Share

bab 2. Pingsan

Sesaat setelah obat yang kusuntikkan ke tubuh Lidia, gadis itu berseru keras, "Aaargghh!!!"

"Lidia, kamu kenapa?" tanya Mas Adi dengan nada cemas.

"Sakit, Pa. Disuntik Mama tadi. Dan anuku sakit. Kram. Kapan kita bisa terlepas? Kenapa setelah disuntik obat tadi, tidak terjadi apapun pada kita? Jangan-jangan obatnya palsu?!" tanya Lidia emosi.

"Heh, kamu ya. Sudah jadi pelakor, nggak percaya juga padaku. Nggak tahu malu. Sudah merusak rumah tangga orang yang telah merawat kamu, minta tolong padaku dan sekarang malah menuduhku memberikan kamu obat yang salah? Wah, kamu keterlaluan, Lid. Ups, apa malah seharusnya tadi aku memberikan kamu suntikan euthanasia*?" tanyaku seraya tersenyum manis.

Mas Adi seketika menoleh padaku. "Hesti, apa yang kamu lakukan pada Lidia? Obat apa yang kamu berikan pada Lidia? Ingat dia kan anak angkat kita!"

Aku menatap mas Adi dan Lidia. "Anak angkat? Hahahaha! Jangan ngelawak, Mas. Bagiku sekarang Lidia juga tak ubahnya seperti pelakor pada umumnya. Mana ada anak angkat tidur sama papa angkatnya?!"

Wajah Mas Adi dan Lidia memerah. "Kita bahas itu nanti. Tolong lepaskan dulu gancet ini. Anuku sakit!" rintih mas Adi.

Aku tertawa. "Makanya jangan selingkuh. Tadi galak banget. Sekarang tidak berdaya. Lucu sekali kamu, Mas."

"Hes, sudahlah. Jangan tertawa terus! Ini obatnya akan bereaksi kapan?" tanya Mas Adi dengan wajah memerah.

"Berhitung saja. Sampai lima. Nanti kalian akan terlepas sendiri."

Mas Adi dan Lidia saling berpandangan. "Jangan bercanda, Hesti!"

"Aku enggak bercanda, Mas. Hitung saja dari sekarang!"

"Satu ...,"

"Wah, Pa. Anuku sudah mulai melonggar!" seru Lidia bahagia.

"Alatku juga mulai lemas."

"Kalau sudah bereaksi, hati-hati melepasnya. Nanti putus lo!" ledekku.

Terlihat mas Adi dan Lidia memandang ku dengan ekspresi bercampur aduk. Seperti marah, kesal, malu, dendam, atau terimakasih? Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Rencanaku harus tetap kulaksanakan.

"Tolong semua pergi dari sini!" teriak Mas Adi pada beberapa orang yang berkerumun.

Karyawan hotel dan karyawan ruang sakit menurut dan keluar dari kamar hotel.

"Kenapa kamu enggak keluar? Kami mau ganti baju!" seru Mas Adi sambil menutup tubuh polosnya setelah berhasil duduk. Sedangkan Lidia mulai memakai baju yang berceceran di lantai.

"Wah, setelah ditolong, aku malah diusir? Hebat sekali kamu, Mas? Aku disini untuk melihat efek obat kedua," ujarku dengan tawa tertahan.

"Efek obat kedua? Apa maksud kamu?" tanya mas Adi bingung.

"Pa, Lidia mendadak mengantuk,'" ucap Lidia sambil memejamkan mata.

"Astaga, Lidia! Kamu kenapa, Sayang? Bangunlah, buka mata kamu!" seru Mas Adi sambil menatap tubuh di bawahnya lalu segera menatapku nyalang.

"Obat ap- ...,"

Terlihat Mas Adi pun mulai mengantuk dan mendadak kepalanya terkulai lemas.

"Maaf, Mas. Obat relaxan nya kucampur dengan obat tidur dosis rendah. Nanti kamu akan segera bangun."

Aku memanggil kembali petugas medis yang ada di luar dan meminta tolong mereka untuk memakaikan baju pada mas Adi dan Lidia.

Aku mengedarkan mata mencari sesuatu yang kemungkinan ada di kamar hotel ini. Sesuatu yang memungkinkan terjadinya gancet pada kedua makhluk itu.

Kubuka satu per satu tas dan laci hotel. Dan pandanganku tertumbuk pada beberapa bungkus obat di tempat sampah hotel. Segera kuambil bungkus obat itu dan kumasukkan ke dalam tas.

"Dasar bod*h! Pantas kalian gancet, kalian terlalu memaksakan diri," gumamku lirih.

***

"Hei, sudah sadar?" tegurku saat melihat Lidia dan Mas Adi yang baru saja membuka mata bersamaan.

Sepertinya mereka benar-benar soulmate. Bahkan untuk sadar saja mereka barengan. Hm. Namun mereka tidak sadar bahwa mereka akan mendapatkan omelan berhadiah

"Adi, kamu malu-maluin Mama saja! Sudah punya istri malah main gila. Dengan anak angkat pula! Mau ditaruh mana muka Mama dan Papa kalau sampai Bupati tahu dan memecat kamu?!"

Mas Adi yang baru saja duduk sambil memegangi kepalanya yang pusing memandangi ku dengan wajah penuh dendam.

"Hesti, tega kamu! Setelah mempermalukan aku di hadapan karyawan hotel dan karyawan rumah sakit, kamu masih tega mempermalukan aku di hadapan keluarga?" tanya mas Adi sambil menudingku tanpa menghiraukan perkataan Mamanya.

"Adi! Kamu nyuekin Mama? Bagaimana tanggung jawab kamu sekarang?" tanya mertuaku dengan garang. "Bisa-bisanya kamu melepas intan berlian untuk pecahan botol orson? Apa kamu gila?" sambung mama mertuaku.

Mas Adi tertunduk.

"Tenang Papa dan Mama, saya mengumpulkan para orang tua di sini karena saya ingin menyampaikan permintaan saya. Saya ingin berpisah secara baik-baik dengan Mas Adi, karena ...,"

"Kamu minta berpisah? Oke! Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa pembagian harta gono-gini dan Verico ikut aku!"

Kamu minta berpisah? Oke! Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa pembagian harta gono-gini dan Verico ikut aku!"

"Wah, kamu serakah sekali ya? Aku tidak menyangka kamu segitu enggak tahu malunya," tugasku dengan menghela nafas.

"Ya, kalau kamu tidak mau pembagian harta gono-gini dan Verico ikut sama aku, simpel sih. Kita enggak usah cerai saja," sahut Mas Adi dengan senyum penuh kemenangan.

"Hm, menggelikan. Aku tidak akan pernah mau berbagi alat tempur kamu dengan orang lain. Apalagi memelihara pengkhianat seperti Lidia," sahutku kalem.

Lidia mendelik dan seketika merengkuh lengan mas Adi.

"Pa, bukannya Papa janji akan menikahiku?" tanya Lidia menghiba.

"Kamu tenang saja. Jangan khawatir. Tentu saja aku akan menikahimu tapi aku tidak ingin berpisah dengan Hesti."

"Hei Mas! Kalau kamu tidak mau menceraikan aku dan mengikhlaskan hak asuh Verico padaku, aku yang akan menggugat kamu ke pengadilan agama. Dan kita lihat, siapa yang menang karena aku telah mempunyai bukti dan saksi cukup banyak."

"Bu, lihat itu anak kalian. Sudah diangkat anak oleh anak saya, disekolahkan dan dirawat dengan baik, tapi justru berbuat khianat!" seru Mamiku yang sedari tadi diam.

Ibu Lidia yang menunduk mendadak mengangkat kepalanya.

"Saya mau kok kalau Lidia menikah dengan Adi," sahut Ibu Lidia lirih membuatku terkejut.

"Jangan bilang kalau Ibu sudah tahu dengan perselingkuhan anak Ibu dan justru mendukungnya?" tanyaku dengan menahan amarah.

"Iya. Sebenarnya saya tahu. Sekarang, siapa yang tidak ingin mempunyai menantu seorang ASN? Kaya dan terhormat? Itu bisa mengangkat martabat keluarga kami," sahut Ibu Lidia.

"Astaga! Ibu macam apa yang justru membela putri nya yang menjadi pelakor? Miris banget. Kayak nggak ada laki-laki lain?" sahut Mamiku dengan ekspresi jijik.

"Mi, jangan ikut campur. Ini urusan saya dengan Hesti," kata Mas Adi pada Mami lalu menoleh padaku.

"Hesti, jadi kamu tetap mau mengajukan cerai?! Tapi ingat Verico ikut aku dan pembagian harta gono-gini secara adil."

Aku tersenyum melihat keyakinan Mas Adi. "Mas, Verico masih balita. Aku yakin hakim akan memberikan hak asuhnya padaku. Lagipula, aku punya saksi dan bukti yang akan kubawa ke pengadilan agama sehingga memberatkan kamu."

Mas Adi menelan ludah. "Apa maksud kamu dengan bukti?"

.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status