Share

Cara Pendekatan

Penulis: KIKHAN
last update Terakhir Diperbarui: 2023-10-22 13:00:18

“Lama tidak jumpa.”

“Sampai kapan penderitaan Kiran harus berlanjut?” Tarendra berbisik lirih, tatapannya kosong ke depan. “Aku mohon tinggalkan Kiran ...”

“Kamu juga tahu akibatnya kalau aku pergi dari tubuhnya. Anggap saja simbiosis mutualisme. Kiran akan terus hidup, aku pun begitu.”

“Tolong beritahu cara lain supaya Kiran bisa tetap hidup,” lirih Tarendra putus asa.

“Selama aku menyerap energi Kiran, kami tetap bersama. Tidak ada yang mati. Menguntungkan, bukan?”

Tarendra terbelalak tak percaya. Gataka, menyedot energi Kiran? Kemarahannya membuncah, bagai api yang siap melahap segalanya. Ingin sekali ia menyergap makhluk itu, namun tubuhnya terasa lumpuh, terbelenggu oleh kepedihan yang mendalam.

“Apa kesalahan Kiran, sampai kamu ... Hahh!” Air mata Tarendra mengalir deras, dia bersimpuh tak berdaya di bawah kaki roh jahat.

“Kalau begitu ganti jaminannya. Bagaimana kalau diganti ... Hm, nyawa Anda, Tuan Tarendra Nawasena?”

Wajah Tarendra mendongak, saat mata mereka beradu pandang, Gataka menyeringai lebar menanti jawabannya.

“Asalkan Kiran tetap hidup. Ambil nyawaku,” lirih Tarendra tanpa pikir panjang.

Gataka tersenyum geli mendengar jawaban itu. “Manusia harus menepati janji ya.” Setelah mendapatkan apa yang diinginkan, kesadaran Kiran kembali.

“Ayah?” Kiran mengerjap bingung melihat Tarendra bersimpuh menangis pilu di bawah kakinya. “Kenapa Ayah? Ayah kenapa nangis?” Ia ikut mensejajarkan tingginya dengan Sang Ayah. Hatinya bergetar saat Tarendra menangis tersedu-sedu.

“Maaf, Kiran ... Maaf ...” gumam Tarendra, sambil memeluk erat Kiran yang masih bingung apa yang perlu dimaafkan.

“Ayah gak salah, maaf untuk apa ...” Kiran membiarkan Tarendra memeluknya sejenak, menepuk-nepuk punggungnya supaya tenang.

“Ayah gak mau kamu pergi. Ayah gak bisa hidup tanpa kamu.” Bahu Tarendra berguncang hebat diiringi isak tangis.

Hati Kiran tersayat baru kali ini Tarendra sebegitu rapuh. Atau mungkin, Tarendra sering meneteskan air mata di belakangnya, sedangkan Kiran tidak pernah peka dengan penderitaannya dan hanya mencari-cari rahasia.

Kiran mengusap air matanya, hatinya pedih melihat Tarendra, sosok ayah yang selama ini menjadi bentengnya, kini rapuh dan tak berdaya. Ia baru menyadari bahwa di balik kekuatannya, Ayah juga memiliki kelemahan.

Ketika mereka berbincang di rumah, Kiran akhirnya mengetahui alasan Tarendra menangis tersedu-sedu karena Kiran dirasuki Gataka. Jadi, Tarendra berhadapan langsung dengan Gataka.

Jika sudah terjadi satu kali, maka akan terjadi lagi suatu hari nanti. Tarendra mengingatkan Kiran supaya tidak ke luar rumah saat tiba bulan purnama. Selain bulan purnama, andai Kiran dirasuki kembali, tidak ada cara untuk mencegahnya.

Hari itu Kiran bersemangat pulang dari sekolah, ia ingin menunjukkan seragam baru yang dibeli di sekolah barunya. Tapi, begitu masuk kamar Tarendra, tubuhnya terpaku di tempat.

“A-ayah...” Kiran terbelalak, tubuhnya membeku di tempat. Di depannya, tergantung sosok yang sangat dikenalnya, ayahnya, dalam keadaan tak bernyawa. Jasadnya yang kaku menggantung di langit-langit, wajahnya pucat pasi.

Ditinggalkan satu-satunya anggota keluarga sangat mengubah hidup Kiran. Kiran tanpa Tarendra tak lebih dari cangkang kosong. Ia tak berselera melakukan apa pun. Semangat hidupnya sirna, digantikan oleh kesedihan mendalam. Ia tak berdaya menghadapi kenyataan pahit ini.

*~*

Setelah sekian lama menghilang, Gataka kembali saat Kiran paling lengah. Malam itu, di bawah sinar bulan purnama, Gataka muncul begitu saja, tepat ketika Kiran mulai melupakan pesan terakhir Tarendra.

Kiran merasa lebih aman dengan Ria, tapi ancaman Gataka tak pernah benar-benar hilang. Kedatangan Ranu yang mengetahui rahasianya semakin memperumit keadaan.

Di pabrik, pertemuan Kiran dan Ranu terasa semakin sering dan disengaja. Ranu mondar-mandir di sepanjang line produksi, seolah sengaja mencari perhatian Kiran. Bahkan saat istirahat dan pulang kerja, pria itu selalu muncul di sekitar mereka, tatapannya menusuk namun tak sepatah kata pun keluar dari mulutnya.

Ini hari keempat Ranu membuntuti mereka berdua pulang. Ria menengok sekilas ke belakang, Ranu sedang fokus dengan ponselnya.

Kesabaran Kiran telah habis. Ia berbalik dan menghalangi jalan Ranu. Tindakannya yang tiba-tiba membuat suasana tegang, baik untuk Ranu atau Ria.

“Kenapa?” tanya Ranu pura-pura tidak mengerti alasan di balik Kiran menghadangnya.

Kiran bergumam, “Kamu sudah keterlaluan.”

“Keterlaluan gimana?” Ranu mengalihkan wajah lantaran matanya pedas ditatap intens oleh Kiran. “Minggir, minggir. Saya mau lewat!”

Ria menopang tubuh Kiran yang hampir limbung ke samping didorong Ranu. Emosinya membuncah dan mengutuk Ranu. “Emang gila ya.”

Bersambung....

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Hanya Ingin Kedamaian

    “Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Diakhiri dengan Sempurna

    Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Perjanjian Anwalira dengan Cenayang Minada dan Vilas Hirawan

    Perjanjian awal, tahun 2000... “Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban. Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga. Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan. “Mengapa tidak me

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Kobaran Api Melahap Rumah Kiran

    Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Alasan Angga Berada di Sisi Mereka

    Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Vilas Mengancam Kiran dengan Menggunakan Ria

    Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Ria Sangatlah Jujur

    Raka yang melihat keterkejutan Ranu, mengerutkan kening. “Kenapa?” tanyanya, suaranya sedikit meninggi. “Cepat pergi ke sana!” Raut wajahnya serius, mencerminkan keheranannya melihat Kiran berdiri di depan rumah mereka. “Kamu sudah tahu Raka anak Vilas tapi masih di sisinya?” Ketus Kiran, suaranya menusuk seperti belati. Raka menunduk, kepalan tangannya mengepal erat. Setiap kata yang terlontar terasa seperti tamparan keras di hatinya. Ranu mencoba menenangkan Kiran, mengajaknya bicara di luar. Namun, Kiran menepis tangannya kasar. “Kamu lupa perbuatan Vilas?” “Aku ingat semuanya,” jawab Ranu, suaranya terdengar lemah. “Kamu ingat, tapi apa ini?” Kiran menunjuk ke arah Raka. “Raka gak salah,” bela Ranu, menghela napas berat. “Dia tetap diam mengetahui perbuatan keji ayahnya, dan kamu tetap membelanya?” Mendengar mereka beradu argumen, hati Raka terasa seperti diiris-iris. Dia menunduk, berusaha menyembunyikan air mata yang mengancam jatuh. Ranu menoleh, matanya dipenuhi ras

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Kenapa Mereka Saling Menyembunyikan Rahasia?

    Mentari tepat di atas kepala saat Raka melangkah keluar rumah. Pakaiannya yang rapi kontras dengan suasana pagi yang tenang. Ranu yang memperhatikan dari balik tirai, hanya bisa menggelengkan kepala. Tanpa pikir panjang, Ranu menyalakan mobil dan mengikuti Raka dari belakang. Jalanan masih sepi, hanya beberapa kendaraan yang melintas. Sesampainya di tujuan, Ranu memilih tempat parkir yang tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan. Huruf-huruf ‘Hirawan Group’ yang berkilau di gedung pencakar langit itu seakan-akan menjanjikan kemewahan tak terbatas. Di layar kaca, kehidupan keluarga kaya raya selalu digambarkan sempurna. Namun, kenyataan yang mereka alami jauh berbeda. Kehidupan di balik merek besar itu bagai naskah drama yang sudah dihafalkan, membosankan dan penuh kepalsuan. Kacamata gelap dan masker telah menyamarkan wajahnya, rambutnya yang biasanya rapi kini dibuat acak-acakan. Ranu merasa yakin takkan ada yang mengenalnya. Namun, saat tubuhnya condong untuk membuka pintu mobil,

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Dahsyatnya Perisai Sagara Paramayoga

    Cakra adalah sosok yang kuat dan bertanggung jawab, namun di balik itu semua, dia juga memiliki hati yang lembut. Dia pernah merasakan kehilangan seperti Kiran, dan ia percaya Cakra akan menjaga Ria dengan sepenuh hati. Saat melintasi jalan, Kiran berjalan berlawanan arah dengan seorang pria dewasa. Setiap langkahnya terasa begitu nyata, seolah gema langkahnya bergema di telinganya. Dan kemudian, ia melihatnya—sebuah cahaya biru samar mengelilingi mereka berlima, berkedip redup seperti kunang-kunang. Dari mana cahaya itu berasal? Sebuah pertanyaan besar menggantung di benaknya. Pria dewasa itu memancarkan aura yang berbeda. Perisai cahaya biru itu seolah menempel erat pada dirinya, mengikuti setiap langkahnya. “Mungkin aku salah lihat,” gumam Cakra, “Pria tadi mirip dengan Sagara.” Dia pernah melihat foto masa muda Sagara Paramayoga di buku terbitan Bianca Rezmee Kiran tersentak, langsung membalikkan badan ingin mengejar. Namun, Cakra menahannya, “Mau ke mana? Lampu hijau tinggal

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status