共有

Peringatan?

作者: KIKHAN
last update 最終更新日: 2023-09-28 22:38:12

Kiran menyaksikan kekacauan itu dengan senyum licik. Ia menoleh ke Ria, “Menarik, bukan?” Suaranya dingin menusuk.

“Ngawur kamu!” tukas Ria, namun Kiran tetap diam.

Tatapannya kosong, seolah tengah menatap ke dalam jiwa yang asing. Gataka, entitas yang kini menguasai tubuhnya, perlahan mulai mengambil alih kendali. Di dalam kegelapan Gedung A1, hanya ada mereka berdua dan keheningan mencekam yang semakin menekan.

Gataka menyeringai puas. "Sekian lama aku menunggu ..."

“Bicara apa kamu, ayo ke luar!" Ria dibuat merinding, dia sangat benci semua hal menakutkan apalagi dunia perhantuan.

Setelah Ria berhasil menyeret paksa Kiran ke luar gedung berkumpul bersama yang lain, para atasan mengadakan briefieng  dan memutuskan memulangkan karyawan lebih cepat karena kerusakan jaringan listrik.

Ria amati ada yang aneh dari Kiran. Sebelumnya memang sudah aneh dan sekarang makin aneh. Bahkan senyum tipis Kiran terlihat misterius.

 “Tunggu di sini, aku ambil tas kita di loker.” Ria masuk mengambil tas kemudian segera ke luar dan memberikan tas milik Kiran kepadanya.

Tidak ada pertanyaan seputar malam ini. Minimal seharusnya Kiran terlihat panik ketakutan seperti yang lain, tapi dia tampak santai menerima tas dan berlalu melewati Ria.

Ria mematung tidak menyangka diabaikan. Badannya berbalik mengejar Kiran. "Mumpung pulang cepat, aku boleh ke rumah kamu gak? Ya kalau kamu keberatan enggak masalah."

"Boleh."

"Serius?" Kegembiraan Ria tak bisa digambarkan, baru kali ini dibolehkan main. Biasanya Kiran selalu menolak.

 Sepanjang menyusuri jalan Ria terus bercerita supaya tidak hening di gang sepi.

Ria menoleh ke kanan dan ke kiri, berusaha mengenali rumah Kiran. Setelah melewati beberapa rumah, mereka akhirnya berhenti di depan sebuah rumah. Pagar cokelat setinggi dua meter mengelilingi rumah itu, menciptakan kesan tertutup. Lampu-lampu di dalam padam, hanya cahaya remang-remang dari luar yang menerangi halaman depan.

"Ini rumah kamu?" tanya Ria, matanya melotot keheranan menangkap seorang pria sedang berdiri membelakangi tepat di depan rumah Kiran.

 Pria itu tampak bekerja di pabrik yang sama dengan mereka. Dari warna seragamnya, abu gelap, jabatannya lebih tinggi dari mereka.

Ria menunjuk pria di sana. "Itu siapa?"

Suara Ria membuat pria itu membalikkan badan lalu tersenyum tipis selagi menghampiri mereka berdua.

"Kamu punya saudara laki-laki?" tanya Ria, maju sangat percaya diri mengulurkan tangan hendak memperkenalkan diri. "Saya Ria Pramitha, teman Kiran."

Sorot pandangan pria itu hanya tertuju ke Kiran seolah-olah menggali prasangka yang dia ketahui. "Saya Ranu. Dan saya bukan saudaranya."

Ria cepat menarik tangannya yang terlanjur mengambang di udara kemudian memalingkan wajah menahan malu. "Oh, bukan.”

Ranu memindai Kiran dari atas sampai bawah, lalu tersenyum sinis mengartikan sesuatu. “Akhirnya bisa ketemu juga.”

Ria menoleh bingung ke Kiran karena pandangan Ranu ke arahnya saat bicara.

“Kamu mengatakan itu seolah sudah lama mengenal aku.” Gataka tersungging membalas senyum sinisnya, sudut bibirnya terangkat membentuk lengkungan yang dingin.

Dahi Ranu berkerut, senyum penuh sambutan itu pudar perlahan. Ria yang menganga plonga-plongo, hanya bisa terdiam menyimak percakapan mereka.

“Sebaiknya kamu langsung pulang,” lanjut Ranu, suaranya dingin menusuk.

Dengan menunjuk wajahnya sendiri, Ria seolah bertanya pada dirinya sendiri. “Aku?” Setelah itu, dia mengangguk cepat. “Oh, iya pulang. Kiran, aku duluan,” ucapnya sambil melambaikan tangan, lalu berlalu dari tempat itu.

Sorot mata Ranu menahan kebencian dan amarah berhubung bukan jiwa dari raga asli yang bicara. Tidak tahu apa yang bisa dilakukan jika mengulur waktu buat pergi, Ranu melewati Kiran dan mengambil arah yang sama dengan Ria, langkahnya cepat dan tegas.

Ria terkejut Ranu berjalan di sebelahnya. “Kamu ngapain ngikutin aku?”

"Jangan kegeeran. Saya ngekos di sekitar sini,” ungkap Ranu, segera klarifikasi.

Ria cuma tanya barangkali dia berniat mengantarnya ke kosan. “Aku juga ngekos.”

Ria sudah sampai di depan kosannya yang identik dengan warna biru muda berlantai dua. Hal menakjubkan berikutnya adalah kosan Ranu tepat di depan kosan Ria. Mereka berdiri di depan kosan masing-masing.

“Kamu tinggal di situ?” Ria menarik satu sudut bibirnya, matanya berbinar penasaran. Kenapa dia tidak tahu ada penghuni kos pria se-rupawan Ranu selama ini padahal bekerja di pabrik setahun lebih? Kok aku nggak pernah lihat dia sebelumnya? Gumamnya dalam hati.

Ranu akhirnya mendekat, takut ditegur berisik oleh penghuni lain.

"Kapan kalian mulai dekat?" tanya Ranu, tidak ingin basa-basi panjang dan bertanya ke inti.

"Hampir tiga bulan."

"Gak merasa ada yang aneh?" pancing Ranu, memastikan Kiran berdampak buruk baginya atau tidak.

“Enggak. Tunggu, kenapa kamu mengusut hubungan kami berdua?" selidik Ria, sedangkan mereka baru pertama kali bertemu. Ria sempat mengira Ranu kakaknya Kiran karena menunggu di depan rumahnya. Ternyata mereka orang asing. Kebetulan juga kosan mereka di daerah yang sama.

Apa pun itu, Ranu ingin memberikan saran. "Jangan terlalu dekat dengan Kiran.”

Bersambung...

この本を無料で読み続ける
コードをスキャンしてアプリをダウンロード

最新チャプター

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Hanya Ingin Kedamaian

    “Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Diakhiri dengan Sempurna

    Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Perjanjian Anwalira dengan Cenayang Minada dan Vilas Hirawan

    Perjanjian awal, tahun 2000... “Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban. Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga. Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan. “Mengapa tidak me

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Kobaran Api Melahap Rumah Kiran

    Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Alasan Angga Berada di Sisi Mereka

    Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Vilas Mengancam Kiran dengan Menggunakan Ria

    Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.

続きを読む
無料で面白い小説を探して読んでみましょう
GoodNovel アプリで人気小説に無料で!お好きな本をダウンロードして、いつでもどこでも読みましょう!
アプリで無料で本を読む
コードをスキャンしてアプリで読む
DMCA.com Protection Status