Share

Kena mental

"Bu, itu pasangan suami istri kok enak-enak makan di meja makan majikan. Mana makan makanan enak lagi, bikin ngiler aja," kata pria itu menatap sinis kepadaku. 

Pria itu ternyata adalah Mas Irgi, suami Mbak Arumi alias kakak iparku yang resenya minta ampun. Enggak nyangka aku, kalau dia anaknya Bi Sumi. 

"Mereka berdua itu anak dan menantu majikan Ibu. Anaknya Pak Anjas," jawab Bi Sumi menyebut nama Ayah mertuaku.

Majikan? Jadi rumah dan mobil tadi beneran punya Ayah dan Mas Wawan? Sungguh aku tak dapat mencerna semua ini dengan otakku yang terbatas. Masa sih pria yang baru saja menikahiku ini anak orang kaya? Lalu kenapa ia hanya memberikanku mahar lima juta? 

Padahal ketika kami melaksanakan akad nikah kemarin, Ibu meminta uang mahar lima puluh juta beserta biaya untuk pesta di gedung seperti Mbak Arumi. Namun Mas Wawan menyatakan tak sanggup untuk memenuhinya dan mengatakan ingin acara ijab qobul saja.

Mas Irgi menatap ke arah Ayah, ia sepertinya kaget dengan penampilan Ayah yang mengenakan kaos bermerk terkenal dan celana jeans. Sedangkan tadi ketika ke acara akad nikah kami, Ayah hanya memakai baju koko biasa.

"Ah enggak mungkin. Pasti Ibu salah. Ibu mau membohongi aku. Mereka itu pasti pembantu juga di rumah ini kan? Rekan kerja Ibu," balas Mas Irgi mengelak jawaban Ibunya sendiri. 

Wajah Bi Sumi memerah. Ia kini benar-benar menahan amarah karena perkataan anaknya yang seenak jidatnya. 

"Hush, kamu enggak boleh bilang gitu. Mereka semua itu majikan Ibu. Pak Anjas, Den Wawan, dan istrinya--non Arini--," balas Bi Sumi yang kesal dengan anaknya.

"Hei anak ingusan, kenapa kamu makan enak di situ hah?" tegur Mas Irgi dengan nada nyaring. Benar-benar kakak ipar yang enggak tau malu. Padahal aku sudah berusaha mengalihkan pandanganku dan pura-pura tidak tau kalau ia anaknya Bi Sumi. 

"Aku yang harusnya bertanya, kenapa kamu ada di sini? Apakah pantas di sebut seorang suami jika uang saja masih meminta Ibunya?" sindir Mas Wawan kepada Mas Irgi.

Aku tersenyum penuh kemenangan. Sebelum menikah aku selalu di hina oleh Mbak Arumi, Mas Irgi, dan Ibu. Aku dibilang anak yang tak tau terima kasih karena hanya bisa menghabiskan uang orangtua untuk kuliah dan akhirnya kerja di rumah. 

"Heh kamu, beraninya kamu menghinaku seperti itu? Itu urusan aku dan Ibuku. Kamu itu hanya pembantu juga di rumah ini enggak usah sok belagu," sahut Mas Irgi yang hatinya pasti sedang kepanasan. 

"Irgi, hentikan! Jangan kau hina majikan Ibu. Bikin malu Ibu aja kelakuanmu hari ini," kata Bu Sumi berusaha menengahi perdebatan antara Mas Wawan dan Mas Irgi. 

"Bu, aku harus memberi pelajaran pada Arini dan Wawan agar mereka tidak berbuat seenaknya sampai makan saja harus di kursi majikan," balas Mas Irgi berjalan ke arah kami.

"Ya Allah, jangan Gi. Jangan lakukan itu terhadap majikan Ibu!" tegur Bi Sumi yang sudah sangat jengkel.

Bi Sumi berusaha menghalangi Mas Irgi dengan memegang tangan Mas Irgi. Namun karena tubuhnya kalah kuat dengan anak lelakinya, ia tubuhnya terjatuh ke belakang hingga mengakibatkan pinggangnya terasa sakit. Terlihat ia sedang mengusap-usap  pinggangnya. 

"Mau apa kau dengan anak-anakku? Berani kau menyentuh sedikit saja kulit anak-anakku akan kupecat Ibumu! Supaya kau tidak mendapatkan uang subsidi dari Ibumu lagi," bentak Ayah ketika Mas Irgi akan menghampiriku. 

Tubuh Mas Irgi sepertinya mendadak kaku. Terlihat ia berdiri mematung. Nyalinya mendadak ciut. 

"Huh baru segitu aja nyalimu udah ciut. Emang susah sih kalau masih di ketek orangtua," sindir Mas Wawan. 

Kukira Mas Wawan orangnya pendiam dan polos. Tapi ternyata malah sindirannya lebih tajam. Mampus tuh! Kena mental juga akhirnya si Irgi.

Ia menatap kami dengan tatapan mata sinis dan tajam. Kemudian dia membalikkan badannya dan langsung berjalan cepat tanpa pamit. 

"Gi! Mau kemana kamu. Kita perlu bicara," hardik Bi Sumi kepada putranya. 

Sementara itu kami tersenyum puas karena mampu membalas pria yang sombongnya dan sok kaya itu! Tenang Irgi, ini masih babak pertama kok.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status