Share

Memutar Balikan Fakta

Aku memilih menjemput Shakira. Soal gadis belia itu, urusan nanti.

Mobil yang membawa Mira berjalan melewatiku. Dari balik kaca, aku bisa melihat seorang pria duduk di depan kemudi. Sedangkan gadis belia itu duduk di sampingnya.

Entah siapa pria yang bersama Mira dan ada hubungan apa di antara mereka.  Ada baiknya nanti aku bertanya pada Mas Doni perihal mereka. Aku tak mau asal menduga. Siapa tahu, pria itu saudaranya.

Perlahan aku mengemudikan mobil menuju sekolah tempat Shakira menimba ilmu. Gadis itu sebentar lagi pulang. Aku tak tega, bila dia terlalu lama menunggu.

Setibanya di sekolah, tampak para siswa sedang berbaris di depan gerbang. Wali kelas mereka menemani untuk memastikan kalau para siswa sudah ada yang menjemput.

Dari kejauhan, aku melihat Shakira baru saja keluar dari dalam kelas. Diikuti wali kelasnya. Bergegas aku turun dari mobil untuk menghampiri gadis kecil itu.

Dengan gayanya, Shakira menceritakan kalau dirinya mendapat nilai seratus ketika mengerjakan tugas di sekolah tadi. Ujungnya, gadis kecil itu meminta hadiah padaku.

“Shakira mau apa emangnya?” tanyaku seraya meraih tas yang ada di punggungnya sebelum masuk dalam mobil.

“Es krim aja deh, Ma.”

Aku mengiyakan permintaan Shakira. Sebelum pulang, kami mampir untuk membeli es krim terlebih dahulu.

Setibanya di rumah, Shakira mencari Mira di kamarnya. Dia hendak memberikan es krim pada gadis itu.

“Ma, Kak Mira enggak ada.” Shakira menghampiriku yang sedang melepas jilbab di kamar. Gadis itu tampak lesu.

Aku berjongkok di hadapan Shakira. “Sayang, es krimnya taruh kulkas dulu. Mungkin Kak Mira sedang pergi.”

“Iya, Ma.” Gadis kecil itu menurut dan keluar seperti apa yang aku perintahkan.

Aku keluar mengikuti Shakira. Aku hendak membantunya berganti pakaian.

Setibanya di ruang keluarga, aku menatap pintu kamar Mira.  Entah ke mana perginya gadis itu.

***

Pukul empat sore. Beberapa kali aku berjalan mondar-mandir di teras. Aku begitu waswas memikirkan gadis itu. Walau bagaimana pun juga, dia tanggung jawabku. Saat ini, dia tinggal di rumah kami. Baik buruk gadis itu, tentu saja keluarga kami yang dinilai.

Tiba-tiba terlintas ide untuk menghubunginya. Ah! Bodohnya aku yang tak menyimpan nomor gadis itu. Berkali-kali juga aku menghubungi Mas Doni, tapi pria itu tak mengangkat panggilan teleponku. Mungkin saja memang sedang sibuk.

Lelah, akhirnya aku duduk di teras. Pada saat itu, gadis belia itu memasuki halaman. Seketika aku merasa lega melihatnya kembali tanpa kekurangan suatu apa pun.

“Cungkring, dari mana saja kamu?” tanyaku ketika gadis itu sudah berdiri di teras.

“Cari angin,” jawab Mira tanpa menolehku.

“Jangan bohong! Kamu habis pergi dari mana? Cari angin dari pagi hingga sore. Enggak kembung perut kamu?” Aku kembali bertanya. Emosi. Dia anak gadis. Takut juga jika terjadi sesuatu padanya.

“Kamu bukan ibuku, jadi tak ada hak untukmu bertanya.” Gadis itu berjalan begitu saja melewatiku.

“Aku memang bukan ibumu, tapi kamu tinggal di rumahku. Jadi, kamu harus mematuhi peraturan rumah ini,” terangku. Menghadapi gadis itu, kesabaranku diuji.

“Rumahmu? Enggak salah?” Mira tersenyum mengejek. Gadis itu berjalan menuju pintu. Sebelum membukanya, Mira sempat memandangku. Dari raut wajahnya, sepertinya gadis belia itu sedang ada masalah. Namun, dia coba menyembunyikannya.

Malam harinya, ketika kami sedang makan bersama, gadis. itu hanya mengaduk-aduk makanannya. Mas Doni sempat bertanya kenapa makanannya tidak makan.

“Kenapa? Kamu tidak suka masakan saya? Atau kamu ingin makan sesuatu?” Aku berbasa-basi menawarkan diri untuk memasak masakan kesukaannya. Itu pun hanya basa-basi. Aslinya ogah.

Lemah, Mira menggeleng.

Mas Doni kembali bertanya, “apa kamu sakit?”

Lagi, gadis itu menjawab dengan menggeleng.

Gadis itu tak seperti kemarin atau pagi tadi. Entah, kenapa tiba-tiba Mira yang suka melawan menjadi diam.

Penasaran, aku menyentuh dahi gadis itu. Khawatir kalau dia sakit. “Enggak panas.”

“Shakira tadi lihat Kak Mira nangis, Ma.”

Mendengar hal itu, aku dan  Mas Doni bersamaan menoleh pada Mira.

“Bohong!” Mira menyangkal perkataan Shakira.

“Benar tadi Shakira enggak sengaja lihat. Kak Mira duduk di jendela sambil nangis kok!”

“Shakira salah lihat kali.” Gadis itu mengatakan, dirinya mengantuk waktu itu. Biasanya, jika mengantuk, air matanya akan keluar seperti orang menangis. Bukan hanya gadis itu yang mengalaminya. Mas Doni pun sama. Mungkin, memang benar yang dikatakan oleh Mira.

“Ya sudah, Mir. Sekarang habiskan makananmu. Setelah itu istirahat. Jangan tidur sampai larut malam.”

Gadis itu mengangguk. “Pak.”

“Iya.” Mas Doni memandang gadis yang diakui sebagai anaknya itu.

“Mira minta uang.”

“Minta Mama Santi,” pinta Mas Doni.

Padahal aku tadi sudah memberinya. Kenapa sekarang dia minta lagi.

“Wanita itu pelit. Tadi Mira sudah minta, tapi hanya dikasih dua puluh ribu. Itu pun untuk seminggu katanya.”

Aku terbelalak mendengar perkataan gadis itu. Bisa-bisanya dia berbohong seperti itu.

“Dua puluh ribu, ya. Bukan 200. Kalau gitu, dapat uang dari mana, kamu bisa jalan sambil naik mobil mewah.”

Mas Doni dan Mira bersamaan menolehku.

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status