Share

Benda dari Dalam Tas Yulia

Mengapa Yulia terlihat ketakutan setelah aku menerima kunci mobilnya. Jelas ada yang ia sembunyikan. Kuamati terus gerak-geriknya, sambil menghampiri mobil di sebelahnya.

"Mas. Maksud aku ... itu, di dalam ada barang-barang punya Evani, Siska dan Audy. Ya, rencananya siang ini mau aku antar ke mereka." Tanpa kuminta, Yulia menjelaskannya.

"Oh. Barang apa?" tanyaku, menatapnya serius.

"Biasalah. Barang-barang wanita. Kamu inget, 'kan kemarin kita habis belanja-belanja," ucapnya seraya tersenyum kaku.

Kali ini jelas terlihat raut wajahnya yang berbeda. Ada ketakutan mendalam dari sorot mata indahnya. Sepertinya benar dugaanku.

"Barang apa, Yulia? Jangan muter-muter!" tukasku sinis. Aku sangat jarang memanggil namanya. Hanya saat emosi saja.

"Dal*man, Mas. Lingerie, yang suka aku pakai kalo malam," jawabnya sedikit berbisik.

"Oh. Kirain barang apaan. Mas udah ngira ke obat-obatan terlarang," ungkapku sedikit terkekeh. Kulihat dari ekor mataku, Yulia tersenyum tenang. Tapi aku tidak percaya begitu saja.

"Kamu, enggak beli?" tanyaku.

"Ada. Sudah, Mas berangkat saja. Nanti kesiangan," suruhnya, mengibaskan tangan ke arahku.

Tidak. Lebih baik aku terlambat, daripada harus membiarkan sebuah kebohongan. Aku harus berhasil mengungkapnya, jika memang benar Yulia menyembunyikan sesuatu.

Gegas kuarahkan langkah kaki menuju bagasi mobilnya, kubuka tanpa persetujuannya.

Yulia berlari ke arahku, menahan kap bagasi mobilnya agar tidak terbuka.

"Mas mau ambil punyamu. Takutnya mau dicobain," kataku.

"Gak usah! Nanti saja," tahannya cukup keras.

"Menyingkirlah. Mas buru-buru," pintaku, kembali sinis.

Yulia terlihat ketakutan. Dadanya naik turun seolah tengah menahan lonjakan degub jantungnya.

Mataku memicing. Tak kutemukan satu pun tas belanjaan. Hanya ada satu buah tas berukuran cukup besar milik Yulia. Tentu saja aku mengenalinya, karena aku yang belikan saat dia ulang tahun.

"Mana barang temanmu?" tanyaku.

"Di tas. Udah, jangan dilihat. Takut mengganggu pikiranmu, Mas!" Tak kusangka, Yulia merampas tas yang hendak kuambil itu.

"Tidak akan. Aku sudah terbiasa kamu tolak. Sudah biasa menahan hasrta," pungkasku, tanpa senyuman sedikit pun.

"Berikan, atau aku akan marah!" tegasku, manatap kedua bola mata indahnya. Tapi hari ini kedua bola mata itu menyiratkan sebuah kebohongan besar yang aku sendiri belum ketahui.

Ia memberikannya dengan cara menunduk seraya mengerucutkan bibir. "Maaf Mas aku berbohong. Tas itu isinya hanya baju-bajuku."

Aku tak peduli dengan ucapannya. Kubuka dengan kasar resleting tasnya, lalu mengeluarkan satu persatu pakaian yang ada di dalamnya. Mengapa isinya pakaian kurang bahan milik Yulid semua? tanyaku di dalam hati.

"Mau ke mana, bawa pakaian segala?" selidiku. Entah mengapa, aku tak ingin menoleh padanya yang sudah mulai terisak.

"Aku kangen sama bapak, sama Nurul, adikku." Suaranya terdengar bergetar.

"Mengapa tidak bilang padaku?" Mendengar ucapannya, hati ini sedikit merasa bersalah. 

"Kamu sibuk, Mas. Aku gak mau ganggu kerjaan kamu," jawabnya sedikit manja.

"Bukankah aku tidak pernah menolak, ketika kamu mengajak pulang kampung? Gak jauh juga, 'kan?" selidikku lagi, masih enggan untuk merayu. Sebelumnya, Yulia tidak pernah bertekad pergi sendiri ke rumah ayahnya.

"Justeru itu. Kalo Mas Raffa antar aku, berarti kerjaan Mas terbengkalai. Dan karena dekat juga, aku mau mencobanya sendiri." Tak biasanya Yulia bernada rendah saat mendebatku. Biasanya, ia akan meninggikan suara jika aku tidak sepaham dengannya.

"Terus, kamu mau pergi sendirian tanpa memberitahuku?" Jujur saja aku sedikit marah atas kenyataan ini.

"Dan baju apa, ini? Mengapa hanya pakaian seksi yang kau bawa?" Kulemparkan ke atas tanah baju-baju yang baru saja kulihat modelnya. Baju-baju yang seharusnya ia kenakan di hadapanku saja.

"Ya, itu karena aku buru-buru," cicitnya.

"Buru-buru ingin menghindar dariku?" tebakku.

"Mas ... jangan marah. Aku minta maaf." Ia mendekat, menyandarkan kepalanya di dadaku.

"Gak bisa. Kalo saja Mas enggak curiga, mungkin besok atau lusa kamu sudah pergi tanpa pamit. Apa-apaan, seperti itu." Kuyakin Yulia bisa merasakan denyut jantungku yang memburu.

"Maafin aku," ucapnya lagi, kali ini melingkarkan kedua tangannya ke punggungku.

"Jangan lakukan hal itu. Oke?"

"Iya, Mas, aku janji."

Kutarik dan kuembuskan napas perlahan. Emosiku nyaris keluar saat ini.

Kuambil tas yang tadi kutaruh kembali ke dalam bagasi, lalu ingin memberikannya pada Yulia. "Taruh di tempat asalnya. Dan kembalikan pakaianmu ke lemari. Mas berangkat dulu, sudah terlambat."

Karena tak siap menerima, tas yang kuberikan pun terjatuh. Sementara Yulia tengah memungut pakaian-pakaiannya.

"Maaf, ya." Kubantu ia merapikan kembali pakaiannya, lalu mengambilkan tas tadi.

Bersamaan dengan berdirinya kami, sesuatu terjatuh dari dalam tas. Aku dan Yulia sama-sama menunduk melihat benda itu. Yulia sontak berjongkok hendak mengambilnya, namun segera kuinjak benda berbentuk pipih itu.

"Apa ini?" tanyaku sambil menunduk, mengambil benda itu.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Nosha Yusop
panas...pasti berantakan
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status