Sepandai-pandainya tupai melompat, akhirnya jatuh ke tanah juga. Begitu juga dengan kebohongan, suatu saat pasti akan terbongkar, dan gara-gara lupa mematikan video call, penghianatan Rudi terbongkar. Bagaimana Ambar mengatasi masalahnya? Kuy, ikuti kisahnya.
View More"Suara apa sih?" Ambar berdecak ketika samar-samar mendengar suara desahan saat dia masuk ke kamarnya. Alisnya bertaut karena merasa mengenal suara tersebut. Apalagi ketika desahan itu diiringi dengan sebuah lenguhan.
"Kayak suara Mas Rudi, tapi dari mana?" gumam Ambar lagi sambil terus mencari asal suara. Sesekali wanita pemilik alis bak semut berbaris itu bergidik, ketika desahan itu diiringi dengan sebuah erangan.
Ambar celingukan mencari sumber suara yang membuatnya risih. Wanita bermata bulat itu semakin menajamkan pendengarannya agar segera menemukan asal suara tersebut.
Matanya tertuju pada benda yang baru saja ditemukannya di bawah bantal. Tangan kurusnya terulur secara perlahan ketika hendak meraih benda pintar miliknya. Tatapannya terkunci setelah melihat apa yang ditampilkan layar ponselnya. Jantung wanita bertubuh ramping itu seakan berhenti berdetak, ketika mata dengan bulu lentiknya memindai setiap adegan layaknya film dewasa.
Bibir tipis itu bergetar menahan getir, mata dengan manik kecoklatannya tiba-tiba memanas dan bersiap untuk menumpahkan cairan bening, penyampai rasa sakit yang dialaminya. Hatinya seakan diremas oleh kenyataan yang sama sekali tak pernah dibayangkan. Di dalam layar ponselnya, suami yang sangat dicintainya tengah berbagi peluh dengan wanita lain.
Jari-jari lentiknya meremas benda pintar tersebut hingga buku-buku tangannya memutih. Sekuat tenaga dia berusaha tegar, tubuh dengan berat enam puluh itu merosot di lantai. Untuk sesaat otaknya masih belum bisa menerima kenyataan yang dilihat netranya. Hatinya berusaha menolak bahwa lelaki yang berada di ponsel itu bukanlah suaminya.
"Bunda ...!" seru Alif setelah membuka pintu. Mendengar putranya memanggil, bergegas mengusap sudut matanya yang basah. Wanita pemilik alis bak semut berbaris itu berkali-kali menghela napas agar bisa bersikap normal.
"Bunda kenapa?" tanya Alif sambil memperhatikan wajah wanita yang telah melahirkannya dengan seksama.
Ambar merasa kikuk diperhatikan anaknya sedemikan rupa. Gegas dia bangkit dan mendekati sang buah hati. Bibirnya mengulas senyuman setelah jongkok di hadapan sang jagoan.
"Em, bunda tadi kelilipan, Kak," sahutnya dengan wajah memelas, bibirnya mengulas senyum tipis untuk menyamarkan luka. Sebuah sandiwara untuk menutupi duka.
Bocah berambut pirang itu mendekatinya, bersikap layaknya seorang pelindung dan penyelamat. "Sini kakak tiup." Setelah berucap, kedua tangan mungilnya menangkup pipi bundanya, kemudian secara perlahan bocah lelaki itu meniup area mata bundanya.
"Sudah," ucapnya, tangan mungil miliknya masih mengusap pipi lembut wanita yang sudah melahirkannya itu. "Gimana, Bunda? Udah enakan?" imbuhnya bertanya.
Ambar mengedipkan matanya beberapa kali untuk melengkapi sandiwaranya di depan putranya. "Alhamdulillah, masyaallah, langsung sembuh, Kak. Terima kasih ya. Sekarang mata bunda sudah baikkan," ucapnya sambil mencium pipi gembul Alif. Setelah itu dia bangkit, berpura-pura sibuk membereskan tempat tidur.
"Sama-sama, Bunda," sahut Alif tak kalah senang. Bocah itu kebingungan, sesekali mengangkat bantal yang masih berantakan.
"Ponsel bunda mana, ya? Tadi aku taruh di sini, kok sekarang ndak ada?"
Ambar tertegun, sekarang jelas kalau yang dilihatnya memang sebuah kenyataan bukan halusinasinya semata. Sekarang tak hanya rasa sakit yang dia rasakan setelah mengetahui dirinya dikhianati. Namun, ada juga marah karena mengganggap suaminya sudah gila. Bagaimana bisa dia melakukan itu sebelum mematikan video call dengan putranya? Bagaimana kalau putranya sampai tahu.
"Ponselnya lagi di-charge, Kak. Alif mau telpon ayah lagi?" tanyanya sambil menata bantal.
"Iya, Bunda. Alif masih kangen sama Ayah," sahut bocah itu dengan polos.
"Nanti kalau baterainya udah penuh ya, Kak." Alif mengangguk mengerti, bocah lelaki itu memang jarang membantah ucapan bundanya, bahkan hampir tidak pernah. Itulah yang membuat Ambar selalu berucap syukur pada Sang Pencipta.
Walaupun Hatinya sedang tidak baik-baik saja, Ambar tak pernah memperlihatkannya pada Alif. Dia tak ingin melihat putranya bersedih, karena baginya Alif adalah harta paling berharga.
"Ya udah, Alif mau gambar aja, ah," sahut bocah yang garis wajahnya mirip dengan lelaki yang tengah memadu kasih tanpa mematikan ponsel setelah melakukan video call. Bocah bermata bulat itu beranjak keluar kamar.
Ambar meraup udara sebanyak-banyaknya, setelah itu menghembuskannya secara perlahan. Tubuh rampingnya tak bertenaga, setelah beberapa saat menahan diri agar terlihat baik-baik saja.
Sudah seminggu setelah kejadian video itu, Bundanya Alif masih diam. Selama itu pula, setiap malam wanita berambut ikal itu tak bisa memejamkan matanya. Pikirannya dipenuhi dengan berbagai rencana dan perasan juga memikirkan tentang apa yang harus dilakukannya.
Semenjak saat itu Ambar tak pernah menelpon suaminya terlebih dulu, walaupun sekedar untuk bertanya kabar. Berbeda dengan sang suami, lelaki itu tetape bersikap biasa saja, hingga tak menyadari perubahan istrinya, yang hanya diam jika tidak ditanya.
"Bunda?" Sekali lagi Rudi memanggil Ambar setelah wanita berbintang Capricorn itu mengabaikan pertanyaannya ketika melakukan video call.
"Hem?" Hanya itu jawaban Ambar tanpa menatap sang suami.
"Bunda ada masalah? Marah sama ayah karena minggu kemarin ndak bisa pulang?" tanya Rudi dari ujung telepon. Tarikan napasnya terdengar jelas di gendang telinga Ambar, warnai itu menggeleng sebagai jawaban. Ridi pun mengakhiri obrolan mereka.
Besok adalah hari yang biasanya selalu dinanti Ambar dan Alif. Biasanya ibu dan anak itu akan sibuk di dapur untuk menyiapkan makanan kesukaan sang pujaan hati. Kali ini Ambar menyiapkan sesuatu yang berbeda, bukan makanan atau hidangan lezat lainnya, wanita itu sudah yakin dan mantap dengan resiko yang akan didapatkannya.
"Aku harap kamu tak mati berdiri setelah menerima kejutan dariku, Mas."
"Ada apa, Dek?""Kinan ndak nyahut, Bang.""Kinan! Kinan! Buka pintunya, Kinan!"Karena masih belum ada jawaban, Iyan pun mulai mendobrak pintu. Namun, setelah dobrakan kedua terdengar anak kunci yang diputar. Suami-istri itu saling berpandangan, kemudian perlahan melangkah mundur. Pintu kamar terbuka, Iyan dan Ambar sama-sama terperanjat melihat pemandangan yang tersaji di depan mata."Lebih baik aku mati, aku sudah tidak kuat ...." Tubuh berlumuran darah itu ambruk tetapi masih bisa ditahan oleh Iyan, sehingga tak sampai tersungkur."Ya Allah, Kinan!" seru Ambar bersamaan dengan Iyan."Ambil kunci mobil. Kita ke rumah sakit!"Keduanya bergegas ke depan menuju mobil, kemudian dengan kecepatan tinggi Iyan membelah jalanan yang tidak terlalu padat.**Semua keluarga kembali dan langsung ke rumah sakit di mana Kinan dirawat. Begitu juga dengan Miranti dan Bowo, keduanya langsung berangkat setelah mendapatkan kabar. Diiringi isak tangis, Miranti berkali-kali meminta maaf pada Farida kar
Malam sudah larut ketika mobil yang dikendarai Iyan sampai di kediamannya. Selama perjalanan, kedua pasutri itu membicarakan banyak hal, bercanda dan tertawa. Sementara Kinan memilih untuk memejamkan matanya, wanita bertubuh agak berisi itu berpura-pura tidur untuk meredam gejolak amarah karena cemburu, hingga dia benar-benar terlelap, walaupun tak nyenyak. Iyan meminta Ambar untuk membangunkan Kinan. Sementara dia membuka pintu."Mbak Kinan, bangun. Sudah sampai rumah," ucap Ambar dengan suara pelan sambil mengguncang pundak wanita pemilik wajah manis itu. Kinan mengerjap, setelah kesadaran pulih, tanpa bicara dia keluar dari mobil dan berlalu begitu saja meninggalkan Ambar yang masih berdiri mematung di samping mobil."Terima kasih, Mas," ucap Kinan saat dia sampai di depan Iyan yang berdiri di samping pintu, Iyan hanya tersenyum dan itu membuat Kinan melanjutkan langkahnya dengan pelan. Wanita yang tengah hamil muda itu semakin kesal ketika Iyan melangkah ke arah istrinya.Kinan se
"Ya udah kalau terserah abang. Kamu nggak boleh protes ya." Akhirnya dia berucap. Ambar yang mendengarnya hanya menghedikkan bahu sebagai jawaban.Wanita pemilik bulu mata lentik itu mengerutkan keningnya setelah mobil yang dikendarai suaminya hanya berpindah tempat parkir."Hotel?" tanyanya sambil mengamati sekitar."Iya, katanya terserah aku. Aku kan mau makan itu," goda Iyan sambil menaik turunkan kedua alisnya."Abang ...." Ambar benar-benar tak menyangka suaminya bisa berpikir ke situ."Udah dua malam loh, Dek. Kamu tak tahu bagaimana rasanya jadi aku." Saat mengatakannya Iyan memasang muka memelas hingga membuat Ambar gemas."Tapi ... tapi kenapa mesti di hotel? Aku ndak bawa surat nikah loh," sanggah Ambar cepat."Tenang," sahut Iyan sambil mengeluarkan buku tipis dari laci mobil."Abang, ish ...." Ambar semakin salah tingkah dibuatnya."Yuk! Ayo ... apa mau tak gendong?" ancam Iyan karena Ambar tak kunjung beranjak dari tempat duduknya. Bundanya Alif itu mengalah, dengan langk
Sepanjang perjalanan Kinan tak henti-hentinya bercerita, walaupun tak ada tanggapan yang berarti dari Iyan. Sementara Ambar masih sibuk dengan ponselnya. Kali ini bundanya Alif itu tengah berbalas pesan dengan Vina. [Hai, Mbakku. Lagi ngapain?] tanya Vina dalam pesannya.Ambar mengambil foto lalu mengirimkan pada Vina [Lagi nganterin bumil periksa] balasnya.Vina mengirimkan emoticon mata terbelalak, menandakan kalau dia tengah terkejut. [Baru kemarin dia periksa loh. Wah nggak bener ini] balasnya yang diakhiri dengan emoticon marah.[Biarin aja kita ikuti saja permainannya. Rencana kalina mau nginep berapa hari?] Ambar mengalihkan pembicaraan.[Terus Abang bagaimana? Apa dia nggak nolak gitu?] tanya Vina lagi, gadis itu sungguh penasaran campur geram pada Kinan.[Udah, tapi mo gimana lagi, di rumah cuma ada kita kan] terkirim dan langsung centang biru. Vina sedang mengetik."Dek Ambarku, seru banget main ponselnya, sampai senyam-senyum sendiri." Iyan yang sudah penasaran dengan sika
Kedua insan yang tengah kasmaran itu meredam gejolak yang tadinya berkorbar. "Aku akan melihatnya," ucap Ambar dengan suara serak dan napas tersengal."Aku saja," cegah Iyan yang juga tengah mengatur napasnya."Jangan, Bang. Itu pasti Kinan. Bair aku aja. Abang mandi dulu gih, sebentar lagi Magrib," ujar Ambar sambil melangkah menuju pintu."Ada apa, Mbak Kinan?" tanya Ambar setelah pintu terbuka."Maaf, Mbak Ambar. Mas Iyan-nya ada? Aku mau bicara dengannya." Tanpa rasa segan Kinan mencari lelaki yang jelas-jelas sudah beristri."Katakan saja, nanti aku sampaikan padanya," sahut Ambar cepat."Aku lebih enak ngomong sama Mas Iyan langsung." Kinan masih bersikeras dengan keinginannya."Ada apa, Dek?" tanya Iyan yang baru saja keluar dari kamar mandi. Melihat Iyan yang tengah mengacak rambutnya yang basah, Kinan menjadi kesal, wanita yang tengah hamil muda itu cemburu."Nanti habis Magrib, Mas Iyan antar aku periksa ke bidan ya? Sebenarnya balum waktunya balik, tapi badanku rasanya kura
"Maaf, Tante. Aku ndak bisa ikut, tadi aku sudah bilang sama Mas Iyan?" Ucapan Kinan mengejutkan semua orang yang sudah bersiap-siap untuk pergi. Mereka semua menoleh pada wanita berparas ayu tersebut.Vina yang sudah bersiap mengangkat ransel, kembali meletakkannya. "Bagaimana bisa, Kinan. Alif aja ikut kami, harusnya kamu ngerti dong." Vina sudah tidak tahan lagi. Adik ipar Ambar itu semakin kesal menghadapi keras kepalanya Kinan."Aku sungguh kurang enak badan, Vin. Kamu tahu, bahkan hanya mendengar kata 'naik mobil' perutku sudah mual," sanggah Kinan."Omong kosong!" umpat Vina yang sudah tidak tahan lagi dengan sandiwara Kinan."Vina ...." Sebenarnya Farida mengerti mengapa putrinya bersikap seperti itu, setelah semua bekerjasama memberi waktu pada Iyan dan Ambar, Kinan malah merusaknya. "Dia hanya berpura-pura, Bu," tukas Vina. Namun, wanita yang melahirkannya itu tak begitu menghiraukan. "Sudahlah, jika Kinan tak mau ikut, nggak usah dipaksa. Ayo sekarang kita ke depan, kasih
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments