Share

Ngidam

BAB 5

[Tidak mungkin. Aku melihat sendiri kau lari. Lain kali hati-hati. Jaga kandunganmu,] balas Evani, sontak membuat mataku membulat sempurna.

Sebuah teka-teki memenuhi isi kepalaku. Kutautkan alis, berpikir sejenak untuk mencerna kalimat yang baru saja kubaca. Sekilas melirik ke arah Yulia yang tengah terlelap. Tubuhnya terlentang, menonjolkan sebongkah bulat di perutnya.

"Kandungan?" gumamku. Kulihat kembali perutnya tidak terlalu tampak saat tengah terlentang. Namun tetap berbeda dari biasanya. Jika kuperhatikan, tidak seperti lemak yang biasanya akan menggelambir ke samping, jika posisinya seperti itu.

Apa maksud Evani? tanyaku di dalam hati.

Jangan-jangan, Yulia hamil?

Ah, tidak mungkin. Jika benar, sudah pasti aku adalah orang pertama yang mengetahuinya.

Yulia bergerak miring ke arahku. Gegas kuhapus jejak percakapan dengan temannya yang belum kukenal itu.

"Mas, ngapain?" tanyanya, mengerjapkan mata yang belum terbuka sepenuhnya.

"Bersih-bersih dulu, sana. Ganti baju, habis itu shalat," suruhku. Kuelus lengannya, namun ia malah memejamkan mata kembali.

"Ngantuk," gumamnya.

Baru saja dia marah-marah tak jelas. Sekarang sudah bergelayut manja lagi pada tanganku.

Jika sudah begini, mana tega aku membangunkannya. Ya, sudah. Biarlah dia tidur dulu sebentar lagi. Biar kubangunkan tengah malam untuk shalat, sekaligus menagih janji pagi tadi.

Ia benar-benar terlelap kembali, terlihat sangat kelelahan. Apa kuminta ia berhenti saja dari kegiatan itu, agar tidak kelelahan seperti ini. Besok akan kucoba bicara padanya.

Aku sebetulnya tak masalah jika ia sedikit gendut, asalkan tidak terbebani dengan jadwalnya yang mulai padat.

Kulirik kembali ponsel yang tadi kusembunyikan di bawah bantal. Gemas sekali ingin segera membalas chat dari Evani.

Ah, si*l, lowbat! batinku, ketika tak berhasil menyalakan benda pipih itu.

Beringsut turun dari ranjang, mencari kabel data untuk mencharge ponsel Yulia.

**

Jam menunjukkan ke angka empat subuh. Puas sekali pagi ini, berhasil menagih janji yang sempat kuminta pagi kemarin pada istriku.

Aku terjaga pu_kul tiga dini hari, namun tidak sendirian. Sepertinya ada sesuatu yang amat merindukan istriku, sehingga aku memberanikan diri membangunkannya. Beruntung Yulia tak menolak, namun kembali tidur setelah selesai melakukan aktivitas indah itu.

Selesai membersihkan diri, aku merebahkan tubuh di sofa kamar. Teringat dengan chat semalam di ponsel Yulia yang belum sempat kubalas.

Tring! Tring! Tring!

Beberapa notifikasi masuk setelah kunyalakan ponsel itu.

[Mengapa tidak membalas?] 21.45

[Aku di depan rumahmu. Keluarlah sebentar.] 22.30

[Missed call] 23.00 Ada 4 missed call dari nomor yang sama.

[Kok, gak aktif?]

[Keluarlah. Aku hanya ingin melihatmu.] 23.11

[Baiklah. Aku pulang.] 23.40

[Bacalah nanti. Beri aku kabar jika sudah aktif.] 23.41

Beberapa chat dan panggilan tak terjawab di ponsel Yulia yang semalaman tidak kuaktifkan. Dan kesemuanya dari Evani.

Ini benar-benar aneh, menurutku.

"Kok, gak bangunin aku, sih, Mas." Yulia sudah duduk di tepi ranjang, memicingkan mata ke arahku.

"Oh. Sudah bangun?" Karena terkejut, segera kusembunyikan ponsel ke belakang tubuhku.

Ia mengangguk, terlihat masih sangat malas untuk membuka mata.

"Cepat mandi. Jangan sampai gak subuh. Semalam kamu gak isya, lho, Dek." Aku mengingatkannya, dan dia hanya nyengir malu-malu.

"Iya, Mas. Aku mandi dulu, ya."

Napasku sedikit tersengal, setalah sempat takut ketahuan. Syukurlah, Yulia tidak curiga bahwa aku sedang memegang ponselnya.

Sejujur itu ia padaku. Jika memang ada yang ia sembunyikan, sudah pasti tak akan bisa tenang menaruh ponsel sembarang tempat. Nyatanya, Yulia nyaris tak peduli pada ponselnya.

Sambil menunggu, sebaiknya segera kuselesaikan percakapan membingungkan ini.

Tidak mungkin Evani salah kirim juga, seperti Siksa.

[Semalam aku ketiduran. Ponselku mati total, kehabisan daya baterai.] Kubalas chat dari Evani.

[Syukurlah. Tapi kamu baik-baik saja, 'kan?] balasnya bertanya.

Aku semakin menautkan alis. Mengapa Evani seperti khawatir sekali pada istriku. Apa yang sebenarnya terjadi dengan Yulia, hingga harus menimbulkan kekhawatiran berlebih pada temannya.

Sepertinya Yulia sudah selesai. Sebaiknya segera kuhapus percakapan ini. Sebentar. Screenshoot berhasil dan kukirim pada ponselku. Baru kuhapus kedua percakapan di ponsel Yulia.

Tepat dugaanku. Yulia keluar setelah aku berhasil menaruh ponselnya ke atas nakas dengan kondisi sudah kumatikan.

"Lho, hapeku di sini? Tadi aku lihat," tanyanya, meraih benda berwarna hitam itu.

"Baru saja Mas cabut. Semalam Mas bereskan dari tas, sudah mati kehabisan baterai. Lupa enggak dicabut, semalaman." Aku memaksakan senyuman di tengah gelisah yang menerpa.

Semoga saja Evani tidak membalas lagi. Bisa gawat, jika Yulia tiba-tiba mendapat chat tidak jelas awal mulanya.

"Aku laper, Mas," keluh Yulia, duduk di pangkuanku. Sungguh, ini tidak biasa.

Selama beberapa bulan ini Yulia tidak pernah mengeluh lapar. Sarapan pun hanya sebiji buah apel.

"Tumben," ucapku, melingkarkan tangan di perutnya.

Terasa sekali padatnya perut Yulia. Apa mungkin dia hamil dan tidak berani mengatakannya padaku.

"Gak usah diunyel-unyel, gitu, Mas. Geli," kekehnya, menyingkirkan tanganku.

"Gemes. Lucu, sih, bentuk perut kamu sekarang." Entah ini suatu kebodohan atau apa. Yang jelas, aku berharap Yulia memang benar-benar hamil seperti yang Evani katakan.

"Mau sarapan apa?" tanyaku, manja.

"Bubur ayam yang di depan Gang Melati itu, lho, Mas. Sepertinya enak," jawab Yulia, benar-benar membuatku mengerutkan alis.

Apa aku tidak salah dengar? Yulia ingin sarapan karbohidrat?

"Nanti habis subuh Mas belikan."

"Sekarang," rengek Yulia. Tangannya semakin bergelayut di leherku.

Ya Allah, kemarin aku sangat menginginkan hal ini terjadi lagi. Sebuah keharmonisan yang sudah lama nyaris tak pernah terjadi. Kini kemesraan Yulia kembali. Namun mengapa bersamaan dengan banyaknya tanda tanya yang mengganjal.

"Sebentar lagi adzan, Sayang. Mas ke masjid dulu, pulangnya mampir beli bubur ayam," arahku.

Ia mengerucutkan bibir, melepaskan tangannya dariku. Kemudian berjalan menjauh, kembali berbaring di atas kasur. Merajuklah dia.

Aku tidak boleh menyia-nyiakan moment seperti ini. Akan kuturuti maunya, meski aku harus terlambat ke masjid.

"Baiklah, Cantik. Mas beli sekarang, ya," ucapku. Mendekat dan mencium pipinya sejenak.

"Makasih, Mas." Senyumannya terlihat sangat manis, menggemaskan.

**

Bubur ayam yang kudatangi belum buka, karena masih terlalu pagi. Menunggu hampir dua puluh menit, sampai aku melewatkan waktu jamaah di masjid.

Tak apa. Demi Yulia.

"Sayang!" panggilku, setelah sampai di rumah.

"Gak mau. Udah gak laper," jawabnya, merajuk.

"Belum buka tadi, Sayang. Mas nunggu lama, lho, di sana."

Yulia yang tengah berbaring membelakangiku, tubuhnya terlihat berguncang.

"Sayang," panggilku lagi.

"Hik hik."

"Kamu nangis?"

"Mas tega sama aku. Padahal aku cuma minta bubur ayam yang harganya gak sampai dua puluh ribu."

"Lho?"

Aneh sekali istriku ini. Tidak biasanya begini. Atau jangan-jangan ...

"Kamu kayak orang ngidam saja," tukasku, mengelus punggungnya.

"Sembarangan!" tegasnya.

"Ya udah, sini, aku makan."

Lagi-lagi aku hanya terdiam, menautkan alis menatapnya yang berlalu ke arah dapur setelah merampas bubur ayam yang kutaruh di atas nakas.

*

Pagi ini aku ada janji bertemu kline, awal jam masuk kerja. Mau tak mau, harus berangkat lebih awal agar tidak terlambat. Belum mengecek berkas yang sudah disiapkan oleh sekertarisku.

"Mas berangkat, ya. Jangan capek-capek," ingatku setelah pamit.

"Iya, Mas. Hati-hati."

Ia menyalamiku dan kukecup dahinya dengan mesra. Gegas memasuki mobil yang selalu setia menemani aktivitasku.

"Kok, gak mau nyala," gumamku, terus mencoba menyalakan mobil tua ini.

"Kenapa, Mas?"

"Mogok, kayaknya."

"Hmm ... sudah kubilang, ganti mobilmu, Mas."

"Sudah terlanjur sayang," jawabku.

"Daripada menyusahkan," tukas Yulia.

"Pinjam mobilmu, Sayang." Kutadahkan tangan, meminta kunci mobilnya.

"Jangan!" tolak Yulia, terlihat ketakutan.

"Kenapa?"

"Emm, nanti aku mau pergi."

"Pake motor," jawabku.

"Gak mau. Panas."

"Hari ini saja, pinjamkan, ya."

"Ya sudah." Yulia masuk ke dalam mengambilkan kunci.

"Nih. Jangan buka bagasiku, ya, Mas."

Aku hanya mengernyit. Memangnya ada apa di dalam bagasi mobilnya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status