Aku terus menguap sepanjang siang, kami sudah kembali ke Bali dua jam lalu dan langsung bergabung dengan yang lain. Anehnya tidak ada yang menatap aneh pada kami berdua.Tubuhku terasa remuk, intiku terasa pegal dan aku merasa aneh saat berjalan.Tristian terus-terusan tersenyum seperti orang gila, terbalik dengan situasiku, pria itu terlihat bugar, padahal kami baru tidur saat ayam-ayam mulai berkokok. Dia sangat bersemangat, membuatku kadang tak bisa menahan rasa malu saat dia menatapku penuh arti."Capek ya Greet?" tanya mba Silvy di sela istirahat kami.Aku mengangguk, memang itu yang aku rasakan."Semalam tidur sama Pak Tian?"Aku cukup kaget, apa maksud pertanyaan mba Silvy?"Ho-hotelnya mahal-mahal mb .a.." jawabku kikuk, dengan harapan dia tidak akan lebih penasaran.Dia mendesah singkat. "Iyalah ... Penida! Lagian Pak Tian mana mau tidur di losmen backpackeran atau rumah penduduk.. Yah, mending lah Greet, daripada kita bayar sendiri kan!" cerocosnya.Aku mengangguk. Kemudian
Aku terdiam menatap hadiah yang tadi mba Luna berikan saat dia menjemput kami di bandara. Sebuah gelang emas yang sama dengan yang dikenakan mba Luna di pergelangan tangan kirinya, membuatku diliputi rasa bersalah dengan apa yang sudah aku lalui bersama Tristian. Aku memang tidak tahu bagaimana hubungan mereka tapi itu yang aku rasakan saat ini.Aku lebih banyak diam dan menanggapi obrolan dengan singkat saat di jalan tadi mba Luna bicara panjang lebar, dia ingin mengajakku keluar makan untuk merayakan ulang tahunku tapi aku menolaknya dengan halus dengan alasan kelelahan, Tristian juga mendukung perkataanku, besok kami libur dua hari, senin baru masuk lagi. Untung mba Luna percaya dan menyarankan kami untuk beristirahat.Aku menghela napas untuk kesekian kalinya. Apa yang harus aku lakukan nanti saat kembali bertemu mereka? Lalu bagaimana dengan Tristian? Apakah aku harus menanyakan perihal hubungan kami?Aku meraih kunci apartemen yang pria itu berikan, kembali menghela napas. Apa m
Aku berusaha berpikir apa yang harus kulakukan. Aku mendengar erangan pelan Tristian. Pelan-pelan aku memejamkan mata dan mengatur napasku. Aku harus menguasai diri. Jangan panik Greet, jangan panik!Ketika aku sudah mulai tenang. Aku membalikan badannya dan membenarkan posisi tidurnya. Aku mencari handuk untuk mengelap keringat yang membasahi tubuhnya dan baju baru yang kering. Aku membuka setiap bagian lemarinya karena aku tidak tahu dimana letak pakaiannya. Setelah berhasil mendapatkan apa yang aku perlu, aku segera kembali ke Tristian yang terlihat pucat, lemah tak berdaya. Aku merasa cemas, sedikitpun dia tidak membuka matanya.Aku membuka bajunya yang basah dengan sedikit susah payah dan segera mengelap seluruh badannya. Setelah itu, aku memasangkan baju baru. Lalu aku berjalan keluar kamar dan mencari-cari tempat obat. Aku melihat ada laci yang berada dalam keadaan setengah terbuka di bagian bawah kitchen set bernuansa hitam itu. Untunglah dengan mudah aku menemukan banyak maca
Aku menggeliat saat merasakan usapan pelan di pipiku. Mataku terpejam ingin kembali tidur, tapi kemudian kecupan-kecupan ringan membuat kantukku hilang dan membuka mata."Hai ..." sapanya.Aku tersenyum. "Hai ..." Suaraku serak. Lalu aku teringat dengan kondisi semalam dan langsung menyentuh dahinya. Aku bernapas lega saat merasakan suhunya sudah normal, sama hangatnya denganku."Udah enakan?" tanyaku.Dia mengangguk. "Masih pusing sedikit pas bangun ke kamar mandi tadi, tapi better.""Kenapa ga bangunin aku? Aku bisa anterin kamu."Dia tersenyum lalu mengecup hidungku. Dia menarikku masuk ke pelukannya. "Maaf aku ngerepotin kamu."Aku menggeleng. "Aku khawatir banget .... Kenapa ga kabarin sih?""Hmm ... aku tepar banget kemarin itu, aku pikir cuma kurang tidur aja, tapi aku ga sanggup bangun pas paginya, kepalaku muter ga karuan.""Kamu kecapekan itu." sahutku."Iya, pas ke Bali ada yang kuras tenagaku."Aku terdiam sejenak lalu mengerti maksud perkataan pria itu dan mencubit perutn
Dadaku berdebar seolah sedang bersiap untuk mencuri. Aku menarik napas dalam berkali-kali, sambil terus melirik ke arah tiga orang lainnya. Aku meyakinkan diri agar dapat menekan tombol dengan cepat tanpa ada yang tahu.Tanganku terangkat, aku baru menekan satu panel angka saat pintu terbuka dari dalam membuat jantungku melompat. Wajah Tristian terlihat membuat aku bernapas lega."Tian ..." Mba Luna melewatiku menyapa pria itu. Kami bertiga mengekor di belakang. Aku lebih banyak diam daripada yang lain. Mba Luna, mas Andreas dan Leon banyak bertanya pada Tristian.Pria itu terlihat lebih segar, dia sering melirik dan tersenyum. Aku sedikit kurang nyaman saat melihat interaksi Tristian dan mba Luna. Tidak ada perlakuan khusus dari Tristian tapi mba Luna seolah sudah sering kemari, dia menyiapkan makanan untuk pria itu yang kami beli sebelum sampai kemari, lalu membuatkan teh untuk kami bertiga.Mereka berdua duduk berhadapan di meja makan kecil yang memang untuk dua orang saja, sedangk
Aku mengulum bibirku, rasanya percaya dengan apa yang dia katakan. Tapi kekhawatiran melingkupi benakku, pikiran jahat menguasai pikiranku. Rasa egois itu muncul dan aku langsung memeluk Tristian. Dia terjengkang duduk saat aku menghambur ke dada pria itu. Tapi dengan mudah dia bisa menahan tubuh kami berdua."Maaf, aku cemburu ..." bisikku.Aku dapat merasakan dia tersenyum walau wajahnya ada disamping wajahku."Maaf Bee, buat kamu cemburu. Tapi aku senang ... itu artinya kamu ...."Aku membungkam bibir Tristian dengan bibirku, tidak ingin mendengar hal yang selalu aku sadari selama bertahun ini.Dengan senang hati Tristian langsung memagut bibirku, dia mengguling tubuhku sehingga aku berbaring di lantai. Aku pun seolah tidak peduli dengan lantai keras itu, aku hanya sibuk mengalirkan perasaanku pada pria itu.Saat tangan Tristian mulai bergerilya dengan tidak sabar, aku tiba-tiba teringat tentang keadaannya."Wait ... Wait ..." Napas kami berdua tersengal. "Nanti kamu sakit lagi ...
Flashback OnAku berjalan ke arah lapangan basket kampus, Tristian bilang dia akan main basket dengan kawan-kawannya sebelum kami pergi makan malam merayakan acara wisuda yang akan di adakan lusa. Rasanya sudah tidak sabar, ada rasa bangga menyeruak akhirnya aku bisa menyelesaikan kuliahku.Mama dan Papa bilang akan datang besok malam dari Jakarta, aku rencananya akan mengambil baju kebaya di butik langganan Mama sepulang dari dinner dengan Tristian.Aku melongok ke tengah lapangan, tidak terlihat pria itu di antara para orang yang sedang main basket. Walau suasana ramai, dengan mudah aku pasti melihatnya. Tapi dia benar-benar tidak ada. Aku mendekat ke beberapa orang yang sedang duduk, lalu dengan berani menghampiri salah satunya."Mm.. sorry, lihat Tristian ga?" tanyaku. Seorang cowok memandangku heran, matanya naik turun melihatku lalu menjawab dengan acuh sambil tersenyum mengejek."Di ruang ganti kali ..." Dia kembali berbincang dengan temannya.Ini yang sering aku alami, aku sel
Aku menutup mulutku sambil menggeleng. Mataku berkaca-kaca."Ian kayak orang gila nyariin lo setelah wisuda itu. Gw juga heran lo kayak hilang ditelan bumi. Udah setengah sédéng tuh bocah putus asa nyariin lo."Aku meremas tanganku. Informasi baru ini membuat dadaku sesak."Lo mau maafin gw kan Greet? Ian sahabat baik gw. Beberapa bulan lalu dia cerita kalau akhirnya dia ketemu lo lagi, dan gw ngerasa ... perasaan dia buat lo masih ada."Aku menggeleng, ternyata Tristian memang sungguh-sungguh saat dia bilang kalau dia menyayangiku."Greet?" Jordan terbingung dengan sikapku yang tiba-tiba tertawa tidak jelas."Dan ... gw ... haha ... astaga!! Thankyou Jordan, gw ga bakal yakin sama Tristian kalau lo ga bilang apa-apa sekarang."Jordan tersenyum. "Gw mau liat dia happy. However, dia sahabat baik gw. Gw kenal sifat dia. Kalau dia bilang dia bakal dapetin lo lagi, maka itu yang bakal dia lakuin."Aku tercengang menatapnya. "Dia bilang gitu?"Jordan mengangguk. "Apa lo ga sadar kalo dari