Share

GANCET DENGAN ANAK ANGKAT
GANCET DENGAN ANAK ANGKAT
Author: ananda zhia

bab 1. Obat untuk Memisahkan Gancet

"Ma, Papa gancet! Tolong!"

"Astaga, Papa jahat! Papa tega!"

Aku meraung dengan sekuat tenaga seraya meremas stetoskop yang teronggok di atas meja.

Kulihat Maya, asistenku sampai terkejut dan membeku di sudut ruang periksa.

"Tolong tinggalkan saya sendiri!" jeritku pada Maya, gadis itu tampak ketakutan.

"I-iya Dokter. Saya permisi dulu."

Maya segera keluar dari ruang praktekku dan menutup pintu, meninggalkan ku sendiri yang tengah duduk sambil menerima telepon dari lelaki lakn*t yang harus kusebut dia suami.

"Pa, kenapa tega membohongi Mama? Papa bilang Papa ke luar kota untuk tinjauan wilayah. Apa yang terjadi?"

"Maafkan Papa, Ma. Papa khilaf."

"Lalu, Papa melakukan hal itu dengan siapa?" tanyaku parau.

"Dengan ...."

Mendadak suami ku mematikan ponselnya. Aku segera melakukan video call dengan suamiku sambil menahan amarah yang bergejolak di dalam dada.

"Astaga, Lidia dan Papa?"

Secara refleks aku membekap mulut karena tidak percaya bahwa suamiku sedang main gila dengan anak angkat kami, Lidia.

Sementara itu Lidia sedang ketakutan setengah mati dan berusaha menutup wajahnya dengan telapak tangan.

"Kalian tega sekali dengan ku. Papa, dulu kamu bilang kita mengambil Lidia untuk memancing agar aku bisa hamil. Sekarang, saat kita bisa punya anak, kamu justru meniduri anak angkat kita? Kamu gil* Mas! Tega kamu!" semburku dengan air mata yang berjatuhan di pipi.

Merasa sakit sekali melihat dua orang yang paling kupercayai ternyata berhati busuk dan menusuk dari belakang.

"Maafkan aku, Hesti! Aku khilaf."

"Dan kamu Lidia, sekian lama saya sekolahkan kamu, sekarang kamu justru menjadi pelakor dalam rumah tangga saya!"

Kulihat gadis itu menahan sakit seraya menangis sesenggukan. Posisi nya yang di bawah pasti menahan beban yang berat. Seberat rasa malu yang akan dia terima jika pihak sekolah dan orang tua kandungnya sampai tahu tentang hal ini.

"Maafkan saya, Ma. Papa yang merayu saya dulu."

"Kamu jangan memfitnah saya, Lidia! Kamu dulu yang merayu saya dengan memakai lingerie milik Mama dan memamerkannya pada Papa saat Mama sedang dinas malam!"

"Astaga, kalian semua bej*t! Tega sekali kalian!"

"Maaf Ma. Sekarang tolong kami. Kamu kan Dokter. Tolong obati kami, sehingga kami bisa terlepas."

Aku berpikir sejenak. Segera kuusap air mata yang berlelehan di pipi. Mereka tidak pantas kutangisi. Air mataku lebih berharga daripada menangisi kedua makhluk itu.

"Sebutkan alasan aku harus menolong kalian! Kalian telah menusuk dan menyakitiku. Seharusnya aku tidak perlu menolong kalian. Biar saja kubiarkan kalian agar gancet sampai mati!" seruku lantang. Sakit hatiku masih terasa saat melihat mereka seperti pepes pidang yang bertumpukan.

"Ma, maafkan Papa! Apa Mama tidak kasihan kalau ingat Verico? Bayangkan reaksi Verico saat tahu Papa dan kakak perempuannya dalam kondisi gancet?" tanya Mas Adi dengan muka memelas.

Aku mencebik. "Verico masih berumur lima tahun. Dia tidak akan paham dengan apa yang terjadi pada Papa dan kakak perempuan nya yang bej*t!" sahutku ketus.

"Ma, ampuni aku. Aku harus lepas. Besok aku ada ujian akhir sekolah. Aku hanya stres sesaat karena terlalu banyak beban belajar, Ma. Jadi aku tidak sadar telah melakukan hal ini. Aku tidak akan mengulangi hal ini lagi." Lidia mengiba dengan sepenuh hati.

"Enak saja kalian minta maaf padaku setelah melakukan hal memalukan ini. Kalau kalian tidak gancet, mungkin kalian akan terus main di belakangku. Iya kan?"

"Enggak Ma. Sungguh. Maafkan Papa. Tolong Papa, Ma! Mama kan dokter. Dokter tidak boleh pilih-pilih pasien. Anggap saja Papa adalah salah satu pasien Mama yang sedang sekarat."

Sebuah rencana mendadak muncul di kepalaku.

"Baiklah, aku akan menolong kalian. Sekarang sebutkan dimana hotel kalian saat ini," sahutku.

"Kami ada di hotel Mawar Melati, kamar 25 Ma. Cepet kemari ya Ma. Seluruh Badan Papa kaku dan kram. Dan tolong rahasiakan hal ini dari siapapun."

Aku terdiam lalu segera mengakhiri panggilan telepon.

***

Adi dan Lidia terkejut saat melihatku yang datang dengan beberapa karyawan hotel dan beberapa orang berbaju rumah sakit masuk ke dalam kamar mereka.

Sekarang tak ada rasa kaget dan sedih. Saat ini hanya ada rasa sakit hati dan dendam dalam hati. Tak ada air mata yang keluar karena aku telah menguatkan hati. Emosi telah habis dan air mata telah kering, hanya rencana untuk memberi pelajaran mereka yang kini kurasakan.

Beberapa karyawan hotel dan karyawan rumah sakit yang kubawa pun terkejut. Mata mereka membulat melihat pose suamiku dan anak angkat kami.

"Ma, tolong tutupi kami!" rengek suamiku. Akupun mengambil selimut hotel dan menyelimutinya. Mas Adi bernafas lega.

"Ma-, Mama, bukankah Papa sudah nitip pesan agar Mama tidak bilang siapa-siapa kan? Kenapa sekarang yang datang justru banyak orang begini?" tanya Mas Adi ketakutan. Punggung nya yang berada di atas memang terekspos secara leluasa.

Aku tersenyum dan menyedekapkan kedua dada. "Lalu, kalau aku enggak membawa petugas hotel ke kamar ini, bagaimana mungkin aku bisa masuk kamar? Mereka juga butuh bukti bahwa Papa yang ada di kamar ini membutuhkan pertolongan bukan?

Mereka takut kalau nggak ada bukti dan mengijinkan Mama masuk ke dalam kamar, Papa selaku tamu hotel marah kepada mereka karena status Papa di sini ternyata incognito," sindirku membuat wajah mas Adi memerah.

"Lalu, bagaimana kalau kabar ini sampai di telinga bupati? Bisa dicopot jabatan Papa sebagai Kasubbag, Ma!"

"Lah, kok tanya saya. Seharusnya kan sebelum memulai harus sudah siap dengan segala konsekuensinya?" tanyaku meledek.

"Tolong, jangan sindir terus Ma. Sekarang tolong aku. Kasihan Lidia, dia keberatan dan kesemutan."

'Astaga, tega sekali dia hanya membicarakan kesulitan Lidia yang ada di bawahnya. Kenapa dia tidak memikirkan perasaanku saat selingkuh dan meminta tolong padaku?'

"Oke. Sekarang kita coba suntik pakai pelemas dulu ya, Pa. Kalau tidak mempan, kalian harus dibawa ke rumah sakit. Makanya Mama membawa ambulance."

Suamiku terdiam sementara Lidia berusaha menutupi wajahnya dengan tangan.

Aku menuju ke boks obat-obatan yang kubawa. Lalu mengeluarkan alat suntik dengan jarum yang paling besar. Yang biasanya untuk menyuntik pantat sapi.

Semua orang yang ada di kamar hotel itu bergidik ngeri memandangku yang memegang alat suntik itu.

"Ma, serius Mama mau menyuntik kita dengan jarum segede itu?" tanya suamiku takut-takut.

Aku tersenyum. "UPS, salah ambil. Sori!"

Aku meletakkan alat suntik lagi di boksnya dan mengambil alat suntik dengan jarum semestinya.

Lalu mengambil ampul baclofen dan mematahkannya lalu menyedotnya menggunakan spuit* 3 cc.

Aku mendekat ke arah mereka. "Aku harus menyuntik kalian. Tapi ini harus disuntikkan pada kalian berdua. Aku suntik kamu dulu ya Mas."

Aku segera menyuntik mas Adi. Dan aku segera mengambil spuit baru untuk mengambil obat lagi. Lalu menyuntik Lidia.

Sesaat setelah obat yang kusuntikkan ke tubuh Lidia, gadis itu berseru keras, "Aaargghh!!!"

Catatan kaki

1. Spuit : alat suntik.

2. Ampul : tempat obat seperti botol kecil isi obat dalam bentuk cair.

3. Baclofen : salah satu obat relaxan. Untuk melemaskan ketegangan otot-otot , nyeri dan kram.

4. Incognito : sebuah kata sandi bagi pegawai hotel , bahwa tamu dirahasiakan keberadaannya.

5. Gancet terdiri dari beberapa tingkat keparahan. Pengobatan macam-macam ya. Tergantung tingkat keseriusan gancetnya.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Twist X
gancet? apa itu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status