Pemilik rumah masuk terlebih dulu memastikan keadaan aman terkendali mengandalkan senter ponsel. Jika beruntung tidak ada roh jahat mendiami ruangan rahasia, mereka dapat mengulik interior lebih lama.
"Saya takut, Mas." Tangan Ria berpegangan lengan Ranu."Saya lebih takut kamu begini. Cepat kamu masuk duluan," ucap Ranu.Bibir manyun Ria tercetak jelas. Masa iya dia ditakuti pria setampan Ranu. Alih-alih mantra kekayaan, lebih bagus ada buku berisi mantra pelet biar Ranu klepek-klepek.Ranu menghempaskan sarang laba-laba di atas pintu dengan kibasan tangan. Kaki kanannya maju dan mulai meraba tembok mencari sakelar lampu. "Kiran, si Ria lagi mikir apa?" tanyanya jengah.Ctek!"Wih, terang benderang." Ria baru menyusul datang. "Berkat Mas Ranu kegelapan pun kalah. Gimana kalimatnya? Bagus gak?"Pertama, Kiran menjawab pertanyaan Ranu. "Mbak Ria mau pelet kamu, Mas." Kedua, pertanyaan Ria. "Cocok, Mbak." Ia turut berterima kasih pada sang pencari cahaya yang dikatakan Ria. "Makasih udah nyalain lampunya."Rasanya Ranu mau tempeleng kepala Ria supaya tidak bicara omong kosong. "Berkat lampunya!" Apakah dia manusia listrik bisa menghantarkan cahaya. "Jangan coba-coba pelet saya ya!" Mereka sibuk cari cara, namun Ria main-main.Ria cengengesan diomeli.*Ruangan kecil yang didesain tersembunyi buatan Tarendra tidak memuat banyak furnitur. Meja dan kursi dari kayu jati asli tertutup debu tebal. Sawang debu ada di setiap sudut atap. Mereka bahkan hampir menundukkan kepala sambil berjalan mencari petunjuk."Omong-omong, mas berhasil sebut nama Kiran dua kali, nama saya sekali. Udah ingat?" Ria melihat atap barangkali menemukan tempat rahasia lagi. "Gak ada laci atau rak buat naruh buku di sini. Kosong.""Saya gak pikun." Ranu mengusap hidungnya yang berlendir.Kiran melihat tulisan kecil aksara jawa di tembok yang berlawanan dengan tempat mereka mengobrol. Hampir satu menit berlalu, perdebatan Ranu dan Ria di belakang hampir tak terdengar telinga Kiran.Bulir air jatuh bersamaan dari kedua mata. Telinganya terngiang-ngiang suara Tarendra saat mengajarkannya satu hal tentang aksara jawa itu.ꦡꦶꦢꦏ꧀ꦱꦺꦩꦸꦲꦥꦶꦤ꧀ꦠꦸꦩꦱꦸꦏ꧀ꦠꦺꦂꦢꦥꦠ꧀ꦗꦭꦤ꧀ꦏꦺꦭꦸꦲꦂ꧉ꦑꦩꦸꦧꦶꦱꦠꦺꦂꦥꦺꦫꦁꦏꦥ꧀ꦧꦺꦧꦺꦫꦥꦲꦫꦶ꧈ꦧꦸꦭꦤ꧀ꦧꦃꦏꦤ꧀ꦠꦲꦸꦤ꧀ꦲꦚꦲꦸꦤ꧀ꦠꦸꦏ꧀ꦩꦺꦤ꧀ꦕꦫꦶꦗꦭꦤ꧀ꦏꦺꦭꦸꦲꦂꦚ꧉ꦅꦔꦠ꧀ꦗꦔꦤ꧀ꦥꦤ꧀ꦠꦁꦩꦺꦚꦺꦫꦃ!Artinya, "Tidak semua pintu masuk terdapat jalan ke luar. Kamu bisa terperangkap beberapa hari, bulan, bahkan tahun hanya untuk mencari jalan ke luarnya. Ingat jangan pantang menyerah!""Kalau begitu apa ayah bisa tunjukkan sesuatu supaya aku gak tersesat?"Lima tahun melawan Gataka seorang diri sangat sulit. Kesepian, amarah, dan dendam bergabung menjadi satu dalam diri mereka. Bedanya Gataka makin kuat sedangkan Kiran melemah.Ria menghindari layangan tangan Ranu yang sudah gemas mau mengulek dia dari pertama masuk."Astaga. Kiran nangis, Mas."Ranu mengira Ria bersandiwara sambil menarik bahu Kiran supaya lihat sendiri apa nangis betulan atau akal-akalan Ria saja.Ria memukuli tangan kasar Ranu. "Tangan kamu!"Kiran menutupi kesedihannya dengan senyum tulus. Dalam hati ia bahagia tidak merasa sendirian saat sedih. Ada Ria menebar energi positif dan keberanian Ranu merupakan hal yang patut disyukuri."Mau ke luar dulu?" Ranu mengajak Kiran barangkali butuh udara segar. Matanya membaca aksara di belakang punggung Kiran. "Ayah kamu yang tulis?""Iya. Itu tulisan tangannya."Ria menepuk-nepuk bahu Kiran. "Walaupun aku gak tau artinya, aku cuma bisa semangatin kamu. Ayo cari petunjuk sama-sama supaya si Gataka bajing*n sial*n itu musnah dari bumi."Ranu mendelik sesaat. "Kamu gak tau dia bisa datang kapan aja. Jangan bicara sembarangan." Decakan heran serta gelengan kepala Ranu menandakan dia lelah menghadapi satu macam Ria."Oh iya juga saya lupa."Tringggg!Nada dering panggilan masuk dari telepon milik Ranu mengalihkan keheningan. Pria itu izin ke luar mengangkat penelepon.Kiran dan Ria tetap berada di dalam."Ternyata Mas Ranu ngeselin. Dia gampang marah," adu Ria. "Kamu pasti udah tau sifat jeleknya. Kenapa gak kasih tau aku biar gak berharap?""Memang mbak berharap apa dari Mas Ranu?" tandas Kiran."Apa aja.""Sorot kesedihan dari matanya gak bisa bohong. Untuk sebuah alasan dia datang dengan tujuan sama.""Pembawaan kamu lebih sedih. Salah, kita bertiga punya kisah mengenaskan. Apa ini alasan kita berkumpul? Persis ucapan Gataka.""Mungkin benar.""Gataka gak langsung datang kalau aku sebut namanya, kan?"Kiran menunjuk sesuatu yang terpajang di atas pintu."Tulisannya sama," ucap Ria menunjuk aksara di belakangnya."Kita bisa sebut itu mantra penangkal roh jahat masuk ruangan ini."Selama ini Gataka menyepelekan ketidaktahuan mereka. Cara yang dimaksud Gataka, mungkin telah ditulis Tarendra namun disembunyikan."Gataka merasa terancam dan berakhir membunuh ayah." Itu jawaban alasan Gataka membunuh Tarendra.Apakah mantra yang ditulis Tarendra untuk ruangan kecil yang tersembunyi di sana?Tepat sejajar pintu bilik rahasia di perpustakaan Kiran maju sebanyak dua langkah kira-kira berjarak tiga meter supaya penglihatannya jelas. "Kiran, itu apa?" Bulu di leher Ria berdiri bak kena angin dingin lewat. Pertanyaan dari sisi kanan Kiran ingin diketahui Ranu di sebelah kirinya juga. Bayangan Gataka di lantai perlahan bangkit menyamakan wujud cangkang tempatnya hidup selama dua puluh tahun. Bayangan serta aura hitam di sana menunggu dengan kesal tidak mendapat apa yang diinginkan. "Dia mungkin gak bisa mendengar pembicaraan kita," duga Ranu. "Itu sebabnya Gataka tampak murka." "O-ohh gitu ya. Ya udah. Gimana sekarang?" Ria menatap dua manusia tanpa takut terus memandang Gataka. Selama ini yang Ria tahu rupa hantu bohongan di pasar malam. Lihat langsung bentuk Gataka, jujur Ria takut. Bukan takut karena kedua hal yang dia sebutkan. Tapi, kalian belum lupa Ria sering menggunjing Gataka, bukan? Sial*n, bajing*n, dan se
Tepat pukul sembilan pagi Ranu pamit pulang. Selimut pemberian Kiran dilipat rapi. Dia memakai jaket yang selalu dipakai tiap berangkat kerja shift malam, warna biru dongker bahan kulit. "Teman kamu mana?" tanya Ranu. "Belum bangun," jawab Kiran. Pria itu memakai jam tangan selagi menghela napas berat. Ria sangat tidak disiplin perihal waktu dan janji. "Mungkin sebentar lagi. Mas Ranu gak nunggu Mbak Ria?" Kiran enggan membangunkan orang tidur. "Untuk apa?" Ranu bersikap acuh. Mereka sudah dewasa bisa pulang ke rumah sendiri. "Sekitar jam enam saya dengar suara gedebak-gedebuk dari belakang. Kamu?" Kiran kelihatan kaget Ranu dengar kehebohan aktivitasnya tadi. Ia malu mau memberitahu Ranu sudah masak sarapan buat mereka, lagipula Ranu bersiap pulang. Ranu lihat Ria ke luar dari kamar sambil mengulet merentangkan tangan ke atas. Baguslah dia sudah bangun. Ria mengendus aroma makanan. "Kamu masak ya? Wangi
Terlalu banyak hal dalam pikiran Kiran membuat kepalanya hampir meledak. Sudah berapa kali konsentrasinya teralihkan menyusun kepingan puzzle. Jika dikumpulkan setiap satu negara dalam peta dunia menyimpan satu rahasia, bayangkan apabila digabungkan masih dalam keadaan acak. Siapa korban di tahun 2012, itulah isi yang harus dicari faktanya. Tunggu. Saat ini tahun 2022 yang artinya kelipatan lima tahun sejak Gataka muncul di tahun 1992. Apakah kematian misterius kemarin merupakan ulah Gataka dalam diri Kiran? Jantung Kiran berdegup kencang. "Gak mungkin," dia menyangkalnya namun tak bisa. Semua orang dalam gedung sedang fokus bekerja mendadak dikejutkan dengan listrik mati. Penerangan menjadi gelap gulita. "Ini perusahaan gak bayar listrik, kah? Perasaan sering mati deh." Ria mematikan mesinnya dan meraba tubuh Kiran di sampingnya. "Jangan ke mana-mana, tetap di sini." Lima menit kemudian listrik menyala
Kesadaran Kiran balik sepenuhnya di tempat yang sama, yakni di hadapan Ria yang syok mendengar kabar kembalinya sang mantan suami. Juga Ranu di sampingnya tengah diam menatap kebodohan Kiran berhubung Iptu Cakra langsung pergi setelah mendapat panggilan di kantor polisi. "Mas, Mbak Ria kenapa? Aku berbuat sesuatu ke— " "Kendalikan pikiran kamu selagi di luar rumah! Kendalikan Gataka kalau tau dia datang! Selama ini Gataka hanya merasuki kamu saat purnama, tapi sekarang lebih sering, apa alasannya? Kamu, Kiran." Kiran yang tidak tahu apa perbuatannya sampai dimarahi habis-habisan cuma diam mendengarkan padahal kaget setengah mati. Kepalanya bahkan kliyengan serta pandangan berkunang-kunang. Ranu terus mengomel. "Kamu mau tubuh kamu diambil alih Gataka? Sekali, dua kali, tiga kali, seterusnya begini kamu pikir dia gak ada maksud lain?" Ria menyela, "Kiran, Gataka bilang mantan suami aku bakal kembali. Gimana bisa? Dia udah lama pergi d
Sebuah ketenangan bagi Ranu melihat Kiran tertidur. Di waktu lain Kiran selalu menunjukkan kesedihan, kebingungan, serta kelelahan. Dia sangat bersyukur Tuhan mempertemukan mereka bertiga. Sebelumnya pasti Kiran serba kesulitan. Telapak tangan Kiran yang terluka sudah dibalut perban. Ranu selalu mengamati teliti setiap orang yang dia temui. Setiap hari Kiran memakai jaket atau sweater, mau itu pagi, siang, sore, bahkan malam. Saat bekerja pun seragamnya dirangkap jaket atau kardigan rajut tanpa kancing. Lengan tangannya tertutup setiap saat. Pada awalnya, Ranu kira kulit Kiran sensitif terhadap sinar matahari atau ada alergi debu. Rupanya sebuah alasan lain cukup mencengangkan. Tadi sewaktu punggung Kiran dilap kain basah, Ranu menggulung ke atas lengan sweater kuning yang ternodai bercak darah. Goresan garis-garis bekas sebelumnya masih jelas, tetapi segera ia tepis rasa penasaran karena pendarahan sukar berhenti. "Ini bukan pertama kalinya." Itulah kesimpulan Ranu. Tok, tok, tok
Ranu mencari data tentang penerbit Pustaka Hirawan 71 di internet. Berita yang muncul hanya beberapa, itu pun terkait penggusuran dan pergantian nama menjadi HBook. Website dengan kata kunci tersebut tidak menampilkan buku apa saja yang diterbitkan sejak awal berdiri. "Semuanya bersih. Gak ada apa pun," ucap Ranu menunjukkan layar ponselnya ke Kiran juga. "Kok gak ada sih?" "Mana saya tahu." "Yakin gak ada yang penting artikelnya?" "Kamu bisa baca sepuasnya setelah saya pulang. Kamu punya handphone sekarang," ucap Ranu mengakhiri sesi pertemuan mereka. "Itu di atas pintu tulisan apa?" "Penangkal." "Saya juga tahu. Maksud saya artinya." "Saya pikir Mas Ranu bisa baca aksara." Kiran menerjemahkan kalimat dengan bahasanya. ꦩꦤꦸꦱꦶꦲꦱꦔꦠ꧀ꦱꦺꦩ꧀ꦥꦸꦂꦤꦢꦶꦕꦶꦥ꧀ꦠꦏꦤ꧀ꦱꦺꦲꦶꦁꦒꦩꦸꦢꦃꦠꦺꦂꦭꦺꦤꦢꦤ꧀ꦫꦥꦸꦃ꧉ꦩꦺꦱ꧀ꦏꦶꦧꦺꦒꦶꦠꦸꦩꦤꦸꦱꦶꦲꦠꦺꦠꦥ꧀ꦩꦏ꦳꧀ꦭꦸꦏ꧀ꦲꦶꦢꦸꦥ꧀ꦪꦁꦢꦶꦕꦶꦥ꧀ꦠꦏꦤ꧀ꦡꦸꦲꦤ꧀ꦱꦺꦢꦺꦩꦶꦏꦶꦲꦤ꧀ꦫꦸꦥꦗꦲꦸꦃꦢꦶꦧꦤ꧀ꦢꦶꦁꦏꦤ꧀ꦥꦺꦤ꧀ꦕꦶꦥ꧀ꦠꦲꦤ꧀ꦲꦶꦧ꧀ꦭꦶꦱ꧀꧈ꦭꦶꦤ꧀ꦢꦸꦔꦶꦠꦺꦩ꧀ꦥꦠ꧀ꦲꦶꦤꦶꦲꦒꦂꦠꦶꦢꦏ꧀ꦲꦤ꧀ꦕꦸꦂ "Manusia sangat sempurna diciptakan sehingga mudah terlena dan rapuh.
Sesuai saran Ranu alangkah baiknya Kiran menyempatkan diri pergi ke klinik untuk mengecek apakah lukanya mengalami infeksi atau mulai membaik. Meskipun Kiran hafal luka ringan macam ini akan hilang membekas dalam waktu seminggu. Kiran menarik pintu menggunakan tangan satunya. "Permisi." Ia masuk mengamati ada dua orang menunggu di ruang apotik. Mengetahui tidak sendirian cukup membuat perasaan Kiran tenang. Setelah menulis daftar kunjungan di meja resepsionis, ia memasuki ruangan dokter umum bertemu langsung dengan Dokter Fandi. Dokter Fandi yang semula fokus ke handphone mengangkat wajah dan mengenali pasien berikutnya. "Kita ketemu pagi tadi!" Kiran tersenyum lalu duduk curi pandang ke lantai, mereka sama tanpa bayangan sebab berada di lampu dalam ruangan tertutup. "Kamu sakit? Maaf saya cek sebentar ya." Dokter Fandi menggunakan stetoskopnya kemudian lanjut memeriksa tensi darah Kiran. "Tensi kamu nor
'Saya punya firasat buruk tentang Dokter Fandi. Mas bisa datang ke klinik jam 12.35 ? Untuk jaga-jaga kalau terjadi sesuatu. Kalau gak bisa datang, sebisa mungkin aku jaga diri' Isi pesan Kiran yang Ranu dapat berbunyi demikian. Hanya orang gila yang tidak cemas dapat pesan mirip pesan terakhir sebelum meninggalkan dunia. Padahal sekitar pukul 12.25 Ranu lagi menikmati makan siang bersama teman-temannya. "Aduh, apa lagi ini?" Serius sekali dari tulisannya. "Maaf saya duluan, Pak." Ranu menjauh dari perkumpulan teman kerjanya dan menghubungi Kiran. Anak kecil itu tidak menjawab satu pun panggilannya meski berkali-kali ditelepon. Jarak dari kantin ke klinik memakan waktu 10—15 menit. Jika berlari mungkin memotong waktu 5 menit. Tanpa peduli citranya di lihat seantero pabrik, Ranu berlari sekencang-kencangnya walau panas terik menerpa. Firasat buruk apa yang Kiran rasakan? Jika benar harusnya dia tidak perlu pergi. Kenapa? Ken