Malam terus merambat lambat, seperti enggan beranjak.Livia terbaring di atas ranjang, memandangi langit-langit kamar dengan mata yang enggan terpejam. Tirai jendela melambai pelan tertiup angin, membawa aroma malam yang lembab dan dingin. Di sampingnya, boneka kesayangan Finnian tergeletak, menjadi satu-satunya teman tidur malam ini. Biasanya, Zayn akan setidaknya menyapa sebelum menghilang ke dalam kesibukannya. Tapi malam ini… pria itu kembali dengan diam dan pergi dengan bisu.Livia menarik napas panjang, mencoba menenangkan hatinya yang masih kacau.‘Aku ini apa sih sebenarnya buat dia?’ pikirnya.Selama ini, ia sudah mencoba untuk mengerti. Bahwa Zayn adalah pria sibuk, dingin, bahkan nyaris tak tersentuh secara emosional. Tapi bukankah setiap orang berhak tahu tempatnya? Peran apa yang sedang ia mainkan dalam hidup orang yang telah merenggut seluruh dunianya? Ayahnya dipenjara karena korupsi. Ia sendiri tinggal di rumah laki-laki yang tak pernah secara jelas mengatakan siapa di
Malam telah turun sempurna.Cahaya lampu-lampu taman berpendar lembut di halaman mansion Vanderbilt. Angin malam meniup dedaunan, menyisakan desiran halus yang terasa hampir seperti bisikan. Di dalam rumah, suasana hening, terlalu hening bagi rumah yang ditinggali seorang bocah penuh energi seperti Finnian dan wanita polos yang selalu cerewet seperti Livia.Zayn menghentikan mobilnya di depan pintu utama. Matanya sedikit memerah, bukan karena lelah, tetapi karena sisa emosi yang tak kunjung surut dari ruang penyiksaan tadi. Darah Ivan mungkin telah ia bersihkan dari tangannya, tapi noda di pikirannya masih mengendap.Langkahnya berat ketika ia menaiki anak tangga marmer rumah itu. Pintu dibuka pelayan, dengan sedikit membungkuk sopan.“Selamat datang, Tuan Zayn,” sapa pelayan itu hati-hati. Mungkin ia juga merasakan hawa dingin yang menyelimuti tubuh pria itu.Zayn hanya mengangguk tipis, berjalan masuk tanpa sepatah kata pun. Matanya menyapu ruang tamu yang kosong. Livia tidak terlih
Tempat lain.Gedung tua di kawasan pelabuhan yang tampak kumuh dari luar itu ternyata memiliki ruang bawah tanah tersembunyi tertutup pintu baja dengan kode khusus. Di sanalah Zayn Vanderbilt berada malam ini. Bukan dengan setelan CEO elegan seperti biasanya, melainkan kemeja hitam dilipat hingga siku, bercak darah yang belum sempat mengering tampak memercik di bagian lengan. Wajahnya datar. Tenang. Dingin.Namun di balik ketenangan itu, ada kemarahan yang membara.Di depannya, seorang pria terikat pada kursi logam. Tubuhnya penuh luka lebam, bibir pecah dan bengkak, dan napasnya tersengal-sengal. Ruangan itu hanya diterangi satu lampu gantung yang menggantung rendah, menyorot tubuh sang pengkhianat seperti spotlight menuju neraka.“Enam tahun,” suara Zayn akhirnya terdengar. Dingin. Tajam. Setajam belati yang tergantung di meja besi di sampingnya. “Kau bekerja denganku selama enam tahun, Ivan. Dan kau memilih mengkhianati keluarga Vanderbilt... demi beberapa lembar uang receh dari si
Langit senja menggantung murung, seakan mengerti apa yang tengah dirasakan oleh gadis bernama Livia Everleigh. Setelah seharian di kampus yang penuh lika-liku perasaan dan pikiran, kini ia hanya ingin pulang berharap mendapat sedikit ketenangan dari riuhnya batin.Namun, saat keluar dari gerbang kampus, harapan itu perlahan menguap.Bukan Zayn yang menunggunya di dalam mobil seperti biasanya.Bukan tatapan dingin namun mencuri perhatian itu yang menyambutnya.Yang ada hanyalah mobil hitam mengilat yang sudah familiar di matanya—dengan seorang sopir tua berkacamata yang dengan ramah membukakan pintu dan menyapa, “Tuan Zayn menyuruh saya menjemput Nona.”Hatinya menegang, meski wajahnya tetap datar. Bibirnya menarik senyum kecil yang kering. “Terima kasih, Pak.”Tanpa protes, Livia masuk ke dalam mobil. Ia duduk diam di kursi belakang, menatap keluar jendela, membiarkan suasana sepi menyelimuti perjalanan pulang. Jantungnya terasa berat, sesak oleh pertanyaan-pertanyaan yang belum terja
Langit kampus siang itu seperti biasa biru dan tak terlalu mendung. Mahasiswa berseliweran di pelataran dengan berbagai raut wajah, mulai dari stres karena skripsi, gugup karena presentasi, hingga senang karena kelas dibatalkan. Di tengah riuh suasana itu, Livia duduk sendiri di bangku taman kampus. Tangannya sibuk memainkan sedotan dalam gelas plastik berisi es coklat, sementara matanya terus menerawang, memikirkan hal yang tak kunjung menemukan jawaban.Ia baru saja melihat Zayn. Pria itu datang ke kampus, berdiri tak jauh dari fakultas ekonomi, berbicara serius dengan beberapa pria berjas rapi. Jelas itu urusan bisnis, karena wajah Zayn berubah sangat profesional dan dingin. Tapi, yang membuat hati Livia tercekat adalah: Zayn tidak menoleh sedikit pun ke arahnya. Tidak juga memberinya tatapan hangat seperti biasa. Bahkan tidak mengirim satu pesan pun.“Livia!”Suara ceria itu datang dari seseorang yang sudah sangat ia kenal. Aisha. Teman sekampus yang akhir-akhir ini selalu menempe
Hari itu kampus tampak lebih ramai dari biasanya. Suara obrolan mahasiswa bersautan di lorong, tawa meledak dari sudut-sudut kelas, dan aroma kopi dari kantin menguar menyatu dengan panas matahari yang mengendap di pelataran. Mahasiswa berlalu-lalang, beberapa membawa buku, beberapa sibuk dengan ponsel, dan sebagian lagi hanya asyik nongkrong tanpa tujuan pasti.Di tengah hiruk-pikuk itu, Livia berjalan pelan di koridor menuju kantin. Tangannya memeluk buku catatan dan wajahnya masih murung karena kejadian pagi tadi dengan Finnian. Meski bibirnya berusaha tersenyum kecil, matanya menyimpan sisa-sisa kekhawatiran.“Huft... semoga Finnian sekarang udah tenang,” gumamnya lirih.Baru beberapa langkah melewati taman kecil di dekat fakultas hukum, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari belakang.“Livia!”Livia menoleh dan mendapati sosok Rafka—si cowok kampus yang terkenal bad boy dan penuh gaya berlari kecil menyusulnya. Kemeja putihnya digulung sampai siku, rambutnya disisir acak-acaka
Pagi itu, aroma roti panggang dan sosis keju memenuhi udara dapur. Sinar matahari menembus tirai dapur yang dibiarkan terbuka, membuat suasana rumah terasa hangat dan hidup. Di tengah meja makan yang besar, telah tertata rapi aneka hidangan sarapan mulai dari telur orak-arik, pancake bertumpuk, hingga semangkuk besar buah potong.Serenity sibuk menuangkan susu ke dalam gelas Finnian. Wajahnya cerah seperti biasa, rambut panjangnya diikat asal-asalan ke atas kepala, dan piyamanya masih penuh gambar unicorn berwarna-warni.Livia duduk di sisi Finnian, menyendokkan selai ke roti anak itu sambil sesekali mencuri pandang ke arah Zayn yang duduk di ujung meja, serius membaca laporan dari tabletnya meski sesekali menyuap sarapannya sendiri dengan gerakan santai.Sementara itu, Axel entah datang sejak jam berapa sudah duduk rapi dengan segelas kopi hitam dan telur rebus. Dia benar-benar terlihat seperti pengawal pribadi yang tidak tahu cara liburan.“Finnian sayang, ayo makan, nanti roti kamu
Di dalam rumah megah yang bergaya klasik modern itu, udara sore terasa sejuk. Angin menerobos lembut melalui jendela besar yang dibiarkan sedikit terbuka, menyapu tirai tipis yang bergoyang pelan.Axel duduk di ruang tamu dengan kaki disilangkan, tampangnya tetap datar seperti biasanya. Namun sorot matanya tajam menelusuri sekeliling, hingga akhirnya jatuh pada Finnian yang tengah berdiri di depan televisi sambil memegang remote, mencoba menyalakan channel kartun kesukaannya.“Finnian, jangan dekat-dekat layar! Nanti matanya rusak,” tegur Livia sambil tergesa menghampiri bocah itu. Dengan wajah khawatir namun tetap lembut, ia menarik Finnian untuk duduk di sofa.Finnian manyun, namun menurut. “Tapi tante Livia, Finnian mau nonton yang ada robot-robotnya….”“Boleh, tapi duduk manis, ya?” Livia tersenyum.Axel hanya memperhatikan dengan tatapan aneh. Entah sejak kapan, dia jadi lebih sering mengerutkan dahi jika melihat Livia—bukan karena tidak suka, namun karena bingung. Gadis itu terl
Zayn belum menyalakan mesin mobil. Tangannya masih menggenggam jemari Livia erat-erat, seolah takut gadis itu akan menghilang jika ia melepaskannya sedikit saja. Livia masih bersandar di dadanya, mendengarkan detak jantung pria itu yang berdebar cepat entah karena emosi, atau karena ia.“Jadi…” Livia mendongak, mengangkat wajahnya yang masih sembab. “Kalau aku bener-bener polos, Kak Zayn mau gantiin jadi bodyguard pribadi aku, gitu?”Zayn mengangkat satu alis, matanya menatap dengan pandangan tajam tapi geli. “Bodyguard pribadi? Bayarannya berapa dulu?”“Hmm…” Livia berpikir keras, lalu mengangguk sok serius. “Satu ciuman per hari. Kalau nyelamatin nyawa aku, boleh dapet dua. Tapi kalau kamu terlalu galak, aku diskon jadi setengah.”Zayn tak bisa menahan tawanya. “Setengah ciuman itu gimana maksudnya?”Livia pura-pura berpikir lagi, lalu menjawab, “Cuma boleh nyium pipi. Atau… hidung?”Zayn memiringkan kepala, mendekat pelan, lalu mengecup ujung hidung gadis itu. “Baik, Bodyguard Zayn