Share

Bab 2

"Maksudnya apa, ya, Bu?" 

"Maaf sekali karena lamaran Yumna dibatalkan sepihak oleh Ilham, Bu. Kami sebagai orangtua tidak tahu akan seperti ini bahkan sangat malu pada keluarga Yumna. Keputusan ini ditentukan Ilham seorang diri dan–"

"Cukup! Tolong jangan dilanjutkan lagi, Bu." Mata ibu sudah basah oleh air mata. Ponsel itu diletakkan perlahan tanpa memutus sambungan telepon. Ibu menatap penuh luka. Aku sampai menunduk karena sesak melihat pemandangan ini. "Alasannya apa, Yum?!" tanya ibu menggoyangkan bahuku.

Air mata semakin mengalir deras. Aku terlalu takut untuk mengangkat wajah. Lagi pula tidak tahu harus menjawab apa ke ibu karena Mas Ilham memberi alasan yang tidak masuk akal. Lelaki itu terlalu pecundang. Dia datang dengan sekoper janji manis yang tidak ada keinginan mewujudkan.

Seharusnya tidak seperti ini karena hanya melukaiku. Ini tidak adil, bahkan bisa jadi Mas Ilham sedang bercanda ria dengan teman-temannya. Entah bagaimana marahnya ayah apalagi kemarin aku memutuskan kuliah yang sudah semester lima karena lelaki itu.

Sekali lagi, semua di luar dugaan karena Mas Ilham terkenal baik di kalangan teman-temannya. Bahkan ustaz kemarin bilang kalau Mas Ilham itu tidak pernah dekat dengan perempuan lain sebelumnya. Hal yang paling membuat hati yakin selain istikharah adalah keberaniannya membawa keluarga untuk melamar langsung tanpa mengajak pacaran.

"Yumna!" desak ibu.

Hanya denting jam yang terdengar menyakitkan sekarang. Aku sangat bingung dan malu sekarang. Untuk berdiri di kaki sendiri pun rasanya sulit. Bukan hanya tanggapan tetangga, tetapi juga teman-teman. Beruntung undangan pernikahan belum disebar karena masih dua bulan lagi.

Aku menelan saliva sambil mengepal tangan. Seandainya saja bisa menghajar lelaki itu, sudah pasti kulakukan. Padahal minggu kemarin aku sempat berbincang hangat dengan adik dan saudara iparnya yang perempuan. Takdir ini sungguh menjadi kejutan yang luar biasa tepat di hari ulang tahunku.

"Aku juga tidak tahu, Bu. Bahkan kalau saja boleh, biar aku sendiri yang menanggung luka ini." Air mata mengalir semakin deras. Sesak sekali. 

Sebelum memutuskan lamaran, apakah Mas Ilham tidak berpikir berapa banyak hati yang terluka dan wajah yang menanggung malu? Apakah mungkin dia lelaki yang tidak punya hati atau punya, tetapi sama sekali tidak digunakan? Mas Ilham sepertinya tidak sadar bahwa setiap perbuatan akan mendapat balasan serupa, dia punya adik perempuan dan semoga tidak merasakan luka sepertiku.

Beribu tanya merajai hati dan pikiran. Aku sampai tidak tahu harus melakukan apa sekarang. Ibu sudah tahu kenahasan ini, di manik matanya terpancar luka yang teramat dalam. Aku menggigit bibir ketika mengingat ayah juga Mas Dika. Tidak ada yang tahu bagaimana perasaan mereka nanti.

"Katakan pada ibu, Nak. Kesalahan apa yang sudah kamu lakukan sampai Ilham melakukan hal seceroboh itu?" 

Kalimat Mas Ilham kembali terngiang dalam pikiran. Aku memejamkan mata berusaha menikmati luka yang semakin membelenggu jiwa berharap ada sosok lain yang mengobati luka ini. Harapan yang digantung kepada selain Allah memang mengecewakan.

Sebenarnya aku berharap pada Allah, tetapi Mas Ilham terlalu meyakinkan sehingga ada secuil harapan dalam hati yang berlabuh padanya. Padahal sepanjang malam aku berdoa agar Allah melancarkan niat kami untuk beribadah.

"Mas Ilham punya alasan tersendiri, Bu. Aku tidak menuntut terlalu dalam karena masih belum resmi menjadi istrinya." Aku berusaha menjawab dengan tenang walau hati seperti diporak-porandakan.

"Walau bagaimanapun, ayahmu harus tahu. Namun, biarkan Dika duluan yang diberitahu karena kebetulan dia ada di kamarnya."

"Aku takut, Bu. Mas Dika pasti marah dan langsung mendatangi Mas Ilham."

"Tidak, biar ibu yang menyampaikan padanya, tapi kamu juga harus hadir."

Kami pun ke luar kamar mencari Mas Dika. Kebetulan sekali dia sedang berdiri di depan pintu kamarnya. Dilihat dari penampilan, dia hendak ke luar rumah. Aku semakin takut menatap kakak laki-lakiku itu. Dia memang penyayang, makanya tidak bisa menerima jika ada yang melukai adiknya.

Ibu memintanya duduk di ruang tengah dulu. Mas Dika sempat menolak karena mau berkunjung ke rumah temannya, tetapi ibu memaksa dengan dalih ini masalah penting. Akhirnya, Mas Dika mengalah dan kami duduk saling berhadapan, sementara ayah masih bekerja di kebun.

"Adikmu, Dik. Lamarannya dibatalkan Ilham sepihak. Orangtuanya sudah mengklarifikasi bahwa itu keputusan Ilham sendiri dan mereka malu untuk datang meminta maaf."

"Ilham membatalkan lamarannya, Bu?" Mas Dika memasang raut wajah terkejut dan beralih memandangku. "Kenapa, Yum?"

Aku menunduk, tidak mau menjawab pertanyaan Mas Dika. Dia pasti marah besar dan mengungkit perkara penolakannya kemarin yang aku abaikan.

Ibu menceritakan semuanya dari awal hingga akhir. Suaranya serak, pasti menahan sesak dalam dada. Aku kembali menitikkan air mata mendengar cerita itu. Lelaki yang pergi meninggalkan setelah memberi sebuah harapan. Ibarat diterbangkan ke angkasa, lalu dijatuhkan dengan cara yang mengenaskan.

Aku seperti mati rasa dan trauma dengan kejadian ini. Namun, tidak ada yang bisa kita lakukan sekarang. Cinta yang baru saja tumbuh sudah mati dalam sekejab. Senyum ibu ketika membahas Ilham tidak lagi terpancar. Keadaan di rumah berbeda hampir seratus persen. 

"Aku harus memberi pelajaran pada Ilham, Bu. Keliatannya aja yang salih, padahal tidak punya etika. Orangtuanya juga bersalah, seharusnya mereka datang ke sini walau sudah sangat malu. Memangnya mereka saja yang malu? Kita lebih malu, Bu!" tekan Mas Dika.

"Tenang, Dik. Kita tunggu keputusan ayahmu dulu. Nanti sore baru ibu cerita atau mungkin malam nanti ketika lelahnya sudah hilang." Ibu masih berusaha menenangkan Mas Dika.

"Apa mungkin karena kita bukan orang kaya, Bu?" 

Aku mengangkat wajah mendengar pertanyaan itu. Mas Dika menatapku dengan raut kasihan. Aku tahu dia ingin memeluk dan menenangkan, tetapi hatinya masih kacau. Di matanya ada semburat merah menandakan Mas Dika memendam amarah. Tangannya pun terkepal kuat.

"Maafkan aku, Mas. Mungkin ini sudah takdir daripada nanti menikah, sebulan kemudian sudah jadi janda." Aku membuka suara setelah mengumpulkan keberanian. Berusaha bersikap tenang seakan tidak ada hati yang tercabik.

"Bukan karena kita miskin, tapi Ilham ada alasan lain yang sifatnya pribadi. Memang kita menanggung malu, merasakan sakit yang luar biasa karena tidak pernah menyangka akan seperti ini. Namun, tidak juga boleh menyalahkan Ilham karena alasannya masih belum jelas." Kembali ibu berusaha bersikap bijak.

"Kalau saja Ilham itu lelaki, dia harus datang meminta maaf di depan adikku!" tegas Mas Dika, "aku tidak terima Yumna menangis sementara Ilham bersikap biasa saja. Hanya pecundang yang tidak berani menampakkan diri setelah melakukan kesalahan!"

"Siapa yang pencundang?" Suara ayah mengagetkan kami semua. Jantung berdebar semakin cepat saja.

'Tolong aku, Tuhan,' batinku menangis.

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Tatang Khoirudin
bagus .........
goodnovel comment avatar
Dirgantara Tara
seperti kisah hidup
goodnovel comment avatar
Carkiyah
suka cerita nya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status