PoV RaffaTiga bulan berlalu sudah ...Aku masih tetap sama dalam kesenderianku. Hanya mementingkan kebahagiaan orang-orang yang kusayangi. Aku pun masih tetap menyalurkan sedikit bantuan pada keluarga Yulia, setidaknya untuk pengobatan Yulia yang hingga kini masih berjalan.Sejak kedatanganku tiga bulan yang lalu, aku tak pernah lagi mendatangi mereka. Bagiku cukup sudah bujuk rayu segala daya dan upaya keluarga mereka untuk memintaku kembali.Bukan. Bukan aku teramat membencinya, namun hati ini amat sulit menerimanya kembali setelah apa yang telah ia perbuat. Terlalu sakit jika harus mengulang kebersamaan yang telah dirusaknya.Namun meski begitu, aku tetap menanyakan kabarnya pada Satya, sekadar untuk memantau perkembangannya saja. Kabarnya, kondisi kejiwaan Yulia semakin hari semakin membaik, semenjak kukerahkan satu tim dokter psikolog serta perawatnya untuk merawat Yulia tiga hari sekali, di rumahnya.Aku tak berkeberatan jika harus menguras sejumlah uang untuk kesembuhan jiwany
"Aku gak marah, Mas. Cuma ..." gadis itu menggantung ucapannya, membuatku semakin penasaran."Aku sadar diri, siapa aku, Mas. Tidak pantas rasanya jika aku harus dijodohkan denganmu yang seorang bos besar di perusahaan besar ini. Apalagi ... aku juga bukan gadis muda lagi," jelasnya. Senyuman di bibirnya yang biasanya tampak begitu tulus, kali ini terlihat segan.Alih-alih ingin mencairkan suasana, situasi saat ini malah menambah ketegangan bagi kami berdua."Alasan macam apa, itu?" tanyaku, berusaha tetap santai. Padahal nyatanya, aku tak nyaman dengan anggapan berlebihan Embun."Ya ... tahu diri saja, Mas. Aku tidak mau sampai ada harapan yang tumbuh dari ledekan-ledekan itu. Aku tidak mau hatiku sampai kecewa karena harapan semu itu ternyata berbanding terbalik dengan kenyataannya."Embun menunduk, entah apa yang ia lihat."Maksudmu? Apa kamu takut kecewa hanya karena sebuah ledekan perjodohan kita?" tebakku."Aku ini seorang wanita, Mas. Di dalam sini ada sebongkah hati yang betap
PoV AuthorPantang menyerah Raffa mengemudikan mobilnya, meski lelah nyaris meremukkan seluruh tulangnya. Ia harus bertolak ke kampung halaman Yulia sebab Satya baru saja mengabari bahwa, Yulia sudah mulai merasakan kontraksi.Mendengar penuturan Satya di telepon, Raffa melupakan tentang tanya yang sempat memenuhi isi kepalanya. Sebuah tanya yang muncul dari pertemuan Embun dengan seorang pria yang tidak Raffa kenali."Ayolah!" gumamnya, resah melihat kendaraan di depannya nyaris tak bergerak.Sesekali pria itu melirik ke arah ponsel yang ditaruhnya di atas jok sebelah, berharap Satya segera memberi kabar terbaru tentang perkembangan kelahiran Yulia."Jalan, dong, Ya Allah ... ada apa ini, macet sekali?" Raffa bertanya seorang diri. Ia benar-benar khawatir pada Yulia yang tengah merasakan sakitnya kontraksi tanpa seorang suami.Meski sudah tak lagi peduli, Raffa tetap saja panik mendengar kabar tersebut. Pasalnya, hal ini adalah yang pertama baginya, meski kini sudah bukan lagi suami
"Segera tangani, Bu Bidan. Kasihan, anak saya sepertinya mulai lemas menahan sakit," usul Pak Sujita, sekaligus ingin membungkam mulut bidan tersebut."Iya, Pak. Ini tidak sedang saya tonton saja, kok. Tapi pembukaannya belum lengkap," jelas bidan kepala itu."Lakukan sesuatu, Bu, supaya bayinya cepat lahir," mohon Pak Sujita lagi."Dari jam berapa mulai merasakan kontraksi?" tanya Bidan satunya dengan ramah."Sekitar jam dua siang, Bu Bidan. Dan sudah lama sekali, bayinya belum lahir juga," jawab Pak Sujita.Bidan tersebut menghitung jam dengan jarinya. "Ini wajar, kok, Pak. Baru tiga jam kontraksi, ada yang sampai dua hari dua malam. Bapak tenang saja. Jika dalam dua jam kedepan pembukaannya tidak bertambah, baru kita lakukan tindakan.""Tindakan, maksudnya?" Pak Sujita menatap penuh tanya pada bidan itu."Operasi caesar, Pak. Itu pun jika disertai masalah medis lainnya. Tidak sembarangan.""Ya Allah ... saya gak tega liatnya, Bu." "Maaf Bapak, jika memang Bapak gak sanggup, sebaik
PoV Author"Ini ada surat yang harus ditandatangani." Bidan itu menyerahkan sebuah surat berbalut map warna biru muda."Apa ini, Bu Bidan?" tanya Pak Sujita dengan tangan bergetar menerima surat tersebut. Ia lantas melihat isi dari surat itu."Surat persetujuan untuk dilakukan tindakan operasi, sebab saat ini Ibu Yulia sudah tak sadarkan diri. Mohon disegerakan, karena pasien harus segera ditindak lanjuti. Kami butuh tandatangan penanggung jawabnya sekarang juga." "Raffa," lirih Pak Sujita yang tangannya memegang surat tersebut dengan bergetar semakin kuat.Raffa hanya menatap nanar. Di dalam hatinya, ia tak tega membiarkan Yulia dalam kondisi kritis seperti ini. Namun ia sama sekali tak suka jika Pak Sujita terus-terusan memintanya mengasihani Yulia.Tanpa diminta pun, Raffa sudah sangat baik pada Yulia keluarganya. Hanya saja, untuk kembali bersama itu tidak mungkin. 'Berbelas kasihan bukan berarti harus kembali,' batin Raffa. Ia bahkan enggan untuk melirik isi kertas tersebut."Ta
Sementara Raffa hanya mengernyit, panggilan dimatikan secara sepihak tanpa pamit dan salam. Ia menatap layar ponselnya yang masih menyala, menampilkan angka sebuah waktu dan tanggal.'Padahal aku mau tanya, siapa laki-laki yang sore tadi bersamanya memasuki toko bunga,' kata hati Raffa. Ia lantas memasukkan kembali ponsel tersebut, namun belum sempat melepaskan, ponsel tersebut kembali bergetar sekali."Siapa yang telfon, Raf?" selidik Pak Sujita, namun Raffa tengah memerhatikan ponsel yang kembali ia keluarkan. Sebuah pesan chat dari Embun.[Maaf, Mas sudah mengganggu waktumu. Dan maaf juga, karena aku tidak sempat mengucap salam.][Tidak apa. Tapi serius kah, tidak ada yang ingin kamu bahas?] balas Raffa, mencoba memancing ungkapan gadis itu.[Enggak ada, kok, Mas. Aku sedang di luar, maaf ponselnya mau kusimpan ke dalam tas. Assalamu'alaikum,] balas Embun lagi, seperti tidak ingin berbalas pesan lagi.[Di mana? Dengan siapa?] tanya Raffa dalam pesan chatnya.Dan sejak saat itu pon
PoV raffaRaffa sudah selesai berkonsultasi dengan seseorang yang saat ini ia anggap paling penting dalam hidupnya dan berpengaruh bagi masa depannya nanti. Pria jangkung berkemeja hitam dengan lengan dilipat itu berjalan menuju ruang rawat Yulia."Mas! Aku tau kamu pasti datang. Anak kita sedang menyusu, Mas. Lihatlah, lucu sekali." Yulia memang sedang menunggu kedatangan mantan suaminya sejak ia baru sadarkan diri, ingin memamerkan tingkah menggemaskan bayinya yang baru pertama kali menyusu.Sebetulnya Yulia belum diijinkan untuk menyusui bayinya, namun ia tetap memaksa karena sudah lama memimpikan hal itu.Raffa berjalan mendekat dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam saku celana berwarna kremnya, mendekati bed Yulia."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Banyak pekerjaan yang harus kuurus." Dengan wajah datar, Raffa mengucapkannya."Ma-mau kerja? Ini sudah malam, Mas." Yulia berusaha menahan mantan suaminya, sebab hari menjelang larut."Aku permisi," ucap Raffa, tanpa menjawab perta
"Gara-gara bayimu itu, semuanya jadi kacau berantakan. Kamu harus kehilangan suami yang selama ini berperan penting bagi kehidupan kita. Tanggung jawab Bapak bertambah, sementara kita tidak ada yang bisa menghasilkan uang. Mau sampai kapan akan mengandalkan belas kasihan Raffa?" Akhirnya Pak Sujita menumpahkan semua isi hatinya, kekhawatiran dan segala gundah yang membelenggu.Selama ini ia selalu kenahan luapan kalimat tersebut, demi tetap menjaga perasaan anak-anaknya."Bapak tenang saja. Sebentar lagi Satya akan kerja dan biarkan semua Satya yang menanggung!" balas Satya yang mulai tersulut emosi, merasa dianggap tidak berguna."Iya, memang seharusnya begitu sebagai anak laki-laki satu-satunya," tukas Pak Sujita.Satya mencebik kesal, sementara Nurul menyembunyikan wajahnya dengan cara menunduk. Ia sangat takut jika mendengar ayahnya bicara dengan keras, seperti saat sang ibu masih ada.Yulia terus menangis hingga merasakan nyeri pada bekas operasinya, namun ia tak bicara. Hanya me