"Keluarga Bu Rahayu," panggil seorang perawat, wanita yang memakai seragam putih-putih itu berdiri di bibir pintu sambil membawa map. Wanita berkulit bersih itu tersenyum ketika aku mendekat.
"Mari silahkan ikut saya, Bu," pinta perawat tadi pada Ambar. Tanpa banyak bicara Ambar pun mengikuti langkah sang perawat. Bunyi sepatu pantofel yang dipakai perawat memecah keheningan diantara mereka di sepanjang koridor rumah sakit.
"Silakan, Bu," ucap perawat itu setelah membuka pintu sebuah ruangan. Ambar tersenyum sebagai rasa terima kasih.
"Permisi, Dok. Ini hasil pemeriksaan pasien yang di ruang ICU, dan ibu ini keluarganya." Setelah menyerahkan map pada sang dokter, perawat itu pun mengundurkan diri.
Dokter paruh baya itu tengah meneliti catatan medis yang dibawakan perawat tadi. Setelah itu terdengar helaan napasnya, tanpa sadar Ambar juga melakukan hal yang sama. Wanita itu khawatir jika terjadi hal buruk pada mertuanya.
"Bu Rahayu sudah sadar ya, Bu. Dari hasil pemeriksaan, semuanya terlihat normal. Jadi besok bisa dipindahkan ke kamar biasa. Di sini tertulis semua baik-baik saja." Dokter itu tersenyum di akhir kalimatnya.
"Alhamdulillah, terima kasih, Dok. Apa saya sudah boleh menemui ibu saya, Pak?" tanyanya penuh harap.
"Silakan tanya dulu ke perawat yang bertugas di sana ya, Bu," sahutnya ramah.
"Oh, terima kasih, Dok. Saya permisi," pamit Ambar sambil bangkit dari duduknya.
Berkali-kali ucapan syukur keluar dari bibir tipisnya, Ambar sempat menyesal telah menunjukkan video itu pada mertuanya. Namun, jika diam saja, maka dirinyalah yang akan terluka atau bisa jadi dia yang saat ini berada di posisi Rahayu. Karena tak fokus ketika sedang berjalan, tak sengaja dia menabrak seseorang yang tengah berdiri di pinggir koridor.
"Punya mat ... ta ndak sih?" Wanita yang awalnya nyolot itu tiba-tiba memelankan suaranya ketika menatap Ambar. Ada sesuatu dari sorot matanya.
"Maaf, Mbak," ucap Ambar yang juga terkejut.
Wanita itu tersenyum tipis. "Kalau jalan hati-hati, jangan suka ngelamun. Nanti kesambet baru tahu rasa," gerutunya sambil berlalu, tetapi masih bisa didengar oleh Ambar. Namun, wanita pemilik alis bak semut berbaris itu memilih abai, karena memang dialah yang bersalah.
Sampai di depan ruang ICU, Ambar langsung menuju ke tempat petugas jaga. Menanyakan kondisi ibu mertuanya dan apakah dia boleh menemuinya.
Dengan ramah perawat yang memakai jilbab itu menjawab juga menjelaskan kondisi Rahayu saat ini. Ambar merasa senang karena dia diperbolehkan masuk sesuai amanah Rahayu.
Ambar langsung masuk dengan ditemani perawat, hingga menimbulkan kekesalan pada sepasang mata yang sedari tadi memperhatikannya. Rudi bangkit, kemudian bergegas melengkah menjauh dari ruangan di mana ibunya dirawat.
Lelaki itu merogoh saku celana untuk mengambil ponsel, setelah menyentuh dan menggeser layarnya, Ayahnya alif itu menghubungi seseorang. Setelah berbincang cukup singkat. Dia kembali meneruskan langkahnya.
Dalam ruangan yang penuh dengan peralatan medis itu, berkali-kali Ambar mengusap air matanya ketika memperhatikan mertuanya tidur. Seolah menyadari tengah diperhatikan perlahan Rahayu membuka matanya. Wanita senja itu tersenyum saat melihat menantunya ada di sisinya.
"Maafkan Rudi ya, Mbar, tapi kalau kamu ndak bisa memaafkannya juga ndak pa-pa. Rudi pantas mendapatkannya," ucapnya dengan suara lirih, mata senja itu berkaca-kaca seolah mewakili kalau hatinya tengah terluka.
"Ibu ndak usah memikirkan itu, maaf ya, Bu. Ndak seharusnya aku menunjukkan video itu," ucap Ambar penuh penyesalan sambil mengelus punggung tangan Rahayu.
"Ibu malu, Mbar. Bagaimana bisa Rudi melakukannya." Rahayu memejamkan matanya seketika butiran bening itu lolos, menetes membasahi bantal.
Tak ada lagi sahutan, kedua wanita beda generasi itu saling menguatkan satu sama lain.
"Sekarang ibu fokus sama kesehatan ibu saja. Agar segera pulih, kasihan Alif masih kangen sama neneknya," ucap Ambar berusaha menghibur mertuanya. Rahayu tersenyum, walaupun terkesan dipaksakan.
"Oh, iya Alif sama siapa, Mbar?" tanya Rahayu, suaranya terdengar cemas.
"Ibu tenang saja, Alif aman di rumah sama Fitri. Pokoknya sekarang ibu fokus dengan kesehatan ibu, pikirannya ditenangkan, ndak usah mikir yang aneh-aneh."
Rahayu menghela napasnya sambil membalas tatapan menantunya. Rahayu yakin Ambar adalah perempuan yang kuat dan tegar. Ambar pasti bisa menyelesaikan masalahnya, meskipun harus berakhir di perceraian. Rahayu hanya ingin menjadi penengah. Wanita senja itu berjanji, akan selalu menganggap Ambar menantunya, apapun yang terjadi.
"Kalau begitu sekarang kamu pulang, biar Fitri yang jaga ibu di sini. Kasian Alif," titah Rahayu setelah cukup lama termenung.
"Ibu ndak pa-pa tak tinggal sebentar?" tanya Ambar memastikan. Rahayu hanya membalasnya dengan anggukan kepala. Akhirnya dengan berat hati, Ambar pun keluar dari ruangan tersebut.
***
Rudi seolah sudah hilang akal, setelah mengajak ketemuan dengan Santi di sebuah hotel, sekarang dia malah menyuruh simpanannya itu datang ke rumahnya. Entah apa yang ada di pikirannya.
"Jam tujuh malam datanglah ke rumah. Aku tunggu," ucapnya sebelum menutup panggilan.
"Ayah, Bunda mana?" tanya Alif setelah pulang dari mengaji dengan diantar Fitri.
"Kata Mbak Fitri ibu ngantar Nenek ke rumah sakit, emangnya Nenek sakit apa, Yah?" imbuhnya bertanya.
"Nenek kecapekan, Kak. Nanti Bunda juga pulang, dia nungging Nenek di rumah sakit. Kasian–"
"Ayah kok ndak nungguin Nenek?! Kan kasian Bunda sendirian di sana," protes Alif memotong ucapan ayahnya.
"Ya nanti gantian, Kak. Sekarang Kakak ganti baju dulu, setelah itu makan." titahnya, membuat Alif menautkan kedua alisnya.
"Alif makannya nanti nunggu Bunda, Yah. Sekarang kita main yuk!" ajak Alif sambil menarik tangan Rudi. Lelaki itu tak bisa menolak, kegalauannya sirna setelah melihat senyum bahagia putranya. Kedua ayah dan anak itu bercengkrama di ruang tengah, tempat di mana keluarga kecil mereka biasanya menghabiskan waktu untuk bercerita.
Di tempat lain, Santi masih belum percaya dengan apa yang didengarnya melalui saluran telepon barusan, setelah tadi sore dia harus menelan kekecewaan saat Rudi menolak kehadirannya ketika berada di rumah sakit. Kini dia malah disuruh datang ke rumahnya. Santi tersenyum bahagia, wanita bertubuh bak gitar spanyol itu bergoyang pargoy untuk menyalurkan kebahagiaan. Baginya jalan untuk mendapatkan Rudi semakin terbuka lebar.
"Jadi wanita kerempeng itu sudah tahu? Terus Mas Rudi ingin aku datang ke rumahnya, biar wanita itu semakin cemburu! Hihihi .... " Santi berbicara sambil tersenyum sendiri. Setelah itu wanita yang selalu tampil memesona itu mulai mempersiapkan diri, dia ingin tampil sempurna di rumah calon suami.
Ambar berada di jalan yang mulai ramai dengan lalu-lalang kendaraan, ibu satu anak itu tengah duduk di bangku belakang kemudi taksi online yang dipesannya. Saat ini dia sedang berbincang dengan Fitri melalui saluran telepon. Wanita yang terlihat lelah itu menanyakan kabar putranya. Hatinya terasa nyeri ketika Fitri mengatakan kalau Alif tengah bermain dengan sang ayah. Setelah meminta Fitri bersiap-siap untuk ke rumah sakit menggantikannya dan mengucapkan terima kasih, Ambar mematikan panggilan telepon. Berkali-kali wanita bertinggi 159cm itu menghela napasnya.
Ambar kembali larut dalam kebimbangan. Alif, buah hatinya tercinta. Bocah berusia empat tahun itu memang menjadi salah satu alasannya untuk berkali-kali mempertimbangkan keinginannya untuk mengakhiri hubungan. Bagi Ambar, perselingkuhan adalah hal yang sangat dibencinya. Seseorang yang pernah menduakan hatinya, akan sulit untuk kembali setia. Jadi, pilihannya hanya satu, melepaskan. Lalu bagaimana dengan Alif? Pikirannya benar-benar bingung.
Tepat 40 menit perjalanan dari rumah sakit hingga sampai di rumahnya. "Pak, tunggu sebentar ya. Habis ini tolong antar saudara saya ke rumah sakit yang tadi," ujarnya pada sang supir.
"Iya, Bu," sahut lelaki sebaya ayahnya itu sambil tersenyum ramah ketika menoleh. Ada yang terasa sejuk menelusup ke hati Ambar, melihat senyum si supir mengingatkan dengan almarhum ayahnya.
Ambar termangu ketika hendak keluar dari kendaraan yang membawanya pulang, dia mengurungkan niatnya karena ada seorang wanita tengah berdiri sambil memencet bel rumahnya.
"Pak, mundurin sedikit mobilnya," pintanya pada sang supir.
"Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Sepanjang perjalanan Kinan tak henti-hentinya bercerita, walaupun tak ada tanggapan yang berarti dari Iyan. Sementara Ambar masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini bundanya Alif itu tengah berbalas pesan dengan Vina. [Hai, Mbakku. Lagi ngapain?] tanya Vina dalam pesannya.Ambar mengambil foto lalu mengirimkan pada Vina [Lagi nganterin bumil periksa] balasnya.Vina mengirimkan emoticon mata terbelalak, menandakan kalau dia tengah terkejut. [Baru kemarin dia periksa loh. Wah nggak bener ini] balasnya yang diakhiri dengan emoticon marah.[Biarin aja kita ikuti saja permainannya. Rencana kalina mau nginep berapa hari?] Ambar mengalihkan pembicaraan.[Terus Abang bagaimana? Apa dia nggak nolak gitu?] tanya Vina lagi, gadis itu sungguh penasaran campur geram pada Kinan.[Udah, tapi mo gimana lagi, di rumah cuma ada kita kan] terkirim dan langsung centang biru. Vina sedang mengetik."Dek Ambarku, seru banget main ponselnya, sampai senyam-senyum sendiri." Iyan yang sudah penasaran dengan sika
Kedua insan yang tengah kasmaran itu meredam gejolak yang tadinya berkorbar. "Aku akan melihatnya," ucap Ambar dengan suara serak dan napas tersengal."Aku saja," cegah Iyan yang juga tengah mengatur napasnya."Jangan, Bang. Itu pasti Kinan. Bair aku aja. Abang mandi dulu gih, sebentar lagi Magrib," ujar Ambar sambil melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbak Kinan?" tanya Ambar setelah pintu terbuka."Maaf, Mbak Ambar. Mas Iyan-nya ada? Aku mau bicara dengannya." Tanpa rasa segan Kinan mencari lelaki yang jelas-jelas sudah beristri."Katakan saja, nanti aku sampaikan padanya," sahut Ambar cepat."Aku lebih enak ngomong sama Mas Iyan langsung." Kinan masih bersikeras dengan keinginannya."Ada apa, Dek?" tanya Iyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat Iyan yang tengah mengacak rambutnya yang basah, Kinan menjadi kesal, wanita yang tengah hamil muda itu cemburu."Nanti habis Magrib, Mas Iyan antar aku periksa ke bidan ya? Sebenarnya balum waktunya balik, tapi badanku rasanya kura
"Maaf, Tante. Aku ndak bisa ikut, tadi aku sudah bilang sama Mas Iyan?" Ucapan Kinan mengejutkan semua orang yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Mereka semua menoleh pada wanita berparas ayu tersebut.Vina yang sudah bersiap mengangkat ransel, kembali meletakkannya. "Bagaimana bisa, Kinan. Alif aja ikut kami, harusnya kamu ngerti dong." Vina sudah tidak tahan lagi. Adik ipar Ambar itu semakin kesal menghadapi keras kepalanya Kinan."Aku sungguh kurang enak badan, Vin. Kamu tahu, bahkan hanya mendengar kata 'naik mobil' perutku sudah mual," sanggah Kinan."Omong kosong!" umpat Vina yang sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara Kinan."Vina ...." Sebenarnya Farida mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, setelah semua bekerjasama memberi waktu pada Iyan dan Ambar, Kinan malah merusaknya. "Dia hanya berpura-pura, Bu," tukas Vina. Namun, wanita yang melahirkannya itu tak begitu menghiraukan. "Sudahlah, jika Kinan tak mau ikut, nggak usah dipaksa. Ayo sekarang kita ke depan, kasih