Share

Ignore

Flashback On.. Monas

"Leganyaaaa ...."

Aku menghela napas saat menyerahkan hardcover tugas akhirku pagi ini. Hatiku terasa ringan, selesai sudah kewajibanku sebagai seorang mahasiswa.

"Greet!"

Suara berat yang terngiang di benakku terdengar, walau dalam situasi gelap sekalipun aku akan mengenali suara itu. Aku menoleh dan melambai ke arah pria itu yang akhir-akhir ini dekat denganku. Tristian Delmar, yang biasa di panggil Ian oleh teman-teman seangkatan kami. Kami dekat sejak setahun belakangan ini. Ada tiga mata kuliah dimana aku dan dia sekelompok, dan hari ini kami janjian untuk jalan setelah menyelesaikan skripsi kami.

"Udah kasih?" tanyanya dan aku mengangguk.

"Oke ... wish me luck!!" Dia meninju pelan pipiku sebelum masuk ke ruangan jurusan kami.

Aku menunggu selama lima belas menit, lalu dia keluar dengan wajah sama sumringahnya denganku. "Done!" Sahutnya dan kami berhi'five.

Dia merangkulku, mengabaikan tatapan aneh dari orang-orang. Aku sudah terbiasa, pemuda tampan seperti Tristian selalu bersamaku, gadis gemuk kurang gaul. Entah kenapa kami menjadi dekat, mungkin karena kami sama-sama memyukai tim sepak bola yang sama.

"Jadi mau kemana kita?" Ian bertanya sambil menarik tanganku turun ke basement.

Aku sudah terbiasa dengan perlakuannya. Ian mahasiswa yang cukup terkenal di angkatan kami, sebenarnya dia lebih tua tiga tahun, dia sempat menunda kuliahnya. Ian disukai semua orang. Dan jangan tanya berapa banyak cewek-cewek yang menggilainya sekaligus mengutukku karena bisa dekat dengannya.

Aku juga tidak ingat kapan kami mulai akrab. Yang pasti kami sering makan bareng saat jam kuliah atau jalan bareng saat pulang.

"Mmm ... kemana ya?" Kami berjalan di basement ke arah biasa dia memarkirkan motornya. Aku berhenti saat dia menekan tombol kunci dan suara remote terdengar dari mobil sport berwarna silver metallic bermerk Mercedes Benz.

"Kamu bawa mobil? Tumbenan ..." sahutku saat dia membukakan pintu untukku. Aku merasa di istimewakan. Memang sebelumnya aku belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang pria dan Ian memperlakukanku seperti pria-pria gentlemen di dalam film.

"Jauhan dikit yuk Greet ..."

Dia menjalankan mobilnya, suara knalpot bergemuruh empuk terdengar. Hanya ada dua kursi di dalam mobil ini. Aku tahu dia anak orang kaya tapi entah sekaya apa.

"Kemana?"

"Jakarta." sahutnya sambil tersenyum dan menginjak gas.

Dadaku berdebar, ini pertama kalinya aku pergi keluar kota dengan seorang cowok. Mama Papaku ada di Jakarta tapi tentunya aku tidak akan bilang pada mereka. Toh kami rencananya tidak menginap. Jam dua belas siang kami sudah sampai Jakarta dan Ian mengajakku ke Monas gaeess ... langsung ke atas. Aku merinding saat keluar lift, menelan salivaku menyadari betapa tingginya bangunan ini.

"Kenapa Greet? Aku belum pernah ke dalam Monas. Kamu juga kan?" Dia terlihat bersemangat dan aku yakin aku terlihat pucat siap memuntahkan soto betawi yang kami makan sebelum sampai di sini.

"Tenang aja ... pegang tanganku kalau takut, Greet."

Flashback End.

***

Aku menarik tanganku lalu menatapnya tajam. "Makasih tapi saya bisa sendiri Pak!" ketusku. Ga kapok apa dia, semalem aku gantung balik di pintu kamarnya nasi goreng iga bakar yang terlihat menggiurkan itu. Dengan tidak rela aku menolak walau perutku bergemuruh protes. Akhirnya aku pesan sendiri makan malamku.

Apa maksudnya? Sok-sok'an perhatian padahal selama ini kami tidak pernah berhubungan. Cih ... dia lupa apa pernah berbuat salah ke aku?

Aku melangkah turun, walau takut setengah mati tapi aku berusaha tidak menunjukkan padanya. Aku tahu dia mengekor satu langkah di belakangku, seolah dia siap menarik jika aku akan terjatuh, tapi emang dia kuat tahan bodiku yang jumbo ini?

Aku berusaha menghindar, menjaga jarak, sedikit bicara dan bersinggungan walau aku merasakan matanya sering intens menatapku.

Aku harus terbiasa ... aku harus terbiasa.

Aku menarik napas dalam dan menghembuskannya setelah kerjaan hari ini selesai. Pukul lima sore, kami sudah bersiap untuk kembali ke hotel. Matahari cukup menyengat siang tadi dan aku lupa membawa topi. Rasanya ubun-ubunku menyerap setian pancaran sinar kuning itu, membuatku pening. Aku memejamkan mata sebentar hingga tidak sadar tertidur lelap.

Saat aku membuka mata, mobil sudah berhenti, di luar kaca sudah gelap tapi tidak ada siapapun di dalam. Mesin masih menyala dengan jendela terbuka sedikit. Aku menggerakkan badanku dan terkejut saat pintu terbuka.

"Udah bangun?" Tristian menatapku sambil tersenyum simpul.

Aku berdehem. Ngapain dia disini?

"Maaf, saya ketiduran Pak." Aku bergeser hendak keluar.

"Greet ..." Dia menahan pintu saat aku mendorongnya.

Aku menoleh ke sekitar, kemana yang lain? Aku takut ada yang melihat.

"Kamu masih mau berpura-pura tidak mengenalku?" tanyanya. Ada nada kecewa disuara itu. Walau dulu kami dekat hanya sebentar tapi aku sedikit banyak tahu kebiasaan-kebiasaanya.

Aku terdiam, lalu mencoba mendorong pintu kembali tapi dia tidak bergeming.

"Greet ... kenapa kamu begitu? Bersikap seolah kita tidak pernah kenal sama sekali. Aku ..."

"Saya ga punya urusan apapun sama Bapak. Tolong, jangan sok kenal sama saya." Aku mendelik tajam lalu mendorongnya sekuat tenaga dan menjauh.

Aku setengah berlari ke kamarku. Napasku terengah. Aku mendongak saat di dalam lift, menghalau air mata yang hendak keluar.

Tidak! Dia bukan siapa-siapa!

Aku menetralkan ekpresiku sebelum mengetuk pintu dan tersenyum saat mba Silvy membukanya.

"Udah bangun Greet? Ya ampun kecapean ya kamu?"

Aku mengangguk sambil tersenyum dipaksakan. Aku tidak ingin dia merasa aneh kalau aku tiba-tiba sedih atau bagaimana.

"Kok ga bangunin aku mba?"

"Mau tadinya. Tapi pak Tian bilang biarin kamu tidur. Kamu keliatan kecapean banget soalnya. Pak Tian tuh emang baik, dia tuh perhatian sama anak buahnya." jelas wanita cantik itu.

Aku kembali tersenyum. See Greet, dia baik sama semua orang. Bukan cuma sama kamu. Sejak dulu juga begitu. Aku membersihkan diriku, mandi dan mengenakan pakaian santai.

Pukul setengah delapan malam aku mengetuk kamar Leon dan mas Andreas. Kami mau menyunting video liputan hari ini.

Tristian memesan makanan online, tapi kali ini dia sendiri yang mengantarnya. Lagi, nasi goreng iga bakar pedas yang akhirnya tidak bisa ku tolak karena dia juga memesan makanan yang sama untuk yang lain.

Aku tengah mencari lagu untuk backsound saat suara ponselku berbunyi.

"Hai ganteng ..." Sambutku.

Suara tawa menggelegar dibalik ponsel itu membuatku menjauhkan benda tipis itu dari telinga. Senyumku terbit.

"Hai Greet sayang. Kamu lagi dimana?"

"Aku di Yogya, ada kerjaan."

"Congrats by the way untuk kerjaan barunya. Langsung keluar kota, Hon?" tanya suara yang kurindukan itu.

"Iya, kamu jadi balik kan weekend besok, Rick?" Aku bertanya penuh harap.

"Kenapa? Kangen berat ya?" Jahilnya.

"Iya, kangen oleh-olehnya." jawabku sambil tertawa lalu terhenti saat tatapan tajam Tristian terarah padaku. Tapi aku membuang muka.

"Awas kamu ya.. nanti aku balik aku ciumin sampai habis!"

Kami tertawa, dan aku berdehem saat Leon dan mas Andreas ikut melirikku.

"Aku masih gawe. Nanti teleponan lagi ya." bisikku.

"Oke Greet. Miss you honey."

"Miss you too, Rick." Aku menutup panggilan sambil tersenyum. Tapi kesenanganku hanya berlangsung sebentar saat mata pria itu masih terus menatap. Aku merubah posisi dudukku membelakanginya. Memakai earphone agak fokusku pada lagu, bukan wajah penasaran pria itu.

Baru saja aku bersemangat dengan pekerjaan baruku, tapi malah dihancurkan karena harus bekerja terus bersamanya. Tidak mungkin aku meminta pindah team, apalagi pindah divisi. Aku juga tidak bisa menemukan alasan yang masuk akal, apalagi kalau sampai mba Luna bertanya kenapa aku ingin pindah.

Tuhan, semoga aku bisa bertahan bekerja disini dan pria itu menjauh dariku. Aku hanya ingin tentram Tuhan, hanya ingin tenang seperti sebelum bertemu lagi dengannya.

-tbc-

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status