“Kamu tahu dari siapa?” bisiknya, ketakutan meluap.
Tidak ada yang tahu Ria sudah bersuami. Ria mengajukan berkas ke Pengadilan Agama beberapa hari lalu dan surat balasan tiba kemarin pagi. Ria tidak sengaja membawa suratnya sebab tidak sempat dibuka di rumah dan lupa dibawa pulang alias tertinggal di laci mesin semalaman. “Aku janji gak akan bilang siapa-siapa,” ujar Kiran meyakinkan. Dia mengerti betul betapa pentingnya menjaga privasi soal perceraian ini. Informasi sensitif seperti ini bisa menyebar dengan sangat cepat, apalagi di era digital sekarang. Kiran merasa tidak etis untuk menyebarkan informasi pribadi orang lain. Kiran mengaduk es kopinya pelan-pelan, matanya sesekali melirik Ria. Aura ceria yang biasanya menghiasi wajah Ria kini tampak redup. Dia tahu pasti Ria sedang merasa sedih. “Aku harap kalian bisa menemukan jalan keluar terbaik untuk kalian berdua.” Mendapat kalimat dukungan yang searah dengan keinginannya, Ria terharu sampai matanya berkaca-kaca. Wajah Kiran panik karena air mata Ria perlahan mengalir. “Jangan nangis, aduh,” ujarnya khawatir dilihat orang lalu lalang. “Aku terharu karena kamu orang pertama yang tahu masalahku,” ucap Ria tersenyum samar sambil menyeka air matanya. “Makasih, Kiran.” Semua orang punya cerita. Bilik kebahagiaan dan tangis pun berbeda, begitu juga dengan takaran antara keduanya. “Setelah aku pikir-pikir, tadi pertama kali kamu senyum.” “Aku??” Ia tidak tahu Ria memperhatikan hal kecil darinya. “Mulai sekarang kita berteman, kan?” Sejak Kiran berani membuka hati, persahabatan mereka tumbuh subur. Perbedaan usia tiga tahun tak menjadi penghalang. Justru, topik obrolan mereka yang beragam membuat hari-hari terasa lebih ceria. Akhir pekan mereka selalu penuh kejutan: kadang berburu kuliner, kadang asyik membaca di perpustakaan, atau sekadar menikmati suasana taman. Ria, dengan kelucuannya, berhasil menghidupkan kembali dunia Kiran yang sempat terasa kelabu. Kiran menyimpan rapat-rapat rahasia Ria, sementara itu ia sendiri menyimpan rahasia yang tak kalah membebaninya. Ketakutan kehilangan Ria menghantuinya setiap hari. Ia tahu bahwa rahasia hanya masalah waktu sebelum terbongkar, namun tetap saja ia enggan mengungkapkannya. Bayangan ditinggalkan Ria membuatnya merasa begitu rapuh dan sendirian. Mendapat giliran pergantian shift malam, Kiran merasa tubuhnya remuk setelah seharian bermain. Baru terbangun satu jam sebelum masuk kerja, ia hanya sempat mencuci muka dan menggosok gigi. Tanpa riasan, wajahnya pucat, hanya bibirnya yang sedikit memerah karena pelembab. Lupa memeriksa kalender, Kiran tak menyadari malam ini adalah malam purnama. Bulan yang biasanya menjadi pertanda bahaya itu kini tersembunyi di balik kelambu hitam awan tebal. Biasanya setiap purnama tiba Kiran mengambil cuti tahunan atau surat keterangan sakit dari klinik terdekat. Saat bulan purnama akhirnya menyembul dari balik awan gelap, Kiran yang tengah terlelap di samping Ria terbangun gelisah. Gataka muncul, sosoknya membayangi tubuh Kiran yang terbaring di samping Ria. Senyum licik Gataka seakan menembus batas mimpi dan kenyataan. Sebuah gelombang energi, kuat dan tak terduga, mengguncang Kiran hingga terjaga. Mata gadis itu melebar, menangkap keheningan malam yang tiba-tiba terasa mencekam. Dengan sekelebat pikiran, Kiran membuat seluruh ruangan gelap gulita. Cahaya lampu padam seketika, seakan tunduk pada kehendaknya. Senyum misterius terukir di wajahnya, menikmati kekuatannya. “Lah, ada pemadaman?” tanya salah satu karyawati kepada temannya yang sedang menggulir video lucu. Cahaya biru dari ponsel menerangi wajahnya di tengah kegelapan. “Iya lah! Jelas-jelas mati satu gedung!” Nada bicaranya ketus tidak peduli mau listrik mati sampai pulang. Tidak puas dengan reaksi mereka, Kiran berhitung lirih hampir berbisik dari 1 sampai 3. Lampunya mendadak menyala terang, lalu meredup perlahan, berkedip-kedip dengan irama yang membingungkan. Suasana menjadi mencekam, hawa dingin menusuk tulang, dan bulu kuduk mereka berdiri tegak. Ria tersentak dari mimpi saat keributan soal lampu menggema di telinganya. Lampu gedung yang berkedip-kedip membuatnya merasa seperti berada di dalam disko. “Ada apa sih?” gumamnya kesal. Belum selesai ia bertanya, sebuah ledakan kecil mengguncang ruangan. Mata Ria melebar saat melihat lampu-lampu di sepanjang jalur produksi pecah satu per satu, hingga akhirnya lampu tepat di atas mereka meledak dengan suara keras. Jeritan panik memecah keheningan, membangkitkan badai kepanikan. Kerumunan manusia berdesakan menuju satu-satunya pintu keluar. Kiran menyaksikan kekacauan itu dengan senyum licik. Ia menoleh ke Ria, “Menarik, bukan?” Suaranya dingin menusuk. Bersambung...“Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek
Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian
Perjanjian awal, tahun 2000... “Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban. Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga. Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan. “Mengapa tidak me
Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb
Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem
Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.