Share

Bukankah Banyak Anak, Akan Banyak Rezeki?

Bab 3 Bukankah Banyak Anak, Akan Banyak Rezeki?

"Mas Tian kenapa? Kok kalian nggak pulang bareng?" Nina semakin mencecar untuk mendapatkan jawaban yang bisa membuatnya puas.

"Eh, anu, itu … Tian memang masih ada proyek di sana. Malah sedang ramai-ramainya. Aku kembali karena istriku mau melahirkan kan, jadi aku sengaja ambil cuti dulu. Kasihan, ini anak pertama kami. Jadi, ya, aku rasa memang aku harus pulang, Nin. Apa Tian jarang mengabari kamu?" ujar Tono malah berbalas tanya pada Nina. Wajah lelaki itu tampak salah tingkah, sambil beberapa kali terlihat mengatur nafas dengan susah payah. 

"Apa pekerjaan di sana sedang ramai-ramainya? Wah, berarti bulan ini bisa jadi banyak uang, dong, ya!" celetuk Nina dengan wajah berbinar. Dia terlihat antusias sekali saat mengobrol dengan Tono.

"Iya, memang kan akhir-akhir ini sedang ramai. Tenaga kami banyak diperlukan untuk borongan pembangunan gedung-gedung bertingkat, perumahan, atau bahkan ruko. Malah bulan kemarin bukankah diberikan bonus ganda, ya? Tian pasti sudah mentransfernya padamu kan? Kami mendapat hampir tiga kali gaji untuk bonus saja. Ya bersyukur lah, Tian betah sekali di sana. Dia bilang akan lebih semangat bekerja untuk membahagiakan kalian. Dia juga pengen cepat pulang, tapi nanti setelah tabungannya cukup," kata Tono bagaikan angin segar yang masuk ke dalam paru-paru Nina.

"Benarkah? Dia bercerita begitu pada Mas Tono?" Mata Nina membulat. Merasa syok dan hampir saja kehilangan kata-kata. Nina sempat menyesal karena sudah berprasangka buruk pada suaminya. Sekarang, Nina jadi berpikir, mungkin saja sang suami sedang menyiapkan banyak kejutan untuk membahagiakan dirinya dan juga Hisam.

"Iya! Ya sudah, Nin. Aku buru-buru. Aku duluan, ya, Nin, permisi!" ujar Tono yang langsung saja menundukkan kepala sejenak dan berlalu begitu saja tanpa menunggu anggukan dari Nina.

"Eh, iya, Mas. Makasih ya, informasinya!" Nina sedikit berteriak agar suaranya terdengar oleh Tono.

Dari kejauhan, Tono hanya membalikkan badannya sekilas, lalu mengacungkan jempol ke arah Nina.

"Ya Allah, padahal tadi aku sempat berburuk sangka pada Mas Tian. Benar berarti dugaanku, kalau Mas Tian mampu membayar acara reuni sebesar 200 ribu rupiah, itu tandanya dia sedang punya uang. Mana mungkin suamiku pelit pada anak dan istrinya sendiri?" Nina menggumam. 

Dengan langkah bersemangat, dia kembali ke rumah. Membawa Hisam dalam gendongan dan langsung saja menuju ke Toserba, membeli susu untuk putra semata wayangnya.

Nina mengambil satu kardus susu formula dengan ukuran 200gr. Setelahnya menuju ke arah kasir. Kebetulan, di Toserba milik selebgram ternama di Kotanya itu sudah canggih. Menerima pembayaran dengan metode debit, atau e-money lainnya. Di sana juga menawarkan tarik tunai di Kasir dengan minimal pembelanjaan tiga puluh ribu rupiah. Itulah, kenapa Nina tak perlu susah pergi ke Bank, atau ke gerai ATM untuk mengambil uang jika perlunya hanya membeli susu dan perlengkapan Bisa m yang tersedia di Toserba.

"Susu formula rasa madu, untuk usia 0-6 bulan, kemasan 200gr. Benar ya, Kak? Untuk expired-nya masih bulan 10 di tahun 2024 ya, Kak? Ada tambahan lain?" tanya seorang Kasir cantik yang bernama Lisa, Nina bisa melihat dari name tag yang terpasang di saku seragam sebelah kanan.

"Iya, Mbak, itu saja. Sekalian aku mau tarik tunai 50 ribu, ya, Mbak. Nanti kembaliannya dikasih cash saja. Bisa, Mbak?" tanya Nina seraya mengulas senyuman tipis.

"Bisa, Kak. Boleh pinjam kartunya sebentar?" Lisa menadahkan tangannya ke arah Nina yang langsung saja memberikan kartu berwarna biru pada kasir tersebut.

Setelahnya, Nina memasukkan 6 digit password sebagai persetujuan. 

"Total belanjanya 39 ribu, penarikan dana 50 ribu. Jadi kembalinya 11 ribu ya, Kak. Ini barangnya, bisa dicek dulu. Terima kasih sudah berbelanja di Toserba, semoga banyak rejeki biar kembali belanja di sini ya, Kak." Lisa memberikan kantong berisi susu formula dan juga kartu ATM beserta uang kembaliannya.

"Alhamdulillah, makasih banyak, Mbak!" Nina tersenyum dan menerima dengan bahagia.

"Uangku jadi 23 ribu. Sebaiknya aku belikan telur saja seperempat, beras masih ada seliter di rumah. Semoga besok pagi Mas Tian sudah mentransfer uangnya," batin Nina seraya menggendong Hisam keluar dari Toserba.

Setelah digunakan untuk membeli telur, kini uang Nina hanya tersisa lima belas ribu, rencananya akan dia simpan untuk berjaga-jaga.

Namun, di tengah perjalanan dia bertemu dengan seorang kakek tua yang sedang membawa gasing, terlihat mengorek sampah. Hati Nina terenyuh, uang lima belas ribu dalam genggamannya langsung saja dia berikan pada kakek tersebut tanpa banyak tanya.

"Apa ini, Nak?" tanya kakek dengan pakaian lusuh tanpa alas kaki, saat Nina menyerahkan uang begitu saja.

"Ambil saja, Kek. Buat beli makan," ujar Nina seraya tersenyum.

"Ya Allah, makasih banyak, Nak. Uang ini akan saya gunakan untuk beli beras, kasihan istri saya di rumah menunggu. Mana tega saya beli makan sedangkan istri saya menunggu dengan sabar di rumah. Istri saya sakit sesak, Nak. Dia menunggu di rumah, tak boleh banyak bergerak. Anak-anak saya ada empat, tiga laki-laki dan yang bungsu perempuan, mungkin seusia kamu, Nak." Tiba-tiba tanpa diminta, Kakek itu menjelaskan pada Nina. Padahal, Nina hanya berniat memberi lalu pergi. Tapi karena ingin menghargai Kakek itu, akhirnya Nina memilih untuk mengobrol sejenak di area lapangan yang dekat dengan bak sampah umum.

"Lalu, kenapa kakek sampai menjadi pemulung seperti ini? Apa mereka hidup susah sampai tak bisa memberi Kakek dan juga istri?" Nina penasaran, kepalang tanggung. Akhirnya dia berusaha untuk mengorek informasi kehidupan Kakek.

"Semuanya hilang kabar, pernah datang sekali yang bungsu, sekitar dua tahun yang lalu. Dia datang ke sini, tapi hanya bilang kalau dia sudah cerai dengan suaminya. Dia juga bilang, akan pergi lagi merantau entah ke mana. Dia hanya minta didoakan untuk sukses dan berhasil. Dia berjanji akan kembali lagi, tapi sampai sekarang tak pernah ada kabar lagi. Saya dan istri hanya bisa mendoakan agar anak-anak diberikan kesehatan dan juga kelancaran, selalu berada dalam lindungan-Nya. Yang 3 laki-laki, malah setelah menikah sudah tidak pernah lagi datang, apalagi memberi kabar. Saya tidak akan mengganggu kehidupan mereka, biarlah saja. Yang pasti, tugas saya dan istri sudah selesai, mengantarkan mereka bertemu dengan jodoh nya dan menempuh hidup baru yang bahagia dengan keluarga kecilnya. Maaf, Nak, saya jadi cerita begini. Ini anakmu ya, usia berapa? Tampan sekali," ujar Kakek itu memandang Hisam dengan lekat.

"Alhamdulillah, iya, Kek. Ini anak pertama saya, namanya Hisam. Dia masih berusia 4 bulan." Nina tak kuasa mendengar cerita dari Kakek tersebut. Ternyata, empat orang anak saja belum tentu bisa merawat kedua orang tuanya. 

Jika Kakek itu yang mempunyai empat anak saja bisa hidup kesepian, lalu bagaimana dengan nasib dia yang hanya punya satu anak? Tiba-tiba saja terlintas satu ide di benak Nina.

"Aku harus segera bilang pada Mas Tian, sepertinya satu anak saja kurang. Mumpung usia kami masih muda. Ya, aku harus menyuruhnya pulang untuk merencanakan program hamil yang selanjutnya," batin Nina menggebu-nggebu.

Tanpa dia sadari, bahwa tidak semua pengalaman dari orang lain, menjadikan pelajaran yang cocok untuk dia contoh dan ikuti.

*** 

Waduh, Nina ini gimana? Anak satu aja, suaminya ogah-ogahan kirim uang, kok malah mau nambah. 

Ini real story ya, ditambah bubuk penyedap sedikit biar nampol hehe. Menurut kalian, akankah Tian menyetujui? Apa benar rencana yang diinginkan Nina?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status