"Ibu percaya, anak ibu bisa bersikap bijak." Senyuman itu bagaikan penyejuk dalam teriknya mentari."Inshaa Allah, Bu." Kubalas senyuman teduh ibuku.Kulihat dari ekor mataku, Pak Sujita sudah mampu duduk di sofa yang tengah kuhadapi. Tapi, napasnya terlihat sangat sesak hingga terdengar suara napas berat itu."Raffa, duduklah, Nak." Pria yang usianya tak jauh dengan almarhum ayahku itu, menepuk sofa di sampingnya.Kuanggukkan kepala, tersenyum tipis dan mendudukkan diri di sisinya. Kulihat Satya pun menghampiri kami, begitu pun Yulia yang baru datang dari dapur membawa bejana dan handuk kecil."Mas, kuobati dulu, ya." Yulia mencelupkan handuk itu ke dalam air, memerahnya dan siap menempelkan handuk itu ke hidungku. Namun pikiranku mendorongku untuk menolaknya. Kutepis dengan halus tangannya."Raffa, apa benar semua yang baru saja Bapak lihat? Apa artinya, Yulia telah selingkuh darimu?" tanya Bapak mertuaku.Aku tak bisa menjawab. Aku menoleh pada wanita yang telah sembilan tahun ini
"Aku pun minta maaf, karena sudah mempermalukanmu. Dan maafkan juga karena ternyata aku didiagnosa infertil. Kesuburanku terganggu karena suatu penyakit." Yulia mendongak dengan mulut ternganga. Ia membuka matanya lebar-lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja kukatakan."Benarkah?" tanya Yulia bersamaan dengan Ibuku.Aku memang belum mengatakan ini pada ibu, karena takut beliau semakin khawatir. Sementara masalah pengkhianatan Yulia, sudah kujelaskan sejak kemarin."Iya, Bu. Hasil pemeriksaannya baru keluar kemarin pagi," jawabku ramah."Ya Allah, anak Ibu." Wanita cantik yang telah melahirkanku itu mendekat, lantas meminta Yulia untuk bergeser. Ibu memelukku, membagi kekuatan padaku."Ibu tenang, ya. Aku baik-baik saja," ucapku, mengusap lelehan air mata di pipinya."Baik-baik saja, bagaimana? Pasti saat ini hatimu sangat hancur, Nak." Ibu menangis di balik bahuku. Bisa kurasakan debaran keras di dadanya. Ya Allah, jangan biarkan wanita tercintaku menangisi deritaku."Pe
PoV RaffaPagi yang cerah dengan semburat jingganya yang berkilau, sesekali membuatku memicing karena sinarnya yang menyilaukan. Namun hawa dingin tetap terasa menusuk hingga ke tulang. Pagi ini, di sini kuberada. Di sebuah villa yang berada tak jauh dari puncak.Kejadian kemarin membawaku ke tempat ini, sekadar untuk menenangkan jiwa yang dipenuhi dengan tanda tanya. Jujur, aku sendiri masih tak tahu harus bertindak apa setelah ini.Rasa cinta yang kupunya seolah berperang dengan kecewa yang mendalam. Andai ia terang-terangan mengaku ingin mencari laki-laki lain, agar bisa memiliki anak, mungkin aku akan rela melepaskan. Tapi ... dia melakukan itu di belakangku, tanpa sepengetahuanku. Dia berkhianat dari cinta yang kupunya yang begitu besar kuberikan.Apa masih pantas cinta yang besar ini kulabuhkan ke hatinya? Apa masih pantas pengorbanan ini kuperbuat untuknya? Apa masih pantas, jika semua kebebasan yang aku beri, akan dilalaikan lagi olehnya?Rasanya sulit.Kemarin, Pak Sujita sam
Apa? Mataku membola mendengar penuturannya. Yulia benar-benar sudah gi_la. Bagaimana mungkin ia akan tega membu_nuh bayi di dalam kandungannya, hanya demi terus bersamaku."Jangan gi_la kamu, Yulia. Istighfar!" ingatku. Lantas menepis tangannya yang hendak menyentuh pipi ini."Aku memang sudah gi_la, Mas. Aku ketakutan selama ini, menyimpan kebohonganku sendiri. Aku ketakutan setiap kali Mas Raffa memegang ponselku. Aku takut kehilangan suami terbaikku," tegasnya. Ia mencengkram tanganku dengan kuat, entah apa yang ingin ia lakukan."Lalu, mengapa kamu lakukan itu?" tanyaku heran."Sudah terlanjur, Mas. Semuanya terjadi begitu saja tanpa kusadari terlebih dahulu. Dan aku tidak bisa menghentikannya karena ..." Yulia menggantung ucapanya, membuatku menautkan alis dengan kepala yang dipenuhi tanda tanya."Karena apa, Yulia?" tanyaku tak sabar."Evano mengancam akan menyebarkan foto-foto dan video parbuatan bejat kami," akunya seraya terisak. Aku sungguh tak menyangka, mereka melakukan i
PoV YuliaPagi itu Mas Raffa pergi ke luar kota. Ada urusan pekejaan, katanya. Kepergiannya mengingatkanku akan kejadian empat bulan lalu saat dirinya pergi ke luar kota juga. Saat itu, aku memang sudah sangat dekat dengan Evano dan tepat di hari kepergian Mas Raffa, lelaki itu berhasil mendapatkan apa yang dia mau.Hari ini pun sama. Evano datang ke rumah kami, tanpa melepaskan helm di kepalanya. Aku geram dan panik sekali, khawatir ada tetangga yang melihat. Berani-beraninya laki-laki itu datang ke rumah kami.Evano berhasil mengintimidasiku dengan foto-foto seksiku saat bersamanya, juga video yang mempertontonkan permainan panas kami. Aku benar-benar tak menyangka dia melakukan itu. Aku saja merasa jijik melihat video itu, apalagi jika suamiku yang melihatnya.Kurang aj*r sekali bujang lapuk itu. Tega-teganya dia mengkhianati kepercayaanku. Kupikir, dia benar-benar tulus mencintaiku hingga berani mengajakku bermain di belakang Mas Raffa. Ternyata aku salah. Evano hanya mengincar ha
'Aku berhasil,' batinku, menoleh terlebih dahulu sebelum menyeberangi jalanan.Sekarang saatnya aku mencari tempat yang aman. Lingkunganku termasuk ramai. Bahkan di jam tengah malam begini, masih saja ada warga yang berlalu lalang atau sekadar berbincang di depan rumah.Aku ingat, di ujung jalan komplek sebelah ada jembatan dengan aliran sungai yang cukup deras.Kutapaki jalanan luas ini dengan perasaan gamang. Berjalan dengan kaki telanjang, tak serta merta membuatku kesakitan pada telapak kaki ini. Kepedihan di hatiku jauh lebih mendera jiwa."Aku benci kamu, Mas!" teriakku, ketika kaki ini telah menapak pada jembatan beton itu."Aku memang bersalah. Tapi tidak sepatutnya kau jebak aku dengan acara pengajian itu," lirihku lagi. Sakit sekali rasanya hati ini, mendapat kejutan tak mengenakkan yang sempat kukira sebagai hadiah berharga.Ya, kejadian siang tadi memang bukan hadiah luar biasa yang Mas Raffa beri. Akan tetapi, pelajaran berharga yang kudapat. Andai aku tidak berkhianat ..
"Ma-maksud, Anda, apa?" tanya Evano di titik terakhir keberaniannya."Lihatlah! Yulia ini yang kucari. Yulia istriku yang telah Anda hamili," tutur Raffa tetap santai, menunjukkan foto sang istri di ponselnya."Enggak tau! Anda pasti salah bertanya." Evano mulai gemetaran, membayangkan apa lagi yang akan Raffa lakukan padanya."Ini, lihat lagi. Kali ini tidak mungkin salah, bukan?" Raffa memutar video rekaman CCTV yang sudah ia simpan di ponselnya."Gak mungkin itu saya. Dari mana anda bisa yakin, sementara pria itu memakai helm," elak Evano sambil tertawa. Ia mulai merasa tenang, karena Raffa tak cukup bukti untuk menuduhnya.'Untung saja aku tidak melepas helm,' batin Evano, mengelus dadanya yang tadi sempat ketar-ketir."Lihat lagi!" bentak Raffa, membuat tangkapan layar dan memperbesar hasil tangkapan layarnya yang menyorot jelas wajah Evano ketika hendak mencium Yulia. Pria itu tak sadar, telah membuka kaca helmnya lebar-lebar.'Percuma saja pakai helm, jika wajah diekspos dengan
"Aku ... aku semalam stres berat, Mas. Kumohon jangan marahi aku lagi. Aku baru saja datang ke sini setelah merenungi semuanya, setelah menyadari semua kesalahanku. Kedatanganku ke sini, sebetulnya untuk meminta pertanggungjawaban atas apa yang Evano perbuat padaku," lirih Yulia, merosot ke atas lantai dan memeluk lutut suaminya."Beda lagi alasanmu. Bagaimana mungkin aku bisa percaya padamu!" Raffa menyingkir dari hadapan Yulia dengan kasar, membuat wanita itu terjatuh.Hatinya yang masih selembut kapas, tentu tidak tega melihat Yulia terjatuh. Raffa kembali dan membantu Yulia untuk bangun. "Maaf.""Lakukanlah apa pun yang ingin Mas Raffa lakukan padaku, sebagai hukuman. Aku ikhlas," ucap Yulia, mengambil kesempatan itu saat Raffa memegangi kedua lengannya."Aku lebih memilih mengadu pada Rabbku dan pasrah atas hukuman apa yang akan kau terima. Sedikitpun tidak akan kuminta balasan atas semua perbuatanmu. Tapi ingat, setiap dosa harus dipertanggung jawabkan dan mendapatkan hukuman en