Share

Bab 7. Putus?

"Yeay!" Ara berseru senang ketika ia sudah sampai di salah satu mall terbesar di Jakarta.

Melihat hal itu, Felix yang berada di sebelah gadis itu hanya memasang senyum kecil saja. Di matanya sekarang, Ara seperti bocah umur sepuluh tahun yang baru pertama kali diajak ke luar oleh Ibunya.

"Jangan jauh-jauh, nanti ilang!" perintah Felix, ia takut kalau Ara akan tersesat nantinya karena gadis itu terlalu antusias memerhatikan sekitar dan tak menghiraukan keberadaan Felix.

"Aku bukan anak kecil!" Ara merengut kesal mendengar perkataan Felix yang seolah-olah mengatakan ia bisa hilang kapan saja di tempat ini.

"Tingkah Kamu kayak anak kecil," kata Felix santai.

Ara menghentakkan kakinya kecil, ia tambah kesal dengan perkataan Felix barusan.

"Ish!" seru Ara.

"Nanti kalau ilang beneran, nangis," ucap Felix, ia gemas dengan tingkah gadis di sampingnya ini. Katanya bukan anak kecil, tetapi lihat sekarang, Ara memasang tampang cemberut sambil memegang ujung baju Felix.

'Sangat menggemaskan,' batin Felix.

"Ayo ke atas," ajak Ara tak sabar.

Felix mengangguk dan mereka mulai berjalan dan naik eskalator menuju lantai atas.

"Beli baju aja dulu," kata Felix mengusulkan.

Ara mengangguk saja, ia harus menurut apa pun perkataan Felix kali ini. Pria itu adalah sumber uangnya sekarang.

***

"Mana yang lebih cocok?" tanya Felix sambil menunjukkan dua hoodie dengan model yang sama tetapi berbeda warna, yang satu warna merah dan satunya lagi warna hitam.

Rencana awalnya adalah Ara yang akan membeli baju sepuasnya, tetapi ketika mereka masuk ke salah satu brand fashion lokal terkenal, Felix malah ikut-ikutan memilih.

Ara terlihat ikut sibuk memilih, dua hoodie yang disodorkan Felix sama-sama bagus menurutnya.

"Yang ini aja, deh," kata Ara sambil menunjuk hoodie yang berwarna hitam.

Menurut Ara, Felix sangat cocok dengan setelan apa pun yang berwarna hitam, kulit pria itu putih, bahkan hampir pucat. Saat memakai sesuatu berwarna hitam maka auranya keluar.

"Tapi yang warna merah juga bagus," ucap Ara, ia juga ikutan bingung sekarang.

Felix mengangguk setuju dengan perkataan gadis itu.

"Ya udah keduanya aja," kata Felix memutuskan.

"Dari tadi, kek," rutuk Ara kesal.

Kalau tahu Felix tak masalah membayar kedua hoodie mahal itu, maka Ara tak perlu repot-repot berpikir jadinya.

"Kamu cuma beli itu?" tanya Felix menunjuk kantong belanjaan di tangan gadis itu.

"Cuma? Ini udah banyak, loh." Ara mengernyit bingung dan menggoyangkan kantong yang ada di tangannya.

"Engak mau lagi?" tanya Felix.

"Boleh?" tanya Ara antusias.

Felix mengangguk, berdasarkan pengalamannya menemani Talitha dan mantan-mantannya dulu berbelanja, barang yang dibeli Ara bahkan tak masuk ⅓ dari belanjaan mereka.

Ara yang senang tentu saja langsung aktif memilih lagi. Felix yang loyal sangat tampan di mata Ara sekarang.

"Felix emang yang terbaik," puji Ara.

Felix tersenyum gugup, ini pertama kalinya ia merasa senang dipuji seperti ini. Terima kasih kepada Papa Ferdinand yang telah bekerja keras dan menghasilkan banyak uang sehingga Felix bisa ikut menikmati hasilnya. Ingatkan Felix untuk berterima kasih pada Papanya nanti ketika sudah sampai rumah.

Saat Felix dan Ara sedang memilih baju, tiba-tiba ada satu perempuan yang mendekat ke arah mereka.

"Hai, Felix," sapa perempuan itu.

"Siapa?" tanya Felix bingung, ia sama sekali tak memiliki clue sedikit pun tentang siapa perempuan yang menyapanya tiba-tiba ini.

Perempuan itu tertawa kecil sambil memukul lengan Felix pelan.

"Aku Angelita, masa Kamu lupa? Kita padahal udah banyak menghabiskan waktu bersama di Villa Kamu."

Villa? Menghabiskan waktu bersama? Angelita dan Felix? Pikiran Ara melayang ke mana-mana sekarang dan yang paling mendominasi adalah pemikiran negatif.

"Angel," kata perempuan itu lagi.

Felix tersenyum kecil, sepertinya ia sudah ingat sekarang.

"Angel ternyata, enggak nyangka bakalan ketemu di sini," kata Felix senang.

Kedua orang itu mulai terlibat obrolan seru dan mengabaikan Ara sepenuhnya. Obrolann mereka didominasi oleh sesuatu tentang mural dan lainnya yang tidak Ara mengerti sama sekali.

"Felix," panggil Ara mencoba mendapatkan kembali atensi pria itu.

"Bentar dulu," kata Felix cepat, ia lalu melanjutkan obrolannya dengan Angelita lagi. Saat menjawab panggilan Ara pun, Felix tak repot-repot untuk menoleh, atensi pria itu terpusat sepenuhnya kepada Angelita.

Ara jengkel tentu saja, tak dihiraukan seperti itu membuat harga dirinya sedikit terluka.

Sepuluh menit, Felix dan Angelita masih mengobrol akrab dan tertawa bersama. Ara hanya menonton saja dengan tampang bosannya.

"Kamu tunggu dulu, ya, sambi belanja. Nanti aku balik lagi ke sini, ada yang mau aku bicarain sama Angel," kata Felix pada Ara.

Belum sempat Ara menjawab, pria itu sudah berbalik dan pergi bersama Angelita.

Oke, sepertinya Ara memang harus menunggu.

***

Satu jam, dua jam, Ara masih bertahan menunggu, ia tak pulang semata-mata karena takut Felix akan kebingungan saat mendapatinya tak di sini lagi nanti.

Mau menelepon, ponsel Ara ada pada Felix, kebiasaannya yang tak suka membawa tas membuatnya repot sekarang. Mungkin satu jam lagi Felix akan datang, Ara berpegang pada harapan semu itu.

"Felix pasti datang," kata Ara bermonolog, ia tengah menyemangati dirinya sendiri saat ini.

Yeah, setidaknya itu adalah perkataannya satu jam yang lalu. Sudah tiga jam Ara menunggu, tetapi Felix tak kunjung datang.

Sepertinya Ara harus pulang, persetan dengan Felix, ia sudah kesal dengan pria itu. Awas saja nanti kalau mereka bertemu, Ara sudah menyiapkan pembalasan yang setimpal untuknya.

Melangkah keluar dari mall, Ara memilih berjalan kaki, ia sama sekali tak ada uang untuk membayar taksi, semuanya ada pada Felix; dompet dan ponsel.

Bagus sekali, hari sudah mulai sore dan berjalan sendirian dengan kantong belanjaan adalah hal yang benar-benar buruk. Bagaimana kalau ada orang yang berniat jahat?

"Felix sialan! Cowok beengsek, ingkar janji!" rutuk Ara kesal sepanjang jalan.

Beberapa orang menatapnya dengan aneh, tetapi Ara tak peduli, ia butuh melampiaskan kekesalannya saat ini. Merutuki Felix adalah salah satu cara.

Saat melihat di depannya ada halte bus, Ara memilih duduk dan beristirahat sebentar, kakinya sudah kesemutan karena menunggu selama tiga jam di dalam mall tadi.

"Ara, ya?" tanya seseorang berjaket levis.

Pria itu tiba-tiba duduk di samping Ara dan tersenyum lebar.

"Masa lupa?" kata pria tersebut saat melihat Ara sama sekali tak mengenalnya.

"Kita kenal?" tanya Ara ketus, mood-nya sedang tak baik saat ini, ia tak ingin beramah-tamah dengan siapa pun, apalagi orang asing.

"Etthan, temannya Felix," kata pria yang ternyata adalah Etthan tersebut.

Etthan sudah melihat Ara menggerutu sejak tadi, ketika melihat gadis itu berhenti di halte, barulah ia memutuskan untuk menghampiri.

"Oh." Ara menanggapi ketus, ia saat ini sedang sensitif dengan sesuatu yang berhubungan sama Felix.

"Mau aku antar pulang?" tanya Etthan masih ramah.

"Enggak, Kamu juga jalan kaki," kata Ara masih kesal. Bagaimana pria ini mau mengantarnya pulang saat ia sendiri juga tak punya kendaraan apa pun, Ara tak melihat kalau Etthan membawa motor atau mobil atau kendaraan apa pun yang bisa mengantar mereka pulang.

"Motor aku di sana," tunjuk Etthan pada sebuah motor yang terparkir tak jauh dari halte tempat mereka duduk saat ini.

Ara yang melihat hal itu tersenyum. "Ya udah ayok!" ajaknya dengan tak tahu malu.

Etthan tersenyum maklum, di dalam benaknya saat ini, ia seperti melihat Felix versi perempuan, seenaknya sendiri.

"Untung Kamu pacar Felix," lirih Etthan yang masih bisa didengar oleh Ara.

"Aku udah bukan pacar Felix lagi," ketus Ara.

Loh?​

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status