Share

Bab 4. Sikap Tidak Terduga Amira

Secara logika, seharusnya punggung Amira terasa dingin karena dirinya berdiri tepat di depan kulkas yang terbuka, tetapi udara dingin itu tidak terasa sama sekali saat embusan udara panas dari ujung hidung Erzhan menyapa leher serta daun telinganya. Mie dalam genggaman Amira segera jatuh saking gugupnya. Pria ini menyadarinya, kemudian memandangi si gadis tampa melepaskannya dari penjara kedua tangan berotot miliknya. “Lapar?” Seringai tipisnya.

Amira mengangguk saat udara seakan terhenti hingga paru-parunya seakan mengering. Jawabannya membuat Erzhan melepaskan penjaranya, mengambilkan mie yang terjatuh. “Kamu bisa memasak?” Tatapannya mulai menghangat hingga atmosfer mengerikan tadi terkikis.

Amira kembali mengangguk sebagai jawaban hingga Erzhan berlalu untuk mengambilkan panci yang berada di dalam lemari, meletakannya di atas kompor. “Aku akan kembali ke kamar. Jangan lupa matikan kompornya kalau kamu ingin hidup, jangan sampai kamu terpanggang di tempatku!” Seringai menyeramkannya seolah dirinya adalah pshycopat.

Saat Erzhan berlalu, barulah pasokan udara dalam dada Amira kembali normal. “Ya Tuhan ..., kenapa Ami harus keluar dari kamar, kenapa Ami harus kelaparan ..., kalau perut Ami tidak lapar tidak akan bertemu pria itu kan.” Gadis ini mengomeli dirinya sendiri dan nasibnya. Namun, karena semuanya sudah terlambat maka mie tetap menjadi sumber energinya. Amira memasaknya, kemudian menyantapnya begitu saja tanpa memerdulikan rasa takutnya pada tuan rumah.

Sementara, Erzhan sedang memandangi dirinya di dalam permukaan cermin. “Besok apa yang harus aku lakukan dan penjelasan apa yang harus aku berikan pada papa? Papa inginkah perusahaan kembali berjalan sebagaimana mestinya, tapi aku masih belum mendapatkan solusi sedikit pun. Apakah itu artinya aku gagal. Apakah aku satu-satunya pria yang tidak dapat diandalkan dan tidak dapat menjadi harapan keluarga?”

***

Erzhan menuruni anak tangga sekitar pukul tujuh pagi, tetapi di bawah sana sudah tercium wewangian masakan. Maka, pria ini tidak bisa jika tidak mengintip ke arah dapur. Seorang gadis yang masih memakai kemeja miliknya hingga paha putih nan mulusnya terekspos sedang berdiri di hadapan kompor, tangan kanannya sibuk membalik serta mengaduk sesuatu di dalam penggorengan. “Hm!” Dehamnya. Satu tangannya dimasukan ke dalam saku celana bahan berwarna hitam, berdiri di ambang pintu dapur.

Amira menoleh. “Pagi ...,” sapa ragunya ditambahkan sedikit senyuman dan sikap santun.

“Iya, pagi.” Erzhan melangkah menuju tempat berpijak Amira, mengintip pada sesuatu di dalam penggorengan, ternyata itu memang sebuah menu.

“Kau memasak?” Sebelah alisnya terangkat heran. Pertanyaannya segera mendapatkan jawaban anggukan kecil Amira. “Tidak ada apapun di dalam kulkas selain makanan instan, tapi yang kamu masak sayuran. Dari mana?” heran Erzhan segera diungkapkan.

“Eu-itu—“ ragu Amira menjelaskan, tetapi dirinya harus tetap memberikan jawaban, “tadi aku jalan-jalan di halaman, terus ada ibu-ibu yang ajak aku ke rumahnya, ibu-ibu tetangga kamu. Eu, maksudnya Tuan. Eu-Anda!” Wajahnya segera menunduk gelisah.

“Lalu?” Erzhan ingin mendengarkan cerita selanjutnya tanpa memerdulikan sikap Amira yang memerlihatkan kegelisahannya, bahkan kalimat si gadis sering tergagap.

“Ibu-ibu itu tawarin aku petik sayuran di kebunnya sambil tanya-tanya aku siapa dan apa hubungan aku sama ..., Anda.” Lagi, wajah Amira turun seakan takut salah bicara dan semacamnya.

“Astaga.” Erzhan menepuk dahinya, “semudah itu kamu percaya dan akrab sama orang asing sampai-sampai mau saja diajak ke rumahnya?” Pria ini menggelengkan kepalanya, tetapi Amira hanya mengangguk polos. “Pantas saja ibumu menjualmu!” ceplos frontalnya di akhir hingga membuat Amira memerotes dengan mata berkaca.

“Mama tidak menjualku ....”

Erzhan tidak menanggapi, dirinya segera menggeser bahu Amira hingga tubuh gadis itu bergeser beberapa langkah ke samping. Bunyi klik kompor yang dimatikan si pria menyadarkan Amira jika dirinya sedang memasak. “Aku tidak suka sayurannya dimasak sampai layu.” Datarnya yang segera meninggalkan Amira, beralih duduk seakan menunggu menu yang akan disajikan si gadis. Maka, dengan cekatan Amira menyediakan sarapan untuk Erzhan. Dirinya juga sudah membuat balado telur. Maka, pertanyaan si pria kembali meluncur. “Dapat telur sebanyak ini dari mana?”

“Itu ... dari kang sayur yang tadi lewat. Aku sudah bilang tidak punya uang, tapi katanya kenal sama tuan rumah jadi boleh membuat catatan hutang.” Amira segera menyodorkan catatan hutang telur yang dimaksud.

“Ya Tuhan ....” Lagi, Erzhan dibuat tidak paham dengan kelakuan gadis yang baru saja dikenalnya semalam.

“Apa Anda marah?” Amira tidak memiliki keberanian sama sekali untuk duduk. Jadi, dirinya tetap berdiri seiring menunggu dipersilakan walaupun tidak berharap Erzhan akan menambah kebaikannya padanya.

“Lupakan.” Datar Erzhan yang tidak ingin membahasnya, “duduklah, kita sarapan.” Kali ini senyuman tipis ditambahkan walau alakadarnya dan terlihat tidak berniat sama sekali. Hendak dirinya mengambil sendok nasi, tetapi Amira sudah mendahui lalu mengisi piring milik Erzhan hingga sesaat pria ini dibuat tabu dengan sikap si gadis, tetapi dirinya tidak menolak perhatian seperti ini.

Setelah mengisi perut, Erzhan berpesan, “Jangan kemanapun, aku akan mengantarmu sore ini!” Amira segera menjawab dengan anggukan patuh. Hendak membuka pintu mobil, tetangga menyapa Erzhan.

“Nak Erzhan punya adik yang cantik,” kekeh hangat wanita tua ini. Maka, Erzhan membalas dengan ekspresi yang sama karena walaupun pria ini hidup dengan misterius, tetapi segelintir orang di sekitar sini mengenalnya sebagai pribadi hangat dan terpelajar.

“Iya, begitulah.” Senyuman ramah Erzhan ke arah tetangga, tetapi kemudian melirik tidak bersahabat pada Amira. ‘Bisa-bisanya dia mengaku sebagai adikku. Astaga ..., prilakunya memang sulit ditebak.’ Sikap Amira di pagi hari memang berhasil memberikan kejutan tidak terduga, sikapnya memang tidak mengganggu tetapi tidak akan membuat Erzhan memeliharanya di rumah, pria ini akan tetap mengantarkan si gadis pada keluarganya yang tega menjualnya. “Gadis malang ....” Pertama kalinya rasa empati bersarang, tetapi karena masalah yang dimilikinya lebih besar, maka Erzhan mengabaikan nasib Amira.

Setibanya di perusahaan, sang ayah sudah di sana. “Bagaimana sekarang?” pertanyaan mendesak ini adalah penyambut Erzhan.

“Erzhan akan tetap mencari jalan keluarnya, Pa ...,” santunnya bersama rasa hormat.

“Papa sudah berusaha mempercayai kamu, Nak. Tapi kamu mengecewakan.” Tatapan mengiris Cakrwala, kemudian tiba-tiba saja emosinya melonjak, “kamu juga mempermalukan Papa. Apa tujuan kamu mendatangi tempat kotor!”

Seketika, Erzhan mengerjap kaget. “A-pa maksud Papa?”

“Jangan kamu pikir Papa tidak tahu semalam kamu memesan seorang wanita. Lalu bagaimana dengan perjodohan kamu bersama Alisha. Kamu sangat mengecewakan, Erzhan!” Dengusan Cakrawala, kemudian tumbang di atas sofa. “Perjodohan kalian akan tetap berlangsung, malam ini kalian bertunangan. Tolong jangan kecewakan Papa lagi!” Pria ini masih bisa bersabar menunggu Erzhan memperbaiki saham perusahaan, tetapi jika tentang kehormatan rasanya sangat fatal dan tidak bisa ditunggu, Cakrwala harus segera memperbaikinya.

‘Aku tidak menyukai Alisha, apa aku harus membawa gadis itu, mengenalkannya sebagai kekasihku, supaya perjodohan dengan Alisha dibatalkan?’

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status