"Erik? Apa yang kau lakukan di rumahku?" Aku bergegas menghampiri dia, yang sedang duduk bersantai di kursi teras.
"Key?" Senyum seringai menghiasi wajahnya.
"Mau apa, kau?"
"Mana Kahfi?"
"Ada urusan apa kau mencari suamiku?"
"Berhenti menyebutnya sebagai suami, Key. Aku benci itu."
"Kalau kau membencinya, maka pergilah. Berhenti mengganggu kehidupan kami."
"Aku tak bisa. Aku sudah lelah dengan semua ini." Matanya yang tajam, semakin liar menatapku.
"Apa maumu, Erik? Kau mengganggu. Katakan cepat, lalu pergi dari sini. Aku tak ingin suamiku melihatmu berkeliaran di sekitarku."
"Sudah kubilang, justru aku ingin bertemu dengannya."
"Apa yang ingin kau bicarakan?"
"Kau penasaran?" Dia tertawa, kemudian bangkit dan berjalan mendekatiku. Aku mundur selangkah, agar jarak kami tak terlalu dekat.
"Aku ingin mengambil milikku kembali. Aku akan memintanya segera mundur dan melep
Suara Erik terdengar berdecih. Raut wajahnya yang tadi penuh percaya diri mendadak berubah. Mungkinkah dia tak menyangka, bahwa Kahfi akan mengucapkan kata-kata seperti itu?"Kau tahu apa maksudku, Kahfi. Key hanya menikahimu untuk sesuatu. Dan kau tahu bahwa dia hanya memanfaatkanmu untuk membuat marah Papanya, dan juga... aku.""Aku tak peduli. Aku senang, karena nyatanya sebagai teman, aku masih bermanfaat dan bisa membuatnya merasa puas. Kenapa kau keberatan?""Kau hanya dimanfaatkan, Fi. Percayalah, aku hanya merasa kasihan padamu. Aku tahu kau laki-laki yang baik. Tapi Key, sama sekali tidak pernah tertarik padamu.""Sialan kau, Erik!" Aku bergegas mengambil langkah, ingin mendaratkan pukulan serupa. Namun langkahku terhenti karena pria berkulit putih yang kini berada di sampingku, menarik tangan untuk menahan langkahku."Terima kasih atas perhatianmu, Erik," sahutnya. "Tapi untuk saat ini, Key sudah menjadi istriku. Hanya aku yan
Kurasa Kahfi pergi terlalu lama. Sifa dan Ibu bahkan sudah pulang dari tadi. Kemana dia? Menghindar dariku? Sampai kapan? Hari sudah hampir malam, dan aku benar-benar gelisah.Oke! Fine. Pergilah. Aku tak ingin membujuknya seperti anak kecil yang sedang merajuk. Aku sama sekali tidak peduli.Aku mengambil tas, lalu memakai sepatu highheels untuk keluar. Memikirkan sesuatu, lalu kembali masuk ke kamar dan mengganti sepatu sialan ini dengan flatshoes yang lebih nyaman."Maaf, Bu. Kurasa kali ini aku tak bisa ikut untuk makan malam," ucapku, sambil terus berjalan menuju pintu.Kemana si brengsek itu? Dia bahkan tak mengangkat panggilanku. Apa dia sedang membalas dendam? Tidak. Itu bukan sifatnya. Aku tahu dia begitu mencintai, dan tak akan mungkin melepaskanku begitu saja.Dasar Erik sialan! Tunggu saja sampai aku bisa menyingkirkanmu dari kehidupan kami selamanya. Dasar pembuat onar!Aku melajukan mobilku dengan b
"Menjemput istriku." Sebuah kecupan mendarat di pipiku."Oh, shit. Are you crazy?" Aku mengusap kasar pipi bekas bibirnya yang masih basah. "Kemana saja kau seharian ini? Apa kau masih menganggap aku istrimu?""Tentu saja. Sudah kubilang, aku bukan orang bodoh yang mau kehilangan gelar sebagai menantu konglomerat."Cisis... aku mendorong bahunya dengan keras. Dia tertawa kecil, lalu menatap wajahku."Maafkan aku, Key. Aku hanya tak tahu bagaimana caranya mengatakan bahwa aku tak ingin kau tinggalkan.""What do you mean? Apa kau sudah gila? Kenapa aku harus melakukannya?""Aku masih kalah jauh dengan Erik. Dia sangat tampan dan juga terlihat gagah. Aku takut kau semakin tertarik dengannya.""Oh, God. Sejak kapan kau selemah ini, Fi?" Aku kembali menghisap canduku. "Dan kau sama sekali belum menjawab pertanyaanku tadi, brengsek!""Aku menemui Papamu.""What?" Aku terbatuk. Kurasa asap ini langsung masuk begitu
"Kau serius ingin bekerja kantoran, Key?" Soraya and the gank tertawa mendengar keputusanku."Dia ingin membabat habis keluarga Erik, rupanya.""Ya, setelah menikah, Key menjadi dewasa dan gila harta.""Apa kau akan segera mengambil posisi Erik, Key?""Kurasa dia hanya akan mengawasi suami tampannya di sana."Tawa mereka meledak, setelah mengataiku secara bergantian. Aku hanya tersenyum, sembari menyesap es Americano pesananku."Kau mulai berhenti merokok, Key?" tanya salah seorang dari mereka. "Aku masih melihatmu menghisapnya saat di pesta Soraya.""Yes. Aku mulai menguranginya," sahutku santai. "Kau takut pabrik Ayahmu tutup, hanya karena aku berhenti?"Kembali suara tawa memenuhi ruangan restoran, tempat kami berkumpul. Area 'No Smoking' yang membuatnya gelisah dari tadi."Kudengar adik tirimu pernah menggugurkan kandungan, Key. Apa kalian tak tahu?""What?" Pe
"Kau melakukannya dengan sengaja, Key?" tuduh Kahfi, sembari mengemudikan kendaraan kami."Apa maksudmu?""Aku tak suka jika kau melakukannya karena hanya ingin membuat Erik cemburu."Oke! Kahfi bukan pria bodoh. Dan dia memahami maksud dan tujuanku menciumnya tadi."Sorry." Aku mengaku salah."Jangan membuatku semakin ragu, Key. Semakin kau menantang Erik, semakin ingin dia mendapatkanmu. Aku tak suka itu.""Aku sudah bilang maaf, bodoh! Kenapa kau masih terus membahasnya?""Kalau begitu jangan lagi menemuinya!" Dia memukul keras klakson mobil, meski tak ada sesuatu yang menghalangi jalannya."Kau membentakku, Fi?" Aku menoleh ke arahnya.Dia terdiam. Bisa kulihat rasa amarah yang kini sedang menguasainya. Ah, benar. Dia seperti tak bisa lagi membendung rasa cemburunya. Dan aku benci terlibat pertengkaran lagi."Aku tak akan datang lagi ke hotel. Kau puas?" Aku mengentakkan kepala
Ya, Tuhan.Pertanyaan bodoh macam apa itu. Dia bahkan tahu, bukan hanya dengan Erik, aku pernah dekat. Dan semuanya pernah melakukan hal itu kepadaku.Kenapa dia menjebakku dengan pertanyaan konyol macam ini. Erik adalah cinta pertamaku, dan dialah laki-laki pertama yang sudah mencium, bahkan mencumbuku meski tak terlalu dalam.Haruskah aku berbohong dan menyangkal semuanya? Atau aku harus berkata jujur dan menambah luka di hati suamiku? Bukankah ini tidak adil? Lalu bagaimana dengan dia?Apa dia tidak pernah mencium si jalang Ara? Gadis belia yang masih segar, dan pasti sangat manis rasa bibirnya. Oh, shit. Bahkan memikirkannya saja sudah membuat hatiku jadi membara."Kenapa diam?" lirihnya."Bunuh saja aku, Fi. Aku tak mau menjawab pertanyaan konyol itu.""Kau tak ingin menyangkalnya?""Kau dan aku sama-sama memiliki masa lalu, dan kau mengenal semua pria-pria yang pernah berkencan denganku
Ah, ya. Semua kembali seperti semula. Baik-baik saja seperti tidak terjadi masalah di antara kami. Dia kembali berangkat ke hotel untuk melanjutkan tugasnya. Dan dia bilang, Erik benar-benar tulus membantunya.Aku hanya mengiyakan. Tak berani membantah, apalagi sampai mengumpat. Pembicaraan kami tentang keluarga itu telah selesai.Lalu soal Elena... dia malah membalas menusuk-nusuk kepalaku karena telah menuduhnya sampai sejauh itu. Dan kurasa, belum waktunya aku memberitahukan masalah Elena, sampai aku mendapatkan bukti-bukti yang cukup kuat untuk membongkarnya.Asal itu bukan anak Kahfi, aku tak lagi peduli. Akan kubuat malu dia di depan seluruh keluarganya, termasuk Papa.Papaku harus tahu, seperti apa gadis yang sudah dipeliharanya di rumah itu. Menghalalkan berbagai cara, demi bisa menghasilkan uang. Aku yakin sekali, pria tua itu juga punya istri.Oh, shit! Bermain dengan suami orang? Sepertinya dia yang lebih pantas m
Dengan perlahan, aku membuka mata yang masih terasa berat. Rasa pusing dan juga sakit di area bawah kepala juga masih sangat terasa. Ah, shit. Apa aku baru saja siuman dari pingsan? Aku masih hidup?Aku memperhatikan sekeliling, tempatku berbaring saat ini. Sebuah ruangan sempit, yang hanya tertutup tirai berwarna putih. Aku mengucek, dan membenarkan mata yang kurasa sudah salah posisi.Apa bola mataku kini berada di atas? Aku melihat seseorang yang seharusnya tak mungkin kulihat. Ah, pandanganku masih saja berkunang-kunang.Seorang laki-laki berpostur tinggi tegap, sedang duduk di sebuah kursi, di sudut ruangan tak jauh dari tempatku berbaring. Dahinya mengernyit, matanya benar-benar menyipit memperhatikan aku yang sedang menggeliat sekarang ini."Kau sudah sadar?" tanyanya kemudian.Oh, shit. Ini bukan lagi mimpi. Suara itu nyata dan bukan lagi halusinasi, atau hanya sebuah penampakan. Entah kekuatan dari mana, aku