Jadi kau benar-benar iri padanya? Setelah sekian lama? Ke mana saja kau selama ini saat aku tengah bersamanya?"
"Tapi baru malam itu aku melihatmu menciumnya. Apa kau menikmatinya? Atau hanya mengerjainya?"
"Oh, shit. Brengsek kau, Erik. Kau memata-mataiku?" Aku memukul dadanya secara brutal.
Dia tak melawan. Hanya terkadang sedikit mendongak, agar aku bisa lebih leluasa memukulinya.
"Tak perlu menunggu kau mabuk jika ingin mendapatkanmu. Kalau aku mau, saat ini pun aku bisa memaksamu melakukannya," geramnya, sambil menangkis dan mendapatkan kedua tanganku di genggamannya. Lalu mendorong tubuhku ke atas ranjang hingga terduduk, hampir terlentang.
Dia terus menatapku dengan tajam, tentu saja aku semakin menantang. Pantang bagiku terlihat lemah dan takut di hadapan mereka. Lalu ia pun bergegas keluar dan membanting pintu.
Fiuhh... aku selamat.
*
Aku kembali mengunjungi kios Kahfi usai melakukan pemotretan. Sebuah produk pakaian, yang memakai aku sebagai modelnya. Cukup memakan waktu. Karena ada puluhan baju yang harus aku kenakan. Yah, walaupun sebanding dengan hasil yang aku terima.
Aku duduk bersantai di kursi pangkas yang sedang kosong. Menggoyang-goyangkan badan, layaknya menikmati kursi santai. Sebentar-sebentar kujatuhkan sandarannya agar lebih rileks, hingga terdengar tawa pasiennya yang tertahan melihat kelakuanku.
Aku mengedipkan sebelah mataku pada orang itu dari balik cermin. Memajukan sedikit bibir untuk memberikan kecupan di udara. Lalu pria bertubuh ceking itu menelan saliva, menahan gugup. Aku kembali tertawa melihat sikapnya. Sambil melirik Kahfi yang juga melakukan hal yang sama dari bayangan cermin.
"Fi, sebaiknya tempat ini kau jadikan barbershop saja. Sediakan juga sofa empuk untukku." Aku menggoyang-goyangkan kaki.
"Kau tak harus selalu menggangguku di sini. Cari saja tempat lain, jika kau ingin merasa nyaman."
"Kalau tak ada kau, mana bisa nyaman," rayuku, menggodanya.
"Terserah."
"Apa Erik mengantarmu pulang tadi malam?"
"Mmmm."
"Dia mengatakan sesuatu?"
"Ya."
"Apa?"
"Seperti biasa. Mengobrol tentang apa saja yang kau lakukan."
"Lain kali jangan ceritakan apa pun lagi padanya."
"Kau takut dia mengadu? Kau sudah tau kalau dia dan keluarganya selalu menutupi kelakuan burukmu itu."
"Ya, benar. Tapi itu hanya modus. Mereka hanya ingin mengambil hatiku saja. Pokoknya jangan cerita apa pun lagi padanya."
"Lain kali kalau kau mabuk, aku akan memintanya menjemputmu."
"No, Kahfi! Tidak boleh. Akan kuhancurkan kiosmu ini jika kau sampai melakukannya!" Aku benar-benar sedang mengancam.
Aku yakin kalau itu adalah keinginan Erik. Berani sekali dia mengatur hidupku dan juga Kahfi. Apakah begitu ingin, dia menguasai diriku? Oh, tidak. Jika dia menginginkanku, setidaknya dari dulu dia bisa melarang Mamanya merayu dan menikah dengan Papa. Dengan begitu, aku bisa mempertimbangkan perasaannya.
"Dia melihat kita berciuman," aduku kemudian.
Ups! Seketika alat cukur yang berada di tangannya terlepas, hingga jatuh ke lantai. Semoga saja tidak rusak. Dia terlihat gugup. Apalagi melihat pasiennya kembali menelan saliva.
"Sorry, keceplosan." Aku menutup mulut dengan telapak tangan.
*
Dia membersihkan lantai bekas rambut berserakan dengan sapu, setelah pria ceking itu pulang. Aku masih tetap bersantai sambil mengamati kegiatannya dari bayangan cermin.
"Fi, bagaimana gadis itu? Dia tak mengantarimu makanan lagi? Aku lapar," tanyaku, menggodanya.
"Kalau lapar pulanglah." Dia yang kini duduk di kursi bambu, sedang menyulut batang nikotinnya. Aku masih memandanginya dari depan cermin.
"Apa kalian putus?"
"Menurutmu?"
"Dia masih terlalu muda. Masih sekolah. Belum lagi kuliah. Dia juga ingin bekerja. Sampai usia berapa kau baru bisa menikahinya. Itu pun kalau dia tidak tertarik pada teman sekelasnya. Teman kuliah, atau bahkan rekan kerja."
"Dia hampir lulus, setelah itu kami akan menikah. Orang tuanya tidak keberatan."
"Apa?"
Aku melonjak kaget. Langsung berdiri dan menghampirinya. Mengentakkan bokongku ke samping, di mana dia berada. Aku mengambil rokok dari mulutnya, kemudian menghisapnya.
"Tega sekali kau melakukan itu padaku," rutukku padanya.
"Melakukan apa?"
"Kenapa menikah secepat itu?"
Sebenarnya tidak terlalu cepat juga. Usianya kini sudah menginjak dua puluh enam tahun. Hanya dua tahun di atasku. Meski tak mewah, kehidupannya sudah terbilang stabil. Dengan kedai pangkas miliknya sendiri. Hasil dari menabung bertahun-tahun.
Dia sudah terbiasa bekerja serabutan ke sana kemari. Dia bahkan enggan menerima bantuan dariku untuk memulai sebuah usaha. Meski kusuruh dia mengembalikannya saat sukses nanti.
Dimana lagi aku bisa mendapatkan seseorang seperti itu. Seseorang yang selalu menjadi pelindungku, sejak kanak-kanak dulu. Selalu membela, saat aku berkelahi dan dikeroyok beramai-ramai. Bahkan hingga kini, dia yang selalu menjagaku dari laki-laki nakal saat aku dalam keadaan mabuk.
Bagaimana dia bisa menikah dan meninggalkanku sendirian. Mana mungkin istrinya kelak membiarkan dia terus-terusan bersamaku saat aku butuh. Aku tak mau kehilangan itu. Tidak akan pernah aku izinkan.
"Fi?"
"Hemmm."
"Aku akan mempertanggungjawabkan perbuatanku padamu."
"Tanggung jawab apa?"
"Aku tidak akan membiarkan kau jadi jomblo lagi."
"Kau akan bicara padanya? Mengatakan kalau itu hanya kesalahpahaman? Apa kau pikir dia akan percaya?" Lagi-lagi dia berdecih.
"Aku tidak sedang membicarakan Ara," sanggahku.
"Hem? Lalu?"
"Kau tenang saja. Aku yang akan menikahimu."
Seketika suara batuk terdengar dari mulutnya. Cukup lama, sampai keluar air di pelupuk matanya. Apakah dia sedang terharu padaku? Atau terlalu gembira?
**********
Kau sudah tidak waras, Key. Tanggung jawab seperti apa itu?" Dia menekan ujung rokoknya di atas kursi hingga padam."Kau seharusnya senang, Fi. Kau sangat beruntung bisa mendapatkan aku," sahutku penuh percaya diri. Dia terkekeh mendengarnya."Kenapa kau tertawa? Kau pikir aku bercanda? Ayo temui Ibumu. Aku akan bicara padanya."Dia semakin tergelak sampai menggelengkan kepalanya. Dasar sialan."Mabukmu belum juga hilang rupanya. Biar kubuat kau agar sadar." Dia bangkit, sambil mengambil semprotan air yang biasa ia gunakan untuk membasahi rambut atau membersihkan wajah pelanggannya."Hentikan itu, Fi. Aku tidak mabuk. Kau membuatku basah. Dasar sialan!" umpatku, sambil merebut benda yang digunakannya itu."Oh, begitu. Baiklah. Jadi kau sudah sadar? Kurasa kau ingin sekali menikah denganku, ya? Kau iri karena aku punya pacar?""Kalian baru putus. Kau yang sudah tidak tahan ingin menikah. Jadi aku berbaik h
Kau tidak serius soal menikahi Kahfi, kan?" cecarnya tanpa basa-basi lagi."Bukan urusanmu. Kau sudah melihat kami berciuman. Masih bilang aku bercanda?""Kau hanya bermain-main, Key. Kau hanya ingin membuat Papamu marah. Kau sudah gagal. Jadi, cepat batalkan niatmu itu.""Memangnya kau siapa, berani mengatur hidupku?""Aku mengenal semua teman kencanmu, Key. Kahfi bukan termasuk kriteria seperti mereka.""Sudah kubilang jangan menilai Kahfi di depanku. Tentu saja dia berbeda dari para bedebah itu. Mereka tak sama, dan aku tidak ingin kehilangan laki-laki seperti dia.""Pikirkan lagi, Key," ucapannya sedikit melunak. "Jangan anggap pernikahan seperti mainan yang biasa kau mainkan. Kau bisa menyakiti perasaannya.""Oh, my brother. Mulia sekali hatimu," sindirku dengan nada mendayu. "Kau sedang memikirkan perasaannya, atau perasaanmu?" Telunjukku kini telah menempel di dagunya.Aku mendekatkan wajah, merasakan h
Aku menoleh ke belakang, dan kulihat laki-laki berambut lurus lagi lebat itu, tengah berdiri menatapku."Kak Key serius?" tanya Sifa tiba-tiba."Hush. Jangan sembarangan!" bantah Ibunya.Aku hanya bolak balik memandang mereka secara bergantian, lalu mengangkat bahu. Kuserahkan padamu, Fi..Kahfi mengantarku keluar hingga menuju ke mobil. Meminta aku menunggu, karena dia akan berbicara pada Ibunya. Padahal apa susahnya tadi, ia hanya tinggal menyambung saja ucapanku. Atau ada ritual khusus, yang aku tidak boleh tahu?Oh, ya ampun. Dia membuatku menjadi pusing saja. Kupikir membicarakan sesuatu itu adalah hal yang sangat mudah. Hanya mengatakan kami akan menikah, sudah. Dasar lamban.Aku terpaksa pulang, setelah dia menjanjikan pasti datang malam ini. Yeah, ternyata dia masih takut dengan ancamanku. Tentu saja dia akan kehilangan muka di depan Papa, jika aku sampai benar-benar mengatakan bahwa aku sedang h
"Aku tak tahu lagi harus bicara apa, Key. Aku cemburu. Benar-benar cemburu melihat kau bersamanya," ucapnya dengan napas yang naik turun."Lepaskan aku, bodoh!" makiku, menggerakkan kedua tanganku yang kini terkunci di tembok. Tangannya terus menekan hingga aku tak bisa melepaskan diri."Kumohon. Belum terlambat untuk kita, Key. Aku tak mau lagi menjadi kakak tiri bagimu. Kau tahu sendiri bagaimana perasaanku.""Sialan kau bajingan. Beraninya bicara seperti itu setelah kau dan keluargamu menghancurkan keluargaku. Menghancurkan seluruh hidupku. Kau brengsek Erik. Kalian semua bajingan!" Aku berteriak histeris.Tanpa sadar aku mulai menangis. Mengeluarkan air mata, yang selama ini kutahan agar tak terlihat di hadapan mereka."Maafkan aku, Key. Bukan hanya kau saja. Aku dan Elena juga sama hancurnya seperti perasaanmu saat ini. Kita semua korban, Key."Kulihat matanya memerah, ada yang ikut menggenang di pelupuk matanya. Menat
Aku dan Kahfi baru saja turun dari taksi online. Dia langsung membawaku ke rumah yang selama ini dia tempati bersama Ibu dan adiknya. Aku menyukai rumah ini, juga para penghuninya."Tidak ke rumah mertuamu dulu, Fi?" Ibu mertua menyambut kedatangan kami."Key ingin langsung pulang ke sini," sahut suamiku. Aku memasang senyum termanis di depan Ibu dan juga adik iparku."Kamarnya belum dibereskan. Kami pikir masih akan lama di sana.""Kamar yang mana? Nanti aku rapikan.""Pakai kamar Ibu saja. Tempat tidurnya lebih besar.""Tidak mau!" sanggahku segera. "Aku mau tinggal di kamar Kahfi." Aku kembali melebarkan senyumku..Untuk sekian lama, aku tak pernah lagi memasuki ruangan ini. Tak banyak berubah. Warna cat dan juga perlengkapannya masih sama sejak terakhir aku memasukinya.Kahfi selalu mengunci pintu dan melarangku untuk masuk sejak dia masuk SMP. Saat itu aku masih kelas lima SD. Sama sek
Aku memperhatikan dia yang sedang memasang karpet berwarna coklat muda. Bulunya terlihat begitu tebal, dan sepertinya sangat halus. Disusunnya dua buah bantal, kemudian duduk bersantai di atasnya."Ke sini!" Dia menepuk sisi di sebelah kanannya. Aku membuang pandangan, masih tak terima dengan sikapnya tadi."Kau marah?""Menurutmu?""Berhenti merokok. Tak baik untuk kesehatanmu.""Are you crazy? Kenapa baru sekarang? Sudah bertahun-tahun kau membagi rokokmu padaku.""Sekarang berbeda. Aku melarangmu.""No, Kahfi. Aku tidak mau. Aku akan membelinya sendiri, dan aku tidak akan membaginya denganmu." Aku memutar bola mata, malas."Coba saja lakukan itu. Akan kupatahkan rahangmu itu.""What? Kau sedang mengancamku?" Aku langsung bangkit dan mendatanginya."Kau bicara apa tadi?""Kau sudah dengar dengan jelas. Aku tak mau mengulanginya." Dia menjatuhkan kepalanya ke bantal super besar itu.
Mataku menatap sinis kepadanya."Kau bicara apa?" tanyanya datar. Tangannya meraih koper besar di atas lemari."Kau sudah mendengar pertanyaanku.""Kau menuduhku, hanya karena dia menatapku?""Oh, shit. Kau bahkan tahu dia sedang menatapmu. Kalian saling berpandangan di hadapanku, ha?""Hentikan omong kosongmu, Key. Kau terlihat seperti seseorang yang sedang cemburu.""Kau benar! Aku tak ingin kau akrab dengan keluarga itu, apalagi dia.""Jangan berlebihan. Aku bahkan tak pernah bicara padanya.""Semoga saja itu benar. Kau tak ingin aku membuat masalah baru lagi, kan?""Cepatlah! Kau bilang tak ingin berlama-lama di sini.""Oke! Ini sudah sangat cepat.""Kau yakin semua barang-barangmu muat di kamarku?""Kamar kita. Jangan serakah, Fi. Sekarang itu juga kamarku.""Terserah kau saja.".Aku bernyanyi riang dengan irama musik 'Senorita'. Mengikuti tiap bait lirik yang dibawak
Aku kembali ke rumah setelah selesai mengambil video. Dengan perut kekenyangan, karena harus menghabiskan semua makanan. Damn! Rasanya ingin memuntahkan semua yang ada. Membayangkannya saja membuatku ingin berhenti makan dalam waktu seminggu.Aku baru saja turun dari mobil, saat melihat Sifa baru saja melepas sepatunya di teras rumah. Masih dengan seragam sekolah yang dipakainya pagi tadi."Kau baru pulang?" Aku melirik arloji di pergelangan tangan. Hampir jam lima."Iya, tadi jenguk Ara di rumah sakit.""Ara?"."Seperti biasanya aku mengentakkan bokongku ke kursi bambunya. Pasiennya baru saja pergi. Kurasa dia kedatangan banyak pelanggan hari ini, melihat banyaknya sisa potongan rambut di tempat sampah.Dia mengambil posisi di sebelahku. Mengapit rokok di sela bibirnya, kemudian menyulutnya dengan api. Mataku berkedip-kedip memandangnya."Apa?" sinisnya."Aku mau.""Kau tida