Share

Permintaan maaf

Kami kembali menikmati hidangan yang sudah di sajikan Bi Sumi di meja makan. Aku mengambil makanan kesukaan Mas Wawan, cumi goreng tepung asam manis.

"Makan yang banyak ya Ar, jangan malu-malu. Tambah lagi nasinya kalau perlu," celetuk Ayah yang rupanya senang melihatku makan banyak.

"Siap Yah. Makanannya enak sekali. Seumur-umur baru kali ini Arini makan makanan enak seperti di restoran. Biasanya Arini hanya melihat makanan seperti di acara makan-makan di televisi.

"Nah makanya kamu makan yang banyak ya Dek," imbuh Mas Wawan.

Aku mengangguk. Kami bertiga makan dengan lahap. Aku sampai kekenyangan, yang ada sekarang aku malah susah gerak.

"Habis ini kita istirahat aja ya di kamarku, kasian kamu sampai kekenyangan gitu," kata Mas Wawan sambil melihatku yang bersandar di kursi sambil mengelus perutku yang sedikit buncit.

"Iya Mas. Oh ya, sebelum istirahat. Aku mau mencuci piring-piring ini dulu ya," jawabku yang tak enak bila harus langsung istirahat ke kamar.

"Eh enggak usah Ar. Kamu istirahat aja, biar Bi Sumi yang mencuci piring-piringnya," sanggah Ayah yang melarang mencuci piring.

"Tapi Yah, Arini enggak enak bila habis makan enggak mencuci piring. Biasanya kalau di rumah, habis makan Arini langsung mencuci piring," balasku yang sungkan.

Ayah mertuaku begitu baik padaku, berbeda sekali dengan Ibuku. Bila aku telat sedikit saja atau aku kelelahan tak bisa mencuci piring. Maka suara piring beradu bersahutan akan kudengar dari dapur.

"Sudahlah Dek, kalau di rumahku kamu enggak perlu kerja apa-apa," sahut Mas Wawan tersenyum kepadaku.

"Tapi nanti badanku pegel-pegel semua kalau aku enggak mengerjakan pekerjaan rumah. Bukannya tugas seorang istri adalah berbakti pada suaminya," kataku yang tak enak bila Mas Wawan malah menyuruhku untuk santai-santai di rumahnya.

"Berbakti dengan suami bukan hanya mengurus pekerjaan rumah tangga tapi juga melayani suami dengan sepenuh hati," ujar Mas Wawan sambil menarik hidungku gemas.

Mendengar kata melayani suami, pikiranku jadi kemana-mana. Maksudnya bukan hanya melayani di ranjang saja, tapi juga menyiapkan keperluannya.

"Hayo kamu mikirkan apaan tuh?" celetuk Mas Wawan yang seolah bisa membaca pikiranku.

"Eh, enggak. Enggak mikirin apa-apa kok, hehehe," jawabku berusaha mengelak.

"Jangan bohong sama Mas lho. Nanti hidungmu panjang seperti pinokio," balas Mas Wawan menggodaku.

"Ah enggak kok Mas."

"Kalau mau gituan ya nanti malam, kalau sekarang masih sore. Sabar ya," bisik Mas Wawan sambil mengedipkan sebelah matanya.

Aku memukul bahunya. Nah lho, siapa yang sebenarnya punya pikiran ngeres?

Ketika kami akan beranjak dari meja makan. Dengan tergopoh-gopoh, Bi Sumi menghampiri kami.

"Pak Anjas, Den Wawan, dan Non Arini. Saya atas nama anak saya, minta maaf yang sebesar-besarnya atas tingkah laku anak saya yang kurang ajar tadi. Saya tau perbuatan dia tadi tak pantas di maafkan," kata Bi Sumi dengan tangis yang terisak.

"Gimana ya Bi? Masalahnya dia tadi sudah kurang ajar banget sih," jawab Mas Wawan sambil mengelus dagunya.

Aku menyikut lengan Mas Wawan. Aku kasihan dengan Bi Sumi, pasti ia malu sekali dengan kelakuan anaknya. Aku juga tak semudah itu bisa memaafkan kesalahan Mas Irgi. Tapi mau gimana lagi. Semua keputusan ada di tangan Ayah dan Mas Wawan.

"Apaan sih?" tanya Mas Wawan yang kaget karena aku menyikut lengannya.

"Di maafkan aja Bi Suminya, kasihan dia. Kalau Mas Irgi ya enggak usah di maafkan. Mending kita kasih pelajaran aja dia," bisikku pelan kepada Mas Wawan. Semoga saja Bi Sumi tidak mendengar kata-kataku.

"Hmmm, boleh juga," jawab Mas Wawan mengangguk.

Mas Wawan nampak berpikir. Kulirik Ayah, sepertinya ia juga mempunyai pikiran yang sama dengan Mas Wawan.

"Gimana dong Pa?" tanya Mas Wawan bingung mengambil keputusan.

"Terserah kamu saja Wan. Ayah serahkan keputusan di tanganmu. Mau kamu pecat Bi Sumi, silakan saja?" sahut Ayah melirik Mas Wawan.

Tentu saja kalimat terakhir yang Ayah ucapkan tadi sepertinya hanya gertakan saja kepada Bi Sumi. Bagaimanapun Bi Sumi telah mengabdi cukup lama di keluarga ini, kata Mas Wawan bercerita saat kami makan tadi.

Bi Sumi bergidik ketakutan. Tentu saja ia takut kalau di pecat. Mengingat ia sudah lama bekerja di sini dan juga Bi Sumi merupakan tulang punggung keluarganya.

"Ya sudah kali ini kumaafkan karena aku masih kasihan dengan Bi Sumi. Tapi lain kali, kalau Irgi berulah. Enggak akan ada ampun," jawab Mas Wawan dengan tangan yang dilipat di dadanya.

Bi Sumi nampak menangis haru. Ia berjalan ke arah Mas Wawan, meraih tangannya, dan kemudian mencium tangannya.

"Ya Allah. Alhamdulillah, terimakasih ya Den," kata Bi Sumi menangis haru.

Mas Wawan menarik tangannya. Tentu saja ia merasa risih tangannya di cium oleh orang yang lebih tua. Walaupun orang itu adalah Asisten Rumah Tangga keluarganya. Namun ia merasa tak enak.

"Sudahlah Bi. Aku memaafkannya karena istriku. Berterimakasih lah padanya karena Irgi adalah kakak ipar istriku. Suami dari Mbak Arumi--kakak Arini--.

Bi Sumi terkejut bukan main begitu mendengar kalau Mas Irgi adalah kakak iparku. Ia malah semakin merasa malu padaku.

"Ya Allah Non. Maafkan Irgi. Bibi enggak tau kalau Non Arini adalah adik ipar Irgi. Jika Bibi tau dari awal pasti Bibi tidak akan memperbolehkan Irgi sampai bertemu dengan Non Arini di rumah ini," ucap Bi Sumi dengan penuh penyeselan.

"Iya Bi. Enggak papa. Nasi telah menjadi bubur. Semua sudah terlanjur. Aku juga sudah biasa kok menerima hinaan dari Mas Irgi," sahutku yang malah ujung-ujungnya mengadu soal kelakuan Mas Irgi terhadapku selama ini.

"Kok bisa sih Non? Dasar Irgi benar-benar anak enggak tau di untung," tanya Bi Sumi penasaran.

"Enggak tau juga Bi. Tanya aja sama Mas Irgi langsung," kataku tak mau meneruskan kalimatku.

"Sudahlah Bi. Lebih baik, Bibi kembali aja ke dapur. Kami sudah lelah hari ini, kami ingin beristirahat dulu di kamar," sela Ayah yang mengerti keadaan kami yang sudah kelelahan.

"I, iya. Maaf Pak," sahut Bi Sumi sambil membungkukkan badannya.

Bi Sumi berlalu dan menuju dapur. Kini kami juga akan menuju kamar masing-masing.

"Lebih baik kalian istirahat aja dulu di kamar sana. Tadi Bi Yuyun juga sudah menyiapkan kamar dan sprei baru untuk kalian," tambah Ayah lagi.

"Oke Yah," balas Mas Wawan singkat. Sedangkan aku hanya mengangguk kecil.

"Astaghfirullah Mas!" kataku sambil menepuk jidatku.

"Ada apa Dek?" tanya Mas Wawan agak cemas. .

"Dompet, ponsel, dan mahar dari Mas ketinggalan di kamarku di rumahku. Gimana dong?" jawabku panik.

"Ya sudah sekarang kita ambil aja yuk. Masa enggak di ambil? Kasihan kamu nanti," sahut Mas Wawan tanpa menyalahkanku sedikit pun atas keteledoranku. Kami tadi memang langsung pergi saja. Tanpa mengecek lagi ke kamarku barang apa saja yang ketinggalan.

**

Aku dan Mas Wawan memutuskan untuk pergi ke rumahku lagi untuk mengambil dompet, ponsel, dan maharku yang ketinggalan. 

"Kita naik mobil aja ya Sayang, supaya kamu enggak kepanasan," kata Mas Wawan ketika kami berada di garasi rumahnya. 

"Enggak usah Mas, kalo naik mobil nanti malah lambat. Mending naik sepeda motor aja, bisa menerobos macet sekalian," usulku kepada suamiku itu. 

Aku bisa sedikit membaca pikiran Mas Wawan. Ia ingin membawa mobil untuk menunjukkan kepada Ibuku dan Mbak Arumi kalau dia orang kaya. Tetapi aku tak mau mereka langsung mengetahuinya.

"Benar juga ya. Ayo buruan kita berangkat," ajak Mas Wawan.  

Aku mengangguk. Kemudian kami menuju garasi dan memakai helm berstandar SNI yang mahal. Garasi mobil Mas Wawan begitu besar. Ada dua mobil dan dua sepeda motor terparkir di sini. Mas Wawan memilih sepeda motor model matic keluaran terbaru yang berbody besar.  

'Wah pas banget nih kami ke rumahku pakai sepeda motor ini. Kan Mbak Arumi sangat mengidamkan sepeda motor matic seperti punya Mas Wawan. Hmmm, enggak bisa kubayangkan dia nanti kepanasan melihat kami,' aku membathin.  

"Hei kok senyum-senyum sendiri," tegur Mas Wawan menepuk bahuku.

"Eh, enggak kok. Yuk kita cabut," jawabku dengan semangat. 

"Siap nonaku yang cantik." 

Mas Wawan memboncengku dengan kecepatan yang lumayan kencang. Aku berpegangan di pundaknya. Seumur-umur aku baru kali ini berboncengan dengan lelaki. Apalagi lelaki ini yang sudah sah menjadi suamiku.  

"Dek, kok pegangannya di pundak," protes Mas Wawan.  

"Apaaa Mas?" tanyaku dengan berteriak karena suara Mas Wawan kurang jelas akibat angin. 

"Jangan pegangan di pundak Dek. Di pinggangku dong," pinta Mas Wawan.  

"Tapi aku malu Mas." 

"Widih, ngapain juga malu. Kan kita udah halal."

"Iya juga sih." 

Akhirnya aku meletakkan tanganku di pinggang Mas Wawan. Tetapi ia malah meraih tanganku dan melingkarkan tanganku di perutnya. Sehingga tubuh kami saling menempel.  

 

Perasaan gugup menghinggapiku. Selain itu, ada getaran lain yang menyusup kurasakan. Getaran yang tentu saja sulit kuungkapkan dengan kata-kata. Apakah ini yang namanya getaran cinta sesudah menikah yang membuat pikiranku jadi ke arah sana? 

Kami melewati jalan tempat Ibu-Ibu kampung berkumpul. Ternyata jam segini mereka masih berada di sana. Aku heran, apa mereka tidak memasak atau membereskan rumah? 

Kami melaju melewati Ibu-Ibu tukang gosip itu. Tentu saja kulihat mereka pada melongo melihat kami karena aku membuka kaca helmku ketika melewati mereka. 

Tak berapa lama kami sampai di rumahku. Mas Wawan segera memarkirkan sepeda motornya di halaman. 

Kami memasuki rumah dari depan. Tumben pintu rumah tidak di kunci. Terdengar suara perdebatan antara Ibu dan Mbak Arumi. 

"Bu, bagi-bagi dong duit yang Ibu dapat dari Arini. Aku juga perlu duit Bu. Emang cuma Ibu aja yang perlu," kata Mbak Arumi dengan nada kesal.

Kami melihat Ibu sedang memegang uang pecahan ratusan ribu di tangannya. Aku jadi heran, darimana Ibu bisa mendapatkan uang sebanyak itu. 

Kami bergegas ke kamar karena perasaanku tidak enak. Ibu dan Mbak Arumi sepertinya tidak menyadari kehadiran kami. Kulihat ponselku masih tergeletak anteng di atas nakas. Aku memeriksa tasku yang terletak di atas meja belajar yang berisi dompetku. Langsung kuperiksa dompetku dan benar saja, uang satu juta yang berada di dompetku telah raib.

"Astaghfirullah," gumamku yang terduduk lemas di samping ranjang begitu mengetahui dompetku sudah kosong. Hanya tertinggal kartu-kartu saja.

"Kenapa Sayang?" tanya Mas Wawan dengan heran. 

"Uang satu juta di dompetku hilang Mas. Kayaknya yang dipegang Ibu tadi uangku deh," jawabku lemas. 

"Ya udah kita ambil aja sekarang. Itu kan hak kamu. Terserah Ibu mau ngomong apa nanti," sahut Mas Wawan memberikan saran. 

"Percuma Mas mengambil uangku yang sudah di tangan Ibu. Kayaknya Ibu juga enggak akan mengaku kalau dia sudah mengambilnya di dalam dompetku. Maklum di rumahku enggak ada CCTV sih." 

"Sabar ya Dek. Ikhlaskan saja. Insya Allah, kamu akan mendapatkan gantinya lebih." 

"Sebenarnya enggak bisa ikhlas juga sih. Soalnya itu kan uang hasil kerjaku Mas. Aku baru aja menarik dari ATM sehari sebelum pernikahan kita."

Aku teringat dengan mahar yang kusimpan dalam lemari. Apakah aman atau uangnya juga di ambil Ibuku? Perasaanku malah jadi makin kalut seperti ini. 

"Mas, aku mau mengecek maharku di lemari. Apakah Ibu mengambilnya juga ya?" kataku penuh keraguan. 

Sementara Mas Wawan hanya santai dan senyum-senyum saja. Ia terlihat bermain dengan ponselnya yang bergambar apel di gigit keluaran terbaru. 

"Mas, aku lho lagi panik gini. Kok kamu santai aja sih? Bantuin mengecek juga dong," protesku kesal. 

* *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status