Share

Bab 3

Ayah langsung duduk di samping Mas Dika. Wajah lelahnya masih terlihat jelas, peluh membasahi tubuh lelaki yang sangat mencintaiku itu. Untuk menghindari amarah, ibu meminta ayah mandi lebih dulu untuk melepas penat.

Aku bernapas lega ketika ayah tersenyum, lalu melangkah ke kamar mandi. Sekarang harus mencari tahu cara menyampaikan berita ini ke ayah. Lelaki paruh baya yang menjadi pahlawan untuk istri dan anaknya itu pasti sangat terluka ketika anak gadis satu-satunya harus ditinggal lelaki yang telah melamar dua minggu lalu.

"Telepon Ilham!" titah Mas Dika membuatku membelalakkan mata.

"T-tapi, Mas?" 

Mas Ilham mengembus napas kasar. "Telepon atau mas datangi langsung!" geramnya.

Ibu memegang tanganku dengan tatapan seakan meminta segera menelepon Mas Ilham. Aku takut Mas Dika melakukan kekerasan karena mereka seumuran, yaitu tiga tahun di atasku. Dengan ragu aku merogoh ponsel dan menelepon lelaki yang saat ini masih bersemayam dalam hati.

Panggilan ke tiga baru diangkat. Tanpa diduga, Mas Dika merampas ponsel itu dari genggamanku. Tangan kekarnya menekan ikon loudspeaker, lalu mengusap wajah kasar. Aku yakin, dia tersulut emosi.

"Maaf, Mas Ilham tadi ke luar–"

"Ini siapa?" potong Mas Dika cepat. Dia terlihat tidak sabaran.

"Nurul Hafizah."

Mas Dika menatapku penuh tanya, aku mengangkat kedua bahu sebagai tanda tidak tahu. Baru saja Mas Dika ingin menutup telepon, tiba-tiba terdengar suara Mas Ilham. Mereka mengobrol ringan yang kemudian harus berhenti karena Nurul memberitahu ada telepon untuknya.

"Halo?" sapa Mas Ilham dari balik telepon.

"Ilham, kalau kamu benar lelaki, datang ke rumah sekarang!" gertak Mas Dika.

"Sekarang tidak bisa karena ada urusan dengan ca ... maksudku dengan Nurul."

"Urusanmu dengan adikku belum selesai, aku tunggu sekarang atau aku yang datang langsung ke rumahmu!" 

Mas Ilham setuju dengan permintaan itu, suaranya gagap. Terdengar pula rengekan Nurul yang tidak terima hari ini batal jalan-jalan. Aku jadi curiga perempuan itulah yang menjadi alasan Mas Ilham memutuskan lamaran. Entah apa status mereka, tidak ada yang tahu.

Sepuluh menit kemudian, ayah keluar dari kamar dengan wajah berseri-seri. Aku merasa tidak enak jika saja senyum itu akan sirna dalam hitungan detik. Beliau duduk di samping ibu sekarang, lalu bertanya tentang apa yang membuat kami kumpul di ruang tengah padahal seharusnya melakukan kesibukan masing-masing.

"Ibu mau bicara, tapi tolong jangan marah." Ibu berusaha santai walau wajahnya terlihat tegang. "Tentang Ilham dan Yumna," lanjutnya.

"Kenapa? Ada masalah? Tanggal pernikahan tidak cocok atau apa? Ditunda?" kejar ayah.

"Ilham mem–"

"Ibu!" potongku seraya memegang bahu ibu. "Mungkin sebaiknya aku saja yang bicara pada ayah, Bu."

Setelah mendapat anggukan dari ibu, aku menarik napas panjang berulang kali. Tidak lama setelah itu, aku mulai menceritakan dari awal sampai akhir dengan suara gemetar dan air mata yang berbaris membasahi pipi. Ayah tercengang, kedua matanya membelalak sempurna.

Senyum itu benar sirna. Aku sangat terluka pun menyesal tidak mendengarkan Mas Dika. Kalau saja waktu itu aku menolak lamarannya, pasti tidak akan ada kejadian seperti ini. Keluarga kami hanya akan merasakan bahagia. Ataukah ini bagian dari ujian?

"Lalu, apa orangtuanya Ilham tidak ada tindakan apa-apa selain menelepon?" tanya ayah dengan suara lemah.

"Tidak, Yah, katanya terlalu malu untuk bertatap muka." Mas Dika yang menjawab.

Tatapan ayah kosong, aku jadi ingat kejadian dua hari sebelum lamaran. Orangtua Mas Ilham menelepon dan memberi kabar kalau beliau akan datang membawa rombongan keluarga dan seorang ustaz untuk meminang. Saat itu mata ayah berbinar sampai menangis haru, lalu beliau dengan gerak cepat menelepon saudaranya yang ada di kota untuk datang ke rumah menghadiri acara lamaranku.

"Ayah kenapa?" tanya Mas Dika saat itu.

"Adik kamu, Dik. Adik kamu mau dilamar laki-laki yang agamanya baik!" jawab ayah antusias.

Mas Dika tersenyum, langsung memelukku sejenak. Bahkan dia tidak merasa sedih jika aku menikah lebih dulu. Sebegitu sayangnya Mas Dika pada adik sendiri. Sementara ibu, beliau terus berucap syukur dan tidak sabar menunggu hari berikutnya.

"Ilham telah mencoreng nama baik keluarga kita. Lamaran yang dibatalkan ini akan menjadi buah bibir tetangga bahkan sampai satu kampung," lirih ayah masih dengan tatapan kosongnya memecah lamunanku.

***

Setelah salat asar, Mas Ilham sudah tiba di rumah. Dia sendirian padahal tadi saat menelepon sedang bersama perempuan yang entah siapa. Aku menggigit bibir dengan rasa was-was takut Mas Dika tidak bisa menahan emosi.

"Apa alasanmu memutus lamaran ini sepihak, Ilham? Juga kenapa tidak bicara langsung, melainkan hanya mengirim pesan." Ayah membuka percakapan. Mas Ilham terlihat biasa saja tanpa rasa bersalah.

"Tidak ada salahnya menyampaikan lewat pesan Whats*pp karena belum menikah, Pak. Orang yang sudah menikah saja bisa menalak istrinya dengan mengirim sms."

"Ilham!" bentak Mas Dika, dia berdiri dengan tangan terkepal. Beruntung ibu langsung memaksanya duduk kembali.

"Kalian datang ke sini dengan cara baik-baik, melamar dengan melibatkan ustaz pula. Kami terima dengan baik bahkan tanggal pernikahan sudah ditentukan. Lalu, kenapa sekarang tiba-tiba memutus lamaran tanpa diskusi atau memberi alasan yang masuk akal?" Ayah masih berusaha meredam amarah.

Mas Ilham menunduk, bibirnya terkatup rapat. Entah kenapa aku merasa kasihan juga pada lelaki itu. Walau bagaimana pun akhirnya dia datang juga ke sini meski tanpa orangtua atau keluarga lainnya yang menemani. Namun, tidak bisa disangkal bahwa luka yang berusaha aku balut kembali menganga.

Lelaki itu masih diam, tiba-tiba dari luar rumah muncul seorang perempuan yang memakai jilbab sepinggang. Dia cantik dan sangat manis. "Maaf, semuanya. Aku mau minta antar pulang sama Mas Ilham karena ibuku menelepon."

Semua pandangan mengarah pada perempuan itu. Mungkin dia yang bernama Nurul Hafizah karena suaranya persis saat di telepon tadi. Dada bergemuruh hebat karena terbakar api cemburu. Aku memang kalah cantik darinya.

"Maaf, Pak, Bu. Aku harus pamit mengantar Nurul pulang dulu." Suara Mas Ilham masih terdengar santai. Aku jengkel dibuatnya.

"Kamu lelaki tidak bertanggung jawab, Ilham!" geram Mas Dika mengarahkan telunjuk di depan wajah Mas Ilham.

"Aku tidak peduli kamu bilang apa, Dik. Satu hal yang pasti adalah aku bukan lagi calon suami adikmu, tetapi Nurul. Ya, ini perempuan yang berhasil memikat hatiku sehari setelah melamar Yumna."

Ayah berdiri hendak memukul Ilham, tetapi ditahan ibu. Aku tahu beliau naik pitam mendengar anaknya diperlakukan buruk seperti itu. Akan tetapi, aku tidak bisa berbuat banyak karena sekarang kami bukan siapa-siapa.

"Semoga Mas Ilham bahagia bersama Nurul," lirihku, lalu melangkah masuk kamar dengan hati hancur tanpa kepingan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status