Tak lama kemudian sebuah hidangan tersedia di meja. Edward langsung mengambil sandwich yang dibuat oleh Mrs. Collins, dan memakannya dengan lahap. Kedua mata Grace tak berpaling dari wajah Edward, ditatapnya lekat, ada desiran hangat yang mengalir di dadanya, dan dia masih belum mengerti perasaan apa yang dirasakannya. Dia tahu, ketika dia berada di Northville, meski dia berusaha melupakan Edward, tetap tak bisa, apalagi saat Ethan muncul, membuat sosok Edward semakin lekat di dalam ingatannya. Grace tersenyum ketika melihat Edward yang kini berada di hadapannya.
“Kau daritadi tersenyum sendiri, apa kau sedang melamunkan hal-hal berbau mesum?” tanya Edward membuyarkan lamunan Grace.
“Heh, kau ini kalau bicara jangan sembarangan, apa salahnya menonton film porno, aku masih normal, tidak seperti kau yang—“
Edward mengangkat satu alisnya, membuat Grace langsung berhenti berbicara.
“Apa?”
“Eh ... kau itu—“
“Perjelas,” potong Edward sekali
Jangan lupa bintang limanya jika suka dengan cerita ini, follow fb aku di Ana Sue, ya. Love you, Guys :*
Edward segera memersiapkan diri, dia ingin membawa Grace makan malam bersamanya, tentunya hanya berdua, dia tak mau lagi ada pengganggu. Edward tak kembali ke rumah, dengan cepat dia meluncur ke arah rumah Grace. Bahkan tadi dia menolak ajakan Vanes dan Mark yang mengajaknya ke bar, tentu saja kedua pemuda itu tahu betul Edward akan pergi bersama siapa. Sesampainya di sana, Mrs. Collins yang membukakan pintu, dan tebak .... Grace tak ada di rumah, rupanya Kevin telah membawa Grace pergi lebih dulu dari beberapa jam yang lalu. “Grace tak ada di rumah, Ed,” ujar Mrs. Collins memersilakan Edward untuk masuk ke dalam rumah. “Ma-maksudmu ... dia sudah pergi?” “Iya.” Edward memegang bahu Mrs. Collins dan mengguncangnya, “Katakan padaku, dia pergi dengan siapa?!” “Seorang pemuda, namanya ... Kevin,” jawab Mrs. Collins. Mrs. Collins tak tahu apa yang sebenarnya terjadi, dan tak pernah mengetahui jika putri kesayangannya sekarang menjadi idola
“Kenapa setiap kali kita bertemu, selalu berakhir seperti ini. Waktu terus berjalan, semakin hari semakin berkurang, yang harus kuhadapi bukan hanya Kevin, masih ada satu orang atau mungkin beberapa orang lagi di luar sana, Grace. Entah apa yang membuatmu istimewa sehingga aku tak mengalihkan pandanganku,” ujar Edward tanpa memerlukan tanggapan dari siapa pun. Edward kembali terdiam, terpaku di tempatnya, terkadang kau menyalahkan takdir, di mana kau sebenarnya bisa mengubah takdir itu. Hujan semakin deras, tak dipedulikannya derai hujan yang menghajar tubuhnya, air hujan yang terus menerus membasahi tubuhnya tak sebanding dengan apa yang hatinya rasakan. Sakit. Kecewa! Edward tak tahu jika Grace masih terus mencari dan mengejarnya, begitu pun dengan Kevin yang merasa ada sesuatu, dia keluar dari dalam restoran dan mencari Grace. Ketiganya saling mencari, berusaha menemukan, dan mendapatkan jawabannya. “Edward!!!” teriak Grace ketika melihat Edward yang kini
Edward memutuskan kembali ke rumah, tanpa disangka, kedua sahabatnya sudah menunggu di ruang tamu bersama ... Ethan? Ketiganya bercakap-cakap sambil bermain kartu tanpa menyadari bahwa Edward sedang menatap ketiga pemuda yang dianggapnya menyedihkan itu. “Lihat, pemuda gengsi itu basah kehujanan, apa kencanmu gagal?” tanya Ethan sedikit mengejek. Sebenarnya dia ingin meledek Edward lebih jauh, tapi sekilas dia memerhatikan raut wajah Edward yang tak memiliki gairah menanggapi kalimatnya, wajahnya terlihat acak-acakan. “Hey, Ed. Kenapa dengan pakaianmu?” tanya Mark penasaran. Edward terlihat seperti orang frustasi yang baru saja gagal bunuh diri. Dia tetap tak menjawab, melainkan menghampiri ketiganya di sofa, kemudian mengempaskan tubuhnya dengan kasar, lalu menarik rambutnya. “Kau kenapa?’ tanya Vanes kali ini, dirapikan kartu dalam genggamannya dan diletakkan ke atas meja, dia ingin tahu dari mulut Edward apa yang membuatnya seperti ini. Edward meng
Ethan mengangguk dengan tegas, dia tak pernah main-main dengan ucapan, apa yang ingin dilakukan, akan dijalankannya tanpa keraguan. Ethan adalah Ethan, bukan Edward yang masih saja mementingkan ego, membuatnya terlihat seperti orang dungu yang terus meratapi nasib, tanpa mampu berbuat apa pun. “Aku akan membawa Grace jika sampai batas waktunya kau masih juga tak bisa berterus terang.” “Lalu mau kau apakan Grace?” “Menjadikannya milikku seutuhnya, kau tahu ... aku yakin dia pasti akan menerimaku, jika nanti kau gagal mengatakan perasaanmu. Lagipula kenapa kau begitu suka menahan rasa sakit, kau tak lihat, Kevin sudah mendahuluimu, lalu kalau kau tak berani juga, kau akan kehilangan Grace.” “Menjadi milikmu, dan begitu percaya dirinya, kalau Grace mau menerimamu?” “Tentu saja percaya diri,” Ethan terdiam kemudian tersenyum dan melanjutkan kembali kalimatnya, “ada sesuatu yang mampu mengikat kita, sesuatu dari diri Grace, semakin kau berusaha men
Mrs. Jason menggebrak meja dengan kencang membuat Andrew terdiam, dadanya berdebar sangat kencang, takut-takut kalau permaisuri di hadapannya akan memakinya. “Penari telanjang maksudmu? Atau penari apa? Lalu di klub malam, mau jadi apa masa depan anakku! Segera bereskan gadis itu!” bentak Mrs. Jason setengah berteriak saking kesalnya. Andrew pun mengangguk dan keluar dari ruangan Mrs. Jason. Ya, hal itu baru sampai di telinga ibu dari Edward, bagaimana kalau sudah sampai di telinga ayahnya? Kujamin, perang antara Irak dan Iran tak ada apa-apanya! * Grace mulai memasuki babak baru kehidupannya, dia, adik-adiknya, dan kedua orangtuanya pindah ke rumah baru yang sengaja dbelikan Edward untuknya. Sebetulnya sudah berkali-kali Grace menolak, karena dia tak mau merasa berutang budi, semakin ditolak, Edward justru mengamuk. Di pagi hari dia akan pergi ke kampus hingga pukul tiga sore, lalu malamnya dia akan menjadi seorang pekerja di sebuah klub malam, menar
Grace membetulkan pakaiannya yang sempat diacak-acak kelima pemuda sinting yang kini saling bersitegang dengan Ethan, entah kenapa Ethan terlihat begitu jantan di mata Grace ketika sedang membelanya. “Kau pergi saja duluan,” ujar Ethan bergerak mundur berusaha menghampiri Grace yang berdiri di belakangnya, kemudian menuntun Grace dan membuka pintu dengan satu tangannya. “Aku tak mau, aku mau pergi bersama-sama,” jawab Grace. “Gadis berkepala batu, pergilah, orang-orangku akan menjagamu. Kelima cecunguk ini biar aku yang menjaganya dan memberikan sedikit pelajaran.” Grace berbisik ke telinga Ethan, “Kau yakin? Mereka bertubuh sama sepertimu, apa kau mau mati konyol?” “Sshht, kau tak percaya denganku?” Salah seorang pemuda maju ke depan dan langsung memberikan salam perkenalan di rahang kiri Ethan, membuat Ethan terhuyung dan hampir terjatuh, oke ... baru pemanasan, dan Ethan mulai mempersiapkan diri untuk menerima serangan berikutnya.
Pelipis kiri Ethan berdarah, belum lagi bibirnya, pasti sangat sakit, dan Grace tak bisa membayangkan rasanya. Ethan bergerak pelan, sembari mengerang, seluruh tubuhnya terasa nyeri. Kedua mata Ethan berusaha membuka, dilihatnya Grace sedang menangis sambil memanggil namanya. "Gadis idiot, buat apa menangis?" Grace mengusap airmata yang membasahi kedua pipinya dan memaksakan dirinya untuk tertawa, "Heh, kau membuatku khawatir. Kenapa kau berkorban seperti ini? Kau bisa mati," jawabnya, dan Grace tetap tak bisa menahan tangisannya. Ethan berusaha mengangkat satu tangannya, kemudian perlahan mengusap pipi Grace yang basah dengan airmata, "Se-seandainya, aku mati pun karena berkorban untukmu... aku tak akan pernah menyesal. Grace... ikutlah denganku," kata Ethan terpatah-patah. "I-ikut ke mana?" "Pergi bersama ke Italia, kau pasti paham maksudku, aku--" Belum sempat Ethan melanjutkan kalimatnya, dia pun terdiam. Pi
“Ka-kau ... kenapa dengan ma-matamu?” tanya Ethan terbata-bata. “Tidak apa, aku hanya mengkhawatirkanmu, aku takut kau tiba-tiba mati, Ethan,” ujar Grace. “Heh, mati? Jadi kau berharap aku mati?” “Bu-bukan begitu, maksudku, bagaimana kalau kau tiba-tiba mati?” “Gadis bodoh, aku tak semudah itu mati,” jawab Ethan sembari mengacak rambut Grace lalu berusaha tersenyum. Jika saja tadi Ethan tak mengalah, dipukuli sampai babak belur, para pemuda itu pasti akan berbuat nekat, mungkin mereka akan menyakiti Grace atau bahkan lebih dari itu. Dia tak akan pernah bisa merelakan jika sesuatu terjadi pada Grace, tidak akan pernah! Edward tak benar-benar pergi, tak ada yang tahu dia berada di luar kamar dan melihat keduanya dari celah pintu, dia bisa melihat perlakuan Ethan pada Grace, dia yakin Ethan sudah memiliki rasa pada Grace, tapi dia sendiri tak bisa mundur, ataupun menyerah, karena baginya ...Grace tak bisa dimiliki siapa pun kecuali dirinya!