Sedih. Bimbang. Mungkin saja keputusanku tepat untuk menemui Jodi agar keluargaku tak diganggunya. Usai kudengar mobil Bu Santi pergi, aku merebahkan diri. Menenggelamkan kepala di bantal. Menangis aku pikir dapat melegakan pikiran Nyatanya tidak.Penyesalan demi penyesalan memenuhi pikiranku. Andai aku tak sebodoh itu. Pasti nasibku tak seperti ini. Aku memang bodoh membenci orang tua sendiri. Anak mana yang tak kecewa ketika hadirnya tak di harapkan. Bahkan, dalam administrasi nama ayah dan ibu, bukanlah orang tua yang sebenarnya. Melainkan nenek dan kakek.Ketika mengetahui semua tentang jadi diri dari nenek buyut yang selama ini merawatku, hatiku hancur. Kenapa aku tinggal bersama nenek buyut, alasannya untuk menemani mereka. Memang, mereka membiayai segala kebutuhanku. Akan tetapi, bukan itu yang aku inginkan. Aku ingin seperti anak lain yang hidup berlimpah kasih sayang.Bandel, tak bersemangat untuk hidup membuatku sering bolos sekolah. Hingga pada
“Mira.” Aku merasakan seseorang menyentuhku. Hangat. Mungkin aku sedang bermimpi.“Mira.” Lagi aku merasakannya. Suara itu, mirip suara Bu Santi. Aku membuka mata. Benar. Wanita itu ternyata menyusulku bersama Papa.“Bu.” Gegas aku bangun.Aku tak tahu kapan mereka tiba. Pasti mereka masuk menggunakan kunci lainnya yang ada pada mereka.Beberapa saat kami terdiam di ruang keluarga. Kami bertiga duduk di atas karpet yang sempat aku bersihkan sebelum kami duduki.Dari raut wajah Papa, aku melihat amarah. Pria itu pasti kecewa dengan apa yang terjadi padaku.“Mira, seharusnya kamu bijak dalam memutuskan segala sesuatu. Kamu itu sudah besar.” Papa berbicara sedikit keras padaku. Aku hanya diam mendengarkannya.“Bagaimana dengan Papa. Apakah dulu Papa bisa mengambil keputusan sendiri? Tidak kan?” Apa bedanya aku dengan papa. Papa dulu juga melakukan kesalahan. Bedanya aku perempuan
“Mas, Mira kok belum kelihatan , ya? Apa dia belum bangun, ya?” tanyaku pada Mas Doni yang sedang melipat sajadah yang baru saja dikenakannya.Kami baru saja menunaikan salat Subuh berjamaah, di musala kecil yang ada di dalam rumah. Tadi aku sempat ingin membangunkan Mira, tapi kuurungkan niat karena kasihan dan memberinya sedikit waktu lagi. Namun, hingga aku. Selesai menunaikan kewajiban salat, dia belum bangun.“Coba kamu bangunkan, San?”“Apa dia sudah salat di kamarnya, ya?” tanyaku lagi.“Lebih baik kamu cek dia, San. Khawatirnya dia belum bangun.”Segera aku melepas mukena yang masih menempel di tubuh dan menggantungnya. Bergegas aku menuju ke kamar Mira.“Mir.”Beberapa kali aku mengetuk pintu, tapi tak ada sahutan. Padahal Azan Subuh sudah tak lagi terdengar. Matahari sebentar lagi, muncul. Tanda waktu subuh sudah hampir berakhir.Rencana, usai salat kami ak
“Mas.” Melihatku Mas Doni menghentikan aktivitas meneleponnya. Aku memperlihatkan pesan Mira padanya.Pria itu lantas kembali menghubungi teman-temannya. Dia juga memintaku untuk mengambil tangkapan layar pesan Mira dan mengirimkannya padanya.“Kamu jangan khawatir, San. Sebentar lagi, polisi akan datang. Aku akan ikut mereka mencari Mira,” terang Mas Doni.Rasanya tak tenang kalau hanya menunggu di rumah. Aku meminta Mas Doni untuk membawaku serta.“San, kamu di rumah saja. Ini terlalu berbahaya.” Dia takut aku akan terluka. Apalagi Mira bersama Jodi. Pria itu pasti akan berbuat apa saja untuk mendapatkan yang diinginkannya.“Mas, aku mohon. Izinkan aku ikut.”“Tidak usah. Kamu tunggu saja di rumah.” Mas Doni memegang kedua bahuku.Aku meyakinkan pria itu kalau aku pasti akan baik-baik saja. Karena ada dia di sampingku.“Mas, di rumah sendiri, menunggu k
Mas Doni menggandengku. Sedangkan polisi yang bersama kami memimpin jalan.Tak berselang lama, sebuah rumah kayu terlibat. Seorang polisi menunggu kami. Bergegas kami menghampirinya.Dua orang polisi lainnya berpencar ke arah samping dan belakang. Sedangkan polisi yang bersama kami ke sisi lainnya.Aku dan Mas Doni menunggu bersama polisi bernama Mahendra di depan rumah itu.Argh!Teriakan Mira. Mendengarnya seketika tubuhku terasa lemas. Aku takut terjadi sesuatu pada gadis itu.“Mas.” Aku menatap Mas Doni yang berdiri di sampingku. Menggenggam erat lengannya.“Jangan takut, Mira pasti akan baik-baik saja.” Entah bagaimana pria itu bisa setenang itu. Padahal Mira adalah darah dagingnya.“San, kamu tunggu di sini, aku akan melihat ke sana.” Mas Doni melepas genggaman tanganku. Pria itu masuk ke rumah.Dari luar aku bisa mendengar beberapa kali suara tembakan terdengar. Bukan hanya itu, beberapa kali jug
“Bu.” Wanita yang tak ada hubungan darah denganku itu, rela mengorbankan nyawanya untukku.Aku tak menyangka, orang yang kukira hadirnya akan merusak kebahagiaanku itu justru menjadi orang yang melindungi dan menyayangku. Padahal aku pertama melihatnya saja sudah begitu benci. Aku juga sering mengungkapkan kebencianku lewat kata-kata.Saat ini melihatnya terkapar dengan bersarang di punggungnya.“Tolong!”Papa berlari ke arah kami dengan seorang polisi. Melihat Ibu yang matanya terpejam, Papa terlihat ketakutan. Pria itu langsung menggendongnya.Dengan air mata berurai, aku mengejar mereka. Saat ini yang aku rasakan bukan sakit karena badan yang penuh lebam dan lecet. Akan tetapi, sedih melihat orang yang sempat aku benci ternyata justru melindungi.“Pa, Mira ikut,” tanyaku ragu ketika Papa hendak masuk ke mobil yang di dalamnya ada Bu Santi.“Masuklah Mira.” Aku masuk ke jok sama dengan I
“Mira.” Akhirnya langkah polisi itu terhenti tepat di depan sebuah pintu kamar kelas satu.Aku tersenyum memandang pria itu. Tak lupa aku juga mengucapkan terima kasih padanya.Tanpa ragu, aku membuka pintu kamar tempat Ibu dirawat. Aku melihat wanita itu berbaring dengan wajah meringis. Pasti dia sedang kesakitan saat ini.“Mira.” Mimik wajah wanita itu seketika berubah melihat kehadiranku.Aku mendekat. “Bu.”“Syukurlah kamu dalam keadaan baik-baik saja.”Harusnya aku yang menanyakan hal itu, bukan sebaliknya. Erat aku menggenggam tangan wanita itu. “Bu maaf.” Seketika tangisku pecah. Aku mencium tangan yang terluka karena aku. “Karena Mira, Ibu jadi begini.”Aku juga memikirkan keadaan adikku itu. Pasti saat ini dia sedang bersedih karena Ibu tak berada di sampingnya.Lembut Ibu membelai puncak kepalaku dan berkata, “ibu tidak apa-apa Mira. Ini hanya l
Sebelum belanja kami makan bersama di tempat makan yang menyediakan masakan padang. Entah mengapa aku ingin sekali makanan itu. Mungkin, ini yang dinamakan mengidam.Bukan hal baru lagi ketika ada orang yang memandang kehamilanku lalu saling berbisik. Aku sudah tak memedulikan hal itu lagi. Yang terpenting saat ini aku berusaha memperbaiki diri agar lebih baik lagi.Usai makan kami lantas menuju ke swalayan yang cukup besar di kota kami. Ibu membawaku baik ke lantai dua. Ibu hendak membelikanku beberapa baju karena memang kebanyakan baju yang aku miliki mulai tidak muat. Terutama pada bagian perut.Ketika melewati deretan gamis, aku berhenti. Ada perasaan ingin merubah diri.“Mir, ada apa? Kamu mau?” Ibu bertanya padaku.Perlahan aku mengangguk.Ibu memintaku untung mengambil sebuah gamis berwarna merah muda dan mencobanya.“Masha Allah, kamu cantik sekali, Mir.” Aku memandang diri pada cermin. Memang kelihatan s