Sesaat setelah obat yang kusuntikkan ke tubuh Lidia, gadis itu berseru keras, "Aaargghh!!!"
"Lidia, kamu kenapa?" tanya Mas Adi dengan nada cemas."Sakit, Pa. Disuntik Mama tadi. Dan anuku sakit. Kram. Kapan kita bisa terlepas? Kenapa setelah disuntik obat tadi, tidak terjadi apapun pada kita? Jangan-jangan obatnya palsu?!" tanya Lidia emosi."Heh, kamu ya. Sudah jadi pelakor, nggak percaya juga padaku. Nggak tahu malu. Sudah merusak rumah tangga orang yang telah merawat kamu, minta tolong padaku dan sekarang malah menuduhku memberikan kamu obat yang salah? Wah, kamu keterlaluan, Lid. Ups, apa malah seharusnya tadi aku memberikan kamu suntikan euthanasia*?" tanyaku seraya tersenyum manis.Mas Adi seketika menoleh padaku. "Hesti, apa yang kamu lakukan pada Lidia? Obat apa yang kamu berikan pada Lidia? Ingat dia kan anak angkat kita!"Aku menatap mas Adi dan Lidia. "Anak angkat? Hahahaha! Jangan ngelawak, Mas. Bagiku sekarang Lidia juga tak ubahnya seperti pelakor pada umumnya. Mana ada anak angkat tidur sama papa angkatnya?!"Wajah Mas Adi dan Lidia memerah. "Kita bahas itu nanti. Tolong lepaskan dulu gancet ini. Anuku sakit!" rintih mas Adi.Aku tertawa. "Makanya jangan selingkuh. Tadi galak banget. Sekarang tidak berdaya. Lucu sekali kamu, Mas.""Hes, sudahlah. Jangan tertawa terus! Ini obatnya akan bereaksi kapan?" tanya Mas Adi dengan wajah memerah."Berhitung saja. Sampai lima. Nanti kalian akan terlepas sendiri."Mas Adi dan Lidia saling berpandangan. "Jangan bercanda, Hesti!""Aku enggak bercanda, Mas. Hitung saja dari sekarang!""Satu ...,""Wah, Pa. Anuku sudah mulai melonggar!" seru Lidia bahagia."Alatku juga mulai lemas.""Kalau sudah bereaksi, hati-hati melepasnya. Nanti putus lo!" ledekku.Terlihat mas Adi dan Lidia memandang ku dengan ekspresi bercampur aduk. Seperti marah, kesal, malu, dendam, atau terimakasih? Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Rencanaku harus tetap kulaksanakan."Tolong semua pergi dari sini!" teriak Mas Adi pada beberapa orang yang berkerumun.Karyawan hotel dan karyawan ruang sakit menurut dan keluar dari kamar hotel."Kenapa kamu enggak keluar? Kami mau ganti baju!" seru Mas Adi sambil menutup tubuh polosnya setelah berhasil duduk. Sedangkan Lidia mulai memakai baju yang berceceran di lantai."Wah, setelah ditolong, aku malah diusir? Hebat sekali kamu, Mas? Aku disini untuk melihat efek obat kedua," ujarku dengan tawa tertahan."Efek obat kedua? Apa maksud kamu?" tanya mas Adi bingung."Pa, Lidia mendadak mengantuk,'" ucap Lidia sambil memejamkan mata."Astaga, Lidia! Kamu kenapa, Sayang? Bangunlah, buka mata kamu!" seru Mas Adi sambil menatap tubuh di bawahnya lalu segera menatapku nyalang."Obat ap- ...,"Terlihat Mas Adi pun mulai mengantuk dan mendadak kepalanya terkulai lemas."Maaf, Mas. Obat relaxan nya kucampur dengan obat tidur dosis rendah. Nanti kamu akan segera bangun."Aku memanggil kembali petugas medis yang ada di luar dan meminta tolong mereka untuk memakaikan baju pada mas Adi dan Lidia.Aku mengedarkan mata mencari sesuatu yang kemungkinan ada di kamar hotel ini. Sesuatu yang memungkinkan terjadinya gancet pada kedua makhluk itu.Kubuka satu per satu tas dan laci hotel. Dan pandanganku tertumbuk pada beberapa bungkus obat di tempat sampah hotel. Segera kuambil bungkus obat itu dan kumasukkan ke dalam tas."Dasar bod*h! Pantas kalian gancet, kalian terlalu memaksakan diri," gumamku lirih.***"Hei, sudah sadar?" tegurku saat melihat Lidia dan Mas Adi yang baru saja membuka mata bersamaan.Sepertinya mereka benar-benar soulmate. Bahkan untuk sadar saja mereka barengan. Hm. Namun mereka tidak sadar bahwa mereka akan mendapatkan omelan berhadiah"Adi, kamu malu-maluin Mama saja! Sudah punya istri malah main gila. Dengan anak angkat pula! Mau ditaruh mana muka Mama dan Papa kalau sampai Bupati tahu dan memecat kamu?!"Mas Adi yang baru saja duduk sambil memegangi kepalanya yang pusing memandangi ku dengan wajah penuh dendam."Hesti, tega kamu! Setelah mempermalukan aku di hadapan karyawan hotel dan karyawan rumah sakit, kamu masih tega mempermalukan aku di hadapan keluarga?" tanya mas Adi sambil menudingku tanpa menghiraukan perkataan Mamanya."Adi! Kamu nyuekin Mama? Bagaimana tanggung jawab kamu sekarang?" tanya mertuaku dengan garang. "Bisa-bisanya kamu melepas intan berlian untuk pecahan botol orson? Apa kamu gila?" sambung mama mertuaku.Mas Adi tertunduk."Tenang Papa dan Mama, saya mengumpulkan para orang tua di sini karena saya ingin menyampaikan permintaan saya. Saya ingin berpisah secara baik-baik dengan Mas Adi, karena ...,""Kamu minta berpisah? Oke! Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa pembagian harta gono-gini dan Verico ikut aku!"Kamu minta berpisah? Oke! Tidak apa-apa. Tapi jangan lupa pembagian harta gono-gini dan Verico ikut aku!""Wah, kamu serakah sekali ya? Aku tidak menyangka kamu segitu enggak tahu malunya," tugasku dengan menghela nafas."Ya, kalau kamu tidak mau pembagian harta gono-gini dan Verico ikut sama aku, simpel sih. Kita enggak usah cerai saja," sahut Mas Adi dengan senyum penuh kemenangan."Hm, menggelikan. Aku tidak akan pernah mau berbagi alat tempur kamu dengan orang lain. Apalagi memelihara pengkhianat seperti Lidia," sahutku kalem.Lidia mendelik dan seketika merengkuh lengan mas Adi."Pa, bukannya Papa janji akan menikahiku?" tanya Lidia menghiba."Kamu tenang saja. Jangan khawatir. Tentu saja aku akan menikahimu tapi aku tidak ingin berpisah dengan Hesti.""Hei Mas! Kalau kamu tidak mau menceraikan aku dan mengikhlaskan hak asuh Verico padaku, aku yang akan menggugat kamu ke pengadilan agama. Dan kita lihat, siapa yang menang karena aku telah mempunyai bukti dan saksi cukup banyak.""Bu, lihat itu anak kalian. Sudah diangkat anak oleh anak saya, disekolahkan dan dirawat dengan baik, tapi justru berbuat khianat!" seru Mamiku yang sedari tadi diam.Ibu Lidia yang menunduk mendadak mengangkat kepalanya."Saya mau kok kalau Lidia menikah dengan Adi," sahut Ibu Lidia lirih membuatku terkejut."Jangan bilang kalau Ibu sudah tahu dengan perselingkuhan anak Ibu dan justru mendukungnya?" tanyaku dengan menahan amarah."Iya. Sebenarnya saya tahu. Sekarang, siapa yang tidak ingin mempunyai menantu seorang ASN? Kaya dan terhormat? Itu bisa mengangkat martabat keluarga kami," sahut Ibu Lidia."Astaga! Ibu macam apa yang justru membela putri nya yang menjadi pelakor? Miris banget. Kayak nggak ada laki-laki lain?" sahut Mamiku dengan ekspresi jijik."Mi, jangan ikut campur. Ini urusan saya dengan Hesti," kata Mas Adi pada Mami lalu menoleh padaku."Hesti, jadi kamu tetap mau mengajukan cerai?! Tapi ingat Verico ikut aku dan pembagian harta gono-gini secara adil."Aku tersenyum melihat keyakinan Mas Adi. "Mas, Verico masih balita. Aku yakin hakim akan memberikan hak asuhnya padaku. Lagipula, aku punya saksi dan bukti yang akan kubawa ke pengadilan agama sehingga memberatkan kamu."Mas Adi menelan ludah. "Apa maksud kamu dengan bukti?".Tamu lelaki itu tersenyum dan berkata, "Saya kurir, Bu. Hendak mengantarkan buket bunga."Hesti memandangi sekeliling ruang tamu nya dengan terheran-heran. Masalahnya tidak ada satupun buket bunga ada terlihat di ruangan itu. "Buket bunga? Dimana?"Kurir itu tersenyum. "Buketnya besar. Ada di dalam mobil kami. Sebentar saya ambil dulu."Lelaki itu tanpa menunggu persetujuan Hesti keluar dari ruang tamunya dan menuju ke halaman, tempat mobilnya terparkir. Lalu beberapa saat kemudian kembali ke ruang tamu dengan seorang temannya."Ini Bu."Lelaki itu menyerahkan sebuah standing buket bunga besar dengan isi mawar merah segar, uang seratus ribu rupiah berlembar-lembar, dan beberapa batang coklat silverqueen. Berbungkus kertas cellophane berwarna hitam dan putih bening. Dan menggunakan penyangga kayu. Mata Hesti membulat melihat buket bunga yang dibawa oleh kedua kurir tersebut. "Siapa yang mengirim ini?" tanya Hesti dengan rasa yang masih tercengang. "Ada dalam kertas pengirim di dala
Hesti dan Narendra serentak menoleh dan terkejut melihat kedatangan Adi. "Kamu?!""Iya aku. Kenapa? Kalian kaget?" tanya Adi dengan tertatih berjalan mendekat ke arah Hesti dan Narendra."Kamu ngapain ke sini Mas?" tanya Hesti. "Aku kangen dengan Verico. Memang kenapa? Aku kan ayah kandungnya, apa tidak boleh aku menemuinya?" tanya Adi ketus.Hesti dan Narendra saling berpandangan. "Halo Pa? Papa darimana?" tanya Verico mendekat ke arah Adi."Dari rumah saja. Kamu mau ikut Papa ke rumah Papa?" tanya Adi penuh harap. Sementara Hesti terlihat keberatan tapi menahan diri untuk tidak mengucapkan sepatah katapun. Verico menggeleng kan kepalanya dengan cepat. Lalu beralih mendekati Hesti. "Verico di sini saja sama Mama dan Eyang," tukas bocah lelaki itu sambil memeluk lengan Mamanya. Adi terlihat berdecak kesal. Tapi tanpa putus asa, dia terus berusaha merayu Verico untuk ikut dengannya. "Kenapa kamu tidak mau, Nak? Di sana kan ada Eyang juga? Ada Papa juga. Apa selama ini Mama meng
"Bu Ayu. Bu Ayu ini kan, ibunya Lidia?" tanya Mami Adi seraya menunjuk kan ponsel Adi pada sang suami.Papi Adi mengangguk. "Coba angkat aja telepon nya. Barangkali ada hal penting yang ingin disampaikan oleh ibunya Lidia."Mami Adi menoleh pada Anaknya. "Gimana, Di? Boleh kah Mami terima telepon nya?"Adi terlihat berpikir sejenak. "Oke. Boleh, Mi.""Halo," sapa Mami Adi setelah menekan tombol hijau. "Halo. Adi nya ada? Saya ingin meminta tolong. Ini berkaitan dengan Lidia," sahut suara Ibu Lidia panik. Mami Adi melihat ke arah anaknya. Adi mengangguk. Mami Adi lantas menekan tombol loud speaker lalu mendekatkan nya ke arah Adi yang sedang berbaring. "Halo, Adi. Tolong Lidia. Lidia dua Minggu lagi menghadapi persidangan.""Lalu kenapa?" tanya Adi aduh tak acuh. "Loh, kok tanya kenapa sih? Bantuin dong Nak Adi, kamu kan calon suami Lidia."Adi nyaris tertawa mendengar perkataan ibu Lidia. Tapi rasa nyeri setelah dioperasi dan perasaan kaget pasca mengetahui bahwa dirinya mengalam
Dan detik berikutnya, Adipun terguling jatuh dari dua puluh lima anak tangga!!!Hesti dan Narendra tak kalah terkejutnya saat melihat Adi jatuh terguling. "Astaghfirullah, Mas Adi!" seru Hesti berlari mendekat ke tangga."Hes, hati-hati! Kamu memakai high heels!" seru Narendra. Ketiga asisten Narendra yang sedang mengejar Adi juga berlarian turun dari tangga. Adi yang terjatuh terguling sampai di tangga paling bawah mendarat dengan telentang. Ada cairan kental berwarna merah saat Hesti dan yang lainnya sampai di dekat tubuh Adi. "Hesti, darah! Apa kita harus membawa Adi ke rumah sakit sekarang?" tanya Narendra yang berjongkok di samping tubuh temannya. Hesti menghela nafas panjang. Dia sering bertemu dengan pasien yang mengalami luka lebih parah daripada Adi. Tapi saat melihat kondisi mantan suaminya seperti ini, apalagi setelah insiden di aula tadi, mau tidak mau jantung nya berdebar lebih kencang juga. "Jangan, biar aku telepon ambulance saja. Ada perdarahan di otaknya. Aku j
Flash back On :"Ada apa, Nak? Kenapa belum tidur? Sebentar lagi kan ulang tahun show room kamu? Kenapa malah sedih?" tanya Mami Narendra sambil menyentuh bahu anaknya saat melihat Narendra sedang duduk sendiri di kursi taman belakang rumahnya. Narendra menoleh dan tampak Maminya sedang tersenyum. Tapi di matanya tersirat rasa cemas yang tidak bisa disembunyikan.Lelaki itu ikut tersenyum dan menyentuh tangan sang Ibu yang berada di atas bahunya. Lalu menarik sang ibu untuk duduk di sebelah nya. "Rendra ingin tiduran sejenak di pangkuan Ibu," tutur Rendra lirih sambil meletakkan kepalanya di paha ibunya. Ibunya menghela nafas. "Ada masalah apa? Kenapa sampai membuat kamu tidak bisa tidur?" tanya Ibunya sambil mengelus rambut sang anak. "Lah Mami juga, kenapa belum tidur?""Wah, anak ini, ditanya kok nanya balik. Ibu belum tidur karena rindu pada mendiang ayah kamu.""Hm, sama. Hanya aku juga sedang merindukan seseorang yang masih hidup.""Hesti kan?" tebak Mami Rendra. Rendra men
Adi tertegun melihat Verico yang menghambur ke pelukan Narendra. Ada rasa iri yang menusuk di dalam hatinya. "Verico Sayang, kenapa kamu lebih memilih untuk memeluk Om Narendra?! Kenapa kamu tidak memilih memeluk Papa? Papa juga rindu sama kamu," ujar Adi sambil merentangkan kedua tangannya. Meminta pelukan pada sang anak. "Enggak mau. Papa pernah membuat Mama menangis dan sekarang Papa sudah membuat Om Rendra terluka. Verico nggak mau sama Papa!" seru Verico sambil mengeratkan pelukan pada Rendra.Rendra merasakan bibirnya berkedut nyeri setelah mendapat bogem mentah dari Adi. Tapi lelaki itu menyunggingkan senyumnya. 'Kamu terlalu mudah emosi, Di. Sekarang kamu lihat kan bahkan anak kamu pun menjauhi kamu,' bisik Narendra dalam hati. Adi mengepalkan tangannya. "Verico, ini tidak seperti yang kamu pikirkan. Om Rendra itu jahat. Dia punya niat tidak baik pada mu dan Mama.""Adi."Terdengar suara Papi Hesti memanggil nama mantan menantunya. Adi menoleh. "Pi, apa Papi juga akan me
"Berdiri dan pulanglah saja. Daripada saya ikut melaporkan kalian ke polisi dengan tuduhan bekerja sama dalam melakukan tindakan kriminal!" seru Narendra yang mendadak masuk dari pintu gerbang, membuat ibu Lidia tercengang."Pak Narendra tidak bisa seenaknya saja menuduh saya. Bapak tidak punya bukti untuk melaporkan saya pada polisi," seru ibu Lidia mendadak berdiri.Narendra tersenyum. "Kata siapa saya tidak punya bukti? Kalau Ibu mengetahui rencana Lidia untuk menculik Verico tapi diam saja dan tidak melaporkan ke polisi untuk mencegahnya, sama saja Ibu mendukung perbuatan Lidia.""Tapi saya benar-benar tidak tahu kalau Lidia hendak menculik Verico!""Hm, benarkah? Bagaimana kalau Lidia sudah mengaku pada polisi bahwa dia sudah menceritakan tentang semua rencana nya pada keluarga nya? Kalian bisa ikut diperiksa kan?"Ibu Lidia menelan ludah. "Lidia tidak akan mengatakannya. Dia tidak akan menyeret ibu dan kedua adik yang sangat disayanginya walaupun saya tahu rencana nya," tukas I
"Dia tampak lelah sekali ya, Pi?" tanya Narendra pada Papi saat melihat Hesti yang tertidur pulas di samping Verico."Iya. Semalam katanya dia telah menangkap Lidia, saat Lidia mencoba melukai nya," sahut Papi seraya tersenyum melihat cucu dan anaknya yang sedang berbagi ranjang pasien untuk tidur berdua. "Iya. Saat Hesti menghubungi saya untuk meminta bantuan menelepon polisi, Lidia telah diikat dengan baik oleh satpam rumah sakit. Rekaman video yang menunjukkan bahwa Lidia berusaha menyerang Hesti secara membabi buta pun telah diamankan oleh pihak kepolisian.""Lalu bagaimana kelanjutan hukuman Lidia?"Narendra mengedikkan bahu nya. "Entahlah Pi. Yang jelas Lidia dijerat dengan pasal berlapis. Mulai dari penculikan anak, penyalahgunaan obat, penganiayaan, entahlah kalau ada pasal lainnya," sahut Narendra. Papi manggut-manggut. "Hm, Rendra, biarkan Hesti istirahat dulu. Ayo kita keluar dari sini. Ke kantin rumah sakit. Ada yang ingin Papi bicarakan padamu sebagai sesama lelaki."Na
Mendadak tubuh Narendra seolah membeku saat melihat bungkus obat tidur yang tergeletak di atas meja dan sudah kosong!"Astaga, Lidia! Kamu sudah gila?! Kamu telah memberikan obat ini untuk Verico?! Anak sekecil ini kamu beri obat tidur? Apa kamu enggak waras?" tanya Narendra marah.Ingin sekali rasanya Narendra menampar Lidia, tapi karena menurutnya menolong Verico adalah hal yang terpenting untuk saat ini, maka Narendra menahan diri. "Baiklah. Aku akan membawa Verico langsung ke rumah sakit, kalian yang membawa Lidia ke kantor polisi ya," ucap Narendra sambil menatap kepada ketiga anak buahnya.Ketiga anak buahnya mengangguk. Lalu Narendra segera keluar dari rumah itu dan menelepon Hesti. "Halo, Hesti! Verico sudah ketemu! Tapi kondisinya nggak begitu bagus. Kirimkan segera ambulance dari rumah sakit tempat kamu bekerja ke alamat yang sebentar lagi alamatnya aku share loct! Oke!"Terdengar seruan bahagia bercampur harapan dan kecemasan dari seberang telepon sebelum Narendra mengak