Share

Mulai sekarang kau akan perduli

Lelaki yang tidak kutahui siapa dia, menggendongku dan membawaku di atas ranjang. Dia menarik kedua tanganku lalu mengikatnya. Sementara itu terdengar suara langkah kaki yang menjauh.

BRAKKK!

Suara pintu terdengar begitu kerasnya.

Kurasaka sentuhan di kakiku, jangan-jangan? "Stop!" Pintaku pada lelaki itu. Entah dia Xiloe atau siapapun itu.

Ucapanku bagai angin lalu, ia tak menggubris perkataanku.

"Lututmu jelek sekali, pantas kau malu." Ucapnya dengan enteng.

"Aku tak perduli akan pendapatmu." Jawabku acuh.

"Mulai sekarang kau akan perduli. Harus!"

Apa maksudnya bicara seperti itu? Dasar konyol. Jika terus hidup disini, aku akan menjadi gila seperti mereka.

"Kuberi tahu agar lebih jelas, kau tak berhak atas diriku."

PLAKK

Tamparan begitu keras mendarat di pipiku.

Jamarinya mencengkram kuat pipiku.

"Akan ku pastikan kau bertekuk lutut kepadaku." Ucapnya sambil menjambak rambutku.

"Aww... hisss...," jambakannya membuatku meringis kesakitan. "Lepaaskan!" Pintaku.

"Seira, maafkan aku!" Tiba- tiba dia meminta maaf padaku. Apa aku tak salah dengar? Untuk pertama kalinya dia menyebut namaku.

Hiks... hiks...

"PERGI!" Teriaku padanya. Jemariku mencengkram gaun putih ini.

"Kau! Sebaiknya kau ingat siapa dirimu!"

Cup

Tiba- tiba benda kenyal itu mendarat di bibir ku. Ciumannya begitu kasar. Bibirku terasa sakit karena gigitannya. "Eum... mm, lep... as... kan!" Racauku sambil meronta.

Lumatannya semakin dalam. Aku tak sanggup mengikuti permainannya. Bukan, sebenarnya aku merasa jijik melakukan ini dengannya.

Air mataku keluar semakin deras membasahi kain putih yang membalut mataku. Beberapa detik kemudian, ciuman itu berakhir. Jemarinya mengusap lembut bibirku.

"Cih. Ingatlah ciuman pertamamu ini!" Kata lelaki itu dengan suara yang terdengar sexy.

Bagaimana ia bisa tahu hal itu? Apa dia seorang penguntit di masa lalu?

Atau kerana ciumanku begitu buruk? Bodoh! Untuk apa aku perduli.

Tiba- tiba lelaki itu memeluk tubuhku dengan erat. Aku terbujur kaku dengan tingkahnya yang mudah berubah. Jika tanganku tak terikat dan mataku tak tertutup, aku akan lebih dulu mendorongnya.

Tapi kali ini biarlah, aku tak ingin hal lebih buruk terjadi padaku.

***

"Nona, Nona Seira."

Kudengar seseorang memanggil- manggil namaku. Tubuh terhayung kesana kemari. Gempa?

"Nona Seira, bangun!"

"Gempa," aku tergelalak kaget.

"Nona, Anda baik- baik saja?"

"Rani?" Aku terkejut, tapi syukurlah. Ku kira...,

"Apa nona mimpi buruk?"

"Tidak."

"Jika anda baik- baik saja, saya akan membuka perban nona, supaya nona bisa segera mandi."

Ternyata ikatan di tanganku sudah terlepas. Begitu juga rantai di kaki ku.

"Nah, Nona Seira silahkan mandi! Saya sudah menyiapkan air untuk Anda."

"Baiklah," aku turun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Rasanya malas harus mandi setelah bangun tidur.

Kurendam tubuhku di dalam air. Aroma mawar semerbak menusuk hidungku. 'Tumben' pikirku. Tidak biasanya, menggunakan aroma mawar. Biasanya Rani menyiapkan sabun aroma lemon kesukaanku. Tapi ini tidak buruk, aku suka.

15 menit kemudian, kuputuskan untuk mengakhiri aktivitas berendamku. Aku segera mengambil handuk dan mengeringkan tubuhku dan memakai pakaian yang di siapkan Rani. Sejujurnya aku tak terbiasa berganti pakaian di kamar manndi. Tapi kamar yang ku tempati, terpantau 3 CCTV dari beberapa sudut kamar. Lebih lagi tidak ada tempat ganti seperti kamar di rumahku dulu. Begitulah, aku tidak ada pilihan selama menjadi tawanan disini.

Usai memakai gaun putih ini, aku segera keluar dari kamar mandi.

Aku duduk di atas ranjang sambil menunggui Rani menyisir rambutku. Sebenarnya aku bisa menyisir rambutku. Tapi Rani berkata itu adalah tugasnya. Menyisir rambut adalah hal remeh bagiku, tapi Rani ketakutan ketika aku meminta untuk menyisir rambutku sendiri. Aku tahu, pasti Rani di ancam oleh Iblis di rumah ini. Aku merasa kasihan padanya begitu juga dengan diriku sendiri yang tak berdaya.

Entah bagaimana Rani bisa berada di rumah yang berisikan monster.

"Rani, apakah tidak ada gaun warna lain selain putih?" Tanyaku dengan wajah datar.

"Tentu ada banyak Nona Seira." Jawab Rani dengan senyum manisnya.

"Lalu?" Tanyaku lagi.

Jika hanya ada warna lain, kenapa hanya warna putih yang terus ku kenakan selama 3 tahun ini?

"Tuan bilang..., eumm..." ku lirik wajah Rani ia tampak ragu untuk menjawab pertanyaanku.

"Sudahlah!" Kataku.

"Nona, biarkan saya menyemprot parfum di nadi nona." Rani tengah bersiap dengan parfum di tangannya.

"Parfum? Why? Untuk apa menyemprotkan parfum?" Aku tidak begitu suka memaki parfum. Lagi pula untuk apa? Hari ini penuh dengan kejutan. Aku tidak begitu paham tentang parfum, tapi bisa di lihat itu adalah parfum mahal.

"Ini perintah Tuan."

"Tuan? Cih! Aku tidak mau."

"Tapi nona," Rani mulai memperlihatkan wajah memelas. Hah, gadis ini benar- benar mudah membuat hatiku luluh.

"Sini!" Ucapku sedikit jengkel, tetapi berbeda dengan Rani yang tampak senang.

Segera kusemprot di nadiku, lalu megosoknya dan ku oleskan dengan lembut di area leherku. Harumnya menenangkan. Cukup lumayan.

Tapi mengapa? Hari ini sedikit mencurigakan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status