Share

Bab 6 : Kevin Tak Tahu Diri!

Kampus besar dan megah milik keluarga Mark terlihat lain dari kampus pada umumnya. Kampus itu benar-benar luas, bisa membawa mobil mengitari seluruh areanya. Kampus itu memiliki sebuah danau di tengah-tengah, lapangan golf, kolam renang, dan fasilitas lainnya. 

Keempat pemuda yang menamatkan kuliah dan menerima gelar dari kampus itu, terlihat berjalan beriringan masuk ke dalamnya. Semua mata tak lepas memandang keempat pemuda tampan dan keren itu. 

"Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke kampus?" tanya Mark yang tak mengerti jalan pikiran sahabatnya yang satu ini. 

"Aku mau mendaftar," jawab Edward singkat. 

"Kau mau menjadi mahasiswa lagi?"

"Mark, orangtuamu pemilik kampus ini, kan? Aku mau memasukkan seseorang di kampus ini, dan aku akan membayar semua biayanya sampai orang itu selesai menamatkan pendidikannya."

"Maksudmu siapa?"

"Nanti kau akan tahu, yang jelas orang itu sudah kehilangan otaknya, dan sudah tak bisa berpikir jernih. Sebelum terlambat, aku mau memasukkannya kemari, daripada aku memasukkannya ke rumah sakit jiwa, lebih baik kumasukkan dia ke sini."

Kevin yang menguping, mengerti siapa yang dimaksud Edward. Tak perlu bertanya panjang lebar, dia sudah tahu. Kevin tak mengerti, mengapa Edward mau bersusah payah mengubah Grace.

Kevin menyentuh pundak Edward, meliriknya, dengan santai dia berkata, "Kau ingin mengubah dia menjadi seseorang yang sesuai dengan yang kau inginkan?"

Edward yang masih kesal dengan Kevin, langsung mencengkram kerah baju Kevin lalu mengangkat kepalan tangannya. Mark dan Vanes yang melihat segera mencegah dan menahan tangan Edward. 

"Wow, stop, stop! Kenapa kau tiba-tiba naik pitam seperti ini? Lagi pula siapa yang Kevin maksud?" tanya Mark masih tak paham. 

"Apa perlu kuberitahu, siapa seseorang itu, Ed?" pancing Kevin.

Dari dulu Kevin senang sekali melihat Edward mengamuk saat diledeknya. Tubuh kekar, dengan seluruh keangkuhan yang ada pada Edward akan sirna begitu sifat kekanak-kanakannya muncul. 

"Sekali lagi kau berkicau, aku tak segan memukulmu, Kev!" ancam Edward, yang hanya disambut dengan senyum dari Kevin. 

*

Hari minggu, biasanya Edward dan ketiga kawannya pasti akan memilih tempat untuk melepaskan penat. Tapi kali ini Kevin menolak ikut dengan mereka dan beralasan jika dia harus mengerjakan pekerjaan yang belum selesai untuk dipresentasikan hari senin nanti.

“Kau tak mau ikut?” tanya Vanes sembari merangkul pundak Kevin.

“Tidak, kalian pergi saja. Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan,” jawab Kevin.

Meski Kevin mengatakan dia memiliki pekerjaan yang harus dikerjakan, entah kenapa, Edward seperti merasakan kejanggalan. Setahunya ... Kevin bukan tipe orang yang selalu menyisakan pekerjaan di hari minggu, dia selalu menyelesaikan semua pekerjaan lebih cepat dari yang diminta. Sekalipun dia menolak, Kevin hanya menghabiskan waktu di rumah dan tidur seharian.

“Oh, biasanya kau tidur seharian jika tak ikut bersama kami,” ujar Edward bersuara.

Kevin menatap Edward, memutar bola matanya ke atas, kemudian tersenyum simpul. Dia tahu Edward pasti sedang berusaha mencari celah untuk membaca apa yang ada di pikirannya.

“Sekali-sekali boleh, kan?”

“Sesukamu, aku tak akan memaksa,” jawab Edward ketus.

*

Natalie tak masuk bekerja, dia meminta ijin kepala atasan untuk mengambil cuti satu hari, jadi hari itu Grace bekerja ditemani karyawan lain.

Pintu toko terbuka, dan Grace tak bisa mempercayai penglihatannya saat itu.

Pemuda yang selalu ingin dilihatnya, yang selalu berbicara dengan lembut—berbeda dengan Edward—dan tak pernah banyak berbicara  itu, ada di hadapannya sekarang. Siang itu, Kevin terlihat sangat menarik dengan jaket tebal berwarna coklat gelap dan celana jeans biru tuanya, tak memakai pakaian formal seperti biasa.

“Apa aku mengganggu?” tanya Kevin.

“Ti-tidak, masuklah. Kau mau memesan apa?”

“Aku ingin memesanmu, bisa?”

Grace tertawa geli, memamerkan sederet gigi putih, dengan senyumnya yang membuat mata Kevin tak lepas memperhatikannya.

"Bagaimana caranya memesanku, aku bukan kue,” jawab Grace.

Kevin mengeluarkan sebuah cek yang sudah diisi dengan sebuah nominal, dan memberikannya pada Grace.

“Berikan pada atasanmu, aku membeli waktumu seharian untuk menemaniku, anggap saja cek bertuliskan dua puluh ribu dollar adalah uang ganti rugiku untuknya karena aku akan membawamu ikut bersamaku.”

Grace yang tak mempercayai apa yang berada di tangannya hanya bisa melongo dan terdiam, sampai Kevin menyadarkannya dengan menjawil hidungnya.

“Ba-baiklah, aku akan memberikan pada bosku. Eh, kau tunggu sebentar, aku akan mengganti pakaianku.”

*

Sepertinya Edward sudah kecolongan. Meski Kevin menyusun rapi kebohongannya hari ini, Edward tetap bisa mengetahuinya. Karena dia sudah mengirim seseorang untuk memata-matai Kevin seharian.

Sejak awal dia sudah merasa Kevin berbohong, dan benar saja. Kevin berbohong karena ingin mengajak Grace pergi berdua.

“Hey, hey, kenapa wajahmu tegang seperti itu sambil menatap layar handphone, memangnya ada apa?” tanya Vanes sambil menepuk pundak Edward.

“Dia benar-benar ingin melihatku menghajarnya!”

“Maksudmu siapa?”

“Kevin!”

“Ada apa lagi?”

“Kita ke Beacon Park sekarang, cepat!” perintah Edward tanpa ada basa basi lagi.

Vanes dan Mark tak mau bertanya lebih banyak, meski mereka sendiri tak tahu kenapa Edward meminta ke Beacon Park. Salah satu tempat rekreasi yang selalu ramai pengunjung.  

Setengah jam kemudian, mereka sudah sampai di Beacon Park, padahal jarak dari tempat sebelumnya cukup jauh, dan Vanes diminta Edward menyetir dengan kecepatan maksimal. Keduanya; Vanes dan Mark, sebetulnya masih bertanya-tanya kenapa wajah Edward terlihat begitu tegang, tatapan matanya seperti ingin memakan orang hidup-hidup. 

Tak perlu membutuhkan waktu berjam-jam untuk menemukan Kevin dan Grace. Mereka berdua sedang asyik duduk di salah satu bangku, yang lebih menyebalkan, dia harus melihat adegan Kevin membersihkan bekas makanan yang ada di bibir Grace.

“Ah, jadi ini masalahnya sampai kau menyuruhku menyetir seperti orang kesetanan?” ujar Vanes seraya menggelengkan kepala.

“Jangan banyak bicara!”

“Mark, Mark, ikuti dia! Kau lihat matanya tadi. Jangan sampai Kevin menjadi penghuni rumah sakit!”

Mark dan Vanes langsung mengejar Edward yang berjalan mendahului keduanya.

*

Edward menghajar meja yang ada di dekat Kevin dan Grace, membuat meja itu terbalik dan kaca yang melapisinya pecah berhamburan ke mana-mana.

“Hi, Ed,” sapa Kevin tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun. Ya, pemuda satu ini memang aneh. Bisa-bisanya dia bersikap santai seolah tak terjadi apa pun.

“Oh, jadi begitu. Kau menolak untuk jalan bersama kami, hanya karena kau ingin berduaan dengan gadis jalang ini?!”

Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Edward, Grace rasanya ingin menampar sekaligus mengacak-acak isi otak Edward.

“Kau tak boleh berbicara seperti itu pada Grace. Aku yang mengajaknya, membuatnya harus ijin dari tempatnya bekerja. Kau membuat langkah yang salah, Ed.”

“Hah? Kau tertarik padanya? Lalu bagaimana dengan Val?”

“Hm ... Valerie baik-baik saja, kenapa?”

Grace tak paham apa yang dimaksud oleh Edward. Dia tak tahu nama yang baru saja disebut Edward di depan Kevin. Siapa Valerie?

Grace berdiri, mengambil sebuah gelas berisi kopi yang ada di meja sebelah.

“Kepalamu mesti didinginkan! Kau ini sinting, datang-datang mengamuk, mengataiku jalang. Memangnya kalau aku menjadi seorang jalang apa kau mau tidur denganku, hah?!” bentak Grace setelah puas menyiram kepala Edward dengan segelas kopi, hingga membuat wajah dan pakaian yang dikenakannya menjadi basah dan kotor.

Kevin yang melihat Grace menyiram Edward dengan kopi, menutup mulutnya dan menahan tawa.

“Kau—“

“Apa? Kau ingin memukulku, Ed?!” tantang Grace dengan mata yang tak kalah sangarnya menatap Edward.

Kevin berdiri, menghalangi Edward yang ingin memukul Grace, dan mencengkram tangan Edward. Baginya kali ini Edward sudah kelewat batas.

“Sudah cukup main-mainya, Ed. Kau bukan marah karena aku tak bisa ikut bersama kalian, tapi kau marah karena aku jalan dengan Grace. Kenapa kau tak akui saja kalau kau menyukai Grace, betul kan tebakanku?”

“Wah, ini masalah serius,” ujar Mark yang sejak tadi belum mengatakan apa pun.

“Iya benar, sepertinya habis ini akan terjadi perang yang lebih dashyat dari kemarin. Dasar bocah otak udang, kenapa tak mengiyakan saja pertanyaan Kevin, dengan begitu masalah selesaim Kevin tak akan lagi memancing emosinya,” sambung Vanes mengiyakan perkataan Mark.

Edward menatap Grace dan Kevin bergantian.

Kevin dengan gayanya yang tenang, mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaket dan menyalakannya, “Masih tak mau mengakui?” ujarnya seraya mengisap batang rokok tersebut.

“Ka-kau ... argh!”

Edward mengacak-acak rambutnya, dan kembali menendang sebuah kursi hinga terlempar cukup jauh. Beberapa orang yang berada di lokasi, melihat dengan pandangan heran ke arah mereka berlima. Mereka berbisik-bisik kemudian ada yang menertawai mereka.

“Sebaiknya kita pindah ke tempat lain, Grace,” sahut Kevin, kemudian menarik tangan Grace agar segera berlalu dari hadapan Edward. "Oh ya, katakan pada orang suruhanmu yang berada di dekat parkiran, tak perlu bersusah payah menguntit, hanya perlu bertanya saja padaku ke mana kami setelah ini akan pergi.”

*

Edward masih tak mengerti, kenapa dia merasakan kemarahan seperti tadi ketika melihat Grace berduaan dengan Kevin, meski saat ini pun dia masih ingin mengejar Kevin dan Grace, tapi Vanes dan Mark berusaha menahannya.

Edward memutar-mutar korek api di tangannya, sesekali diketuk-ketuknya di meja. Dia penasaran ke mana dua orang menyebalkan itu pergi, karena dia telah meminta pesuruhnya untuk tak perlu melanjutkan untuk menguntit kedua orang itu lagi.

“Masih kesal?” tanya Mark berhati-hati tak ingin salah ucap kemudian dibentak oleh Edward.

“Kita ke bar, kepalaku sakit memikirkan kedua orang itu!”

Mark dan Vanes saling melempar tatapan, sebenarnya terdengar geli ketika tahu sebegitu marahnya Edward.

Padahal dengan penuh percaya diri dia belum lama berkata bahwa dia tak mungkin tertarik dengan Grace.

Knyataannya berbanding terbalik, meski tak memberitahu secara langsung, mereka semua tahu kalau Edward menaruh rasa pada gadis itu.

Mereka juga menyadari, Grace lebih tertarik pada Kevin yang jelas-jelas memiliki cinta pertamanya sendiri—Valerie—nama yang disebutkan Edward sebelumnya, tapi kenapa dia begitu gencar mendekati Grace?

“Kau mau mabuk?”

“Berisik, kalau begitu belikan aku lima botol bir!”

“Jadi, kau mau ke bar atau mau minta dibelikan lima botol bir?”

“Belikan aku satu krat, hanya lima tak membuatku lupa dengan kelakuan mereka,” jawab Edward.

“HAH?!”

Comments (2)
goodnovel comment avatar
Wiro Sableng
edward tak mau terus terang soal grace
goodnovel comment avatar
Kikiw
konyol lu Ed wkwkw
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status