Share

Part 5

Kau sudah tidak waras, Key. Tanggung jawab seperti apa itu?" Dia menekan ujung rokoknya di atas kursi hingga padam. 

"Kau seharusnya senang, Fi. Kau sangat beruntung bisa mendapatkan aku," sahutku penuh percaya diri. Dia terkekeh mendengarnya. 

"Kenapa kau tertawa? Kau pikir aku bercanda? Ayo temui Ibumu. Aku akan bicara padanya."

Dia semakin tergelak sampai menggelengkan kepalanya. Dasar sialan. 

"Mabukmu belum juga hilang rupanya. Biar kubuat kau agar sadar." Dia bangkit, sambil mengambil semprotan air yang biasa ia gunakan untuk membasahi rambut atau membersihkan wajah pelanggannya. 

"Hentikan itu, Fi. Aku tidak mabuk. Kau membuatku basah. Dasar sialan!" umpatku, sambil merebut benda yang digunakannya itu. 

"Oh, begitu. Baiklah. Jadi kau sudah sadar? Kurasa kau ingin sekali menikah denganku, ya? Kau iri karena aku punya pacar?"

"Kalian baru putus. Kau yang sudah tidak tahan ingin menikah. Jadi aku berbaik hati menggantikan posisi anak ingusan itu."

"Tapi aku sama sekali tidak tertarik. Aku menolak. Sudah?" Dia menekan kepalaku seperti anak kecil. 

Aku menyingkirkan tangannya dengan kasar. 

"Kau tidak normal, ya? Kau menolak gadis secantik dan sepopuler aku? Aku punya jutaan penggemar di luar sana. Kau beruntung karena tidak perlu susah-susah bersaing dengan mereka. Dasar bodoh!" Aku merapikan rambutku yang sudah acak-acakan. 

"Kalau begitu, pilihlah salah satu dari mereka." Dia kembali duduk dan menyandarkan diri. 

"Tidak mau."

"Kenapa?"

"Aku tak mengenal mereka."

"Kenalan saja dulu," ucapnya santai. 

"Kau ini kenapa?" Aku memukul pahanya dengan kuat. Dia meringis sambil menggosok-gosok bekas pukulanku. 

"Sakit, Key. Dasar gadis barbar."

Tak lama masuk seorang pelanggan, dan dia bangkit untuk beraksi kembali. Cih, mengganggu saja.

Dengan sabar aku menungguinya, sambil mengerjakan pekerjaanku. Inilah keuntungan menjadi artis di dunia maya. Aku bisa melakukan pekerjaanku dari mana saja. Hanya tinggal mengedit foto dan vidio yang  kuambil sebelumnya, lalu bisa diupload kapan pun aku mau. 

.

"Fi!" Dia kembali menyapu lantai bekas potongan rambut tadi. 

"Hmmm."

"Aku bosan tinggal di rumah itu."

"Berhenti mengeluh, Key."

"Ayo menikah! Aku ingin tinggal di rumahmu," rengekku. 

"Rumahku tidak semewah rumahmu. Lupakan ide konyol itu."

"Tapi aku menyukainya."

"Carilah pria lain."

"Tidak mau! Mereka hanya menginginkan uangku saja."

"Kalau begitu carilah yang lebih kaya darimu."

"Sudah pernah. Mereka semua itu, Badboy. Suka berganti-ganti pacar dan punya banyak simpanan. Kau sampai hati membiarkan aku hidup dengan pria semacam itu? Aku juga punya hati, Fi."

"Serba salah bicara padamu. Sudahlah, aku lelah."

"Kalau begitu menurut saja. Aku akan bicara pada Papa. Aku tak peduli jika dia keberatan. Kalau kau tak mau, aku akan bilang kalau aku sedang hamil. Kau yang menghamiliku!" Aku menunjuk tepat di hidung mancungnya. 

"Hei, kau... Hish!" 

*

Suara sendok dan garpu saling beradu di atas piring masing-masing. Aku yang jarang-jarang berkumpul, sengaja untuk ikut makan malam kali ini. Wajah Papa terlihat lebih tenang, setelah tahu aku menghapus semua masalahnya. 

Seleraku tak begitu bagus sebenarnya. Merasa menjadi orang asing di rumah sendiri. Papa menikahi istri dari sahabatnya, setelah wanita itu bercerai dari suami yang ketahuan berselingkuh dengan Mamaku. 

What the fuck! 

Hubungan macam apa itu. Semacam balas dendam, yang akhirnya membuatku malu dan dibully oleh seluruh teman-temanku. Untung saat itu Papa belum mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Hanya seorang pebisnis, yang punya pengaruh besar di kota ini. 

"Aku akan menikah, Pa," ucapku tanpa berbasa-basi. 

Hening sesaat. Tak ada lagi suara gesekan besi dan piring batu seperti tadi. Kulirik wajah mereka satu persatu. Erik, Elena adiknya, dan juga Mama mereka. Semuanya terlihat tegang. Karena tahu sebelumnya aku tak pernah membawa laki-laki ke rumah ini. Apalagi sampai mengenalkannya pada mereka. 

"Menikah saja," ucapnya tanpa disangka-sangka. "Kau sudah punya calonnya? Jika belum, biar Papa carikan yang bisa cocok denganmu."

Oh, God! Apa dia pikir ini sinetron, atau kisah-kisah dalam novel? Perjodohan? Ciss. Dia masih saja berpikiran kuno. 

"Ya. Aku sudah punya. Aku akan menikah dengan Kahfi."

Papa terdiam. Yang lain juga sama. Great! Aku berhasil membuatnya marah. Kurasa dia cukup terkejut, karena nyatanya Kahfi bukan dari kalangan atas seperti anak-anak dari kolega bisnisnya. 

Ayo marah, Pak tua! Tolak saja permintaanku ini. Aku punya kejutan lain yang akan membuat semua yang hadir akan ikut shock, dan kuharap langsung kena serangan jantung dan juga stroke. Hore. 

Hmm... sudah tidak sabar rasanya mulutku ini, mengatakan bahwa aku sedang hamil dan akan kembali mencoreng nama baiknya. 

"Oh, Kahfi. Baguslah. Dia laki-laki yang cocok untukmu. Papa rasa, hanya dia saja yang sanggup mengendalikan semua sikap liarmu itu. Besok malam suruh dia dan keluarganya datang. Menikahlah secepatnya. Jangan pikirkan apa pun soal biaya."

What? Semudah itu? Dia tak lagi marah dan mengamuk? Apa itu artinya aku membuatnya senang? Oh, shit. Damn! Dia pasti akan segera merasa bebas dari tanggung jawab terhadapku.

**

Aku kembali melakukan live i*******m di kamar. Dengan baju tidur seksi, tentunya. Ratusan ribu mata memandang dan memberikan komentar bernada menggoda. Banyak pujian yang aku terima, meski terkadang ada netizen julid yang kerap berkata kasar dengan komentar barbar yang memojokkanku. Dasar sampah!

Belum lagi saat foto topless yang baru saja aku hapus. Beberapa dari mereka langsung mengunfollowku begitu saja. Dasar netizen plinplan. Secepat itu mereka merubah perasaan terhadapku. 

Aku terkejut, saat pintu kamar tiba-tiba terbuka. Aku langsung menarik napas, kemudian pamit dari dunia maya. 

"Hentikan kebiasaanmu itu, Erik. Belajar sopan kalau mau masuk ke kamar orang. Kau mau memergokiku sedang tel*nj*ng?" umpatku geram. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
keyra nekad..minta ijin nikah dengan sahabatnya... bapanya malah langsung setuju
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status