"Maksudnya apa, ya, Bu?"
"Maaf sekali karena lamaran Yumna dibatalkan sepihak oleh Ilham, Bu. Kami sebagai orangtua tidak tahu akan seperti ini bahkan sangat malu pada keluarga Yumna. Keputusan ini ditentukan Ilham seorang diri dan–"
"Cukup! Tolong jangan dilanjutkan lagi, Bu." Mata ibu sudah basah oleh air mata. Ponsel itu diletakkan perlahan tanpa memutus sambungan telepon. Ibu menatap penuh luka. Aku sampai menunduk karena sesak melihat pemandangan ini. "Alasannya apa, Yum?!" tanya ibu menggoyangkan bahuku.
Air mata semakin mengalir deras. Aku terlalu takut untuk mengangkat wajah. Lagi pula tidak tahu harus menjawab apa ke ibu karena Mas Ilham memberi alasan yang tidak masuk akal. Lelaki itu terlalu pecundang. Dia datang dengan sekoper janji manis yang tidak ada keinginan mewujudkan.
Seharusnya tidak seperti ini karena hanya melukaiku. Ini tidak adil, bahkan bisa jadi Mas Ilham sedang bercanda ria dengan teman-temannya. Entah bagaimana marahnya ayah apalagi kemarin aku memutuskan kuliah yang sudah semester lima karena lelaki itu.
Sekali lagi, semua di luar dugaan karena Mas Ilham terkenal baik di kalangan teman-temannya. Bahkan ustaz kemarin bilang kalau Mas Ilham itu tidak pernah dekat dengan perempuan lain sebelumnya. Hal yang paling membuat hati yakin selain istikharah adalah keberaniannya membawa keluarga untuk melamar langsung tanpa mengajak pacaran.
"Yumna!" desak ibu.
Hanya denting jam yang terdengar menyakitkan sekarang. Aku sangat bingung dan malu sekarang. Untuk berdiri di kaki sendiri pun rasanya sulit. Bukan hanya tanggapan tetangga, tetapi juga teman-teman. Beruntung undangan pernikahan belum disebar karena masih dua bulan lagi.
Aku menelan saliva sambil mengepal tangan. Seandainya saja bisa menghajar lelaki itu, sudah pasti kulakukan. Padahal minggu kemarin aku sempat berbincang hangat dengan adik dan saudara iparnya yang perempuan. Takdir ini sungguh menjadi kejutan yang luar biasa tepat di hari ulang tahunku.
"Aku juga tidak tahu, Bu. Bahkan kalau saja boleh, biar aku sendiri yang menanggung luka ini." Air mata mengalir semakin deras. Sesak sekali.
Sebelum memutuskan lamaran, apakah Mas Ilham tidak berpikir berapa banyak hati yang terluka dan wajah yang menanggung malu? Apakah mungkin dia lelaki yang tidak punya hati atau punya, tetapi sama sekali tidak digunakan? Mas Ilham sepertinya tidak sadar bahwa setiap perbuatan akan mendapat balasan serupa, dia punya adik perempuan dan semoga tidak merasakan luka sepertiku.
Beribu tanya merajai hati dan pikiran. Aku sampai tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Ibu sudah tahu kenahasan ini, di manik matanya terpancar luka yang teramat dalam. Aku menggigit bibir ketika mengingat ayah juga Mas Dika. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka nanti.
"Katakan pada ibu, Nak. Kesalahan apa yang sudah kamu lakukan sampai Ilham melakukan hal seceroboh itu?"
Kalimat Mas Ilham kembali terngiang dalam pikiran. Aku memejamkan mata berusaha menikmati luka yang semakin membelenggu jiwa berharap ada sosok lain yang mengobati luka ini. Harapan yang digantung kepada selain Allah memang mengecewakan.
Sebenarnya aku berharap pada Allah, tetapi Mas Ilham terlalu meyakinkan sehingga ada secuil harapan dalam hati yang berlabuh padanya. Padahal sepanjang malam aku berdoa agar Allah melancarkan niat kami untuk beribadah.
"Mas Ilham punya alasan tersendiri, Bu. Aku tidak menuntut terlalu dalam karena masih belum resmi menjadi istrinya." Aku berusaha menjawab dengan tenang walau hati seperti diporak-porandakan.
"Walau bagaimanapun, ayahmu harus tahu. Namun, biarkan Dika duluan yang diberitahu karena kebetulan dia ada di kamarnya."
"Aku takut, Bu. Mas Dika pasti marah dan langsung mendatangi Mas Ilham."
"Tidak, biar ibu yang menyampaikan padanya, tapi kamu juga harus hadir."
Kami pun ke luar kamar mencari Mas Dika. Kebetulan sekali dia sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Dilihat dari penampilan, dia hendak ke luar rumah. Aku semakin takut menatap kakak laki-lakiku itu. Dia memang penyayang, makanya tidak bisa menerima jika ada yang melukai adiknya.
Ibu memintanya duduk di ruang tengah dulu. Mas Dika sempat menolak karena mau berkunjung ke rumah temannya, tetapi ibu memaksa dengan dalih ini masalah penting. Akhirnya, Mas Dika mengalah dan kami duduk saling berhadapan, sementara ayah masih bekerja di kebun.
"Adikmu, Dik. Lamarannya dibatalkan Ilham sepihak. Orangtuanya sudah mengklarifikasi bahwa itu keputusan Ilham sendiri dan mereka malu untuk datang meminta maaf."
"Ilham membatalkan lamarannya, Bu?" Mas Dika memasang raut wajah terkejut dan beralih memandangku. "Kenapa, Yum?"
Aku menunduk, tidak mau menjawab pertanyaan Mas Dika. Dia pasti marah besar dan mengungkit perkara penolakannya kemarin yang aku abaikan.
Ibu menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Suaranya serak, pasti menahan sesak dalam dada. Aku kembali menitikkan air mata mendengar cerita itu. Lelaki yang pergi meninggalkan setelah memberi sebuah harapan. Ibarat diterbangkan ke angkasa, lalu dijatuhkan dengan cara yang mengenaskan.
Aku seperti mati rasa dan trauma dengan kejadian ini. Namun, tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Cinta yang baru saja tumbuh sudah mati dalam sekejab. Senyum ibu ketika membahas Ilham tidak lagi terpancar. Keadaan di rumah berbeda hampir seratus persen.
"Aku harus memberi pelajaran pada Ilham, Bu. Keliatannya aja yang salih, padahal tidak punya etika. Orangtuanya juga bersalah, seharusnya mereka datang ke sini walau sudah sangat malu. Memangnya mereka saja yang malu? Kita lebih malu, Bu!" tekan Mas Dika.
"Tenang, Dik. Kita tunggu keputusan ayahmu dulu. Nanti sore baru ibu cerita atau mungkin malam nanti ketika lelahnya sudah hilang." Ibu masih berusaha menenangkan Mas Dika.
"Apa mungkin karena kita bukan orang kaya, Bu?"
Aku mengangkat wajah mendengar pertanyaan itu. Mas Dika menatapku dengan raut kasihan. Aku tahu dia ingin memeluk dan menenangkan, tetapi hatinya masih kacau. Di matanya ada semburat merah menandakan Mas Dika memendam amarah. Tangannya pun terkepal kuat.
"Maafkan aku, Mas. Mungkin ini sudah takdir daripada nanti menikah, sebulan kemudian sudah jadi janda." Aku membuka suara setelah mengumpulkan keberanian. Berusaha bersikap tenang seakan tidak ada hati yang tercabik.
"Bukan karena kita miskin, tapi Ilham ada alasan lain yang sifatnya pribadi. Memang kita menanggung malu, merasakan sakit yang luar biasa karena tidak pernah menyangka akan seperti ini. Namun, tidak juga boleh menyalahkan Ilham karena alasannya masih belum jelas." Kembali ibu berusaha bersikap bijak.
"Kalau saja Ilham itu lelaki, dia harus datang meminta maaf di depan adikku!" tegas Mas Dika, "aku tidak terima Yumna menangis sementara Ilham bersikap biasa saja. Hanya pecundang yang tidak berani menampakkan diri setelah melakukan kesalahan!"
"Siapa yang pencundang?" Suara ayah mengagetkan kami semua. Jantung berdebar semakin cepat saja.
'Tolong aku, Tuhan,' batinku menangis.
"Ibu, apa lamaran Gus Hanan ditolak saja?" tanyaku ragu-ragu.Selama ini sibuk menimbang hingga sekarang masih belum menemukan jawaban padahal ba'da dzuhur mereka akan datang sesuai janji Gus Qabil malam tadi. Jejak kenangan terus tereja dalam memori sejak waktu terasa tak berdetak begitu Mas Dika menyampaikan unek-uneknya."Apa alasanmu menolak lamaran Gus Hanan? Dia baik agama dan akhlaknya. Lantas tidak takut jika kelak musibah menimpa kamu? Beliau akan datang bersama Kyai Sholeh, apa berani menolak?"Aku diam, semua yang dikatakan ibu ada benarnya. Namun, bagaimana dengan Mas Dika yang kehilangan cahayanya? Apakah ditakdirkan hidup sebagai mentari redup?"Bu, aku belum mencintai Gus Hanan dan malu pada keluarganya yang semua orang berilmu. Coba Ibu bayangkan dilamar putra kyai yang sangat disegani. Semua orang akan mengira aku bodoh, tetapi memang sulit menjalaninya," lirihku."Apa maksudmu menolak lamaran Gus Hanan?" Pertanyaan Mas Dika berhasil meluruhkan air mata yang sejak tadi
"Maaf, Mas. Haram melamar pinangan orang lain," gumamku berhasil membuat Mas Ilham membisu.Selama ini aku tidak pernah menduga akan dilamar untuk kali ketiga. Padahal sudah banyak waktu terlewat menuai luka yang begitu dalam.Aku menunduk, tidak sanggup menatap wajah yang penuh kedukaan apalagi jika melihat mata Mas Ilham. Pasti ada perih yang seketika membelenggunya. Aku memejamkan mata berusaha menenangkan diri."Carilah perempuan lain, Ham. Yumna sudah dilamar Gus Hanan. Jawabannya sudah ada hanya belum menyampaikan.""Tapi aku cinta ....""Cinta saja tidak cukup. Takdir yang menentukan sementara kita menjalani. Tiada cinta tanpa pengorbanan. Mungkin memang ini yang sudah menjadi takdirmu. Terima saja walau perih merajai hati." Penjelasan Mas Dika cukup bisa membungkam lelaki itu.Masalah kesungguhan hati, aku bjsa merasakannya. Dia memeriksakan diri, kemudian kembali dengan sejuta harapan berujung nestapa. Kejujuran memang a
"Diamlah! Cinta adalah sebutir permata yang tak bisa kaulemparkan sembarangan umpama sebutir batu." –Jalaluddin Rumi.***"Mas, janji loh ya temani ke toko jilbab. Aku tuh mau pakai jilbab baru saat menerima lamaran!" teriakku sambil mengetuk pintu kamar Mas Dika.Tidak ada sahutan padahal sudah puku sepuluh siang. Kalau terus-terusan begini lebih baik pergi sendiri. Aku meminai sekliling rumah mencoba menemukan kunci motor. Nihil."Mas, kunci motor ada di kamu?" teriakku kesal.Bukannya menjawab, Mas Dika malah tertawa jahat. Aku semakin kesal sampai menendang daun pintu tersebut. Rengekanku tidak berarti lagi, Mas Dika kekeuh menutup pintu.Sialnya karena ayah ibu tidak ada di sini, jadi dia bebas berulah. Berulang kali aku memutar otak agar bisa menemukan cara, tetap gagal. Memang ada satu lagi, tetapi tidak meyakinkan.'Coba saja! Kalau gagal, gak apa!', bisik hati nuraniku.Pintu kamar kembali kuketuk. "Ya udah, engg
Ada pesan What$app dari Nurul yang izin bertamu jam dua siang. Sebenarnya it's okay, hanya saja nanti Mas Dika marah. Permintaannya ditolak, tetapi tetap juga datang.Sekarang dia ada di depanku. Mas Dika yang mendengar kabar kedatangan Nurul buru-buru masuk kamar dengan membanting pintu kasar. Aku sampai terperanjat dan mengelus dada."Aku mau ke Amerika minggu depan, Yum. Sebelum ke sana, tolong maafkan aku. Sampaikan pada Mas Dika juga ibu dan ayahmu." Nurul memulai percakapan dengan mimik datar."Serius?" tanyaku kaget.Dia mengangguk. "Sebelum ke Amerika, aku sudah harus selesai mengunjungi semua orang yang pernah kubuat sakit hati. Aku ingin memulai lembaran baru, maka harus meninggalkan Indonesia.""Mas Ilham sudah tahu?" Walau mereka sudah cerai, aku tidak tahu kenapa menanyakan itu. Nurul menggeleng lemah."Di sana nanti sama siapa?""Saudaranya mendiang ibu." Setelah itu Nurul menyodorkan sebuah surat. Katanya buat Mas Dika.
Sepulang dari belanja, aku kaget melihat banyak ibu-ibu kumpul di depan rumah seperti acara bagi sembako. Kali ini masih dipimpin Bu Wenda dan Bu Arin. Mereka selalu berulah seperti akan sekarat jika sehari belum menggibah atau fitnah orang lain. Andin ikut singgah dengan beberapa belanjaan dan itu mengundang perhatian mereka sambil berbisik-bisik. Aku hanya bisa diam karena belum tahu duduk masalahnya. "Mas Dika mana, Bu?" tanyaku setelah menyadari ibu menghadapi mereka semua sendirian. "Masmu lagi ke luar beli ... ibu lupa." "Jawab dong, Bu kenapa sampai cerai sama ayah Dika?" Mataku membulat sempurna mendengar mereka. Pantas saja kumpul seperti orang unjuk rasa, ternyata kepo tingkat dewa. "Wah, Yumna langsung belanja banyak setelah menerima uang dari ayah Dika. Baru pertama seumur hidup ya?" Aku tidak tahu siapa yang melempar pertanyaan itu. Hati mendadak panas, aku meremas gamis sendiri agar bisa menguasai diri. Mereka semua sudah kelewat batas. Semua belanjaan kuserahkan
"Mas, kamu mau ngerebut ayah, kan?" tuduh Nurul yang sengaja bertamu ke rumah kami"Apa katamu? Aku ngerebut ayah?" Mas Dika terkekeh pelan dengan tatapan nyalang. "Ayahku cuma satu dan sedang bekerja. Mentang Pak Fajar itu orang kaya lantas aku akan merebutnya? Sorry, aku gak matre kayak kamu!"Tetangga ada yang melihat kami dari kejauhan, mungkin penasaran apa yang sedang terjadi. Ya, kabar Nurul sebagai adik Mas Dika belum menyebar, aku suka itu.Katanya Mas Dika ingin merebut ayahnya? Ambil saja Pak Fajar-mu itu! batinku kesal."Lalu, kenapa kamu menerima uang sepuluh juta dan ATM itu. Aku saja gak dikasih!" protes Nurul. Aku pikir dia benar berubah kemarin atau karena uang, makanya marah?Mas Dika hendak masuk rumah, mungkin mau mengembalikan apa yang diterimanya kemarin, tetapi aku mencekal sekuat tenaga. Setelah itu, melirik pada Nurul. "Mas Dika punya hak, bahkan lebih daripada kamu!" tegasku."Ibumu dicerai hidup, tetapi ibuku dicer
Tiga puluh lima menit berlalu, sebuah alphard hitam terparkir di halaman depan. Untuk rumah sesederhana ini, aku merasa tidak cocok jika ada mobil mewah di depan. Terlalu mencolok. Seorang lelaki paruh baya dengan perut sedikit besar ke luar dari mobil. Dia memakai kacamata minus. Jas warna abu muda dengan sepatu hitam. Penampilannya jauh berbeda waktu datang sama Nurul. Dia mengetuk pintu, mengucap salam tanpa tahu kami mengintip di balik jendela. Mas Dika membuka, aku bisa melihat tangannya yang gemetaran. Ketika daun pintu terbuka lebar, Pak Fajar terpaku sesaat memindai Mas Dika dari bawah ke atas. Detik selanjutnya, hanya tangisan yang sedikit menggema di rumah sederhana ini. Dia memeluk penuh kerinduan. Aku tidak tahu kenapa dulu beliau mengaku bujang padahal ibu penyayang. "Silakan duduk!" Mas Dika menyilakan Pak Fajar. Beliau duduk di depan kami. Bisa kulihat binar kebahagiaan di matanya, senyum pun merekah menciptakan keriput kecil di
22 08 22Aku suka tanggal itu karena angka di depan dan belakangnya sama persis, kemudian di antarai angka nol dan delapan yang tidak berujung. Jika diumpamakan ; 22 adalah sepasang kekasih, cinta pun sayangnya tiada ujung.Di tanggal itu pula Pak Fajar ditemani Nurul datang bertamu ke rumah mencari Mas Dika, sementara hanya ada aku dan ibu yang bibirnya terkatup rapat. Lelaki paruh baya ini sangat mirip dengan masku, Nurul mungkin tidak memikirkan itu sebelumnya."Sekali saja, Dahlia. Sekali saja aku ingin melihat Dika!" mohonnya."Maaf, Pak Fajar. Namun, Dika selama ini mengira ayahnya telah meninggal." Ibu menyahut setelah lima menit diam. Itu pun karena aku memegang tangannya.Pak Fajar mendesah berat, aku bisa melihat bagaimana dia tidak mudah putus asa atau menyerah jika butuh sesuatu. Nurul sejak tadi tidak pernah membuka suara, aku tidak tahu bagaimana caranya menyampaikan tentang Mas Dika pada ayah mereka.'Ayah mereka', aku tidak s
Mas Dika pulang ke rumah pukul tiga sore, sementara ayah katanya menyusul karena singgah dulu di rumah teman lama yang sefrekuensi. "Mas, tadi Nurul ada di sini loh nungguin kamu!" aduku ragu-ragu. "Ngapain nunggu mas? Gak ada urusan!" ketusnya. "Mas, dia kan adik kamu juga. Apa nanti Mas Dika berubah dan melupakanku apalagi kalau sudah menikah dengan Gus Hanan?" "Yumna, kamu itu ngomong apa sih?! Cuma kamu adik mas gak ada yang lain!" Suara Mas Dika meninggi, aku sedikit takut mendengarnya. Ibu memanggil Mas Dika, sementara aku melangkah cepat masuk kamar. Mungkin sekarang lebih baik mengabari Amel tentang fakta mengejutkan ini. Ketika sibuk dengan ponsel, aku teringat pada Mas Ilham. Sejak lamaran aku tolak, nomornya tidak pernah aktif lagi. Apalagi sekadar lewat atau menyapaku. Tidak ada kabar, Nurul pun seperti enggan memberitahu. "Halo, Amel. Apa aku mengganggu?" sapaku ketika panggilan tersambung. "Tidak, lagi san