Share

Sebuah Mantra

Pemilik rumah masuk terlebih dulu memastikan keadaan aman terkendali mengandalkan senter ponsel. Jika beruntung tidak ada roh jahat mendiami ruangan rahasia, mereka dapat mengulik interior lebih lama.

"Saya takut, Mas." Tangan Ria berpegangan lengan Ranu.

"Saya lebih takut kamu begini. Cepat kamu masuk duluan," ucap Ranu.

Bibir manyun Ria tercetak jelas. Masa iya dia ditakuti pria setampan Ranu. Alih-alih mantra kekayaan, lebih bagus ada buku berisi mantra pelet biar Ranu klepek-klepek.

Ranu menghempaskan sarang laba-laba di atas pintu dengan kibasan tangan. Kaki kanannya maju dan mulai meraba tembok mencari sakelar lampu. "Kiran, si Ria lagi mikir apa?" tanyanya jengah.

Ctek!

"Wih, terang benderang." Ria baru menyusul datang. "Berkat Mas Ranu kegelapan pun kalah. Gimana kalimatnya? Bagus gak?"

Pertama, Kiran menjawab pertanyaan Ranu. "Mbak Ria mau pelet kamu, Mas." Kedua, pertanyaan Ria. "Cocok, Mbak." Ia turut berterima kasih pada sang pencari cahaya yang dikatakan Ria. "Makasih udah nyalain lampunya."

Rasanya Ranu mau tempeleng kepala Ria supaya tidak bicara omong kosong. "Berkat lampunya!" Apakah dia manusia listrik bisa menghantarkan cahaya. "Jangan coba-coba pelet saya ya!" Mereka sibuk cari cara, namun Ria main-main.

Ria cengengesan diomeli.

*

Ruangan kecil yang didesain tersembunyi buatan Tarendra tidak memuat banyak furnitur. Meja dan kursi dari kayu jati asli tertutup debu tebal. Sawang debu ada di setiap sudut atap. Mereka bahkan hampir menundukkan kepala sambil berjalan mencari petunjuk.

"Omong-omong, mas berhasil sebut nama Kiran dua kali, nama saya sekali. Udah ingat?" Ria melihat atap barangkali menemukan tempat rahasia lagi. "Gak ada laci atau rak buat naruh buku di sini. Kosong."

"Saya gak pikun." Ranu mengusap hidungnya yang berlendir.

Kiran melihat tulisan kecil aksara jawa di tembok yang berlawanan dengan tempat mereka mengobrol. Hampir satu menit berlalu, perdebatan Ranu dan Ria di belakang hampir tak terdengar telinga Kiran.

Bulir air jatuh bersamaan dari kedua mata. Telinganya terngiang-ngiang suara Tarendra saat mengajarkannya satu hal tentang aksara jawa itu.

ꦡꦶꦢꦏ꧀ꦱꦺꦩꦸꦲꦥꦶꦤ꧀ꦠꦸꦩꦱꦸꦏ꧀ꦠꦺꦂꦢꦥꦠ꧀ꦗꦭꦤ꧀ꦏꦺꦭꦸꦲꦂ꧉ꦑꦩꦸꦧꦶꦱꦠꦺꦂꦥꦺꦫꦁꦏꦥ꧀ꦧꦺꦧꦺꦫꦥꦲꦫꦶ꧈ꦧꦸꦭꦤ꧀‌ꦧꦃꦏꦤ꧀ꦠꦲꦸꦤ꧀ꦲꦚꦲꦸꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦺꦤ꧀ꦕꦫꦶꦗꦭꦤ꧀ꦏꦺꦭꦸꦲꦂꦚ꧉ꦅꦔꦠ꧀ꦗꦔꦤ꧀ꦥꦤ꧀ꦠꦁꦩꦺꦚꦺꦫꦃ!

Artinya, "Tidak semua pintu masuk terdapat jalan ke luar. Kamu bisa terperangkap beberapa hari, bulan, bahkan tahun hanya untuk mencari jalan ke luarnya. Ingat jangan pantang menyerah!"

"Kalau begitu apa ayah bisa tunjukkan sesuatu supaya aku gak tersesat?"

Lima tahun melawan Gataka seorang diri sangat sulit. Kesepian, amarah, dan dendam bergabung menjadi satu dalam diri mereka. Bedanya Gataka makin kuat sedangkan Kiran melemah.

Ria menghindari layangan tangan Ranu yang sudah gemas mau mengulek dia dari pertama masuk.

"Astaga. Kiran nangis, Mas."

Ranu mengira Ria bersandiwara sambil menarik bahu Kiran supaya lihat sendiri apa nangis betulan atau akal-akalan Ria saja.

Ria memukuli tangan kasar Ranu. "Tangan kamu!"

Kiran menutupi kesedihannya dengan senyum tulus. Dalam hati ia bahagia tidak merasa sendirian saat sedih. Ada Ria menebar energi positif dan keberanian Ranu merupakan hal yang patut disyukuri.

"Mau ke luar dulu?" Ranu mengajak Kiran barangkali butuh udara segar. Matanya membaca aksara di belakang punggung Kiran. "Ayah kamu yang tulis?"

"Iya. Itu tulisan tangannya."

Ria menepuk-nepuk bahu Kiran. "Walaupun aku gak tau artinya, aku cuma bisa semangatin kamu. Ayo cari petunjuk sama-sama supaya si Gataka bajing*n sial*n itu musnah dari bumi."

Ranu mendelik sesaat. "Kamu gak tau dia bisa datang kapan aja. Jangan bicara sembarangan." Decakan heran serta gelengan kepala Ranu menandakan dia lelah menghadapi satu macam Ria.

"Oh iya juga saya lupa."

Tringggg!

Nada dering panggilan masuk dari telepon milik Ranu mengalihkan keheningan. Pria itu izin ke luar mengangkat penelepon.

Kiran dan Ria tetap berada di dalam.

"Ternyata Mas Ranu ngeselin. Dia gampang marah," adu Ria. "Kamu pasti udah tau sifat jeleknya. Kenapa gak kasih tau aku biar gak berharap?"

"Memang mbak berharap apa dari Mas Ranu?" tandas Kiran.

"Apa aja."

"Sorot kesedihan dari matanya gak bisa bohong. Untuk sebuah alasan dia datang dengan tujuan sama."

"Pembawaan kamu lebih sedih. Salah, kita bertiga punya kisah mengenaskan. Apa ini alasan kita berkumpul? Persis ucapan Gataka."

"Mungkin benar."

"Gataka gak langsung datang kalau aku sebut namanya, kan?"

Kiran menunjuk sesuatu yang terpajang di atas pintu.

"Tulisannya sama," ucap Ria menunjuk aksara di belakangnya.

"Kita bisa sebut itu mantra penangkal roh jahat masuk ruangan ini."

Selama ini Gataka menyepelekan ketidaktahuan mereka. Cara yang dimaksud Gataka, mungkin telah ditulis Tarendra namun disembunyikan.

"Gataka merasa terancam dan berakhir membunuh ayah." Itu jawaban alasan Gataka membunuh Tarendra.

Apakah mantra yang ditulis Tarendra untuk ruangan kecil yang tersembunyi di sana?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status