Share

Tarendra Nawasena

Author: KIKHAN
last update Last Updated: 2023-10-21 13:00:55

19 tahun silam sewaktu Kiran berumur 4 tahun. Ia dan Sang Ayah, Tarendra Nawasena, sedang berada di halaman bermain Taman Kanak-Kanak.

Kiran duduk tenang di ayunan sambil menyedot susu kotak mengamati Tarendra yang berdiri sedikit jauh darinya sedang menjawab telepon.

“Apa enggak ada cara lain?” Suaranya terdengar berat, menggambarkan kegelisahannya.

Kaca kelas itu seperti sebuah jendela ke dunia lain bagi Kiran. Ia melihat ayahnya dengan jelas, namun bayangan dirinya sendiri seperti menghilang. Rasa penasaran yang besar mulai tumbuh di benak balita itu.

“Ayah ..”

“Nanti saya telepon lagi.” Tarendra langsung mengakhiri panggilan, lalu menghampiri dan berjongkok di depan Kiran. “Kenapa? Kamu butuh sesuatu?” Tarendra tersenyum lembut, pancaran matanya penuh kasih sayang.

Kiran mengangkat wajah cemberut menunjuk lurus kaca kelas. “Kenapa cuma bayangan Ayah yang ada di sana?”

Keheningan menyelimuti mereka. Tarendra menunduk sejenak, mencari jawaban yang tepat di dalam dirinya. Pertanyaan polos Kiran bagai pukulan telak di dadanya.

Tarendra menunjuk jam tangannya. “Sudah siang, waktunya pulang,” ucapnya tersenyum kecut karena mengalihkan pertanyaan putrinya.

Tarendra merapikan rambut Kiran yang sedikit berantakan karena bermain ayunan. Dengan hati-hati, ia menggendong putrinya menuju mobil.

Kiran menyadari pantulan bayangannya berubah setiap perkembangan masa. Perubahan yang ia kira berangsur normal, justru semakin aneh dan berubah-ubah tak terduga. Kiran memiliki pantulan seperti manusia yang lain, tetapi itu bukan lagi dirinya. Hingga ia bertanya-tanya Apa aku normal?

Tarendra sudah mengetahui kecemasan yang dirasakan Kiran. Sebagai ayahnya, beliau sering memperhatikan sikap Kiran terkadang tidak seperti putrinya. Kadang kala tatapan kosong Kiran saat sedang di kamarnya mengejutkan Tarendra.

Tarendra bahkan pernah dipanggil guru BK karena Kiran kedapatan menggali tanah di lapangan lari dengan tangannya sendiri seperti orang gila, sampai-sampai mengundang perhatian teman sekelasnya. Laporan itu sangat membuat Tarendra khawatir.

Saat berada di samping Tarendra dan duduk berhadapan dengan guru BK, Kiran lebih banyak bungkam setelah memberi alasannya hari itu menggali tanah kepada Tarendra.

Namun, saat Tarendra menyampaikan alasan, gurunya semakin memutar-mutar pertanyaan seolah tidak mau melepaskan Kiran.

“Ibu sudah melebihi batas,” ucap Kiran berusaha menghentikan percakapan mereka berdua. “Ayah saya lebih sibuk dari Ibu, beliau adalah dosen universitas terbaik di kota ini.”

Tarendra menatap teduh putrinya yang terpancing emosi. “Tenang, Kiran.”

“Jangan buang waktu Ayah yang berharga. Seenaknya nyuruh saya pergi ke psikiater. Ayo pulang, Ayah.” Kiran kesal dianggap punya kepribadian ganda oleh gurunya dan disarankan bertemu psikiater.

Tepat Kiran menggandeng tangan Tarendra untuk pergi dari ruang BK, gurunya menahan mereka.

“Kiran, Ibu belum selesai bicara dengan Ayah kamu.”

“Jawaban apa yang mau Ibu dengar dari kita? Saya kehilangan cincin mendiang Ibu saya di sekitar lapangan ...” Suara Kiran bergetar ingin menangis ucapannya tidak dipercaya.

Awalnya Tarendra merasa janggal dengan alasan Kiran, namun melihat Kiran bersungguh-sungguh dan terdengar tulus sampai hampir menangis mengubah cara pandangnya.

Beliau beranjak dari kursi dan menggenggam erat tangan Kiran. “Kalau masih ada yang ingin Ibu bicarakan dengan saya, tanpa Kiran.”

Mata Kiran berkaca-kaca sewaktu Tarendra membawanya pergi dari sekolah. Tiba di rumah, Kiran tidak masuk ke rumahnya, tetapi pergi ke arah berlawanan sehingga Tarendra mengejar langkahnya.

“Kiran!” Hati Tarendra remuk saat uluran tangannya ditepis.

Kiran merasa bersalah telah bersikap kasar lalu berhenti melangkah. “Sesulit itu jujur, Ayah? Sampai kapan menunggu waktu yang tepat?”

Tidak bisa digambarkan perasaan Tarendra saat itu. Selain lelah secara fisik dan mental mencari solusi menyelamatkan Kiran, Tarendra juga harus menahan emosi yang bisa menyakiti hatinya.

“Ayah sedang mencari caranya, Kiran. Tunggu sebentar lagi, hm? Ayah janji—“

“Aku bisa mendengar isi hati, Ayah ...” Kiran menyeka air mata yang mengalir ke pipi. Suara ‘Ayah juga mulai lelah, Kiran’ terdengar hingga menghancurkan hati Kiran saat itu juga.

Tarendra panik, lehernya menggeleng cepat. “Jangan didengarkan. Kamu keliru, Kiran.” Apa yang dia dengar tidaklah benar. Itu hanya bisikan roh jahat yang ingin menggoyahkan hubungan mereka. Lantaran terdesak waktu, Tarendra memberitahu kebenaran yang terpendam selama 15 tahun pada Kiran. “Ayah beritahu sekarang.”

Kiran siap menerima apa pun yang ia dengar dari ayahnya, bahkan dalam keadaan terburuk pun, selama bersama Tarendra, hidupnya akan baik-baik saja.

“Kamu dirasuki roh jahat bernama Gataka,” ungkap Tarendra, air matanya terus mengalir namun bibirnya terkatup rapat-rapat seraya menatap mata sendu Kiran.

Sesuatu dalam diri Kiran seolah terkoyak begitu mendengar penjelasan Tarendra.

“Sejak lahir Gataka sudah menyatu bersama kamu. Kamu pernah cerita tiba-tiba ada di tempat lain tanpa sadar, itu salah satu dampaknya. Selama kamu baik-baik saja, Ayah akan terus mencari cara untuk menyelamatkan kamu.”

“Akhirnya kamu membuka mulut tentangku.”

Suara Kiran yang berubah drastis membuat Tarendra tersentak. Tarendra mundur selangkah, jantungnya berdebar kencang. Rasa takut dan cemas bercampur aduk dalam hatinya. Tatapan mata yang biasanya ceria berubah dingin dan kosong memancarkan aura gelap yang asing.

“Lama tidak jumpa.”

Bersambung...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Hanya Ingin Kedamaian

    “Aku yang akan urus sisanya. Kalian pergilah dari sana.” Cakra hanya menjawab singkat, “Hm, aku paham.” Usai percakapan usai, dia kembali menatap Angga. “Raka bilang dia akan mengurus sisanya. Kita harus pergi dari sini,” ucap Cakra, suaranya terdengar parau. Angga hanya mengangguk, matanya kosong. Mereka kembali ke mobil masing-masing, melaju meninggalkan tempat kejadian, meninggalkan semua masalah di belakang. Pintu bangsal terbuka perlahan, memperlihatkan sosok Sagara yang sedang bersama Putri. Mereka selesai melakukan perawatan ringan akibat menghirup banyak asap. Sagara tersenyum lemah saat melihat Cakra dan Angga. “Terima kasih kalian sudah datang,” ujarnya lirih. Angga tersenyum singkat. Cakra berdiri di sampingnya, diam-diam mengamati interaksi antara Sagara dan Angga. Dia menyadari, ada ikatan yang kuat di antara mereka. Putri melangkah mendekati Angga, tangannya mengepal erat. Dengan cepat, dia melayangkan tamparan keras ke pipi Angga hingga meninggalkan bek

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Diakhiri dengan Sempurna

    Anwalira duduk di tepi kasur, matanya menatap keluar jendela. Cahaya matahari menembus celah tirai, menerangi wajahnya yang pucat. “Aku sudah memutuskan. Malam ini, aku akan pergi.” Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menguatkan hati. “Aku lelah menderita. Aku ingin bebas. Mungkin ini jalan keluar terbaik.” Jari-jarinya meremas sprei kasur dengan erat, seakan-akan ingin mencengkeram harapan terakhir. Anwalira tersenyum tipis. Rasanya baru pertama kali dia bangun tanpa harus buru-buru menyiapkan diri untuk bekerja. Biasanya, dia akan merasa terbebani dengan semua tugas yang menumpuk. Tapi hari ini, hatinya terasa ringan. Namun, di balik rasa senangnya itu, ada juga sedikit keanehan. Kenapa orang tuanya tidak membangunkannya seperti biasa? Apakah ada sesuatu yang terjadi? Anwalira menarik napas dalam-dalam, lalu dengan sekuat tenaga menarik gagang pintu. “Tidak mungkin!” gumamnya, kecewa. Dia menggedor-gedor pintu, suaranya bergema di dalam rumah. “Buka pintunya! Kenapa kalian

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Perjanjian Anwalira dengan Cenayang Minada dan Vilas Hirawan

    Perjanjian awal, tahun 2000... “Di mana saya dapat menemukan seorang gadis yang bersedia dijadikan tumbal? Seharusnya tugas itu menjadi tanggung jawabmu! Kamu sudah saya bayar untuk itu!” Vilas menuntut dengan nada tinggi, enggan mengeluarkan sedikit pun usaha untuk mencari calon korban. Tersembunyi di balik rimbunnya pepohonan, seorang gadis remaja menyimak percakapan antara seorang pria berpakaian rapi dengan kemeja gelap dan celana panjang hitam, serta seorang wanita paruh baya berjubah hitam yang menutupi sebagian besar tubuhnya. Wanita tua itu adalah Minada, seorang cenayang terkenal yang tak lain adalah ibu kandung dari Sagara Paramayoga. Mereka tengah mendiskusikan ritual kebangkitan Gataka yang akan dilaksanakan dua hari mendatang, tepat pada malam purnama. Vilas, dengan penuh semangat membara, tidak sabar untuk mewujudkan dendam lamanya. Namun, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam ritual tersebut ternyata jauh lebih rumit dari yang dia bayangkan. “Mengapa tidak me

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Kobaran Api Melahap Rumah Kiran

    Kiran menggenggam tangan Ria erat, matanya berkaca-kaca. “Apa Vilas mati di tangannya malam ini?” Ria menutup kedua telinganya, jantungnya berdebar kencang. Setiap detik terasa seperti jam, menunggu letusan senjata. “Hanya dengan membunuh kamu, kutukan yang Kiran derita berakhir.” Suara Angga dingin menusuk. Vilas bergerak cepat, tangannya meraih pisau di balik jas. Dengan satu gerakan lincah, pisau itu meluncur ke arah perut Kiran yang berusaha menghalangi Angga. “Kiran!” jeritan Ria memecah keheningan malam. Darah segar merembes dari luka Kiran, membasahi pakaiannya. Darah segar membanjiri bibir Kiran. Angga menggertakkan gigi, peluru ketiga meleset saat Vilas lincah menghindar. “Angga!” jerit Ria, matanya berkaca-kaca menatap Kiran yang semakin pucat. Tanpa ragu, Angga menyingkirkan dendamnya dan segera menghubungi ambulans. Vilas memanfaatkan kesempatan itu, menghancurkan kaca jendela dan melarikan diri. Angga bergegas menghampiri Kiran yang terkulai lemah, darah segar memb

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Alasan Angga Berada di Sisi Mereka

    Dengan jantung berdebar, Kiran tahu dia harus bertindak. Nyawa Ria jauh lebih berharga dari nyawanya sendiri. Ia melangkah keluar, tekadnya bulat. Sebelum menghadapi Vilas, Kiran menghubungi sekutunya, sebuah langkah yang akan mengubah segalanya. “Akhirnya kamu muncul di hadapanku!” seru Vilas, senyum licik menghiasi wajahnya. Ria berlutut di depannya, tubuhnya terikat erat, wajahnya lebam dan berlumuran darah. “Kenapa kamu keluar?” lirih Ria, suaranya parau. “Seharusnya kamu tetap di dalam.” Wajahnya pucat pasi, matanya berkaca-kaca. “Masuk!” Vilas mendorong Ria dengan kasar hingga tersungkur. Amarah Kiran membuncah melihat perlakuan kasar itu. Vilas dengan santai berjalan masuk, seakan rumah ini miliknya. “Ternyata masih sama,” gumamnya, sudut bibirnya terangkat. “Kamu tak mengubah apa pun? Persis seperti terakhir kali aku datang.” Nada meremehkan terdengar jelas. “Tanpa membawa Ria, aku pasti akan datang menemui kamu.” Kiran mengepalkan tangan, berusaha menahan amarah yang mem

  • GATAKA : Kesengsaraan Berujung Kematian   Vilas Mengancam Kiran dengan Menggunakan Ria

    Kiran meremas amplop usang itu, matanya mengikuti goresan tinta yang seakan menyimpan ribuan teka-teki. Pesan singkat dari Putri Paramayoga selain nama lengkapnya terdapat tulisan lain di sudut kanan bawah kertas: “Satu bulan dari sekarang, pergilah ke perpustakaan kota. Tunggu seseorang di sana, duduk di tempat biasa kamu membaca buku.” Degup jantungnya tak beraturan. Siapa yang akan menunggunya? Akhirnya, dengan jantung berdebar, Kiran melangkahkan kaki ke perpustakaan kota. Satu jam terasa seperti satu abad saat ia menunggu sosok misterius itu. Buku di tangannya tak terbaca, pikirannya terus menerawang pada kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Dan kemudian, ia melihatnya. Pria itu. Sosok yang pernah ia temui, kini berdiri di hadapannya dengan penampilan yang sangat berbeda. Kemeja kasual dan celana jeans menggantikan setelan jas formal yang pernah dia kenakan. Sebuah senyuman tipis tersungging di bibirnya, namun di balik itu, Kiran merasakan ada sesuatu yang disembunyikan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status