PoV Author"Bapak tunggu di luar saja," tukas perawat itu dengan ramah.Ya, wanita tersebut adalah Yulia. Sang ayah dan kedua adiknya sangat khawatir dengan kondisi Yulia yang sejak terjadinya kecelakaan tak sadarkan diri.Ketiganya tak berhenti merafalkan do'a, memohon pertolongan kepada sang pemilik hidup.Yulia mengalami kecelakaan di depan jalan komplek setelah tak lama Raffa melajukan mobilnya. Wanita itu mencoba mengejar, namun kakinya terperosok ke dalam lubang yang berada di tengah jalan. Lubang yang tercipta akibat tergerus oleh roda-roda kendaraan dan derasnya air hujan belakangan ini. Jalanan di depan komplek tersebut memang belum diperbaiki.Yulia jatuh tersungkur ke atas aspal dan tanpa ia sadari, sebuah motor dari arah berlawanan tengah melaju kencang dan tak sengaja menabraknya.Tak hanya Yulia yang celaka. Pengendara motor tersebut pun mengalami luka di beberapa bagian tubuh akibat membelokkan paksa roda duanya hingga ia terpental ke tepi jalan.Hingga sampai di rumah
"Kenapa, Dok? Bayi saya baik-baik saja, 'kan?" sambar Yulia, tanpa menunggu dokter selesai bicara."Ibu tenang dulu, ya. Dengarkan dulu pertanyaan saya," tukas dokter yang kini sudah dapat menemukan detak jantung janin dalam kandungan Yulia."Tapi kenapa Dokter minta maaf. Saya takut bayi saya kenapa-kenapa, Dok!" sentak Yulia, sudah kadung terkejut dan panik."Maaf, Ibu, Bapak, seperti apa posisi jatuhnya tadi? Itu yang ingin saya tanyakan. Saya sudah berusaha sopan sama Ibu." Dokter wanita berusia di atas empat puluh tahun itu sedikit tersinggung dengan bentakan Yulia."Iya maaf, Dok. Posisi jatuhnya nyaris menelungkup. Tapi sepertinya tidak sampai menindih perut," jelas Satya, mencoba memecah ketegangan. Dokter itu mengangguk-angguk seraya tetap fokus pada monitor. "Ini janin Ibu Yulia. Semua masih baik-baik saja. Ini suara detak jantungnya.""Syukurlah," ucap Satya dan Yulia, mulai menitikkan air mata haru. Wanita itu melihat pergerakan bayi di dalam kandungannya, serta mendengar
Lelaki berusia dua puluh tujuh tahun itu terus menatap kosong ke arah jalanan. Ia merasa tak berguna sebagai laki-laki muda di keluarganya. Untuk makan saja, ia tak punya. Satya sedikit menyesal karena selama ini terlalu manja mengandalkan uang kiriman kakak iparnya.Satya yang sudah sedewasa itu, tak sekalipun memanfaatkan waktu luangnya untuk mencoba bekerja. Ia hanya menikmati pendidikan yang diraihnya dengan uang Raffa.Ia bahkan beberapa kali mengulang skripsi karena tidak begitu serius. Teman-teman seangkatannya sudah mulai sukses dalam berkarir, sementara ia masih betah di semester akhir S2-nya."Beli, Pak.""Beli apa, Bang?""Roti yang ini harganya berapa?" tanya Satya, mengacungkan sebungkus roti ke udara."Tiga ribuan, Bang.""Air minumnya?""Tiga ribu lima ratus."Satya pun akhirnya mengambil tiga bungkus roti dan sebotol air mineral ukuran sedang, lalu membayarnya.Kini hanya tersisa uang dua ribu lima ratus di tangannya. Satya berjalan gontai, tak tahu apa yang harus mere
PoV AuthorSeorang lelaki dewasa yang seharusnya sudah bisa mencari uang sendiri dan bahkan sudah di usia menikah itu terus menatap sang kakak tanpa berkedip. Jauh di dalam pikirannya ia sangat menyesali apa yang barusan didengarnya. 'Mengapa Mbak Yulia bisa berubah sedrastis ini?' batinnya."Ayolah, Sat. Gak ada cara lain. Setidaknya ada ongkos buat kamu pulang dan ambil barang-barang Mbak," mohon Yulia lagi."Satya tidak akan sudi menginjakkan kaki di rumah laki-laki itu lagi, apalagi memohon bantuan padanya. Mbak sadar diri, dong! Laki-laki itu sudah mencuci otak Mbak jadi selicik ini."Dengan tegas Satya menolak permintaan Yulia yang baru saja ia utarakan. Yulia berbisik pada Satya, agar adiknya mau mendatangi apartement Evano dan memintanya memberi sedikit uang pada Satya, karena kebetulan jarak rumah sakit itu tidak jauh dari apartement Evano."Cuma dia yang paling dekat, Sat!" bentak Yulia, kesal."Enggak! Lebih baik aku jalan kaki pulang ke rumah, jika memang di rumah ada uang
"Raffa!" balasnya, berdiri dan mendekat ke arah mobil sedan berwarna putih tersebut."Ya Allah, alhamdulillah aku bisa ketemu Mas Raffa di sini." Pria dewasa itu lantas memeluk tubuh kakak iparnya yang baru saja keluar dari dalam mobil."Kamu ngapain, di sini?" tanya Raffa dengan sorot keheranan."Aku mau pulang ke rumah Mas Raffa. Disuruh sama Mbak Yulia, Mas.""Terus, ngapain duduk di sini?" tanya Raffa lagi.Satya mulai menghela napas, ingin mengatakan apa yang telah terjadi seharian ini."Ceritakan nanti saja. Sekarang kamu masuk ke mobil," suruh Raffa, marangkul bahu adik iparnya.Hari kian malam, Raffa dan ibunya baru saja memulai perjalanan pulang ke kampung dan kebetulan melihat Satya terduduk di tepi jalan di bawah lampu jalan.Kini mereka membawa Satya ke sebuah kafe terdekat."Bu, tunggu sebentar, ya. Raffa mau bicara sebentar sama Satya," izin Raffa pada Bu Ajeng."Iya. Selesaikan dulu masalah kalian. Kasihan juga Ibu lihatnya," bisik Bu Ajeng setelah Satya mendahului kelu
Nurul ternganga sejenak menatap pria di hadapannya, kemudian ia memeluk pria itu merasakan lega di dalam hatinya."Mas Raffa!" pekiknya. "Akhirnya Mas datang juga. Mbak Yul, Mas," lapornya, dengan binar kelegaan di wajahnya."Mas sudah tau." Raffa menarik tangan kedua adik iparnya, duduk di kursi stenlis berjajar di depan ruangan Yulia."Maaf, ya, Mas baru datang.""Iya, Mas, gak apa-apa," balas Nurul."Bapak tidur, ya?" tanya Raffa, melirik pria yang tengah terlelap di atas selimut rumah sakit."Iya, Mas. Mas, Nurul minta maaf, ya. Nurul sempat kesal sama Mas Raffa dan sekarang Nurul sadar, seperti apa sikap Mbak Yulia."Raffa hanya mengangguk dengan senyuman tipis di wajahnya. "Mas gak bisa lama. Salam buat Bapak, ya.""Lho? Mas gak nengokin Mbak Yul dulu?" tanya Nurul lagi, sementara Satya sudah tahu ke mana Raffa akan pergi.Setelah memberi makan Satya, Raffa ingin mengantarkan Satya ke rumah sakit lagi sekaligus ingin menemui ayah mertuanya. Raffa sudah menitipkan sejumlah uang p
Lelaki bertubuh tinggi itu hanya mengelus dada seraya berucap, "Astaghfirullahal 'adziim."Bagaimana pun juga, ia sedang dan akan melakukan perjalanan yang cukup jauh. Rasa khawatir setelah melihat korban kecelakaan, seketika menyeruak di dalam hatinya. Namun dengan mengucap basmallah, ia mencoba menepis rasa takut itu."Bismillah.""Ada apa, Nak?" tanya Bu Ajeng, ketika Raffa telah duduk di sampingnya."Ada korban kecelakaan, Bu.""Ya Allah. Masih selamat, atau ..." pertanyaan Bu Ajeng menggantung begitu saja."Kurang tau. Tapi, semoga saja masih bisa diselamatkan," jawab Raffa dengan seulas senyuman tipis.Rasa khawatir itu kini menular pada Bu Ajeng. Ia mengelus lengan sang anak yang telah memegang setir. "Hati-hati, ya, Nak.""Iya. Ibu tenang saja," balas Raffa.Biar bagaimana pun, Bu Ajeng tahu seperti apa kondisi hati sang anak saat ini. Beliau takut jika perasaan dan pikiran sang anak akan mengganggu fokusnya saat berkendara, apalagi di malam hari. Namun apa boleh buat, Raffa y
"Tidak usah lah, Raf. Ibu takut!" tahan Bu Ajeng, tak ingin sang anak semakin syok melihat korban kecelakaan tersebut, karena khawatir akan mempengaruhi fokusnya nanti."Gak apa-apa, Bu.""Boleh, Pak. Kebetulan kami belum menemukan identitas para korban. Siapa tahu Bapak mengenal salah satu di antara mereka," ujar perawat laki-laki itu, lalu membantu membukakan penutup di bagian wajah korban kecelakaan itu."Jangan, Raffa!" tahan Bu Ajeng lagi, menarik lengan anaknya hingga sedikit menjauh dari brankar itu. Padahal kain putih itu sudah tersingkap oleh perawat yang membawanya."Ibu tenang, ya. Inshaa Allah Raffa tidak akan kenapa-kenapa. Takutnya, wanita itu adalah salah satu karyawan di kantor. Soalnya Raffa merasa tidak asing dengan wajah itu," jelas Raffa, mencoba memberi pengertian pada ibunya."Nanti kamu jadi tidak tenang saat menyetir, Nak. Atau kita batalkan saja perjalanan malam ini?" usul Bu Ajeng, dengan raut khawatir yang mendalam.Raffa hanya menggeleng dengan seulas senyu