Share

Part 4

Jadi kau benar-benar iri padanya? Setelah sekian lama? Ke mana saja kau selama ini saat aku tengah bersamanya?"

"Tapi baru malam itu aku melihatmu menciumnya. Apa kau menikmatinya? Atau hanya mengerjainya?"

"Oh, shit. Brengsek kau, Erik. Kau memata-mataiku?" Aku memukul dadanya secara brutal. 

Dia tak melawan. Hanya terkadang sedikit mendongak, agar aku bisa lebih leluasa memukulinya. 

"Tak perlu menunggu kau mabuk jika ingin mendapatkanmu. Kalau aku mau, saat ini pun aku bisa memaksamu melakukannya," geramnya, sambil menangkis dan mendapatkan kedua tanganku di genggamannya. Lalu mendorong tubuhku ke atas ranjang hingga terduduk, hampir terlentang. 

Dia terus menatapku dengan tajam, tentu saja aku semakin menantang. Pantang bagiku terlihat lemah dan takut di hadapan mereka. Lalu ia pun bergegas keluar dan membanting pintu. 

Fiuhh... aku selamat. 

*

Aku kembali mengunjungi kios Kahfi usai melakukan pemotretan. Sebuah produk pakaian, yang memakai aku sebagai modelnya. Cukup memakan waktu. Karena ada puluhan baju yang harus aku kenakan. Yah, walaupun sebanding dengan hasil yang aku terima. 

Aku duduk bersantai di kursi pangkas yang sedang kosong. Menggoyang-goyangkan badan, layaknya menikmati kursi santai. Sebentar-sebentar kujatuhkan sandarannya agar lebih rileks, hingga terdengar tawa pasiennya yang tertahan melihat kelakuanku. 

Aku mengedipkan sebelah mataku pada orang itu dari balik cermin. Memajukan sedikit bibir untuk memberikan kecupan di udara. Lalu pria bertubuh ceking itu menelan saliva, menahan gugup. Aku kembali tertawa melihat sikapnya. Sambil melirik Kahfi yang juga melakukan hal yang sama dari bayangan cermin. 

"Fi, sebaiknya tempat ini kau jadikan barbershop saja. Sediakan juga sofa empuk untukku." Aku menggoyang-goyangkan kaki. 

"Kau tak harus selalu menggangguku di sini. Cari saja tempat lain, jika kau ingin merasa nyaman."

"Kalau tak ada kau, mana bisa nyaman," rayuku, menggodanya.

"Terserah."

"Apa Erik mengantarmu pulang tadi malam?"

"Mmmm."

"Dia mengatakan sesuatu?"

"Ya."

"Apa?"

"Seperti biasa. Mengobrol tentang apa saja yang kau lakukan."

"Lain kali jangan ceritakan apa pun lagi padanya."

"Kau takut dia mengadu? Kau sudah tau kalau dia dan keluarganya selalu menutupi kelakuan burukmu itu."

"Ya, benar. Tapi itu hanya modus. Mereka hanya ingin mengambil hatiku saja. Pokoknya jangan cerita apa pun lagi padanya."

"Lain kali kalau kau mabuk, aku akan memintanya menjemputmu."

"No, Kahfi! Tidak boleh. Akan kuhancurkan kiosmu ini jika kau sampai melakukannya!" Aku benar-benar sedang mengancam.

Aku yakin kalau itu adalah keinginan Erik. Berani sekali dia mengatur hidupku dan juga Kahfi. Apakah begitu ingin, dia menguasai diriku? Oh, tidak. Jika dia menginginkanku, setidaknya dari dulu dia bisa melarang Mamanya merayu dan menikah dengan Papa. Dengan begitu, aku bisa mempertimbangkan perasaannya. 

"Dia melihat kita berciuman," aduku kemudian. 

Ups! Seketika alat cukur yang berada di tangannya terlepas, hingga jatuh ke lantai. Semoga saja tidak rusak. Dia terlihat gugup. Apalagi melihat pasiennya kembali menelan saliva. 

"Sorry, keceplosan." Aku menutup mulut dengan telapak tangan. 

*

Dia membersihkan lantai bekas rambut berserakan dengan sapu, setelah pria ceking itu pulang. Aku masih tetap bersantai sambil mengamati kegiatannya dari bayangan cermin.

"Fi, bagaimana gadis itu? Dia tak mengantarimu makanan lagi? Aku lapar," tanyaku, menggodanya. 

"Kalau lapar pulanglah." Dia yang kini duduk di kursi bambu, sedang menyulut batang nikotinnya. Aku masih memandanginya dari depan cermin.

"Apa kalian putus?"

"Menurutmu?"

"Dia masih terlalu muda. Masih sekolah. Belum lagi kuliah. Dia juga ingin bekerja. Sampai usia berapa kau baru bisa menikahinya. Itu pun kalau dia tidak tertarik pada teman sekelasnya. Teman kuliah, atau bahkan rekan kerja."

"Dia hampir lulus, setelah itu kami akan menikah. Orang tuanya tidak keberatan."

"Apa?"

Aku melonjak kaget. Langsung berdiri dan menghampirinya. Mengentakkan bokongku ke samping, di mana dia berada. Aku mengambil rokok dari mulutnya, kemudian menghisapnya. 

"Tega sekali kau melakukan itu padaku," rutukku padanya.

"Melakukan apa?"

"Kenapa menikah secepat itu?"

Sebenarnya tidak terlalu cepat juga. Usianya kini sudah menginjak dua puluh enam tahun. Hanya dua tahun di atasku. Meski tak mewah, kehidupannya sudah terbilang stabil. Dengan kedai pangkas miliknya sendiri. Hasil dari menabung bertahun-tahun. 

Dia sudah terbiasa bekerja serabutan ke sana kemari. Dia bahkan enggan menerima bantuan dariku untuk memulai sebuah usaha. Meski kusuruh dia mengembalikannya saat sukses nanti. 

Dimana lagi aku bisa mendapatkan seseorang seperti itu. Seseorang yang selalu menjadi pelindungku, sejak kanak-kanak dulu. Selalu membela, saat aku berkelahi dan dikeroyok beramai-ramai. Bahkan hingga kini, dia yang selalu menjagaku dari laki-laki nakal saat aku dalam keadaan mabuk. 

Bagaimana dia bisa menikah dan meninggalkanku sendirian. Mana mungkin istrinya kelak membiarkan dia terus-terusan bersamaku saat aku butuh. Aku tak mau kehilangan itu. Tidak akan pernah aku izinkan. 

"Fi?"

"Hemmm."

"Aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku padamu."

"Tanggung jawab apa?"

"Aku tidak akan membiarkan kau jadi jomblo lagi."

"Kau akan bicara padanya? Mengatakan kalau itu hanya kesalahpahaman? Apa kau pikir dia akan percaya?" Lagi-lagi dia berdecih. 

"Aku tidak sedang membicarakan Ara," sanggahku. 

"Hem? Lalu?"

"Kau tenang saja. Aku yang akan menikahimu."

Seketika suara batuk terdengar dari mulutnya. Cukup lama, sampai keluar air di pelupuk matanya. Apakah dia sedang terharu padaku? Atau terlalu gembira?

                        **********

Comments (5)
goodnovel comment avatar
Nine teen
wkwk, dr temen jd demen ini mah.. krn ga rela sahabatnya dimiliki yg lain gaslah keyra
goodnovel comment avatar
Fransisko Vitalis
sahabat yg sdh punya oacar dan mau menikah..malah mau dinikahi oleh keyra
goodnovel comment avatar
Eneng Dliyyuen
blak"kan si key ini
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status