Share

Penemuan Mayat di Pabrik

Kepala Kiran rasanya berkedut dan sakit sekujur tubuh usai terbangun di atas bed klinik. Ia pernah istirahat di sini pas nyeri haid, jadi langsung mengenali tempatnya berada.

"Kenapa aku di sini? Kerasukan lagi?" lirihnya turun pakai sepatu. Setelah lihat jam dinding yang terletak di atas pintu masuk menunjuk angka enam lebih lima belas menit, dirinya buru-buru berdiri

Ria masuk ke bangsal klinik membawakan teh hangat untuk Kiran dan melihat dia mau pergi. "Mau ke mana? Duduk dulu."

"Ini pagi atau sore, Mbak?"

"Kalau sore kamu bukan di sini lagi, tapi kamar mayat."

Masuk akal. "Pagi ya." Kiran diajak duduk di kursi tunggu dekat meja resepsionis sambil menyeruput teh buatan Ria.

Ria menyukai klinik sebab ber-AC. Tidak panas seperti di luar maupun dalam gedung pabrik. "Mau langsung pulang atau sarapan di warung dulu?"

“Langsung.” Cangkir teh ia sodorkan kembali pada Ria. Pertanyaan selanjutnya, "Aku kerasukan lagi pas kerja, Mbak? Tapi seingat aku terakhir lagi ngobrol sama Mas Ranu.” Kiran spontan memegang kepalanya yang berkedut.

“Ya ampun,” gumamnya geleng-geleng kepala. "Kamu kerasukan gak lama kemudian, terus pingsan." Ria mengusap tangan kedinginan. “Kiran," panggilnya serius.

"Ya?"

“Gataka bisa muncul kapan saja?”

“Hah? Kenapa tanya itu, Mbak?”

“Gak apa-apa. Aku penasaran sedikit.”

“Kapan pun semaunya.”

"Kamu bisa panggil Gataka sekarang?"

Tidak salah dengar Kiran diminta panggil roh jahat berbahaya? Di sini cuma ada mereka dan satu dokter jaga. Suasana masih pagi, sepi, serta tidak bisa diprediksi akan berbuat apa jika biasanya datang sendiri kemudian dipanggil.

"Aku kerasukan, bukan sengaja dirasuki, Mbak."

"Ahh." Ria manggut-manggut membenarkan ucapannya. "Ada masalah apa kira-kira antara Mas Ranu sama Gataka? Semalam kalian ngobrol Mas Ranu kelihatan goyah. Aku mau marahin kamu tapi gak bisa walaupun tahu lagi dirasuki Gataka. Kiran, aku rasa kamu gak saat bulan purnama saja kerasukan."

Tentang itu Kiran akui kebenarannya. Gataka lebih sering mengambil alih tubuhnya sesuka hati tak seperti dulu lagi. Gataka berevolusi setelah kelalaian Kiran keluyuran waktu purnama.

"Aku ke toilet sebentar."

"Ngapain?" Ria cuma spontan. "Jangan lama-lama." Orang ke toilet kalau bukan buang air kecil ya buang air besar. Kiran pasti malu ditanya mau apa ke toilet. Ria merutuk dalam hati.

Cklek! Pintu klinik dibuka dari luar oleh seorang pria.

"Teman kamu mana?" Dia Ranu.

Ria sigap berdiri seolah menyambut kedatangannya. "Lagi ke toilet." Suaranya sengaja diperhalus guna memikat walaupun tidak mempan.

Tanpa basa-basi Ranu berjalan lurus mengarah tempat yang dikatakan Ria.

"Lho, mas mau ke toilet perempuan? Mas!" Ria kejar si Ranu.

Di dalam toilet Kiran memantapkan hati berkomunikasi dengan Gataka lewat media cermin. Keran tiga wastafel sengaja dibuka supaya meredam suara dari luar.

Tidak ada yang salah dengan pantulan Kiran, awalnya. Beberapa detik kemudian kabut hitam mengelilingi bayangannya menandakan kehadiran Gataka.

"Apa lagi yang kamu mau? Kamu janji gak melibatkan siapa pun!" Kiran berteriak kesal memegang erat sisi wastafel.

Wujud pantulannya menyembur tawa kecil meremehkan pertanyaan sang inang. "Memang apa yang aku lakukan? Dia mau bertemu, aku hanya mempercepat waktunya. Di mana kesalahanku?"

"Kamu bilang apa ke Mas Ranu dan Mbak Ria?"

Gataka berdecak heran sekaligus mencemooh keadaan sulit yang dialami pemilik tubuh. "Satu yang aku gak mengerti dari situasi kita. Aku dan kamu berada dalam satu tubuh. Aku melihat, mendengar, merasakan semua di sekitarmu. Sekadar mengingat ucapanku kamu gak mampu. Aneh sekali.”

Apa sangat menyenangkan bermain-main dengan hidup mereka setelah menghancurkan hidupnya.

Gataka melanjutkan, “Aku cukup terhibur melihat kebingungan kamu, Kiran.”

Wajah Kiran merah membendung emosi. Kedua pelupuk matanya dipenuhi penyesalan tidak teliti bertindak.

"Negosiasi kita sudah berakhir sejak kamu gegabah berkeliaran saat purnama." Gataka menertawakan ironisnya penyesalan berlarut manusia. "Seharusnya kamu berlari ke perempuan yang sebentar lagi bercerai dan menghiburnya bukan berlari menemui aku. Ck, susah sekali menjelaskan panjang lebar padamu."

"Kamu sebut itu negosiasi?" Kiran tidak pernah menginginkan Gataka dalam hidupnya. "Aku bersumpah mengusir kamu dengan tanganku sendiri, Gataka."

Wajah Gataka mendekat ke cermin. "Coba saja. Kalau kamu tau caranya." Selama Kiran belum tahu caranya Gataka bersantai ria menikmati kesengsaraannya.

"Satu pertanyaan sebelum aku pergi. Kalau aku mati, kamu akan lenyap?" Atau berpindah ke tubuh orang lain? Kiran menutup mata tidak bisa meneruskan pertanyaan. Penglihatannya memburuk lagi.

"Kamu berniat mati?" Gataka tampak tidak peduli. "Gak mudah membiarkan kamu mati, tapi mudah membuat kamu sengsara sampai ingin mati. Sudah cukup jangan uji kesabaranku." Gataka merasakan kehadiran Ranu mendekat ke tempat mereka sekarang. "Pria menyedihkan berlagak tabah itu sangat mengkhawatirkanmu. Kiran, jaga dia jangan sampai temanku mengincarnya ... seperti ayahmu. Hahahaha."

Teriakan Kiran menembus luar toilet ketika ayahnya disebut hingga terdengar oleh Ranu dan Ria di belakangnya.

Emosi meledak-ledak itu mengarahkan tangannya mengambil batu hiasan berukuran sekepal tangan di dekat ventilasi dan melemparnya ke cermin hingga remuk supaya Gataka menghilang dari pandangannya.

Rambut Kiran basah oleh keringat dinginnya sendiri berlawanan dengan makhluk tak tahu diri. Energi yang dikeluarkan tak sepadan dengan energi yang masuk menyebabkan ketidakseimbangan tubuh. Semakin drop, Kiran semakin mudah dikendalikan Gataka. Ingat Kiran sulit tidur, sering menangis, melamun, dan amarahnya mudah sekali terpancing setiap ayahnya disebut. Hal itu memicu kesenangan tersendiri bagi Gataka.

Gebrakan dari luar pintu yang terkunci dari dalam langsung menggerakkan kaki Kiran untuk membukanya.

Ria berada di belakang Ranu menutup mulutnya yang terbuka lebar.

"Kiran!" Ria akan mengingat seumur hidup kekacauan yang ia lihat saat ini. Pecahan kaca berserakan, air keran meluap dari wastafel, juga keadaan memprihatinkan Kiran.

"Kamu bawa dia pulang sekarang," tutur Ranu menyerahkan Kiran ke sahabatnya.

"Te-terus ini siapa yang beresin pecahan kacanya?"

"Saya panggil OB."

Badan Kiran gemetar, sorot matanya kosong menatap ke bawah. Ranu mengisyaratkan Ria supaya cepat pergi. Ia masuk mematikan keran wastafel lalu ke luar meminta bantuan OB bersihkan serpihan kaca berserakan.

Ria mengambil jaketnya di luar untuk menutupi bagian belakang punggung Kiran. "Apa yang terjadi sampai kaca pecah gitu? Coba liat tangan kamu luka gak?"

Kiran menyembunyikan tangannya. "Aku mau pulang sendiri, Mbak." Kemudian ia berlalu meninggalkan Ria.

Perlakuan macam apa itu setelah ditolong? Perhatian yang Ria kerahkan percuma?

"Kita searah." Kiran benar-benar mengabaikan panggilannya. "Kiran!" Akhirnya dia kejar dan balikkan badan Kiran supaya buka suara apa yang dialami di toilet tadi. "Kamu kenapa?"

Kiran menggigit bibir bawahnya sambil memikirkan semua resiko ke depan apabila terus seperti ini.

"Kamu tuli? Aku gak bisa bantu kalau kamu gak terbuka, Kiran!"

Teriknya matahari tidak menghalau keingintahuan Ria yang sangat ingin menolong Kiran.

"Kalau begitu jangan bantu aku, Mbak. Gataka tahu semuanya. Dia tahu asal-usul Mas Ranu. Dia tahu masalah yang mbak hadapi."

Cukup mengejutkan Kiran agak meninggikan suara tiap kalimat. Ria semakin ingin menyelesaikan masalahnya.

"Terus apa ketakutan kamu? Aku gak apa-apa perceraian ini terbongkar. Aku gak keberatan suatu saat Gataka bilang ke semua orang aku janda. Memang itu gak bisa selamanya dirahasiakan. Aku sadar akan resikonya."

"Mbak dan Mas Ranu bukan incaran Gataka," ucap Kiran frustasi.

Ria prihatin dengan kondisi Kiran. "Biarin aku antar kamu pulang. Pikiran kamu lagi berantakan. Aku gak mau di jalan kamu kenapa-kenapa! Pulang ... istirahat, lupakan kejadian hari ini kalau bisa ambil cuti sehari." Ria merengkuh Kiran yang menangis sesegukan.

***

Di tempat tinggalnya Ria memikirkan kondisi Kiran. Semoga dia tidak berangkat kerja nanti malam. Tapi siapa yang membantunya menyelesaikan barang-barang sial*n? Tidak ada yang secepat Kiran. Leader jahanam seperti Hilda mana mau tahu kesusahan anak buahnya. Di otak Hilda cuma ada target, target, target!

"Diingat-ingat ucapan Gataka bajing*n itu ngeselin juga. Apa katanya? Manusia dengan takdir mengenaskan?" Enteng sekali mulut kepar*t itu. "Justru beruntung bisa lepas dari lelaki gak bertanggungjawab kayak dia. Seenak jidat bilang hal gak baik di depan Mas Ranu."

Ria duduk di kasur berbicara sendiri berakhir menendang angin kesal.

"Kelihatan jelas muka Mas Ranu kaget pas Gataka sebut takdir mengenaskan. Apa yang terjadi sama Mas Ranu? Cerai juga? Ah mana mungkin, kan dia single."

Tok! Tok!

Jantung Ria rasanya melompat ke luar mendengar pintu kamar diketuk.

"Sebentar!"

Dengan malas-malasan Ria bangun membuka pintu, seperdetik kemudian dia berbalik menata rambut semaksimal mungkin dan memeriksa bau mulutnya. Tahu yang datang orang ganteng dia dandan dulu. Kenapa harus pas bangun tidur begini coba.

"Saya tunggu di luar kos. Gak enak ngobrol di sini kalau ada yang liat."

"I-iya, Mas."

Ria tersenyum pelan-pelan menutup pintu. Dia jingkrak-jingkrak kesenangan kedatangan Ranu yang barusan melintasi hati dan pikirannya yang suci.

"Kenapa gak kabarin dulu? Aku malu banget astaga." Ria melihat wajahnya di kaca lemari. "Gak terlalu buruk tapi tetep aja burik gak dandan. Ahhhh!" Ria mengontrol dirinya. "Sekarang siap-siap, Ria. Harus maksimal depan cowok ganteng!" Sadar menghadap kaca, dirinya teringat Kiran. "Gataka sial*n."

**

Ranu berdiri bersandar di samping pagar. Alasan ia tak ingin bicara di dalam karena kurang leluasa. Membahas roh jahat dan Kiran di tempat terbuka cukup berpengaruh mendinginkan pikiran.

Setelah Ria menemuinya, Ranu mencari spot tempat duduk yang teduh.

Kepribadian yang sama dari dua orang ini adalah sifat pemalu. Ranu murni bingung mulai cerita dari mana. Ria kagok dihampiri sampai lidahnya kelu.

Kalian tahu Ria bukan tipe pemalu seperti yang disebutkan. Hanya depan Ranu dia malu karena takut memalukan apabila bertindak gegabah.

"Ada yang mau saya tanyakan sedikit," jeda Ranu. "Kalau keberatan gak perlu dijawab."

"Ohh ..." Ria mengurangi harapan tinggi pada Ranu. Tujuan Ranu mendatanginya pasti berhubungan dengan roh jahat. "Silakan."

"Umur kamu berapa?"

"Dua puluh ... Enam," lirihnya di akhir.

Ranu mengangguk satu kali. "Tentang teman kamu," lanjut Ranu. "Saya rasa dia kesulitan mengontrol Gataka."

Ria pun merasa bersalah atas hal itu. Gara-gara semangat punya teman baru Kiran lupa lihat kalender bulan.

"Ada kalanya jalan gak mulus. Jangan menyalahkan diri sendiri." Sisi baiknya cuma satu. Ranu bertemu Gataka secara langsung. Tak sia-sia memburu jejaknya selama ini.

Ria sebetulnya penasaran bagaimana awal mula Ranu mengenal roh jahat. Kiran pun belum menceritakan keseluruhan tentang Gataka. Ria malu bertanya, takut disangka terlalu ikut campur.

Masalahnya adalah ... Gataka tahu segalanya.

“Saya gak bisa baca pikiran orang lain seperti teman kamu. Jadi kemungkinan rahasia kamu tetap aman di tangan Gataka."

“Kiran bisa baca pikiran orang?” Hebat, batinnya.

Ranu lebih kaget atas reaksi Ria. “Karena kemampuan Gataka menyatu ke tubuhnya."

Seketika Ria ingat bisikan Kiran kala pertama kali mereka mengobrol. 'Mbak gak perlu menyesal. Biar suami mbak menerima resikonya. Aku tahu mbak diperlakukan gak adil, aku dukung kamu, Mbak' begitu ucapannya.

Refleks tangannya terangkat dan mendarat mulus di badan Ranu.

Plak!

“Itu sebabnya!” Ria kagum punya teman istimewa satu seumur hidup.

“Sebab apa?” beo Ranu mengusap lengan atasnya yang panas.

“Oh? Enggak.” Kepala Ria berpaling dari tatapan intens Ranu dan teriak dalam batin. “Gila, Kiran. Berarti dia tau semuanya tentang aku dong? Semuanya?!”

“Ternyata kamu gak tau apa-apa tentang dia. Bukannya kalian berteman?”

“Kok tahu, Mas?”

“Kelihatan jelas di wajah kamu,” tunjuk Ranu ke wajah Ria yang polos dan bingung bersamaan.

Dahi Ria berlipat heran baru sadar Ranu tidak pernah menyebut nama Kiran.

“Mas dari awal sebut teman kamu-teman kamu. Dia punya nama. Kiran, k-i-r-a-n.” Ria mengeja namanya.

Ranu mendehem terpojok ketahuan.

“Jangan-jangan mas juga gak tahu nama saya,” imbuh Ria.

Ria kesal sekadar ingat nama tidak sesulit dia mencari Gataka.

**

Tanah kebun di belakang gedung A1 memang tidak rata. Di malam itu salah satu satpam sedang patroli melihat kerukan tanah yang memanjang dan tanpa lama langsung bertanya ke rekan sesama timnya yang bertugas shift malam melalui HT.

“Pak, ada yang gali tanah buat tanaman ya?” Sebut saja Pak Imron. Satpam yang biasa jaga di pos pemeriksaan merasa janggal dengan tanah yang digali itu.

'Gak ada. Siapa yang nanam tanaman malam-malam begini. Keinjak karyawan kali.'

“Ya udah.” Pak Imron lewati bagian itu sambil keheranan. Masa iya terinjak kaki sampai mencelos ke dalam. Seberapa panjang jejak kakinya sampai muat mengubur orang.

Di samping kebun kecil adalah toilet perempuan. Pak Imron menegur karyawati yang naik menginjak tanah saat melempar sampah ke tong.

“Eh, kamu! Sudah ada tulisan dilarang menginjak tanah masih diinjak juga," ucap Pak Imron.

Ria habis makan snack di jam kerja. Dia acuh dapat teguran. “Bukan cuma saya kenapa saya doang yang ditegur?" Matanya memindai sekitar. "Liat itu tanah di sana, Pak. Mending cari orang yang injak-injak tanah di sana. Yang nginjak pasti raksasa tinggi besar sampai jeblos begitu."

Wajah garang Pak Imron tak membuat Ria takut apalagi jera.

Ria lihat lagi tanahnya, ada kain yang dia pikir sampah. “Bapak lihat sampah bukannya diambil malah cuma numpang lewat.”

"Eh, kok iya? Saya gak lihat karena gelap."

"Alah, alasan."

Akhirnya Ria ambil kain tersebut.

“Aduh! Kok makin diinjak, Mbak??”

“Tanggung, Pak.”

Sett!

Ria menjerit kala kain tersingkap ia lihat pergelangan tangan mencuat dari dalam tanah.

“Aaaaa! Bapak ada tangan orang!!”

Pak Imron menyalakan senter dan melihat juga. Beliau segera memberitahu kawan-kawannya lewat HT.

"Mohon bantuannya di gedung A1 terlihat kerukan tanah mencurigakan—" Belum selesai bicara sudah ditertawakan rekan sendiri. "Ada tangan manusia yang ke luar dari tanah! Bangs*t."

Ria langsung turun dan mendesak Pak Imron. “Ada orang di dalam tanah, Pak!”

"Saya barusan panggil bantuan."

Wajah pucat Ria sangat jelas. Di tengah kepanikan dan orang-orang dalam pabrik bermunculan sebab teriakannya dia khawatir Kiran belum kembali setelah izin ke toilet.

Pak Imron memanggil-manggil Ria karena ditinggalkan begitu saja.

“Mbak! Mbak!”

Ria memasuki toilet dan memeriksa semua pintu untuk menemukan satu orang yang dicari.

“Kiran! Kiran!” Ria tak peduli suaranya seperti tarzan sekarang.

Dari pintu pertama hingga terakhir di ujung semuanya kosong. Ke mana perginya Kiran?

Ria kembali ke dalam pabrik yang kosong akibat semua orang ke luar melihat penemuannya.

Deg!

'Gataka bukan menyiksa inangnya secara terang-terangan. Dia akan memanipulasi Kiran seolah semua salahnya dan membuat Kiran sengsara seumur hidup.'

'Maksudnya gimana, Mas?'

Percakapan tadi siang membuat Ria makin cemas. “Ke mana sih dia gak muncul juga.” Ditambah ucapan Ranu berikutnya hampir membuat Ria menangis kalut.

'Fase terparah ... Gataka gak segan membunuh orang secara acak.'

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status