Dari balik pintu kamar Mira, aku mendengar Mas Doni sedang menasihati putrinya. Sebagai orang tua yang mempunyai anak gadis seperti Mira, pasti khawatir kalau putrinya salah dalam bergaul. Apalagi jaman sekarang. Banyak wanita yang masuk angin sebelum ijab kabul dilaksanakan.
Usai makan tadi, Mas Doni bertanya pada gadis itu dengan siapa dia pergi pagi tadi. Gadis belia itu hanya diam. Tak sepatah kata pun keluar dari mulurnya.“Papa tidak ingin kamu sampai bernasib seperti ibumu!”“Seperti Ibu? Bukannya Anda yang merusak ibu saya.” Situasi mulai memanas. Dari balik pintu, aku bisa melihat Mas Doni salah tingkah mendengar jawaban putrinya.Argh!Pria itu mengacak rambutnya kasar.Aku sengaja tidak ikut campur untuk menasihati gadis itu. Bukan tak mau, hanya saja aku tak mau dicap sebagai ibu tiri yang kejam.Tidak ada hubungan darah di antara kami. Apalagi gadis belia itu tak menyukaiku.Kalah telak dengan perkataan putrinya, Mas Doni memilih meninggalkan gadis itu. Pria itu berjalan begitu saja melewatiku.Aku memandang gadis belia itu. Mira menatapku tajam. Mungkin dia tak terima karena aku mengadukan pada papanya. Aku meninggalkan kamar gadis itu hendak menyusul Mas Doni.Argh!Baru beberapa langkah, aku mendengar teriakan gadis itu. Sekilas, aku memandang Mira. Gadis itu sedang menunduk dengan kedua tangan menutupi wajah. Aku kembali melanjutkan langkah.Dari ambang pintu, aku memandang Mas Doni yang duduk di ranjang seraya memegang kepala dengan kedua tangannya. Pria itu tampak frustasi dengan apa yang terjadi.Perlahan aku berjalan mendekat lalu duduk di samping pria itu untuk menenangkannya.“Semua yang terjadi karena aku yang salah. Andai dulu aku tak membuangnya. Pasti saat ini Mira tak menjadi seperti itu.”Lembut kubelai punggung Mas Doni. “Mas, mungkin saat ini dia belum bisa terbuka pada kamu. Ingat Mas, hewan peliharaan saja butuh beradaptasi. Begitu pun dengan Mira. Gadis itu, lambat laun pasti akan berubah. Suatu saat dia pasti akan menerimamu.”Mas Doni memandangku. Pria itu membenarkan perkataanku. “Semua itu akan terwujud dengan batuanmu.”“Mas, Mira membenciku. Hanya kamu yang dapat melakukannya.”Mas Doni diam.Aku menggenggam tangannya. Berusaha memberinya semangat.Walau tak lahir dari rahimku. Walau dia kesalahan di masa lalu suamiku. Aku akan mencoba untuk menerimanya.Bukan keinginan gadis belia itu juga untuk dilahirkan lalu ditinggalkan. Bukan salah gadis belia itu juga kalau saat ini dia berontak. Akan tetapi, keadaan yang membuatnya seperti itu. Mungkin, dengan curahan kasih sayang yang berlimpah, Mira akan menjadi gadis yang lebih baik lagi.***“Heh, Gendut. Puas kamu sudah mengadukanku semalam.” Mira mendekatiku yang sedang mencabut rumput di halaman.“Cungkring, aku melakukan itu, karena itu yang terbaik untukmu,” jawabku.Gadis itu melipat tangan di dada seraya memalingkan wajah. “Alasan. Bilang saja kamu tidak suka aku ada di sini.”“Terserah kamu mau bilang apa. Memang awalnya aku tak suka dengan kehadiranmu. Aku juga tak mau kasih sayang papamu itu terbagi. Akan tetapi, bagaimana pun kamu kewajibannya. Mau tidak mau aku harus menerimamu.”“Hilih! Paling kamu juga takut diceraikan pria itu.”Sejenak aku memandang Mira. “Terserah kamu mau bilang apa!” Aku mengakhiri pekerjaanku. Sudah lumayan siang. Aku harus bergegas mandi dan menjemput Shakira.“Gendut, aku minta uang.” Baru saja berdiri, gadis itu mengulurkan tangan, meminta uang.“Kemarin kan sudah. Itu juga jatah seminggu.”“Pelit.”“Memangnya kamu mau ke mana? Menemui pria itu lagi?” Dengan tegas aku menasihati gadis itu. Kalau dia meminta uang untuk menemui pria kemarin, aku tak akan memberinya. Namun, jika dia menggunakannya untuk hal lain, aku akan memberinya.“Nasib jadi anak yang tak diinginkan. Mau apa aja susah. Serba salah. Sudah deh, jangan sok ikut campur urusanku. Lagian, kamu bukan ibuku. Terserah aku mau lakuin apa. Aku hanya ingin bahagia dengan caraku sendiri.”Perkataan gadis itu begitu mengena di hati. Aku kasihan juga dengan gadis itu. Akhirnya aku mengambil uang dan memberikan padanya dengan catatan, jangan main sembarangan. Apalagi dengan seorang pria.“Iya. Bawel!” Gadis itu hendak pergi meninggalkan rumah.“Enggak sekalian bareng aku.”“Aku bukan anak kecil yang seenaknya bisa kamu ikuti.” Gadis itu berlalu meninggalkanku. Seperti biasa dia pergi dengan berjalan kaki.***“Ma, itu Kak Mira.” Shakira menunjuk gadis mengenakan hodie berwarna merah muda yang sedang berdiri di depan sebuah mini market bersama seorang pria.Aku mengamati mereka. Itu memang Mira. Dua sejoli itu masuk ke dalam mobil. Penasaran, aku mengikuti mobil yang mereka tumpangi.Cukup lama, aku mengikuti mereka. Hingga, mobil berwarna hitam yang mereka tumpangi memasuki sebuah hotel melati.Bersambung ....Melihat hal itu aku hanya bisa mengelus dada. Aku mengikuti masuk ke halaman hotel. Rencana hendak mengintai apa yang akan mereka lakukan. Karena hotel yang mereka masuki, memang hotel yang sering digunakan para pasangan yang belum halal. Rasa kecewa seketika menyelimuti dada. Aku tak habis pikir, kurang kasih sayang membuat gadis itu melampiaskannya pada perbuatan yang tak terpuji. Mungkin ini arti dari perkataannya tadi. Bahagia dengan caranya sendiri. Sejahat-jahatnya aku. Tak mungkin juga aku membiarkan gadis itu terjerumus ke dalam lubang dosa. Aku juga membayangkan, kalau yang ada di hadapanku itu adalah Shakira. Pandanganku seketika beralih pada Shakira. Aku mengelus puncak kepalanya dan berdoa agar gadis kecilku itu tak bernasib sama dengan Mira. “Mama kenapa menangis?” Gadis kecil itu menatapku. Gegas aku menggeleng. “Sepertinya ada debu yang masuk mata mama.” Tanpa diminta, gadis kecil itu meniu
Melihat hal itu aku hanya bisa mengelus dada. Aku mengikuti masuk ke halaman hotel. Rencana hendak mengintai apa yang akan mereka lakukan. Karena hotel yang mereka masuki, memang hotel yang sering digunakan para pasangan yang belum halal. Rasa kecewa seketika menyelimuti dada. Aku tak habis pikir, kurang kasih sayang membuat gadis itu melampiaskannya pada perbuatan yang tak terpuji. Mungkin ini arti dari perkataannya tadi. Bahagia dengan caranya sendiri. Sejahat-jahatnya aku. Tak mungkin juga aku membiarkan gadis itu terjerumus ke dalam lubang dosa. Aku juga membayangkan, kalau yang ada di hadapanku itu adalah Shakira. Pandanganku seketika beralih pada Shakira. Aku mengelus puncak kepalanya dan berdoa agar gadis kecilku itu tak bernasib sama dengan Mira. “Mama kenapa menangis?” Gadis kecil itu menatapku. Gegas aku menggeleng. “Sepertinya ada debu yang masuk mata mama.” Tanpa diminta, gadis kecil itu meniup mataku. “Terima kasih, Sayang.” Aku menghujaninya dengan ciuman. Tatap
“Baiklah, kalau kamu tidak mau pulang, aku akan menelepon polisi sekarang juga untuk menggerebek tempat ini!” Aku terpaksa mengancam mereka. Sebenarnya hal itu tidak akan aku lakukan. Kalau polisi menggerebek tempat ini dan menemukan Mira di sini, keluarga kami tentu saja akan malu. “Bukan hanya itu, aku juga akan menelepon papamu!” Aku mengambil ponsel, membuka kontak dan memencet nama Mas Doni. Setelahnya menempelkan ke telinga. “Iya, iya. Aku akan pulang!” Mira mengambil tasnya yang ada di atas nakas. “Mir, urusan kita belum selesai,” cegah pria yang membawa Mira tadi. Pria itu berusaha mendekati Mira, aku menghalau dengan mendorong tubuhnya. Rasanya jijik ketika tanganku menyentuh kulit pria itu. “Urusan apa? Hah!” “Jangan ikut campur kamu wanita tua!” Pria itu balas mendorongku. Aku tertawa mendengar pria itu menyebutku seperti itu. Wanita tua. Pria itu tidak mengaca. Dirinya justru lebih tua dariku. “Eh, ngaca kamu!” Aku menunjuknya. “Memangnya kamu masih muda. Lihat tuh
Dadaku berdebar kencang ketika Mas Doni berjalan mendekatiku. Lidahku kelu. Padahal bukan kesalahanku. Kenapa harus aku yang takut. “Siapa pria itu?” tanya Mas Doni tepat di depan wajahku. “Jawab!” Kali ini Mas Doni berbicara lebih keras karena aku tak kunjung menjawab pertanyaannya. “M-mas, aku tidak berkencan dengan pria mana pun.” Aku mencoba tenang agar bisa menjawab pertanyaan Mas Doni dengan nalar. “Terus ini apa?” Lelakiku itu menunjuk foto Shakira. Bingung harus menjawab apa, aku memandang ke arah kamar Mira. Gadis belia yang kuselamatkan dari tadi, hanya mengintip dari balik pintu kamar. Gadis itu menangkupkan kedua tangan di dada. Aku tahu maksudnya. Memintaku untuk menyembunyikan segalanya. Mungkin dia takut pada amarah papanya. Kemarin, ketika aku memberitahukan kalau dirinya pergi dengan seorang pria, Mas Doni begitu marah pada Mira. Bagaimana bila dia tahu kalau gadis belia itu menyewa kamar hotel dengan pria seumuranku. Aku belum mendapatkan penjelasan akan apa y
Mas Doni menghentikan aktivitasnya. Dia memandangku dengan tatap tak suka. “Tentang apa? Hotel? Ingat Santika, aku tak akan pernah memaafkanmu, jika benar kamu berselingkuh.” Aku berjalan mendekati ranjang dan duduk di tepinya. “Mas duduklah.” Aku menepuk ranjang pelan, meminta Mas Doni untuk duduk bersamaku. Pria itu menolak. Dia justru memilih duduk di kursi yang berada di depan meja rias. Aku tahu, pria itu kecewa. Pria itu terluka. “Aku berada di hotel itu, bukan karena ada pria lain di hatiku.” Mas Doni memandangku. “Terus untuk apa kamu ke sana. Memalukan.” Dia membuang muka. “Apalagi foto Shakira sampai disebar di media sosial. Bikin malu!” Dilihat dari pengambilan gambar, sepertinya yang memotret Shakira adalah orang yang berdiri di luar pagar. “Mas, ini bukan soal aku, tapi Mira.” Perlahan aku menceritakan yang sebenarnya pada Mas Doni. Mungkin ini memang jalan terbaik yang harus dilakukan agar kami lebih perhatian pada Mira. Paling tidak agar gadis belia itu tak meras
Sore itu juga, aku membawa Mira ke dokter kandungan terdekat. Untuk memastikan kalau Mira benar hamil atau tidak. Shakira aku titipkan di rumah tetangga. Menurut perhitungan dokter, Mira sudah hamil 12 minggu. Itu berarti kehamilan Mira terjadi jauh sebelum dia datang ke rumah kami. Aku bingung mendengar penjelasan dokter. Pikiranku memikirkan yang tidak-tidak. Masa depan Mira, janin dalam kandungannya, dan omongan tetangga. Paling penting pertanggung jawaban orang yang menghamili gadis belia itu. Entah bagaimana caranya aku menceritakan pada Mas Doni. Pria itu pasti murka jika mendengarnya. Namun, aku harus tetap bercerita padanya. Sehingga kami bisa mencari jalan keluar terbaik untuk gadis itu. Tak mungkin juga aku mengatasi masalah sebesar ini sendiri. Setibanya di mobil, aku kembali bertanya pada Mira. Daripada di rumah nanti, Mas Doni akan mendengar. Jadi aku memutuskan untuk tahu lebih dulu. “Siapa yang melakukannya? Apa pria yang ber
“Bu, aku takut menghadapi Papa.” Mas Doni memang memiliki watak yang keras. Namun, sebenarnya hatinya lembut. Hanya butuh pendekatan untuk menjinakkannya. “Biar ibu yang akan bicara dengan papamu.” Setelah tenang, aku dan Mira pulang. Selama perjalanan, aku menyiapkan kata untuk menerangkan apa yang terjadi pada Mas Doni agar pria itu tak tersulut emosi. “San, Mira sakit apa?” tanya Mas Doni ketika aku baru saja masuk ke kamar. Mas Doni sedang melipat sajadah yang baru saja dikenakannya. Kami tiba di rumah usai magrib. “Mas, aku ceritakan usai makan malam nanti. Sekarang aku mau salat dulu. Keburu waktu magrib habis.” Mas Doni hanya menjawab dengan anggukan. Dia juga hendak melihat Mira. Shakira yang memberi tahu kalau kakaknya sakit. Makan malam kali ini masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Hanya saja, Mira yang tak berselera makan. Mas Doni juga tak terlalu curiga, karena pri
“Shakira, kamu bobok dulu, ya. Mama mau bicara sebentar sama Papa.” Aku menarik selimut yang ada di bawah kaki Shakira hingga menutupi dadanya. Tidak lupa, aku mengecup pipi gadis itu sebelum keluar. “Mas, aku akan cerita, tapi tidak di sini.” Sejenak aku memandang Shakira. Pria itu mengangguk. Aku meraih tangan Mas Doni. Mengajaknya keluar dari kamar Shakira. Aku langsung menariknya menuju kamar kami. Hanya tempat itu yang paling aman untuk berbicara. “Mas, ada hal tentang Mira yang harus aku katakan padamu.” “Apa lagi yang dilakukannya. Gadis itu memang suka berulah!” Baru saja menutup pintu kamar, pria itu sudah marah “Mas, Mira hamil.” “Apa?!” Seperti yang diduga. Mas Doni begitu marah mendengarnya. Berbagai pertanyaan dilontarkan siapa pelakunya dan banyak lagi. Napas pria itu tampak naik turun, karena amarah. “Mas, tenang. Biar aku jelaskan