"Ma, Papa gancet! Tolong!"
"Astaga, Papa jahat! Papa tega!"Aku meraung dengan sekuat tenaga seraya meremas stetoskop yang teronggok di atas meja.Kulihat Maya, asistenku sampai terkejut dan membeku di sudut ruang periksa."Tolong tinggalkan saya sendiri!" jeritku pada Maya, gadis itu tampak ketakutan."I-iya Dokter. Saya permisi dulu."Maya segera keluar dari ruang praktekku dan menutup pintu, meninggalkan ku sendiri yang tengah duduk sambil menerima telepon dari lelaki lakn*t yang harus kusebut dia suami."Pa, kenapa tega membohongi Mama? Papa bilang Papa ke luar kota untuk tinjauan wilayah. Apa yang terjadi?""Maafkan Papa, Ma. Papa khilaf.""Lalu, Papa melakukan hal itu dengan siapa?" tanyaku parau."Dengan ...."Mendadak suami ku mematikan ponselnya. Aku segera melakukan video call dengan suamiku sambil menahan amarah yang bergejolak di dalam dada."Astaga, Lidia dan Papa?"Secara refleks aku membekap mulut karena tidak percaya bahwa suamiku sedang main gila dengan anak angkat kami, Lidia.Sementara itu Lidia sedang ketakutan setengah mati dan berusaha menutup wajahnya dengan telapak tangan."Kalian tega sekali dengan ku. Papa, dulu kamu bilang kita mengambil Lidia untuk memancing agar aku bisa hamil. Sekarang, saat kita bisa punya anak, kamu justru meniduri anak angkat kita? Kamu gil* Mas! Tega kamu!" semburku dengan air mata yang berjatuhan di pipi.Merasa sakit sekali melihat dua orang yang paling kupercayai ternyata berhati busuk dan menusuk dari belakang."Maafkan aku, Hesti! Aku khilaf.""Dan kamu Lidia, sekian lama saya sekolahkan kamu, sekarang kamu justru menjadi pelakor dalam rumah tangga saya!"Kulihat gadis itu menahan sakit seraya menangis sesenggukan. Posisi nya yang di bawah pasti menahan beban yang berat. Seberat rasa malu yang akan dia terima jika pihak sekolah dan orang tua kandungnya sampai tahu tentang hal ini."Maafkan saya, Ma. Papa yang merayu saya dulu.""Kamu jangan memfitnah saya, Lidia! Kamu dulu yang merayu saya dengan memakai lingerie milik Mama dan memamerkannya pada Papa saat Mama sedang dinas malam!""Astaga, kalian semua bej*t! Tega sekali kalian!""Maaf Ma. Sekarang tolong kami. Kamu kan Dokter. Tolong obati kami, sehingga kami bisa terlepas."Aku berpikir sejenak. Segera kuusap air mata yang berlelehan di pipi. Mereka tidak pantas kutangisi. Air mataku lebih berharga daripada menangisi kedua makhluk itu."Sebutkan alasan aku harus menolong kalian! Kalian telah menusuk dan menyakitiku. Seharusnya aku tidak perlu menolong kalian. Biar saja kubiarkan kalian agar gancet sampai mati!" seruku lantang. Sakit hatiku masih terasa saat melihat mereka seperti pepes pidang yang bertumpukan."Ma, maafkan Papa! Apa Mama tidak kasihan kalau ingat Verico? Bayangkan reaksi Verico saat tahu Papa dan kakak perempuannya dalam kondisi gancet?" tanya Mas Adi dengan muka memelas.Aku mencebik. "Verico masih berumur lima tahun. Dia tidak akan paham dengan apa yang terjadi pada Papa dan kakak perempuan nya yang bej*t!" sahutku ketus."Ma, ampuni aku. Aku harus lepas. Besok aku ada ujian akhir sekolah. Aku hanya stres sesaat karena terlalu banyak beban belajar, Ma. Jadi aku tidak sadar telah melakukan hal ini. Aku tidak akan mengulangi hal ini lagi." Lidia mengiba dengan sepenuh hati."Enak saja kalian minta maaf padaku setelah melakukan hal memalukan ini. Kalau kalian tidak gancet, mungkin kalian akan terus main di belakangku. Iya kan?""Enggak Ma. Sungguh. Maafkan Papa. Tolong Papa, Ma! Mama kan dokter. Dokter tidak boleh pilih-pilih pasien. Anggap saja Papa adalah salah satu pasien Mama yang sedang sekarat."Sebuah rencana mendadak muncul di kepalaku."Baiklah, aku akan menolong kalian. Sekarang sebutkan dimana hotel kalian saat ini," sahutku."Kami ada di hotel Mawar Melati, kamar 25 Ma. Cepet kemari ya Ma. Seluruh Badan Papa kaku dan kram. Dan tolong rahasiakan hal ini dari siapapun."Aku terdiam lalu segera mengakhiri panggilan telepon.***Adi dan Lidia terkejut saat melihatku yang datang dengan beberapa karyawan hotel dan beberapa orang berbaju rumah sakit masuk ke dalam kamar mereka.Sekarang tak ada rasa kaget dan sedih. Saat ini hanya ada rasa sakit hati dan dendam dalam hati. Tak ada air mata yang keluar karena aku telah menguatkan hati. Emosi telah habis dan air mata telah kering, hanya rencana untuk memberi pelajaran mereka yang kini kurasakan.Beberapa karyawan hotel dan karyawan rumah sakit yang kubawa pun terkejut. Mata mereka membulat melihat pose suamiku dan anak angkat kami."Ma, tolong tutupi kami!" rengek suamiku. Akupun mengambil selimut hotel dan menyelimutinya. Mas Adi bernafas lega."Ma-, Mama, bukankah Papa sudah nitip pesan agar Mama tidak bilang siapa-siapa kan? Kenapa sekarang yang datang justru banyak orang begini?" tanya Mas Adi ketakutan. Punggung nya yang berada di atas memang terekspos secara leluasa.Aku tersenyum dan menyedekapkan kedua dada. "Lalu, kalau aku enggak membawa petugas hotel ke kamar ini, bagaimana mungkin aku bisa masuk kamar? Mereka juga butuh bukti bahwa Papa yang ada di kamar ini membutuhkan pertolongan bukan?Mereka takut kalau nggak ada bukti dan mengijinkan Mama masuk ke dalam kamar, Papa selaku tamu hotel marah kepada mereka karena status Papa di sini ternyata incognito," sindirku membuat wajah mas Adi memerah."Lalu, bagaimana kalau kabar ini sampai di telinga bupati? Bisa dicopot jabatan Papa sebagai Kasubbag, Ma!""Lah, kok tanya saya. Seharusnya kan sebelum memulai harus sudah siap dengan segala konsekuensinya?" tanyaku meledek."Tolong, jangan sindir terus Ma. Sekarang tolong aku. Kasihan Lidia, dia keberatan dan kesemutan."'Astaga, tega sekali dia hanya membicarakan kesulitan Lidia yang ada di bawahnya. Kenapa dia tidak memikirkan perasaanku saat selingkuh dan meminta tolong padaku?'"Oke. Sekarang kita coba suntik pakai pelemas dulu ya, Pa. Kalau tidak mempan, kalian harus dibawa ke rumah sakit. Makanya Mama membawa ambulance."Suamiku terdiam sementara Lidia berusaha menutupi wajahnya dengan tangan.Aku menuju ke boks obat-obatan yang kubawa. Lalu mengeluarkan alat suntik dengan jarum yang paling besar. Yang biasanya untuk menyuntik pantat sapi.Semua orang yang ada di kamar hotel itu bergidik ngeri memandangku yang memegang alat suntik itu."Ma, serius Mama mau menyuntik kita dengan jarum segede itu?" tanya suamiku takut-takut.Aku tersenyum. "UPS, salah ambil. Sori!"Aku meletakkan alat suntik lagi di boksnya dan mengambil alat suntik dengan jarum semestinya.Lalu mengambil ampul baclofen dan mematahkannya lalu menyedotnya menggunakan spuit* 3 cc.Aku mendekat ke arah mereka. "Aku harus menyuntik kalian. Tapi ini harus disuntikkan pada kalian berdua. Aku suntik kamu dulu ya Mas."Aku segera menyuntik mas Adi. Dan aku segera mengambil spuit baru untuk mengambil obat lagi. Lalu menyuntik Lidia.Sesaat setelah obat yang kusuntikkan ke tubuh Lidia, gadis itu berseru keras, "Aaargghh!!!"Catatan kaki 1. Spuit : alat suntik. 2. Ampul : tempat obat seperti botol kecil isi obat dalam bentuk cair. 3. Baclofen : salah satu obat relaxan. Untuk melemaskan ketegangan otot-otot , nyeri dan kram. 4. Incognito : sebuah kata sandi bagi pegawai hotel , bahwa tamu dirahasiakan keberadaannya. 5. Gancet terdiri dari beberapa tingkat keparahan. Pengobatan macam-macam ya. Tergantung tingkat keseriusan gancetnya.Sesaat setelah obat yang kusuntikkan ke tubuh Lidia, gadis itu berseru keras, "Aaargghh!!!""Lidia, kamu kenapa?" tanya Mas Adi dengan nada cemas. "Sakit, Pa. Disuntik Mama tadi. Dan anuku sakit. Kram. Kapan kita bisa terlepas? Kenapa setelah disuntik obat tadi, tidak terjadi apapun pada kita? Jangan-jangan obatnya palsu?!" tanya Lidia emosi. "Heh, kamu ya. Sudah jadi pelakor, nggak percaya juga padaku. Nggak tahu malu. Sudah merusak rumah tangga orang yang telah merawat kamu, minta tolong padaku dan sekarang malah menuduhku memberikan kamu obat yang salah? Wah, kamu keterlaluan, Lid. Ups, apa malah seharusnya tadi aku memberikan kamu suntikan euthanasia*?" tanyaku seraya tersenyum manis. Mas Adi seketika menoleh padaku. "Hesti, apa yang kamu lakukan pada Lidia? Obat apa yang kamu berikan pada Lidia? Ingat dia kan anak angkat kita!"Aku menatap mas Adi dan Lidia. "Anak angkat? Hahahaha! Jangan ngelawak, Mas. Bagiku sekarang Lidia juga tak ubahnya seperti pelakor pada umumnya. Mana
"Hm, jadi saat aku menyelamatkan kalian dari gancet, aku telah merekam pose kalian saat gancet."Mas Adi mendelik. Sedangkan Lidia tampak ketakutan. "Dasar licik! Bagaimana kamu bisa melakukan hal itu?""Yah, tentu saja untuk mengantisipasi kamu agar tidak mengancamku seperti ini. Sekarang, talak aku sekarang juga agar kita resmi cerai secara agama dan biarkan Verico ikut denganku secara damai. Dan kamu juga harus tanda tangan untuk harta yang kita kumpulkan selama menikah, agar menjadi harta milik anak kita. Untuk persidangan sampai surat cerai keluar, biar kita serahkan pada pengacara."Mas Adi memandangku dengan tatapan memelas."Kenapa? Jangan ruwet Mas, tadi kamu bilang mau menceraikan aku. Sekarang aku kabulkan permintaan mu untuk bercerai dengan ku tapi kamu harus merelakan harta yang telah kita hasilkan bersama selama ini untuk anak kita.""Tapi itu tidak adil, Ma! Papa tidak akan mendapat banyak harta padahal Papa yang telah bekerja keras selama ini!" seru Lidia. "Hei Lidi
Aku mengangkat bahu. "Entahlah Mi. Hesti tidak peduli. Hesti hanya merasa sakit hati sekali sekarang. Padahal Hesti juga tidak pernah curiga pada mereka.""Oh ya. Selain overdosis obat kuat dan obat pengencang, apa ada penyebab lain terjadinya gancet?" tanya Mami. "Ada. Faktor psikologis, faktor trauma dari masa lalu, faktor emosi dan mengidap penyakit kelamin.""Hm, serem. Apa memang bisa terjadi pada pasangan sah juga?"Aku mengangguk. Dan saat aku akan membuka mulut untuk menanggapi ucapan Mami, mendadak ponselku berdering. Aku melihat layar ponsel dan langsung terkejut melihat siapa yang menelpon ku malam-malam. Asisten bupati!!!Aku melihat layar ponsel dan langsung terkejut melihat siapa yang menelpon ku malam-malam. Asisten bupati!!!Aku segera melangkah kan kaki meninggalkan ruang makan dan menuju ke ruang tamu. Perasaan ku mengatakan bahwa asisten bupati menelepon ku karena kasus yang menimpa mas Adi. Dan aku tidak mau jika orang tuaku mengetahui dan kepikiran tentang ka
POV penulisFlash back On :"Pa, apa yang harus kita lakukan sekarang?" tanya Lidia ketakutan. Adi menghela nafas di samping Lidia. Lelaki berusia 35 tahun itu juga merasa sakit kepala saat sedang menunggu mamanya yang masih pingsan. Tapi Adi masih saja berusaha mengulas senyum dan berpura-pura tenang di hadapan Lidia. "Ssst, kamu akan selalu aman. Aku akan menjagamu, Sayang."Adi memeluk Lidia perlahan dan mencium kening gadis itu. "Adi ...."Adi segera melepas pelukannya saat mendengar Mamanya yang baru saja membuka mata. "Apa Mama tidak apa-apa? Mana yang sakit, Ma?" tanya Adi sambil menghambur ke arah Mamanya. Lidia mengikuti langkah Adi dengan takut-takut. "Mama masih pusing. Apa kata Dokter tentang Mama?" tanya Mama Adi. "Hm, dokternya bilang kalau jantung Mama normal. Mama hanya mengalami tensi rendah dan asam lambung nya naik. Terus dokter nya juga bilang kalau gula darah Mama drop. Apa Mama belum sarapan?" tanya Adi sambil menatap wajah mamanya. Mamanya menatap sang a
Lidia berpegangan pada bangkunya. "Ini tidak mungkin," desisnya geram. "Lid, kok malah diam?" tanya Mita. Lidia mendadak berdiri dan tanpa mempedulikan teriakan Mita, Lidia itu berlari keluar kelas. Beberapa murid yang berdiri di kanan kiri sisi koridor menatap Lidia. Sebagian tersenyum sinis. Sebagian menyorakinya."Wah, ada pelakor junior nih. Woy Mbak, kalau mau jadi pelakor jangan ke sekolah dong. Noh, ke salon dan spa untuk perawatan, biar tetap wangi dan rapet!" seru salah seorang siswi yang iri oleh Lidia. Lidia yang memang cantik dan seksi dan merupakan anak angkat orang kaya membuat beberapa temannya iri. Apalagi Lidia juga termasuk pemilih dalam berteman. Lidia berlari ke dalam toilet perempuan dan masuk ke dalamnya. Dia meraih ponsel dengan tangan gemetar dan membuka akun sosial media berlogo F miliknya. Dan banyak sekali inbok yang masuk ke akun nya bersamaan dengan banyak japri yang diterima di whatsapp nya."Astaga! Sial*n betul Tante Hesti! Berani-beraninya mengin
"Atau kalau memang kamu mau melaporkan saya, silakan saja. Tapi asal kamu tahu jangan-jangan malah kamu yang ditangkap polisi karena berzina dengan suami orang. Ada pasalnya lo," ucap Hesti membuat nyali Lidia semakin menciut. Lidia terdiam sejenak. "Ta-tapi Tante juga mengingkari janji untuk tidak menyebarkan video penggerebekan aku dan Papa kan?"Hesti tersenyum. Kedua tangannya bersidekap di depan dada. "Sekali lagi kutegaskan padamu kalau bukan aku memviralkan video itu.""Tidak mungkin. Cuma Tante yang merekam kami saat tertangkap kemarin. Sudahlah, nggak usah ngeles. Tante benar-benar jahat dan tega sama saya dan Papa! Seharusnya Tante harus tahu, apa yang dirasakan Verico nanti kalau tahu Papanya viral karena video mes*m?" tanya Lidia dengan tatapan menghiba. "Hm, Baiklah. Ada dua hal yang perlu kamu tahu saat ini. Satu, kamu tahu sendiri saat aku ada di hotel kemarin, ada lima orang dari pihak hotel dan tiga orang dari pihak rumah sakit. Yah, siapa tahu saja, salah satu dari
Lidia segera menuju pintu dan membukanya, dan sesaat kemudian dia terkejut. "Astaga, ada apa ini?" tanya Lidia kaget saat ada dua mobil pick up yang datang ke rumah ibunya. Berbagai barang tampak teronggok di atas pick up. "Pa ...! Papa! Kemari Pa, cepat!" seru Lidia memanggil Adi. Adi segera berdiri dan menuju ke pintu depan lalu melongo melihat ada koper, tivi, meja dan kursi belajar, lemari, komputer dan banyak barang lainnya. "Ada apa ini?" Seorang laki-laki membuka pintu kemudi lalu mendekat ke arah Adi. "Permisi Pak. Apa ini benar rumah Mbak Lidia? Kami hanya ingin mengantar barang saja."Lidia mengangguk dengan kaku lalu menyingkir untuk memberi ruang pada sopir dan temannya untuk memasukkan barang yang ada di atas mobil pick up. "Dimana kami meletakkan barang-barang ini, Pak?" tanya supir pick up pada Adi. Adi yang sedang tercengang segera duduk di kursi sofa sambil memegangi kepalanya yang mendadak terasa pusing. "Loh, ada apa ini? Kamu beli perabotan baru untuk Ibu?
Adi tercengang mendengar ide Lidia. "Hah? Apa kamu bilang?"Lidia mengedikkan bahunya. "Yah, bisa saja dong. Apanya yang salah? Kita cuma pura-pura menculik Verico agar dapat uang dari Tante Hesti.Begitu mendapat uang, tentu saja Verico kita lepaskan dengan selamat," tukas Lidia masih berusaha mengompori Adi. Adi terdiam dan merenung. "Papa tidak setuju, kamu pikir Hesti bisa begitu saja dikibulin? Hesti bisa melakukan apapun untuk membuat kita semakin sial. Sudahlah, kamu terima saja dulu soal Hp kamu. Papa sedang pusing karena memikirkan cari pekerjaan baru.""Huh, Papa ini gimana sih? Katanya sayang sama cinta? Cuma janji doang. Enggak ada bukti! Lidia kecewa sama Papa!" seru Lidia merengek. "Aduh, kamu itu semakin membuat Papa pusing. Kalau begitu, Papa akan langsung cairkan deposito untuk membelikan kamu Hp baru.""Nah, gitu dong. Papa memang yang terbaik. Lidia sayang banget sama Papa. Dan juga Lidia mau minta tolong, tapi Lidia takut Papa marah.""Kamu mau minta tolong apa,