Share

Identitas Gataka

Selesai jogging Ria memutuskan istirahat depan rumah Kiran yang dekat dengan rute putaran.

Jangan tanya Ranu, dia pamit pulang ke kos pas lewat depan gang meninggalkan mereka.

Ria memegang botol mineral yang dibeli di warung depan selagi matanya berkaca-kaca teringat perkataan Ranu.

"Sejak kapan?"

Kiran menoleh kaget. "Apanya, Mbak?"

"Itu, kamu rawan kerasukan."

"SD."

"Sekarang gimana?"

"Intensitasnya jarang, tapi sesekali lepas kendali seperti kemarin."

Ria melotot lebih kaget pastinya. "Maksudnya pas malam-malam di pabrik, lampu pecah itu karena— " Sungguh dia tidak bisa melanjutkan ucapannya lagi setelah melihat wajah Kiran sedekat sekarang.

Mengetahui proses kerasukan Kiran amat parah sampai memecahkan lampu satu gedung artinya Ria harus waspada dengan sesuatu di balik wajah polosnya.

"Mbak tenang saja. Aku kerasukan terparah cuma pas bulan purnama."

Intinya sering dirasuki. "Mana bisa tenang. Kamu sudah berobat ke orang pintar? Aku punya kenalan, mau coba ke sana?" Ria memegang tangan Kiran berniat mengajak pergi.

Kiran menggeleng pelan. "Nasib mereka selalu berakhir sama. Lebih baik jangan selagi aku cari cara lain, Mbak."

"Mas Ranu pasti memerhatikan kamu cukup lama. Dia jelas lebih tahu tentang kamu." Mau iri tapi tidak bisa.

Kiran belum tahu maksud Ranu memburu Gataka. Seperti yang ia katakan, Gataka tidak hanya satu di bumi. Dari sekian banyak orang yang dirasuki, mengapa harus Kiran yang bertemu Ranu.

Pasti ada alasan khusus.

"Belum pasti, Mbak."

"Keliatan dari gerak-geriknya. Mas Ranu tahu rumah kamu dari siapa coba? Kamu gak punya teman."

Kiran cuma punya satu, Mbak Ria.

Dapat lirikan curiga, Ria menepis dugaan tak berdasar. "Aku baru kenal dia semalam. Jangan curiga ya!"

"Aku gak bilang apa-apa," gumam Kiran.

"Aku mau pulang, tidur, biar gak ngantuk pas kerja."

"Bukannya mbak selalu ngantuk?"

Ria memukul pelan badan Kiran. "Malam kan memang waktu tubuh istirahat. Salah jam kerjanya, bukan orangnya."

Kiran tersenyum. "Hm, aku paham." Tidak ingin kena tabok lagi.

Ria menjauh sambil memegang pinggang belakangnya yang pegal. Sudah lama tak berolahraga, sekali jogging langsung terasa remuk. Inilah yang membuat kebanyakan orang kapok olahraga. Olahraga satu kali, istirahat satu tahun.

Kiran masuk ke rumah untuk istirahat. Dia pernah jogging, tapi sangat jarang. Kasihan Ria, pasti dia kelelahan terpaksa ikut jogging dan mengejar mereka karena beberapa kali tertinggal di belakang.

Stamina Kiran masih bagus karena usianya masih muda. Kalau Ria, jelas ... Kasihan intinya. Hanya demi bisa bersama Ranu dia rela penat jogging.

Di sudut ruang tamu terdapat mirror stand dekat jendela. Kiran sengaja meletakkan cermin di sana karena sudut itu jarang terjamah. Seringkali terjadi kala Kiran berkaca, ia melihat sosok mengerikan dalam dirinya.

Untuk memastikan apakah masih sama atau sudah pudar, Kiran melangkah perlahan mendekati cermin. Kiran berdiri tanpa ekspresi beberapa detik sebelum menjerit tertahan pantulannya berubah menyeringai seram dan tangannya terulur bak hendak ke luar dari cermin.

Gadis itu merangkak menjauh dari ruang tamu menuju kamar dan gelagapan mengunci pintu. Gataka mempermainkan ketakutan Kiran. Terlebih semalam dia beraksi menakuti banyak orang dalam ajang menunjukkan kemampuannya.

Kiran menutup mulutnya dan menangis putus asa di balik pintu.

***

16 tahun silam Kiran berumur 4 tahun. Ia dan sang ayah, Tarendra Nawasena, sedang bermain di halaman taman kanak-kanak.

Kiran duduk di ayunan sementara Tarendra berdiri sedikit jauh menjawab telepon penting dari rekannya.

Raut wajah Tarendra amat serius mendengarkan ucapan lawan bicara selagi melirik Kiran. "Apa ada cara lain?"

Kiran memanggil Tarendra sebab ada sesuatu mengusiknya. "Ayah .."

"Nanti saya telepon balik," kata Tarendra kemudian memutus teleponnya saat itu juga dan beralih menghampiri serta berjongkok di depan Kiran. "Kenapa? Kamu butuh sesuatu?"

Ayunan yang sedang dinaiki Kiran berhadapan langsung dengan kelasnya. Tiap kelas terpasang dua jendela memanjang berdampingan. Dari situ Kiran berbicara kepada Tarendra bahwa bayangannya tidak sejelas ayahnya.

"Kenapa cuma bayangan ayah yang ada di sana?"

Tarendra melihat arah yang ditunjuk Kiran. Sudah menduga akan mempertanyakan hal ini, Tarendra tersenyum memberitahu supaya mudah dipahami.

"Kamu spesial. Bayangan Kiran terlihat jelas saat bulan purnama. Kamu bisa lihat bersama ayah nanti."

"Teman-teman bilang kalau gak punya bayangan artinya bukan manusia," ucap Kiran kecil dengan wajah murung.

Tarendra tertawa mencairkan suasana. "Haha. Teman kamu bilang begitu?" Di balik itu Tarendra menahan kepiluan luar biasa. "Kiran manusia sama seperti teman-teman. Kiran makan, minum, dan tidur, bukan?"

Kiran mengangguk kecil mendengarkan jawaban Tarendra meski bukan itu jawaban yang ingin didengar.

"Sudah mau sore waktunya pulang. Kiran mau makan di mana?"

"Di rumah sama ayah."

Tarendra membantu Kiran turun dari ayunan dan menggandengnya selama perjalanan menuju rumah.

Kiran ingat betul bagaimana ia dibesarkan dengan sangat baik. Tarendra bahkan melepas sepatunya, membawa tasnya, menyiapkan makanan, mengantar serta menjemput ke sekolah hingga Kiran tumbuh remaja.

Di usia 15 tahun Kiran sadar akan perubahan pantulan di cermin masa ke masa setiap lima tahun. Di ulang tahunnya yang kelima, Kiran melihat bayangannya mulai jelas.

Saat usia 10 tahun selain bisa mendengar suara gaib, ia pun mendengar isi hati orang lain dan bayangannya tidak selaras dengan gerakan yang dibuat.

Kiran sengaja menggerakkan tangan ke samping, tetapi pantulannya tetap diam. Mulai dari sana Kiran menghindari cermin agar tidak ketahuan teman-temannya.

Memasuki usia ke-15 Kiran semakin was-was dengan bayangannya sendiri. Ia menutup diri dari teman-teman di sekolah hingga dicap antisosial. Tarendra pernah dipanggil ke sekolah oleh guru konseling karena pengaduan dari teman sekelas Kiran yang pernah melihat Kiran menggali tanah di lapangan trek lari dengan kedua tangannya sendiri sambil bicara aneh.

Kiran sudah berkompromi dengan Tarendra sebelum berangkat ke sekolah. Saat berada di samping Tarendra, ia tak mengatakan apa pun.

Bagi seorang ayah pembelaan terhadap anak adalah kewajiban. Berulang kali Tarendra mengucapkan alasan, gurunya semakin berputar-putar melontar pertanyaan.

Kiran mengajak ayahnya pulang lantaran sudah cukup membuang waktu. Tarendra adalah dosen, muridnya lebih penting daripada mengurus pertanyaan aneh seputar kepribadian ganda.

Jika ingin mengarang, bukankah orang lebih percaya ia kerasukan ketimbang berkepribadian ganda?

"Gak ada gunanya panjang lebar mengalihkan pembicaraan, Ayah. Kita pulang saja."

"Kiran, Ibu belum selesai bicara dengan ayah kamu."

"Ibu sudah dengar sendiri jawaban ayah saya. Saya juga sudah kasih ibu jawaban bahwa saya kehilangan cincin dari mendiang ibu saya dan ketemu di sekitar trek lapangan!"

Tarendra menggenggam tangan Kiran. "Cukup. Ayo kita pulang. Maaf Kiran meninggikan suaranya. Tolong dimaafkan, permisi."

*

Setibanya di rumah Kiran mencecar Tarendra banyak pertanyaan. Kiran bahkan membawa cermin kecil untuk diperlihatkan pada ayahnya.

"Jelasin kenapa bayangan aku selalu gak selaras, Ayah! Aku ketemu beberapa orang yang bisa lihat hantu juga tapi bayangan mereka tetap sama di kaca. Kenapa cuma aku yang berbeda? Jawab, Ayah!"

Tarenda mencari alasan. "Ayah lagi cara untuk mengembalikan bayangan kamu. Tunggu sebentar lagi. Gak akan lama, Kiran."

Bayangkan seberapa putus asanya Tarendra hingga rela pontang-panting mencari orang, tempat, bahkan cara menyelamatkan Kiran dalam 15 tahun terakhir.

Tetapi ... Apakah Tarendra lupa Kiran bisa mendengar isi hati?

"Ayah udah lama cari cara. Ayah bilang tunggu sebentar lagi tapi nyatanya belasan tahun belum ada jawaban. Kasih tau aku sebenarnya ada apa!"

Tarendra memegang kedua bahu Kiran. "Ayah kasih tau sekarang!" Mungkin ini waktu tepat untuk memberitahu semuanya pada Kiran. "Kamu dirasuki roh jahat bernama Gataka."

Kiran menahan napas Tarendra menyebut Gataka. Ia lebih terkejut ketimbang mengetahui dirasuki roh jahat sedari lahir.

Tarendra jelaskan sedikit-sedikit. "Sejak kamu lahir Gataka menyatu dalam tubuh kamu. Akhir-akhir ini kamu sering hilang kesadaran, kan? Gataka pasti sudah mulai bergerak. Selama kamu gak terluka dan baik-baik saja, ayah pasti menemukan cara menyelamatkan kamu. Kiran, kamu pasti selamat. Ayah yakin!"

Hal yang terjadi selanjutnya, kontrol tubuh Kiran diambil alih Gataka tepat di depan Tarendra. Ekspresinya berubah 360 derajat dari panik menjadi tersenyum senang.

"Akhirnya kamu membuka mulut tentangku."

Tarendra mundur terbata-bata hingga terduduk di lantai menyaksikan betapa mudahnya Gataka mengendalikan Kiran.

"Kamu ... Pergi dari tubuh Kiran!"

"Kamu juga tahu kalau aku pergi dari tubuhnya, dia akan mati. Anggap saja simbiosis mutualisme. Putrimu akan terus hidup, aku pun begitu."

"Makhluk rendahan sepertimu jangan sampai memengaruhi hidup Kiran! Kiran dan kamu berbeda! Tolong beritahu cara lain supaya Kiran bisa tetap hidup," mohon Tarendra.

"Lucu sekali. Sudah lima belas tahun kamu belum menemukan caranya." Gataka duduk di kursi menatap keputusasaan Tarendra. "Apa jangan-jangan gak ada cara?" Senyum licik Gataka lebih buruk dari bicaranya. "Itu lebih baik supaya kamu menerima aku di tubuh putrimu. Lagipula putrimu tidak se-terkejut dahulu ketika bercermin. Anak polos itu gak tau kalau aku berusaha menyerap energinya. Haha."

"Kamu menyerap energinya?!" Amarah Tarendra meluap.

Ketika Tarendra bangkit hendak mendekati Gataka, beliau tak bisa menggerakkan kaki selangkah pun.

"Jangan coba-coba menghalangiku. Putrimu taruhannya," ancam Gataka begitu dingin.

"Jangan sakiti Kiran! Kiran gak salah apa pun!"

"Kalau begitu ... Kita ganti jaminannya."

Tarendra menjawab, "Ini pertama kali kamu muncul di hadapan saya dan sudah berani negosiasi dengan nyawa manusia! Beraninya kamu, makhluk rendahan yang bergantung hidup dalam raga manusia mengancam saya!"

"Bagaimana kalau jaminannya nyawa Anda, Tuan Tarendra Nawasena?" Gataka puas mendapat target lain dalam kemunculan pertama.

"Dasar bedebah!"

*

Kiran mendapat kesadarannya setelah tidur panjang di alam lain dan panik menghampiri Tarendra menangis histeris di lantai.

"Ayah! Ada apa, Ayah?!"

"Ayah gak mau kehilangan kamu, Kiran." Tarendra terisak di tengah sesak dalam dada.

"Kehilangan gimana, aku di sini!" Bicara apa pula ayahnya.

"Barusan kamu dirasuki Gataka. Ayah bicara dengan Gataka."

***

Kiran memejamkan mata teringat tidak lama hari setelah Gataka berdebat dengan Tarendra, hari berkabung menyelimuti rumah.

Gataka pasti muak dengan usaha Tarendra hingga menyiksa mental mereka berdua kemudian menjebaknya dalam tragedi memilukan.

Tarendra termakan bisikan roh jahat lain dan dirasuki. Bagaimana Kiran tahu? Di depan jasad Tarendra yang tergantung, Kiran lihat ada sosok yang menunggu di belakangnya.

Rasanya Kiran mau menangkap sosok itu namun ia tidak lebih baik karena merasa membunuh ayahnya sendiri.

Tarendra gagal menyelamatkan Kiran. Kiran gagal mencegah perbuatan Gataka kepada Tarendra. Yang harus Kiran lakukan adalah menunggu Gataka muncul lagi.

*

Kejadian terburuk di kemunculan kedua ialah Kiran sedang belajar di perpustakaan kota namun terbangun dalam keadaan tergantung di tempat Tarendra gantung diri.

Beruntung Kiran bisa lepas karena kain tidak terikat kencang di langit-langit. Pesan terakhir yang Kiran ingat ialah, "Jangan berkeliaran atau bercermin saat bulan purnama".

Lalu kemunculan ketiga adalah di pabrik. Kiran frustasi belum menemukan petunjuk apa pun untuk menyingkirkan Gataka.

Sebetulnya kehadiran Ria membuat Kiran gelisah. Ia takut Gataka melakukan hal yang sama padanya. Lalu, pria asing bernama Ranu yang mengetahui segalanya tentang Gataka berusaha mendekati Kiran.

Dalam pekerjaan sekali pun Ranu sering kebetulan papasan dengan Kiran. Sebetulnya apa yang Ranu inginkan darinya?

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status