Share

Rebutan Mahar

"Ada apa nih? Kenapa kalian menghalangi jalanku?" tanyaku yang heran karena Ibuku, Mbak Arini, dan Mas Irgi sudah berada di hadapan kami.

"Mau kemana kalian? Bisa-bisanya kalian membawa barang sebanyak itu, enak sekali ya," celetuk Ibu sambil berkacak pinggang. 

"Wah jangan-jangan barang kita juga di bawa Bu! Ayo Bu, cepat kita geledah," Mbak Arumi menimpali. 

"Iya Bu, bener banget apa yang di katakan Arumi," sambung Mas Irgi yang juga ikut-ikutan nimbrung. 

Mbak Arumi dan Mas Irgi maju ke hadapanku dan berusaha merebut tas dariku. Namun Mas Wawan langsung menghalangi mereka. 

"Jangan pernah kalian sentuh lagi istriku!" kata Mas Wawan sambil merentangkan tangannya dan berdiri di hadapanku. 

"Widih mau jadi pahlawan kesiangan nih si Wawan! Ingat ini rumah kami, bukan rumahmu. Kamu tidak bisa bertindak seenaknya, apalagi membawa barang dari rumah ini tanpa seizin kami," jawab Ibu dengan ketus. 

"Ini semua barang-barangku Bu. Aku hanya mengambil barang yang ada di kamarku, tak ada satupun barang yang aku ambil di luar kamar ini," balasku membela diri. 

Mbak Arumi dan Mas Irgi melihat kami dengan tatapan sinis. Seakan mereka iri dengan kami. Apalagi tadi Mas Irgi yang sepertinya sudah tau kalau Ibunya adalah Asisten Rumah Tangga Mas Wawan. 

"Kalau kamu mau keluar dari rumah ini. Tidak usah membawa barang-barang dari rumah," Mbak Arumi menimpali. 

"Enak aja aku enggak bawa apa-apa. Hampir sebagian besar barang yang ada di kamarku adalah hasil kerja kerasku," jawabku enggak mau kalah. 

"Hah? Kerja keras apaan? Cuma di rumah aja kamu bilang kerja keras? Mana ada orang bekerja di rumah terus dapat duit. Kalau mau dapat duit tu kerja di luar rumah, kayak aku di kantor," sahut Mas Irgi dengan sinis.

"Sudah yuk Dek, kita pergi aja dari rumah ini. Percuma juga kita capek-capek menjelaskan sama mereka. Tapi mereka juga enggak pernah bisa mengerti," kata Mas Wawan yang semangat membawa dua tas besarku. Sementara aku membawa satu tas yang lain. 

Mas Irgi mencoba menghalangi Mas Wawan. Namun rupanya Mas Irgi kalah kuat dengan suamiku itu. Ia sudah merentangkan tangannya. Namun Mas Wawan mendorong Mas Irgi hingga terjatuh. 

Ia memegangi pinggangnya yang sakit. Tetapi matanya nyalang menatap ke arah Mas Wawan, tentu saja ia tak terima di perlakukan seperti itu.

"Keterlaluan, beraninya kamu mendorongku hah!" hardik Mas Irgi. 

Mas Wawan dengan cepat berjalan menuju sepeda motornya dan meletakkan dua tas besarku di depan motor. Aku ingin berjalan menyusulnya, tapi kedua tanganku di tarik Ibu dan Mbak Arumi bersamaan. 

"Mana maharmu dari Wawan? Sini berikan sama Ibu, sekalian kamu buka kunci kotaknya di hadapan Ibu," bentak Ibu sambil menarik tanganku. Sedangkan aku meronta-ronta berusaha untuk melepaskan diri. Tetapi aku kalah kuat dengan tenaga mereka yang berjumlah dua orang. 

"Enggak, enggak akan pernah aku menyerahkan mahar ini kepada kalian karena ini pemberian Mas Wawan kepadaku. Bukan hak kalian memintanya," jawabku berusaha mempertahankan mahar milikku.

"Oh gitu. Dasar anak tidak tau terima kasih! Aku berhak atas maharmu karena aku adalah Ibumu yang melahirkan dan mengurusmu," sahut Ibu yang terus memaksaku.

Mbak Arumi berusaha mengambil tasku. Namun Mas Wawan meneriaki kami. 

"Hei hentikan! Kalian apakan istriku!" bentak Mas Wawan yang melihat kedua tanganku di pegangi Ibu dan Mbak Arumi. 

Mas Wawan menghampiriku dan melepaskan kedua tanganku dari Ibu dan Mbak Arumi. Tanpa banyak bicara, ia berusaha menolongku.

"Heh berani kamu menyentuhku," kata Ibu yang geram ketika Mas Wawan melepaskan tangan Ibu dari lenganku.

Dengan cepat Mbak Arumi mengambil tasku. Aku pun tak mau kalah, aku berusaha merebut tasku dari tangannya.

Mas Wawan membantuku untuk merebut tasku dari Mbak Arumi. Tentu saja Mbak Arumi kalah tenaga dengan kami. Sehingga ia juga jatuh terduduk.

"Huh, dasar kamu ya Wan. Beraninya sama orang yang lebih tua. Awas kamu!" kata Mbak Arumi jengkel dengan Mas Wawan. 

"Irgi, tolong kami! Hajar si Wawan," perintah Ibu yang tak terima karena Mas Wawan melepas tangan Ibu dari lenganku dengan kasar. 

Mas Irgi hanya diam saja mendengar perintah dari Ibu, sepertinya nyalinya ciut karena tadi ia di dorong oleh Mas Wawan. 

"Ayo kita pergi dari sini Dek! Bisa gila kalau aku di sini terus," ajak Mas Wawan menarik tanganku dan mengajakku keluar dari sini. 

"Iya Mas. Aku juga sudah jengah dengan mereka semua," jawabku kesal. 

Kami segera berlari menuju sepeda motor Mas Wawan. Aku duduk di belakangnya dengan membawa satu tas. Sedangkan dua tas yang lain di taruh di depan motor. 

"Ayo cepat Mas," kataku menyuruh Mas Wawan untuk segera menggas sepeda motornya. 

Aku menoleh ke belakang. Nampak Ibu dan Mbak Arumi mengejar kami yang akan pergi dari rumah ini. 

"Hei tunggu! Jangan pergi dulu," teriak Ibu.

Terlihat Ibu dan Mbak Arumi berlari mengejar kami. Tetapi Mas Wawan terus melajukan motornya. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status