman lelaki.
Bianca juga bisa melihat jika wanita itu menyadari kehadirannya.
"Hai, kamu. Bisa bawakan aku segelas jus jeruk? Bercinta membuatku kehausan," ujarnya dengan nada mendesah manja.
Walaupun malas Bianca segera mengangguk.
"Cepatlah! Aku tunggu! Keburu Danish meminta ronde berikutnya" titahnya lagi seolah sengaja memancing amarah Bianca.
Bianca menghela napas kesal. Mulutnya menggerutu.
"Dasar pasangan mesum! Kalian begitu cocok. Tampan dan cantik. Dan yang paling cocok ... kalian sama-sama mesum!"
Bianca mengambil sebuah gelas tinggi dan menuangkan jus jeruk yang dia ambil dari kulkas.
"Rasanya aku ingin menambahkan setetes sianida ke gelas ini," gumamnya lagi.
"Kau kenapa menggerutu?" tanya sang juru masak yang sedang mengolah ikan. Bianca tergagap.
"Ah ... itu ... emh ... ada kucing garong jahat. Rasanya ingin kuberi dia sianida," jawab Bianca gugup. Ardy sang juru masak tampak keningnya berkerut.
"Kucing garong? Sejak kapan di sini ada kucing garong?" Ardy tampak kebingungan. Tak ingin ditelisik lebih jauh Bianca segera membawa gelas di atas nampan itu ke ruangan di mana Barbara sedang menunggu.
Sesampainya di sana, tidak ada siapa pun. Pundak Bianca mengendur.
"Untunglah kucing-kucing garong itu sudah pergi. Atau jangan-jangan ...?" Bianca kemudian membayangkan jika kedua orang itu kembali ke kamar dan melanjutkan pergumulan ronde selanjutnya. Seperti yang dikatakan wanita itu saat meminta jus, tadi.
"Bener-bener si Tuan Mesum!" Bianca menggerutu.
"Hai, Bianca? Kenapa kau mengumpati jus jeruk?" Sebuah suara mengagetkannya. Bianca menoleh.
"Eh, Rey. Ini tadi ada teman kakakmu yang minta dibuatkan jus, tapi orangnya menghilang gak tau ke mana,"
"Oh, apakah seorang wanita seksi?" tanya Rey. Bianca mengangguk cepat.
"Dia sudah diantar pulang sama Kak Danish. Wanita itu terlihat kesal sekali. Ya sudah, biar kamu tidak kesal, sini jusnya buat aku saja."
Rey meraih gelas itu lalu meneguknya hingga tandas.
"Hah, nikmat banget minuman buatanmu," puji Rey. Wajah Bianca masih terlihat sebal.
"Kenapa wajahmu masih ditekuk?" tanya Rey.
"Aku sebal melihat adegan kakakmu sedang bercinta. Hah huh hah huh! Menjijikan!" Bianca menggerutu.
"Owh, tadi kamu melihat Kak Danish bercinta? Bagaimana? Hebat 'kan, dia? Wanita itu pasti mendesaaah manjaaa ...."
"Apanya yang hebat? Mereka kayak kucing garong yang sedang kawin. Ribut banget!" tukas Bianca. Tawa Rey meledak mendengarnya.
"Bianca ... Bianca, kamu benar- benar unik. Kamu ingin membalas kelakuan Kak Danish gak?" tanya Rey. Bianca mendongak menatap lelaki di depannya.
"Caranya?" tanya Bianca polos.
"Sini!" panggil Rey. Bianca segera mendekatkan kupingnya ke wajah lelaki itu.
"Kita bikin adegan yang sama, dan buat Kak Danish melihatnya," bisik Rey.
"Aaww!" Rey berteriak, saat kakinya diinjak Bianca dengan keras.
"Lain kali akan aku jedotin kepala kamu agar otakmu tidak mesum!" umpat Bianca lalu pergi menuju dapur, meninggalkan Rey yang masih meringis mengelus kakinya yang sakit.
Danish duduk termenung di pinggir ranjang. Tatapannya kosong. Bian mengelus punggungnya perlahan.Lelaki itu perlahan menoleh. “Apa kamu memang merencanakan ini semua sebelum berangkat ke sini?” tanya Danish. Bian mengangguk.“Jadi kamu sudah tahu kebobrokan mereka?”Bian kembali mengangguk.Danish memejamkan matanya dan melengos.“Dia lelaki yang paling aku benci. Tidak pernah berubah walaupun sudah tua. Dia tidak pernah puas dengan satu wanita,” ucapnya menyesalkan.“Apakah itu yang menjadi alasanmu berganti-ganti wanita?” tanya Bian polos.Danish menoleh dan menatap wanitanya lekat. “Aku jadikan itu sebagai pelampiasan. Selain ibuku, aku menganggap semua wanita adalah sama. Makhluk murah dan menjijikan. Mereka hanya bisa menjadi pemuas nafsu sesaat. Sebelum akhirnya aku bertemu kamu dan menyadari semuanya. Kau berbeda, Bian,” ungkap Danish.“Setiap wanita yang kutemui, mereka dengan mudah menyerahkan kehormatannya demi sejumlah uang. Ada juga yang tergila-gila padaku dan mau melaya
“Apa-apaan ini?” Irene berusaha mempertahankan selimut yang menutupi tubuh polosnya. Namun, Monic pun tak mau kalah. Dia menarik tangan Irene yang tengah duduk dan menyilangkan tangan di dadanya.Monic tahu, semua itu demi menutupi tubuhnya yang tak memakai apapun.“Berengsek, ya, kalian! Nggak punya otak! Nggak punya hati!” teriak Monic.“Kau perempuan ular, Irene! Kau tega menikamku dari belakang. Akan aku bongkar semua kebobrokanmu sekarang juga.” Monic berteriak dengan napas yang naik turun. Matanya merah menahan sedih dan amarah.“Perlu kau tau, Danish. Kalau sebetulnya sekarang ini dia tidak hamil. Dia berpura-pura hamil supaya bisa menjebakmu dan memperoleh semua kekayaanmu.” Monic terengah.Danish terperangah. Namun, tidak dengan Bian. Dia sudah bisa menduganya.“Diam kau sialan!” Irene kini yang bangkit walaupun dengan gerakan tak bebas karena berusaha menutupi tubuhnya yang polos.“Aku tidak akan tinggal diam, Irene! Kau tega menggoda Demian di belakangku!” balas Monic.Bian
Bian masih menyembunyikan masalah itu dari Danish. Dia tidak ingin menambah beban suaminya yang tengah sibuk dengan pekerjaan dan bisnisnya. Bian berencana akan menangkap basah keduanya dengan disaksikan oleh Danish juga Monic.Dia yakin jika tak lama lagi Irene akan meminta izin pada Danish untuk pergi ke luar kota, entah dengan memberikan alasan apa.Benar saja, hanya berselang beberapa hari, Irene meminta izin pada Dnish jika dia akan ada acara reuni dengan teman-temannya di Bali. Tepat seperti yang pernah Bian dengar saat di kafe jika kedua pasangan selingkuh itu akan pergi ke Bali.“Boleh, kan, Danish?” pinta Irene dengan rengekan manjanya. Danish tak menanggapi. Dia malah asik melanjutkan makan malamnya.“Tuan, Mbak Irene lagi bertanya.” Bian berbisik. Namun, Danish tak menggubrisnya.“Aku nggak peduli. Mau dia pergi ke neraka sekalipun, aku nggak peduli,” jawab Danish. Bian tersenyum malas. Sedangkan Irene tampak biasa saja dengan sikap Danish yang tak peduli.“Jadi kamu kasih
“Hei, Bian.” Sebuah suara menyapa Bian yang sedang memilih pakaian di sebuah pusat perbelanjaan. Sekarang dia sudah berani ke mana-mana sendiri tanpa diantar oleh Danish yang super sibuk.“Hei, Lena!” Bian ikut terperangah saat melihat siapa yang menyapanya. Seorang teman lama semasa SMA.“Kamu keren, ya, sekarang. Makin cantik dan modis aja,” ujarnya sambil menilik Bian dari atas sampai bawah.Bian tertawa kecil.“Kamu lagi beli baju?” tanyanya dan Bian mengangguk.“Katanya, sekarang kamu punya suami yang kaya raya, ya? keren, deh, Bian.”Karena merasa tak enak diperhatikan oleh orang-orang, Bian mengajak Lena untuk mengobrol di kafe.“Kamu yang traktir, ya?” goda Lena mengedipkan mata. Bian tersenyum sambil mengacungkan jempolnya.Mereka kembali mengobrol setelah memesan makanan dan minuman. Lena menanyakan kehidupan Bian yang konon bersuamikan seorang bule kaya. Bian hanya tertawa tanpa banyak mengungkapkan bagaimana Danish sebenarnya.“Sama ajalah sama yang lain. Bedanya suamiku e
Mata biru itu membelalak saat melihat siapa yang sedang duduk di ruang TV. Dengan santainya Rey memindahkan saluran sambil bersilang kaki.“Berani juga kau ke sini,” sindir Danish yang baru turun dari kamarnya. Rey tersenyum malas.“Aku ingin tahu keadaan Bian,” jawab Rey dengan entengnya.Danish terbahak.“Apa kau terlalu santai hingga mengurusi istri orang, hah? Dia itu tanggungjawabku, kau tidak perlu repot-repot memikirkannya. Hidupnya sudah sempurna dengan berada di sisiku.”Rey bangkit dan tersenyum kecut. “Oh, ya? Bagaimana dengan ini?” ucapnya menunjukan surat panggilan dari Pengadilan Agama.Danish membelalak. Dia tak menyangka jika Bian benar-benar mengajukan gugatan cerai.Dengan penuh amarah Danish menyambar surat itu dan menyobeknya hingga berkeping-keping.“Ini hanya lelucon. Bian akan segera mencabutnya,” ucap Danish jumawa.“Oh ya? Apa kau sudah yakin?” tanya Rey mengejek.Danish kembali terbahak. Dia kemudian meneriakan nama sang istri dengan lantang. Memangginya agar
Danish menatap secarik kertas berwarna hitam putih dengan gambar siluet bayi tak begitu jelas. Dahinya mengernyit. Dia tidak meyakini kebenaran tentang gambar hasil USG itu.Tanpa mengatakan apapun, Danish pergi dan melempar begitu saja hasil USG itu ke atas meja.“Gambar seperti ini bisa punya siapa saja. Aku tidak akan percaya sampai lihat hasil tes DNA,” ujarnya santai.Irene terlihat kesal dan meremas kertas hitam putih itu hingga tak berbentuk.“Dasar laki-laki nggak bertanggungjawab!” teriak Irene geram.Danish yang hampir menginjakan kakinya di undakan tangga terhenti seketika dan perlahan berbalik. Tersungging senyum sinis di wajahnya.“Kau bilang aku tidak bertanggungjawab?” Danish tersenyum kecut. “Lalu bagaimana kau bisa tinggal di sini dengan uang yang aku berikan padamu setiap kau minta?”Irene melengos.“Kau tidak pernah memperlakukan aku seperti kau perlakukan Bian. Kau tidak adil!” Irene kemudian berani berteriak.Danish melangkahkan kakinya mendekati wanita itu.“Apa