Tubuhku membeku tidak bisa bergerak. Dia menelan salivanya."Aku ..." Suaranya berubah serak. "Aku mau ambil barang dulu di mobil."Aku menunduk dan mengangguk. Membelakangi Tristian dan merasa malu. Dadaku bergemuruh, saat mendengar suara pintu tertutup, aku menghembuskan napas yang sedari tadi ku tahan. Kepalaku terasa pening, aku memejamkan mata rapat-rapat, meyakinkan diriku bahwa aku tidak akan melakukan hal apapun dengan Tristian walau kami sering bersama.Sepuluh menit kemudian aku sudah duduk di sofa saat dia masuk membawa dua koper besar dan tiga kardus berukuran sedang, aku melihat Bapak sekuriti yang biasa berjaga dibawah ikut membantunya."Apa itu?" tanyaku terkejut."Barang-barangku." Tristian mengambil dompet dan mengeluarkan dua lembar uang kertas merah lalu menyerahkannya kepada bapak sekuriti."Terima kasih Mas. Mari, Mba.."Aku mengangguk saat dia permisi.Tristian langsung memeluk bahu dan mendorongku ke arah sofa. "Besok aja bongkarannya ..."Aku duduk, dia mengamb
Aku mengerjap, ada kelegaan menguar di benakku. "Jadi itu sebabnya mereka kelihatan biasa aja pas ketemu aku? Astaga, aku udah ga enak tadi. Aku takut mereka berpikir ..." Tristian menggeleng. "Aku ga akan biarin siapapun apalagi orangtuaku berpikiran buruk soal kamu." Aku tersenyum berterima kasih. Tapi kemudian aku teringat soal semalam. "Lalu, kamu sama Mba Luna gimana?" Dia menghela napas. "Maaf semalam aku ga kabarin kamu. Luna memintaku untuk tinggal ..." Aku terdiam, maksudnya tinggal? Jantungku berdebar. "Kami semalaman ... membereskan barang-barangku. Tapi karena sudah larut, aku nginep disana." Aku mengerjap cepat, apakah mereka melakukan sesuatu? Perasaanku berubah tidak nyaman. "Hei ..." Tristian menarik tubuhku menghadap padanya. "Kami ga ngapa-ngapain, Bee. Sungguh! Lagian aku nginep karena paginya aku dan Luna pergi ke kantor pengacara keluarganya. Ada hal-hal yang harus kami urus sebelum perceraian final, terutama mengenai warisan dari Om Yose yang diberikan unt
Tristian povHeran.Itu yang terlintas di pikiranku. Untuk apa Luna datang kemari?Aku menoleh ke arah Greet, terlihat dengan jelas wajahnya berubah panik. Dia, aku bahkan orangtuaku tidak akan menyangka akan melihat Luna saat ini."I-ian ... gimana ini?" Greet menatapku, dia terlihat bingung."Kamu tenang. Tetap disini, aku akan turun ke bawah oke?"Greet mengangguk gugup. Aku mengecup keningnya lalu berjalan keluar kamar. Luna tidak mengatakan apapun kemarin, dia tidak menyebut akan mengunjungi orangtuaku dalam waktu dekat."Itu Ian ..."Aku melihat Mama menunjukku saat aku berjalan dari dalam rumah, Luna menoleh dan tersenyum saat melihatku mendekat."Hai Tian. Happy birthday ..." Dia mencium pipiku.Mama menatapku cemas, dia seolah bertanya dimana Greet? Tapi aku hanya tersenyum."Thanks ... kamu ga kabarin mau kesini?" tanyaku."Ah, iya, aku ga rencana sebenarnya. Tapi aku pikir udah lama juga ga ketemu Mama sama Papa."Luna kembali ke arah Mama lalu langkahnya terhenti. "Mmm ...
Mature Content - Greet PovMalu!Malu!Maluuuuuuuuuuuu!Mau ditaruh dimana mukaku saat melihat wajah Tante Ivon yang terbelalak melihat aku dan Tristian sedang bercumbu? Astagaaaa!Aku merasa tidak punya muka saat kami turun ke bawah, Om Tjandra menatap kami dengan pandangan heran, tante Ivon terbahak-bahak melihat wajahku memerah.Untungnya tidak ada pembahasan lebih lanjut saat kami mulai makan. Baik Tristian atau Mamanya berbincang hal lain dengan mudah, sementara aku masih merasa canggung. Tristian tidak lagi menutupi sikapnya didepan kedua orangtuanya, saat setelah meniup lilin, dia tidak segan memeluk dan mengecup keningku.Saat pulang jelang malam tante Ivon membawakan berbagai makanan dan kue."Pasti kalian habis ini mau berduaan kan? Kamu beliin apa buat Ian? Dia ga suka yang aneh-aneh kok ..." wanita itu memeluk bahuku saat berjalan mengantar kami ke mobil."Mobilku masih ada di apartemen Ian, habis ini aku juga pulang kok Tan ..." Aku tidak ingin dia berpikir macam-macam."
Mature ContentAku terpaku, suara tv seolah menghilang. Dia menatapku, menyampaikan apa yang dia rasakan dengan matanya. Aku mengerti apa yang dia mau tapi ... ah, tidak ada salahnya aku melunak sedikit pikirku. Aku menangkup wajahnya dan mengecup bibir Tristian sekali, lalu sekali lagi.Tapi dia malah menahan tengkukku. Tristian memelukku, dan aku semakin erat memeluk lehernya saat ciuman kami mulai basah.Sesat ...Bukannya menjauh dan berhenti, aku malah menempelkan dadaku ke dada bidang Tristian, suara decapan dan erangan pelan mulai terdengar entah dari tenggorokan siapa.Satu tangan Tristian mengusap bagian samping tubuhku dan berhenti di bokong meremasnya, aku merasakan sesuatu mulai mengeras dibawah bokongku, yang membuat kami berdua menginginkan hal lain.Greet, kemana pertahananmu?"Ian ..." Aku mendesah saat Tristian mengecap leherku, aku memejamkan mata dan menggigit bibirku menahan lenguhan yang hendak keluar dari mulutku."Bee ... please ..." napas Tristian memburu saat
Aku tidak bisa menahan bibirku untuk tidak terus melengkung ke atas. Dadaku rasanya sudah tidak muat menampung kebahagiaan yang terus bertambah setiap harinya. Seminggu lalu Tristian mengajakku pulang ke Bandung, dia ingin bertemu kedua orangtuaku. Aku merasa cemas dan tidak tahu akan seperti apa reaksi mereka. Tapi semuanya malah diluar dugaan.Awalnya mama dan papa terkejut dengan kedatangan Tristian. Seperti yang pria itu lakukan pada orangtuanya, aku meminta mereka untuk mendengarkan keseluruhan cerita kami sebelum berpikir macam-macam.Awalnya mama syok, tapi ditengah cerita mama mulai terlihat tenang dan senang. Sedangkan papa lebih datar menyikapi. Papa hanya berpesan pada kami agar menjaga jarak dan sikap sebelum Tristian resmi bercerai dengan mba Luna. Bagaimanapun tidak semua orang akan menyikapi kisah kami dengan positif, papa tidak ingin aku merasa tersakiti. Tapi Tristian berjanji akan melindungiku dari siapapun, membuat mama menangis terharu."Lihat sayang, Romeo'mu ada
Ucapan Tristian membuat mereka terkejut, apalagi aku. Aku menatap horor ke wajah pria itu yang tersenyum licik."Saya harus mengawasi sesuatu. Tolong di urus segera!"Semua orang mengangguk lalu membubarkan diri. Sedangkan aku masih tercengang tidak percaya. Aku sangat paham apa yang terlintas dipikiran pria itu."Greet, kalau sudah selesai silahkan keluar." tambahnya dengan sengaja saat yang lain masih mengantri keluar pintu.Aku mendengus pelan. Lalu berdehem sambil mengangkat wajahku. "Terima kasih, Pak. Permisi!" Aku langsung menghentak keluar tanpa menunggu jawaban. Sekilas pria itu terkekeh. Awas saja nanti malam aku akan membahas usul konyolnya ini!"Greet ..." panggil Nora sambil melambai menyuruhku mendekat. "Kok bisa ngikut sih si Bapak?""Auk!" Kesal! Aku sangat kesal!"Mau honeymoon kali yak ama bininya?" Aku mendelik sesaat pada Nora membuat gadis itu beringsut duduk. Lalu aku berjalan kembali keruanganku. Rasanya aku sudah tidak sabar ingin segera pulang dan berdebat d
Tiga hari kemudian ...."Greet!"Aku menoleh melihat mba Luna berjalan masuk ke dalam coffe shop, aku tengah mengantri untuk membeli kopi, semalam aku kurang tidur dan pagi saat bangun aku merasa sangaaat mengantuk."Hai, Mba ...." Aku membalas lambaian tangannya."Tumbenan beli kopi pagi-pagi?" Dia berdiri di belakangku yang memang kosong.Aku hanya menggumam sebagai jawaban. Mba Luna terus bicara tentang acara tahunan kantor yang akan digelar sebulan lagi. Acara itu berisi kegiatan lomba-lomba dan macam lainnya. Mataku berkeliling dan menangkap sosok Tristian yang berjalan masuk melalui pintu putar lobby. Sudah tiga hari kami tidak berkomunikasi. Entah mengapa rasanya semuanya diluar batas kebiasaan kami.Biasanya saat bertengkar, salah satu dari pasti ada yang mengalah, tapi kali ini aku berpegang pada pendirianku bahwa pikiran Tristian terlalu berlebihan dan menyinggung perasaanku. Secara tidak langsung bisa dibilang dia tidak percaya sama sekali padaku.Dan itu sangat mengganggu.