Kampus besar dan megah milik keluarga Mark terlihat lain dari kampus pada umumnya. Kampus itu benar-benar luas, bisa membawa mobil mengitari seluruh areanya. Kampus itu memiliki sebuah danau di tengah-tengah, lapangan golf, kolam renang, dan fasilitas lainnya.
Keempat pemuda yang menamatkan kuliah dan menerima gelar dari kampus itu, terlihat berjalan beriringan masuk ke dalamnya. Semua mata tak lepas memandang keempat pemuda tampan dan keren itu.
"Kenapa kau tiba-tiba mengajakku ke kampus?" tanya Mark yang tak mengerti jalan pikiran sahabatnya yang satu ini.
"Aku mau mendaftar," jawab Edward singkat.
"Kau mau menjadi mahasiswa lagi?"
"Mark, orangtuamu pemilik kampus ini, kan? Aku mau memasukkan seseorang di kampus ini, dan aku akan membayar semua biayanya sampai orang itu selesai menamatkan pendidikannya."
"Maksudmu siapa?"
"Nanti kau akan tahu, yang jelas orang itu sudah kehilangan otaknya, dan sudah tak bisa berpikir jernih. Sebelum terlambat, aku mau memasukkannya kemari, daripada aku memasukkannya ke rumah sakit jiwa, lebih baik kumasukkan dia ke sini."
Kevin yang menguping, mengerti siapa yang dimaksud Edward. Tak perlu bertanya panjang lebar, dia sudah tahu. Kevin tak mengerti, mengapa Edward mau bersusah payah mengubah Grace.
Kevin menyentuh pundak Edward, meliriknya, dengan santai dia berkata, "Kau ingin mengubah dia menjadi seseorang yang sesuai dengan yang kau inginkan?"
Edward yang masih kesal dengan Kevin, langsung mencengkram kerah baju Kevin lalu mengangkat kepalan tangannya. Mark dan Vanes yang melihat segera mencegah dan menahan tangan Edward.
"Wow, stop, stop! Kenapa kau tiba-tiba naik pitam seperti ini? Lagi pula siapa yang Kevin maksud?" tanya Mark masih tak paham.
"Apa perlu kuberitahu, siapa seseorang itu, Ed?" pancing Kevin.
Dari dulu Kevin senang sekali melihat Edward mengamuk saat diledeknya. Tubuh kekar, dengan seluruh keangkuhan yang ada pada Edward akan sirna begitu sifat kekanak-kanakannya muncul.
"Sekali lagi kau berkicau, aku tak segan memukulmu, Kev!" ancam Edward, yang hanya disambut dengan senyum dari Kevin.
*
Hari minggu, biasanya Edward dan ketiga kawannya pasti akan memilih tempat untuk melepaskan penat. Tapi kali ini Kevin menolak ikut dengan mereka dan beralasan jika dia harus mengerjakan pekerjaan yang belum selesai untuk dipresentasikan hari senin nanti.
“Kau tak mau ikut?” tanya Vanes sembari merangkul pundak Kevin.
“Tidak, kalian pergi saja. Aku masih harus menyelesaikan beberapa pekerjaan,” jawab Kevin.
Meski Kevin mengatakan dia memiliki pekerjaan yang harus dikerjakan, entah kenapa, Edward seperti merasakan kejanggalan. Setahunya ... Kevin bukan tipe orang yang selalu menyisakan pekerjaan di hari minggu, dia selalu menyelesaikan semua pekerjaan lebih cepat dari yang diminta. Sekalipun dia menolak, Kevin hanya menghabiskan waktu di rumah dan tidur seharian.
“Oh, biasanya kau tidur seharian jika tak ikut bersama kami,” ujar Edward bersuara.
Kevin menatap Edward, memutar bola matanya ke atas, kemudian tersenyum simpul. Dia tahu Edward pasti sedang berusaha mencari celah untuk membaca apa yang ada di pikirannya.
“Sekali-sekali boleh, kan?”
“Sesukamu, aku tak akan memaksa,” jawab Edward ketus.
*
Natalie tak masuk bekerja, dia meminta ijin kepala atasan untuk mengambil cuti satu hari, jadi hari itu Grace bekerja ditemani karyawan lain.
Pintu toko terbuka, dan Grace tak bisa mempercayai penglihatannya saat itu.
Pemuda yang selalu ingin dilihatnya, yang selalu berbicara dengan lembut—berbeda dengan Edward—dan tak pernah banyak berbicara itu, ada di hadapannya sekarang. Siang itu, Kevin terlihat sangat menarik dengan jaket tebal berwarna coklat gelap dan celana jeans biru tuanya, tak memakai pakaian formal seperti biasa.
“Apa aku mengganggu?” tanya Kevin.
“Ti-tidak, masuklah. Kau mau memesan apa?”
“Aku ingin memesanmu, bisa?”
Grace tertawa geli, memamerkan sederet gigi putih, dengan senyumnya yang membuat mata Kevin tak lepas memperhatikannya.
"Bagaimana caranya memesanku, aku bukan kue,” jawab Grace.
Kevin mengeluarkan sebuah cek yang sudah diisi dengan sebuah nominal, dan memberikannya pada Grace.
“Berikan pada atasanmu, aku membeli waktumu seharian untuk menemaniku, anggap saja cek bertuliskan dua puluh ribu dollar adalah uang ganti rugiku untuknya karena aku akan membawamu ikut bersamaku.”
Grace yang tak mempercayai apa yang berada di tangannya hanya bisa melongo dan terdiam, sampai Kevin menyadarkannya dengan menjawil hidungnya.
“Ba-baiklah, aku akan memberikan pada bosku. Eh, kau tunggu sebentar, aku akan mengganti pakaianku.”
*
Sepertinya Edward sudah kecolongan. Meski Kevin menyusun rapi kebohongannya hari ini, Edward tetap bisa mengetahuinya. Karena dia sudah mengirim seseorang untuk memata-matai Kevin seharian.
Sejak awal dia sudah merasa Kevin berbohong, dan benar saja. Kevin berbohong karena ingin mengajak Grace pergi berdua.
“Hey, hey, kenapa wajahmu tegang seperti itu sambil menatap layar handphone, memangnya ada apa?” tanya Vanes sambil menepuk pundak Edward.
“Dia benar-benar ingin melihatku menghajarnya!”
“Maksudmu siapa?”
“Kevin!”
“Ada apa lagi?”
“Kita ke Beacon Park sekarang, cepat!” perintah Edward tanpa ada basa basi lagi.
Vanes dan Mark tak mau bertanya lebih banyak, meski mereka sendiri tak tahu kenapa Edward meminta ke Beacon Park. Salah satu tempat rekreasi yang selalu ramai pengunjung.
Setengah jam kemudian, mereka sudah sampai di Beacon Park, padahal jarak dari tempat sebelumnya cukup jauh, dan Vanes diminta Edward menyetir dengan kecepatan maksimal. Keduanya; Vanes dan Mark, sebetulnya masih bertanya-tanya kenapa wajah Edward terlihat begitu tegang, tatapan matanya seperti ingin memakan orang hidup-hidup.
Tak perlu membutuhkan waktu berjam-jam untuk menemukan Kevin dan Grace. Mereka berdua sedang asyik duduk di salah satu bangku, yang lebih menyebalkan, dia harus melihat adegan Kevin membersihkan bekas makanan yang ada di bibir Grace.
“Ah, jadi ini masalahnya sampai kau menyuruhku menyetir seperti orang kesetanan?” ujar Vanes seraya menggelengkan kepala.
“Jangan banyak bicara!”
“Mark, Mark, ikuti dia! Kau lihat matanya tadi. Jangan sampai Kevin menjadi penghuni rumah sakit!”
Mark dan Vanes langsung mengejar Edward yang berjalan mendahului keduanya.
*
Edward menghajar meja yang ada di dekat Kevin dan Grace, membuat meja itu terbalik dan kaca yang melapisinya pecah berhamburan ke mana-mana.
“Hi, Ed,” sapa Kevin tanpa memperlihatkan rasa takut sedikit pun. Ya, pemuda satu ini memang aneh. Bisa-bisanya dia bersikap santai seolah tak terjadi apa pun.
“Oh, jadi begitu. Kau menolak untuk jalan bersama kami, hanya karena kau ingin berduaan dengan gadis jalang ini?!”
Mendengar kalimat yang terlontar dari mulut Edward, Grace rasanya ingin menampar sekaligus mengacak-acak isi otak Edward.
“Kau tak boleh berbicara seperti itu pada Grace. Aku yang mengajaknya, membuatnya harus ijin dari tempatnya bekerja. Kau membuat langkah yang salah, Ed.”
“Hah? Kau tertarik padanya? Lalu bagaimana dengan Val?”
“Hm ... Valerie baik-baik saja, kenapa?”
Grace tak paham apa yang dimaksud oleh Edward. Dia tak tahu nama yang baru saja disebut Edward di depan Kevin. Siapa Valerie?
Grace berdiri, mengambil sebuah gelas berisi kopi yang ada di meja sebelah.
“Kepalamu mesti didinginkan! Kau ini sinting, datang-datang mengamuk, mengataiku jalang. Memangnya kalau aku menjadi seorang jalang apa kau mau tidur denganku, hah?!” bentak Grace setelah puas menyiram kepala Edward dengan segelas kopi, hingga membuat wajah dan pakaian yang dikenakannya menjadi basah dan kotor.
Kevin yang melihat Grace menyiram Edward dengan kopi, menutup mulutnya dan menahan tawa.
“Kau—“
“Apa? Kau ingin memukulku, Ed?!” tantang Grace dengan mata yang tak kalah sangarnya menatap Edward.
Kevin berdiri, menghalangi Edward yang ingin memukul Grace, dan mencengkram tangan Edward. Baginya kali ini Edward sudah kelewat batas.
“Sudah cukup main-mainya, Ed. Kau bukan marah karena aku tak bisa ikut bersama kalian, tapi kau marah karena aku jalan dengan Grace. Kenapa kau tak akui saja kalau kau menyukai Grace, betul kan tebakanku?”
“Wah, ini masalah serius,” ujar Mark yang sejak tadi belum mengatakan apa pun.
“Iya benar, sepertinya habis ini akan terjadi perang yang lebih dashyat dari kemarin. Dasar bocah otak udang, kenapa tak mengiyakan saja pertanyaan Kevin, dengan begitu masalah selesaim Kevin tak akan lagi memancing emosinya,” sambung Vanes mengiyakan perkataan Mark.
Edward menatap Grace dan Kevin bergantian.
Kevin dengan gayanya yang tenang, mengeluarkan sebungkus rokok dari saku jaket dan menyalakannya, “Masih tak mau mengakui?” ujarnya seraya mengisap batang rokok tersebut.
“Ka-kau ... argh!”
Edward mengacak-acak rambutnya, dan kembali menendang sebuah kursi hinga terlempar cukup jauh. Beberapa orang yang berada di lokasi, melihat dengan pandangan heran ke arah mereka berlima. Mereka berbisik-bisik kemudian ada yang menertawai mereka.
“Sebaiknya kita pindah ke tempat lain, Grace,” sahut Kevin, kemudian menarik tangan Grace agar segera berlalu dari hadapan Edward. "Oh ya, katakan pada orang suruhanmu yang berada di dekat parkiran, tak perlu bersusah payah menguntit, hanya perlu bertanya saja padaku ke mana kami setelah ini akan pergi.”
*
Edward masih tak mengerti, kenapa dia merasakan kemarahan seperti tadi ketika melihat Grace berduaan dengan Kevin, meski saat ini pun dia masih ingin mengejar Kevin dan Grace, tapi Vanes dan Mark berusaha menahannya.
Edward memutar-mutar korek api di tangannya, sesekali diketuk-ketuknya di meja. Dia penasaran ke mana dua orang menyebalkan itu pergi, karena dia telah meminta pesuruhnya untuk tak perlu melanjutkan untuk menguntit kedua orang itu lagi.
“Masih kesal?” tanya Mark berhati-hati tak ingin salah ucap kemudian dibentak oleh Edward.
“Kita ke bar, kepalaku sakit memikirkan kedua orang itu!”
Mark dan Vanes saling melempar tatapan, sebenarnya terdengar geli ketika tahu sebegitu marahnya Edward.
Padahal dengan penuh percaya diri dia belum lama berkata bahwa dia tak mungkin tertarik dengan Grace.
Knyataannya berbanding terbalik, meski tak memberitahu secara langsung, mereka semua tahu kalau Edward menaruh rasa pada gadis itu.
Mereka juga menyadari, Grace lebih tertarik pada Kevin yang jelas-jelas memiliki cinta pertamanya sendiri—Valerie—nama yang disebutkan Edward sebelumnya, tapi kenapa dia begitu gencar mendekati Grace?
“Kau mau mabuk?”
“Berisik, kalau begitu belikan aku lima botol bir!”
“Jadi, kau mau ke bar atau mau minta dibelikan lima botol bir?”
“Belikan aku satu krat, hanya lima tak membuatku lupa dengan kelakuan mereka,” jawab Edward.
“HAH?!”
Setelah kejadian di Beacon Park, Edward tak mau menemui Kevin sama sekali. Kevin yang mengundangnya untuk datang ke resital piano tunggal miliknya di hari Sabtu ditolak oleh Edward mentah-mentah. Dia memilih sibuk dengan urusannya sendiri. “Jadi, Valerie kembali dari Jepang?” tanya Mark. “Ya, dia juga akan datang sebentar lagi menghadiri resital piano, berikan dia tempat khusus,” jawab Kevin lalu berlalu menuju ke belakang panggung. “Permisi, hai Mark, Van, maaf aku datang terlambat.” Seorang perempuan cantik, dengan rambut panjang berwarna hitam yang dibiarkan tergerai bebas, mengenakan gaun panjang berwarna merah maroon, mengambil tempat duduk kosong—yang memang sudah disediakan—di tengah ke dua pemuda itu. “Kau terlambat lima belas menit, Valerie,” ujar Vanes yang duduk di samping Valerie tanpa menoleh. Perempuan itu adalah seseorang yang selalu dipuja-puja Kevin, dia adalah guru piano Kevin, seorang pianis muda terkenal yang namanya selalu terpamp
Keinginan Grace untuk bekerja di sebuah klub malam sudah sangat bulat, beberapa bulan kemudian Grace mengajukan resign. Melalui bantuan James yang kebetulan kenal dengan salah satu manager klub tersebut, Grace bisa dengan sangat mudah masuk dan bekerja di sana. Grace melamar penjadi penari pool dance. Perihal hutang dengan Nathan—pemilik kasino—masih belum juga beres, dan kedua bodyguard bertampang jelek dan menyeramkan itu sesekali masih datang mengganggu Grace saat Grace ada di rumah. Bel rumah berbunyi berkali-kali, dan Grace yakin, pasti kedua orang itu lagi. Karena hanya mereka berdua yang sangat barbar menekan tombol bel semaunya. “Sudah kubilang—“ Grace terdiam tak melanjutkan kata-katanya ketika yang dilihatnya di depan pintu bukan kedua orang gila tersebut melainkan Edward. Edward terlihat tampan dengan pakaian casual. Musim dingin sudah berlalu beberapa bulan yang lalu, dan sudah beberapa bulan pula dia masuk ke dalam lingkara
Di tempat lain, di tepi sebuah danau. Kevin sedang berdiri, kedua matanya serius menatap ke tengah danau. Kevin berjalan menuju jembatan, kemudian duduk bersandar pada tiang. Dia merasa sepi, hampa, dan kosong. Memang tak selamanya uang mampu memberi kebahagiaan, sebetulnya dia iri dengan kebebasan dan keceriaan yang dimiliki Grace. Andai dia bisa memilih, dia memilih dilahirkan sebagai orang biasa. "Hey." Kevin agak terkejut melihat kemunculan Mark di dekatnya. "Sedang apa kau di sini?" "Sedang apa? Kau lupa? Aku pemilik tempat ini berikut danau yang menjadi tempat lamunan jorokmu," jawab Mark sekenanya. "Oh, kau pasti sedang mengecek sesuatu, sampai datang ke universitas, hal yang jarang sekali kau lakukan, Mark." "Tepat sekali, lelaki arogan berwajah tampan itu menyuruhku mengurus segala keperluan Grace, aku sendiri baru tahu kalau dia ingin memasukkan Grace ke sini. Entah apa yang ada di otaknya, aku benar-benar tak pah
“Hi, ternyata ini kau, Grace,” sapa Kevin. Tak bisa disangkal, Kevin pun terpesona melihat perubahan Grace. Diperhatikannya Grace dari ujung kaki sampai ujung kepala, entah kenapa Grace terlihat sangat cantik di mata Kevin. “Kevin,” ujar Grace dengan nada gembira. Yes, ksatria tanpa kuda pujaan hatinya berdiri di hadapannya dan mengulurkan tangan, tanpa ragu Grace menyambut uluran tangan Kevin. Vanes menepuk dahinya sendiri. “Tidak untuk yang kesekian kali, baru tadi dia mengatakan bahwa dia sangat mencintai Valerie, dan sekarang naluri laki-lakinya tak bisa menahan godaan ketika melihat Grace,” kata Vanes sembari menyikut lengan Mark yang berdiri di sampingnya. Edward mengernyitkan dahi, tatapan matanya seperti tatapan ingin membunuh Kevin. Bagaimana bisa, Kevin membawa Grace ke mejanya tanpa permisi kepada Edward, itu benar-benar menginjak harga dirinya! Kali ini Edward tak banyak basa-basi, sembari melepas jas dan dasi—dilemparnya ke sofa—k
Kevin, Mark, dan Vanes, ketiganya berada di rumah Edward, dan Edward tak ada di sana. Sudah pukul tiga pagi dini hari. Edward masih belum menampakkan batang hidungnya sama sekali. Terdengar suara langkah kaki menuju ke arah mereka yang sedang duduk di bar dalam rumah Edward. “Ke mana Ed?” Kevin menoleh perlahan, seorang pria tua berwajah mirip dengan Edward sedang berdiri sembari berkacak pinggang. Betul sekali, dia adalah Jason, ayah dari Edward. “Tadi dia pamit untuk pergi ke suatu tempat, sebentar lagi dia pasti kembali,” jawab Kevin berusaha menutupi, sedangkan dia sendiri tak tahu ke mana Edward saat itu. “Dua orang anak laki-laki yang kumiliki, semuanya berkepala batu. Untung saja mereka tidak tinggal bersama saat ini, jika tidak akan setiap hari aku mencemaskan keduanya,” ujar Jason. “Oh ya, bagaimana kabar Ethan, Mr. Jas?” Jason menatap Kevin dengan gayanya yang angkuh dan dingin, “Dia baik-baik
Sepertinya Grace benar-benar membenci Edward, bahkan dia menghapus nomor Edward yang berada di handphonenya, sebenarnya, dia hanya ingin melepaskan semua penat di Northville, melupakan semua kejadian buruk yang belum lama menimpanya. Dia tak mungkin berlama-lama di Northville karena masih ada urusan hutang piutang yang sama sekali belum tertuntaskan, dan dia juga harus mulai bekerja di bar pada awal bulan. Grace sendiri sudah sampai di Northville beberapa jam yang lalu. Hatinya sedikit merasa tenang. Kota kecil itu memang tak memilki penduduk yang padat, tapi entah kenapa meski hanya sebuah kota kecil, sejak dulu Grace senang berada di sana. “Mungkin sudah saatnya aku membuka lembaran baru. Aku tak peduli lagi dengan semuanya. Begitu aku kembali ke Detroit, jangan harap, kalian akan melihat Grace yang dulu,” ujar Grace bermonolog seorang diri. Dia tak akan membiarkan siapa pun merendahkannya lagi begitu dia kembali nanti. Padahal dia tak sadar profesinya nant
Seandainya saja Edward bisa memutar kembali waktu. Dia ingin tak ada gadis bernama Grace yang masuk ke dalam lembar kehidupannya. Dia ingin semuanya kembali seperti 'tak pernah terjadi apa pun' dan menjalani kehidupan normal seperti dulu. Meski menyangkal seribu kali, tapi semua tahu, Edward memiliki rasa terhadap Grace. Gadis yang selalu dianggapnya tolol dan setengah sinting, justru itu yang membuatnya tertarik. "Ed," panggil Vanes. "He-em, kau mau mengatakan apa?" "Aku sedang membayangkan, jika saat ini Ethan berada satu atap denganmu, lalu dia melihat Grace. Bagiku Grace itu unik, dia cantik, dan sebenarnya dia itu tidak bodoh, apa menurutmu Ethan akan mengejar gadis itu?" Kenapa harus membawa-bawa Ethan yang mungkin sudah bahagia bersama Karen? Seperti tak ada pembahasan lain. Sudah cukup bagi Edward. Satu penghalang bernama Kevin, dia masih bisa menghadapinya, tapi kalau sampai muncul seorang lagi dan itu Ethan ... dia tak akan hab
Grace dan Kevin terlihat bahagia dan sangat menikmati kebersamaan yang dilewati, Kevin menemani Grace ke sebuah taman hiburan. Grace tak pernah luput dari pandangan Kevin, ke mana dia melangkah, tatapan matanya akan selalu mengikuti Grace. “Grace,” panggil Kevin. Grace yang sedang bercanda dengan seorang anak kecil, menoleh ke arah Kevin. Sungguh, mau berpakaian seperti apa pun, pemuda di hadapannya ini benar-benar terlihat menarik. Belum lagi pembawaan Kevin yang selalu membuat hati Grace merasa tenang. Tatapan matanya yang begitu teduh, tutur katanya yang sopan, sikapnya yang manis, dan lembut selalu berhasil membuat hati Grace bergejolak. “Ya, ada apa?” “Hmmm, kemari, aku ingin memberimu sesuatu,” sambung Kevin, meminta Grace mendekat. Ada sesuatu yang memang sudah dipersiapkan Kevin untuk Grace sejak beberapa hari sebelumnya. “Apa yang kau sembunyikan di belakang tanganmu?” tanya Grace ketika melihat satu tangan Kevin berada di belakang pu