Share

Manusia dengan Takdir Mengenaskan

Alhasil habis menangis di pojokan pintu, Kiran tidak bisa tidur sama sekali. Ini yang dinamakan menenggelamkan diri ke laut. Masuk kerja malam tapi paginya jogging, siangnya nangis, sorenya bersih-bersih rumah.

Lantas apa yang diharapkan dari karyawan yang mengantuk berat sedang bekerja? Target? Haha. Menahan mata supaya tidak terpejam saja memberi efek pusing, mual, dan sebagainya.

Sering terjadi saat mengantuk dia dikejutkan dengan hantu seliweran. Kiran cuma berharap tidak halusinasi setelah kemarin dirasuki.

Apa solusi dari mengantuk selain tidur? Kopi. Kiran berangkat 10 menit lebih awal agar sempat beli es kopi di warung pangkalan depan pabrik.

Di depan gang ia bertemu Ria. Mereka sama-sama terkejut papasan tanpa janjian.

Usai tersenyum awkward, Ria mengaitkan tangan kanannya ke tangan kiri Kiran.

"Barengan."

"Aku mau mampir beli kopi. Mbak, mau?"

"Tumben. Aku sudah bawa." Ria mengangkat totebag transparan yang berisi tumbler dan bekal makan. "Kalau bilang aku bikinin sekalian."

"Kapan-kapan."

Sambil menunggu Kiran beli kopi, Ria mengambil kesempatan perhatikan jalan barangkali Ranu lewat.

"Nunggu siapa, Mbak?" tanya Kiran ikut lihat motor karyawan lalu lalang memasuki gerbang pabrik.

Ria menyangkal dengan gelengan kepala. "Gak. Jalan aja."

Kiran mengangguk, tahu apa yang di pikirannya. "Mbak, suka kopi pahit atau manis?"

Ria menjawab, "Pahitnya kehidupan udah bikin muak. Kopi susu paling top."

Sepertinya hubungan Ria dan suami tidak tertolong sampai pahit kopi dipadankan kehidupan. Memang sekeras itu.

"Tapi aku lebih suka kopi pahit," kata Kiran.

"Ya, selera masing-masing."

Lagi menikmati obrolan ringan mereka sontak terlonjak karena suara berat lelaki dari arah belakang.

"Jangan melebihi batas jalur pejalan kaki kalau gak mau keserempet motor."

"Siapa tuh?" Ria memegang dada kirinya, kaget sambil nengok lihat siapa yang bicara dari suaranya kedengaran familier.

"Eh, iya." Kiran yang merasa melewati batas pejalan kaki langsung menepi ditarik Ria.

"Ada Mas Ranu." Ria mencubit-cubit lengan Kiran gemas ada Ranu. Pucuk dicinta ulam pun tiba.

"Iya, Mbak." Diam-diam Kiran mengusap lengannya, bekas cubitan Ria panas juga.

Sudah cuma itu saja interaksi kecil mereka. Ranu mendahului dua perempuan yang memperlambat jalan usai ditegur. Kiran mendesah kecil Ria salah tingkah bertemu orang yang dinantikan.

"Mbak baru cerai sudah naksir cowok lain." Sumpah Kiran bukan menyindir.

"Jangan bahas di sini takut ada yang dengar. Bahaya tahu."

"Bahaya kalau Mas Ranu tahu, mbak gak bisa dekat-dekat dia lagi?"

"Hehe, iya."

"Memang belum berkeluarga ya? Kelihatannya tua gitu."

Ria tidak terima Ranu dibilang tua. "Lebih tepatnya dewasa. Aku kemarin tanya perempuan kamar sebelah. Mas Ranu belum nikah."

"Beruntung banget mbak punya kesempatan," ucap Kiran mendukung.

"Iya, kah? Makasih, lho." Apa karena lampu di jalan lumayan remang-remang jadi Ria baru lihat jelas muka Kiran rada sembap. "Eh, kamu habis nangis?"

Kiran refleks memalingkan wajah. "Bangun tidur."

"Masa sih? Kemarin gak gini."

Ria mau cek muka Kiran lagi tapi personalia yang biasa berdiri depan pos pemeriksaan meneriaki mereka.

"Lima belas menit lagi masuk, buruan jalannya!" Begitu katanya.

"Cepat, Mbak. Mbak sih kelamaan natap Mas Ranu," gerutu Kiran berlari kecil.

"Kok aku? Kamu beli kopi kelamaan!" omel Ria kewalahan mengejar.

***

Selama bekerja Ria dan Kiran menjaga hubungan dengan profesional. Malam ini banyak barang tinggalan lawan shift hingga mereka keteteran. Baik Kiran atau Ria tak banyak bicara, mereka sibuk mengurus barang masing-masing.

Leader mereka sangat bawel, sedikit-sedikit tanya sudah dapat target berapa. Coba rasakan gimana cepatnya tangan mereka, mana kadang mesin trouble.

Menjelang istirahat jam 1 dini hari, mesin Ria mengalami trouble. Sudah diasah masih belum bisa seset komponen.

"Mbak, di mesin aku dulu. Coba aku setting mesinnya." Kiran menawarkan bantuan. Mereka jalan komponen yang sama. Lagi keteteran begini yang jalan cuma satu mesin pasti makin numpuk barang di belakang.

"Kamu bisa?"

"Dicoba."

"Ya sudah nih."

Mereka bertukar tempat. Ria tersenyum atas kebaikan Kiran. Kiran mengotak-atik mesin Ria supaya benar.

Namun, penglihatan Kiran mendadak gelap usai mengasah mesin. Gelap secara berkala. Dari yang jernih ke buram, kemudian menggelap perlahan.

"Sudah betul mesinnya, Kiran?" tanya Ria.

"Sebentar, Mbak." Kiran mengucek mata barangkali sebab mengantuk matanya gini.

Akhirnya sesaat setelah gelap sempat jernih kembali, Kiran mencoba seset satu komponen sebelum penglihatannya aneh.

Ria melirik Kiran sedang mengetes mesin. Matanya membelalak ketika jari Kiran dekat sekali dengan pisau mesin. "Awas jari kamu, Kiran!"

Srett!

Kiran meringis bagian bawah jari manisnya kena pisau yang sedang berputar.

Segera Ria matikan mesinnya dan melompat dari kursi memeriksa apakah lukanya kecil atau lebar. "Pasti sakit. Coba aku liat!" Ria mendapati darah keluar dari jari yang terluka lumayan banyak. "Harus diobati di klinik ini."

Pabrik mereka menyediakan klinik 24 jam untuk karyawan.

Kiran hampir meneteskan air mata dapat perhatian besar dari Ria. Mungkin karena keributan Ria, leader mereka datang.

"Kenap—Kamu kena mesin? Langsung ke klinik gih," ujar Hilda khawatir darahnya mulai menetes. "Dini hari gini mbak temenin sana."

"Terus yang lanjutin garap siapa kalau kita berdua ke klinik?"

"Aku bisa pergi sendiri," pungkas Kiran tak mau mereka suruh-suruhan saat penglihatannya kembali normal.

Tepat ketika Kiran berdiri hendak ke klinik entah bagaimana mulanya Ranu lewat menenteng persediaan P3K dan langsung menarik Kiran pergi dari sana.

"Basuh dulu darahnya," ujar Ranu.

Ria ternganga Ranu tampak pahlawan di matanya sekarang. "Gimana gak makin naksir coba."

Hilda mendengar itu langsung mengageti lamunan Ria. "Ingat lagi kerja, Mbak."

"Oh iya." Ria harus minta penjelasan setelah Kiran kembali.

**

Kiran memerhatikan tangannya yang dipegang Ranu saat membersihkan darah luka. Sebetulnya menurut Kiran lukanya tidak seberapa dan bisa langsung diplester setelah dialiri air bersih. Tetapi memang perihnya luar biasa, angin lewat saja bisa masuk menusuk sendi lewat pori-pori yang terluka.

"Lebih hati-hati berhadapan sama mesin. Mesin yang kamu pegang kecil tapi dalamnya ada pisau."

"Iya."

Beruntung kamar mandi tersedia wastafel tanpa pintu penutup. Setidaknya tidak ada yang masuk toilet dengan kaget ada pria di wastafel perempuan.

Depan toilet ada bangku yang bisa diduduki karyawan waktu istirahat buat sekadar makan, ngopi, atau berbincang.

Mereka duduk di sana. Ranu mengeluarkan beberapa perlengkapan. Pertama ia meneteskan cairan antiseptik ke kapas dan menyuruh Kiran memencet pelan lukanya selama 10 menit supaya pendarahan berhenti.

Dalam waktu selama itu Kiran mengisi pikiran dengan pertanyaan menumpuk. Haruskah sepulang kerja ia periksa ke klinik apakah matanya bermasalah dan mengapa tiba-tiba pandangan menggelap?

"Orang yang mudah membaca pikiran orang lain justru susah memahami diri sendiri."

Kiran membatin bingung Ranu sedang menyindirnya atau membicarakan diri sendiri. Jika kelebihan mereka sama, artinya kekurangan yang dimiliki tak jauh berbeda.

"Saya bimbang mau menyalahkan kamu atau bersyukur. Teknisi bekerja keras ganti semua lampu yang pecah. Di sisi lain saya bersyukur Gataka muncul."

Kiran hampir lupa masalah yang disebabkan olehnya. Ia bisa bekerja sekarang dengan lampu baru.

"Darahnya sudah berhenti?"

Kiran mengangguk. "Lumayan."

Langkah berikutnya Ranu memberi obat merah dan membalut luka dengan kasa sangat rapi diakhiri plester supaya tidak mudah lepas.

"Teman kamu kenapa lihatin saya terus?" Bukan sok kepedean, memang kenyataannya begitu.

Kiran lantas melihat dari tempatnya Ria sedang melongok penasaran ke arah mereka.

"Bilang jangan khawatir. Gak sampai dijahit." Ranu membereskan benda yang dipakai untuk dibawa ke kotak tiap bagian yang kehabisan stok. "Saya harus ke bagian cutting naruh ini. Kamu bisa kembali ke mesin. Kalau nanti pagi masih berdarah lebih baik periksa ke klinik."

Ranu beranjak meski belum mendapat jawaban dari Kiran. Di belakangnya ia bergumam sinis, "Dia bahkan gak berterima kasih. Apa ini sikap anak muda zaman sekarang."

Kiran memandang kosong kebun di gedung seberang kemudian lehernya memutar ke samping.

"Gak perlu menunggu bulan purnama, aku mempercepat pertemuan kita." Gataka merasuki Kiran.

Ranu menghadap ke belakang, mendadak suasana hatinya dikuasai amarah mengetahui Gataka merasuki Kiran bukan di waktu purnama.

Kiran sedikit memiringkan kepala sembari menarik satu sudut bibirnya menunjukkan tangan yang baru diobati Ranu.

"Ini belum seberapa." Gataka senang caranya menarik perhatian Ranu berhasil.

"Sialan." Ranu mengumpat dengan senyum palsu buatannya. "Kamu yang melukai dia?" tanyanya.

"Perhatian kamu gak terlalu buruk." Kiran melihat-lihat hasil karya tangan Ranu.

"Kamu yang dirugikan andai tubuhnya rusak. Jangan coba-coba memancing saya. Saya pasti melenyapkan kamu cepat atau lambat."

Kiran bangun mendekati Ranu bermaksud memberi hadiah di pertemuan kedua mereka.

"Bosan sekali mendengar kalian mau melenyapkan aku padahal tidak tahu caranya." Gataka bahkan menahan semburan tawa mengejek.

Kiran mencengkeram pergelangan tangan Ranu. Apa yang dilihat Ranu selanjutnya adalah beberapa klip sebelum orang tuanya kecelakaan mobil.

Dalam mata terbuka Ranu bisa melihat apa yang dilihat Gataka jika mereka bersentuhan. Gataka pasti menginginkan penderitaan dari duka yang tersisa.

"Bersyukur kamu diberi penglihatan dariku. Aku mau kasih Kiran hadiah seperti ini, tapi yang dia lakukan hanya menangis mengenang kematian Tarendra. Apa begitu menyakitkan?"

Gataka tidak bisa merasakan simpati. Dia roh jahat yang merasuki dan menyerap energi buruk manusia.

Rahang Ranu mengeras diperlihatkan bagaimana kecelakaan terjadi sementara dia mencari Gataka hampir lima tahun. Kini sudah terbalaskan usahanya.

"Jadi kamu yang mengendalikan ayah saya." Pria itu mencoba tegar di atas kemarahan terpendam.

Gataka hidup di tubuh perempuan malang. Kiran yang tidak tahu apa pun terseret ulah Gataka.

*

Terlalu lama di luar sana Ria curiga luka Kiran parah. Ia menyusul dengan alibi ke toilet. Semakin dekat mereka Ria merasa atmosfer sangat dingin.

"Luka kamu parah banget, Kiran?"

Ranu menyetop Ria supaya tidak terlalu dekat. "Cukup berdiri di sana."

Dari cara pandang dan senyum Kiran kepadanya membuat bulu kuduk Ria otomatis berdiri merinding.

"Kiran .." Ria mundur selangkah Ranu mengangguk dua kali sebelum lanjut bicara.

Gataka berkata, "Menariknya tiga manusia dengan takdir mengenaskan berkumpul."

Ranu tahu kemungkinan yang dialami keluarga Kiran tidak jauh berbeda dengan keluarganya. Namun mengenai Ria, apa yang sudah menimpanya?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status