Share

Tamu tak diundang

Aku tak boleh terlalu jumawa kalau Mas Wawan adalah anak orang kaya sementang kami berdua di jemput oleh mobil mewah di tengah kerumunan Ibu-ibu komplek tadi. 

Siapa tau memang benar apa yang di katakan oleh mereka. Kalau Mas Wawan hanyalah Asisten Rumah Tangga dan Ayahnya hanyalah supir. 

"Hei kok melamun aja," kata Mas Wawan sambil menepuk pundakku. 

"Eh, enggak kok," sahutku mengelak.

"Widih belum apa-apa aja sudah berbohong sama Mas," jawab Mas Wawan sambil membelai kepalaku yang tertutup kerudung. 

"Hehehe." 

Tak berapa lama, mobil mewah ini melewati perumahan elit. Rumah-rumah mewah dan besar yang biasa kulihat di film maupun sinetron kini ada di depan mataku. 

"Mas, kita kan mau ke rumahmu. Kenapa kita masuk ke komplek ini?" tanyaku heran. Begitu banyak pertanyaan yang bermuatan positif maupun negatif bersarang di kepalaku. 

"Sudahlah kamu enggak usah banyak tanya. Nanti lihat aja sendiri," balas Mas Wawan menjawab pertanyaanku. 

Aku hanya mengangguk. Aku akhirnya memilih untuk diam. 

"Yah, kok tumben nyetir sendiri sih. Emangnya Pak Hadi kemana?" tanya Mas Wawan  heran.

"Hari ini dia off. Tadi dia minta izin ke Ayah, katanya ada urusan keluarga mendadak," jawab Ayah masih fokus menyetir. 

"Oh gitu." 

Pak Hadi? Siapa itu Pak Hadi? Kenapa juga Mas Wawan bilang tumben Ayahnya menyetir sendiri. Atau jangan-jangan Pak Hadi teman Ayah juga sesama supir.

"Tadi Bi Sumi sudah masak makanan enak lho untuk kalian," imbuh Ayah mertua. 

"Asyik! Bi Sumi masak cumi tepung asam manis kesukaanku kan Yah?" sahut Mas Wawan kegirangan.

"Iya dong." 

Setengah jam kemudian mobil yang di kendarai Ayah mertuaku memasuki sebuah rumah mewah bertingkat tiga. Pak Satpam membukakan pintu pagar dengan sigap. 

"Lho kok kita ke sini sih Mas? Katanya tadi kita akan ke rumahmu?" tanyaku dengan kebingungan. 

"Ayo kita turun," hanya itu jawaban yang kudengar dari Mas Wawan. 

Aku agak sedikit kecewa. Mas Wawan ternyata berbohong membawaku ke rumahnya. Yang ada, aku malah di bawa Mas Wawan ke tempat ia bekerja. Mungkin benar kata Ibuku kalau rumah Mas Wawan ada di kampung. 

Aku turun dari mobil dengan mata terpana. Aku memandang sekeliling rumah mewah yang ada di hadapanku sekarang dengan takjub. Ya, walaupun ini hanya rumah majikan Mas Wawan aku lebih bahagia ketimbang tinggal di pondok belakang rumahku yang lebih mirip kandang kambing. 

Mas Wawan dan Ayah mengajakku masuk dari pintu besar. Aku terkagum-kagum dengan ruang tamu yang besar dan mewah yang bagusnya seratus delapan puluh derajat di banding rumahku. Kami berjalan menuju ruang makan. Mataku tak lepas memandang perabotan yang antik dan bagus. 

Tibalah kami di ruang makan. Di depanku sudah ada sebuah meja makan kayu jati dengan ukiran yang indah. Kira-kira ada delapan buah kursi yang bermotif sama dengan meja. 

Di atas meja terhidang banyak makanan seperti cumi goreng tepung asam manis, udang bakar, sate cumi, dan sup jamur. Tentu saja membuat air liurku menetes dan perutku terasa lapar lagi. 

"Ayo kita makan, pasti kalian sudah lapar," ajak Ayah dengan bersemangat. 

"I, iya Yah," jawabku agak ragu.

Mas Wawan dan Ayah duduk di kursi. Mereka tanpa malu dan ragu mengambil nasi dan lauk yang lezat itu tanpa ragu. Sedangkan aku masih berdiri mematung. 

"Lho kok kamu masih berdiri di sana Dek? Ayo sini duduk," ajak Mas Wawan yang heran melihatku masih berdiri.

Aku hanya bisa bengong dan berjalan menuju kursi di sebelah Mas Wawan. Kemudian aku berbisik di telinga pria jangkung itu. 

"Mas, emang kita boleh makan di sini?" bisikku pelan, aku malu kalau sampai kedengaran Ayahnya Mas Wawan. 

"Ya iyalah, ayo makan. Nanti kamu kelaparan kalau enggak makan," jawab Mas Wawan sambil mengambilkan nasi dan sate cumi untukku.

Seorang wanita paruh baya berpostur tambun muncul membawakan nampan yang berisi makanan. 

"Maaf Pak, bakso kepitingnya baru aja matang," ujar wanita itu kepada Ayah, kemudian ia menghidangkan makanan tersebut di meja kami. 

"Oh iya enggak papa Bi Sumi," jawab Ayah sambil meminum jus mangga yang menemani makan sore kami. 

Jadi wanita tua itu yang bernama Bi Sumi? Apa dia itu teman kerja Mas Wawan ya? Tapi kenapa dia bersikap begitu hormat kepada Ayah?

Aku pun mencoba mengambil bakso kepiting dan memakannya. Karena aku begitu penasaran dengan rasanya. Masya Allah sungguh lezat! Sampai-sampai aku meneteskan air mata. Seumur-umur baru kali ini aku menikmati makanan lezat seperti ini. 

Bi Sumi meninggalkan meja makan kami. Sepertinya ia ingin kembali ke dapur. Namun belum sempat ia menuju dapur, tiba-tiba muncul seorang pria yang begitu kukenal. 

"Bu, aku minta uang dong untuk membeli bajunya Arumi. Tadi Arumi merengek minta di belikan baju di butik yang ia lihat," kata pria itu berbisik kepada Bi Sumi. 

"Waduh gimana dong Gi? Ibu belum gajian, Ibu gajian masih beberapa hari lagi," jawab Bi Sumi dengan wajah cemas.

Aku dan pria itu saling bertatapan. Tentu saja ia kaget seperti melihat hantu begitu mengetahui aku berada di sini. Astaga kenapa sih aku harus bertemu makhluk yang menyebalkan itu di saat tidak tepat seperti ini?

** 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status