เข้าสู่ระบบBeberapa saat sebelumnya, ponsel Jasmine bergetar berkali-kali. Ia baru saja keluar dari ruang kelas ketika melihat nama Kyai Maulana—ayahnya—muncul di layar.
Beliau adalah seorang tokoh agama yang sangat dihormati, dikenal karena ilmu dan wibawanya. Bersama Ummi Khonitah, sang ibu, keduanya adalah sosok sentral di pesantren besar yang dikelola keluarga mereka di Ibukota. Lingkungan pesantren itu selalu ramai oleh santri dari berbagai daerah, dan nama keluarga mereka begitu harum di masyarakat.
Namun justru karena itulah, berita yang disampaikan ayahnya barusan menjadi terasa jauh lebih mengkhawatirkan.
Kyai Maulana memberitahukan bahwa Rosa—putri bungsu keluarga itu—belum juga pulang sejak sore. Padahal jadwal kuliah gadis itu seharusnya selesai lebih awal.
Waktu sudah bergeser jauh menuju malam, tetapi jejak Rosa tak juga terlihat. Ummi Khonitah sudah gelisah, berjalan mondar-mandir di rumah, sementara Ayahnya terdengar berusaha menenangkan diri meski suaranya tak bisa menutupi kecemasan.
Biasanya, Rosa selalu mengabari jika ia terlambat. Setidaknya mengirim pesan singkat. Namun kali ini, sunyi. Terlalu sunyi.
Karena Jasmine juga mahasiswi di kampus yang sama, Kyai Maulana meminta putri sulungnya itu untuk mencari keberadaan sang adik. Meski dilanda firasat buruk, Jasmine langsung menuruti permintaan itu.
Ia keluar kelas begitu dosen mengakhiri materi tambahan malam ini. Untungnya, masih ada beberapa teman yang ikut berjalan bersamanya, membuat suasana kampus yang seharusnya sepi terasa sedikit lebih hidup.
Namun pikirannya tidak bisa tenang.
Sesekali ia mengerutkan kening, menatap layar ponsel, lalu menekan tombol panggilan lagi dan lagi. Hingga akhirnya sambungan telepon tersambung, dan suara Rosa terdengar.
"Rosa, jawab Kakak! Kamu ada dimana sekarang?" tanya Jasmine tegas, suaranya bergetar karena ia merasa benar-benar ada sesuatu yang tidak beres.
"Kak, aku … aku udah perjalanan pulang kok. Serius."
Jawaban Rosa terdengar aneh, lirih, terputus, dan sesekali seperti disertai rintihan tertahan. Bahkan napasnya pun terdengar memburu, seakan ia baru selesai berlari atau melakukan sesuatu yang menguras tenaga.
Jasmine menggenggam ponsel semakin erat.
"Kamu serius? Kamu nggak sedang bohong sama Kakak?"
Ada jeda beberapa detik.
"I … iya, Kak. Aku serius."
Namun ada sesuatu yang berubah di akhir kalimat. Suara Rosa terdengar tiba-tiba teredam, seperti mulutnya ditutup atau dibekap oleh sesuatu. Jasmine langsung berhenti melangkah.
"Kamu terdengar nggak baik-baik saja, Rosa. Apa Kakak harus menjemput kamu? Katakan, dimana kamu sekarang?" tanyanya dengan nada yang semakin cemas.
"Aku nggak apa-apa kok, Kak. Aku baik-baik saja. Kenapa Kakak nggak mau percaya sih? Ah, Kak Jasmine benar-benar sudah menggangguku dan sudah membuang waktuku! Sudahlah, aku matikan saja telfonnya!"
Dan sebelum Jasmine sempat menahan, sambungan itu langsung terputus. Putus begitu saja. Kasar. Tidak seperti Rosa yang ia kenal.
"Astaghfirullahaladzim," bisik Jasmine, istighfar berulang sambil menahan dadanya yang terasa sesak.
Bentakan Rosa barusan bergema di telinganya dan itu menimbulkan rasa tidak enak yang makin menusuk hati.
“Ya Allah, kenapa perasaanku jadi nggak enak seperti ini? Apa benar kalau Rosa baik-baik saja? Tapi kenapa firasatku tidak mengatakan demikian?” gumamnya sambil memasukkan ponsel ke dalam tas.
Ia berdiri beberapa detik, memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya dipenuhi tanda tanya. Bagaimana ia harus menjelaskan situasi ini pada Ayah dan Ibu jika ia pulang tanpa Rosa?
Dengan langkah berat, Jasmine berjalan menuju mobilnya. Namun sebelum sempat membuka pintu, matanya menangkap sosok gadis berhijab panjang yang melintas. Sekejap ia memicingkan mata, lalu tubuhnya menegang.
Ia sangat mengenali gadis itu.
"Assalamualaikum, Mutia!" panggil Jasmine panik, hampir berlari menghampirinya.
Mutia berhenti, menoleh, dan tampak terkejut melihat Jasmine mendekat dengan langkah terburu-buru.
"Waalaikumsalam, Kak Jasmine. Ada yang bisa aku bantu, Kak?" ucapnya sopan seperti biasanya.
"Begini, Mutia. Kakak tahu kalau kamu itu sahabatnya Rosa. Apa sekarang kamu tahu dimana dia? Karena sampai sekarang Rosa belum pulang juga."
Nada Jasmine terdengar jelas-jelas cemas, hampir putus asa.
Mutia mengangguk perlahan.
"Oh Rosa? Iya, Kak. Aku tahu."
"Benarkah, Mutia? Alhamdulillah, Ya Allah. Jadi kamu tahu dimana Rosa?"
Mata Jasmine berair karena lega—setidaknya ia akan mendapat kepastian.
"Iya, Kak. Tadi sore kami memang keluar kelas bersama, tapi aku nggak langsung pulang karena sedang menunggu kakakku di dalam sana. Hanya saja, aku melihat Rosa keluar kampus dan dijemput oleh sebuah mobil mewah."
Sekejap, seluruh tubuh Jasmine menegang.
“Mobil mewah?”
Rosa tidak pernah dijemput siapa pun. Ia membawa mobil sendiri dan selalu mengendarainya tanpa terkecuali.
Logika itu tidak masuk sama sekali. Jantung Jasmine mulai berdebar semakin kencang, rasa dingin merayapi tengkuknya.
“Mutia, apa kamu tahu mobil itu membawa Rosa kemana?”
"Aku nggak tahu, Kak. Eh, tapi aku lihat di story wa yang beberapa jam lalu di posting oleh Rosa. Sebentar, Kak."
Mutia membuka ponsel, jempolnya bergerak lincah hingga menemukan yang dicari. Ia lalu mengarahkan layar itu pada Jasmine.
"Nah ini, Kak. Kak Jasmine tahu kan ini dimana?"
Jasmine mendekatkan wajahnya, menatap foto itu dengan saksama. Cahaya lampu kampus memantul di layar ponsel, tetapi foto itu tetap terlihat jelas—terlalu jelas bahkan. Ia memperhatikan latar, ornamen, dan suasana yang tergambar.
Detik berikutnya, wajah Jasmine memucat.
Tangannya gemetar, lututnya terasa hilang kekuatan. Ia sampai harus berpegangan pada lengan Mutia agar tidak terjatuh. Air mata menumpuk di pelupuk mata, pecah seiring terasa sesaknya napas.
"Astaghfirullahaladzim. Ini kan di hotel?"
“Astaghfirullahaladzim…” bisik Jasmine dengan suara tercekat. Tubuhnya menegang seketika, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk dicerna.Gadis bercadar itu refleks berdiri dari duduknya. Langkahnya mundur beberapa kali, menciptakan jarak dari Marina—wanita paruh baya yang sejak tadi begitu ramah kepadanya, namun kini membuatnya terkejut setengah mati.“Ta–Tante… apa maksudnya semua ini?” suara Jasmine bergetar, matanya melebar penuh ketidakpercayaan. “Kenapa Tante bilang begitu? Kenapa Tante menyuruh saya menikah dengan anak Tante? Saya benar-benar tidak mengerti.”Kepalanya menggeleng pelan, seolah berharap semuanya hanya salah dengar.Apa salahnya hari ini sampai Allah mengujinya seperti ini? Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana Juan—si casanova—terbaring di kamar hotel dengan guling di pelukannya, mendesah seperti kehabisan akal, dan nyaris… nyaris tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.Naudzubillah. Hanya mengingatnya saja sudah membuat Jasmine ingin
“Kamu…?”Kata itu lolos dari bibir Jasmine dalam bisikan tercekat. Kedua matanya membesar, bening dan terkejut, menatap tajam ke arah sosok pria berwajah tampan yang berdiri tepat di hadapannya. Pria berkulit putih bersih dengan rahang tegas, hidung mancung sempurna, serta sorot mata yang begitu dominan dan sulit diabaikan. Dan saat ini… pria itu dengan tanpa ragu memegang pergelangan tangannya yang terbungkus sarung tangan.“Iya. Aku Juan.” suara pria itu terdengar sangat yakin, bahkan sedikit memaksa. “Ayo. Sekarang juga kamu ikut sama aku.”Juan menarik tangan Jasmine tanpa memberi ruang bagi gadis itu untuk menolak.“Enggak! Aku nggak mau! Lepas! Jangan pegang-pegang aku! Kita bukan mahram!” Jasmine meronta, tubuhnya berusaha menjauh, namun genggaman Juan terlalu kuat untuk ia lepaskan.Pria itu seolah tak menghiraukan satu pun protesnya. Ia tetap menyeret tangan Jasmine, membuat gadis itu terpaksa melangkah mengikuti arah tarikannya. Percuma melawan—ia tahu tenaga seorang perempu
Jasmine tertegun beberapa detik. Suara di seberang telepon membuat ingatannya kembali pada pesan dari nomor asing yang masuk semalam. Ia mengerutkan kening, berusaha memastikan.“Juan… itu kamu?” tanyanya pelan, penuh keraguan. “Tapi maaf, aku nggak kenal. Ya sudah, assalamualaikum.”Jasmine hendak memutus sambungan telepon, tetapi suara pria itu kembali terdengar, cepat dan memotong kalimatnya.“Eh, tunggu dulu.” Nada Juan terdengar tegas, seolah tak mau diberi kesempatan untuk disela. “Aku Juan. Kita baru ketemu di hotel tadi malam. Aku nggak mau tahu, kamu harus ke kafe ABC siang ini. Aku tunggu di sana.”Belum sempat Jasmine bernapas, teleponnya sudah terputus. Juan mematikan sambungan secara sepihak.Jasmine terpaku di tempat, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak menyangka bahwa pria yang mengiriminya pesan semalam ternyata pria itu—pria yang ditemuinya di hotel yang sama, pria yang membuatnya malu bukan main.“Astaghfirullahaladzim… kenapa dia lagi sih?” gerutunya sam
“Jasmine, apa yang kamu lakukan, hah!?” suara Juan menggema di kamar, meluncur dari tenggorokan pria itu dalam nada terkejut sekaligus kesal.Tubuhnya terbangun dengan kasar dari ranjang begitu merasakan selimutnya ditarik paksa seolah seseorang sedang mencoba merebutnya. Sekilas, pikirannya langsung melayang pada kejadian di hotel tadi malam—saat gadis bercadar itu, Jasmine, spontan menarik selimutnya tanpa permisi dan membuatnya refleks bangun dalam keadaan linglung.“Jasmine? Siapa Jasmine?”Sebuah suara perempuan—yang sangat dikenalnya—membuat Juan tersentak lebar dan langsung membuka kedua matanya selebar mungkin. Itu suara Marina, mamanya.Dengan gerakan tergesa, Juan bangkit sambil mengucek matanya, mencoba memperjelas pandangan yang masih samar. Ketika matanya akhirnya fokus, ia melihat Marina berdiri di tepi ranjang sambil memegang selimut yang tadi ditariknya. Ekspresi wanita paruh baya itu menunjukkan kebingungan bercampur rasa ingin tahu.“Mama,” ucap Juan pelan, terdengar
“Ah, apa yang sebenarnya kupikirkan?”Juan menggerutu pada dirinya sendiri, terdengar sangat frustrasi. Ia mengusap wajahnya kasar, seakan ingin menegur pikirannya yang sedang melenceng jauh dari kewajaran.“Tidak, tidak! Ini gara-gara gadis bercadar itu. Pikiranmu sudah kacau, Juan. Apa-apaan sih aku ini?” Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan Jasmine yang terus menyelinap ke kepalanya tanpa izin.Bagi seorang pria yang terbiasa bermain dengan banyak wanita, memegang kendali dan pergi sesukanya, sungguh aneh ketika satu perempuan bercadar bisa mengusik ketenangannya. Rasanya seperti diserang dari arah yang tak pernah ia perhitungkan.“Gila saja kalau aku memikirkan gadis seperti itu. Tentu dia tidak akan pernah masuk ke hatiku.”Ia menarik bibirnya membentuk senyum sinis, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Jasmine tidak punya tempat dalam hidupnya.Namun senyum itu tampak jelas lahir dari paksaan, lebih seperti ia mencoba menenangkan diri daripada menyombongkan apa pun.
Netra indah dengan bulu mata lentik itu membesar lebih dari biasanya ketika Jasmine membaca pesan baru yang masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal—tanpa foto, tanpa status, tanpa sapaan. Hanya satu kalimat singkat yang mengajaknya bertemu di kafe ABC besok siang.“Nomor siapa ini? Juan? Siapa lagi Juan?” gumamnya pelan, alisnya berkerut, berusaha mengingat siapa pun yang mungkin memakai nama itu.Ia menatap layar ponselnya lama, seolah berharap nama yang tertera bisa menjelaskan dirinya sendiri.“Kenapa dia ngajak aku ketemu? Memangnya dia siapa? Nggak penting banget. Chat juga nggak sopan, nggak pakai salam. Mending aku hapus saja.”Dengan perasaan tak nyaman yang merayap, Jasmine benar-benar menghapus pesan dari pria bernama Juan itu. Ia menaruh ponsel di meja dengan gerakan kesal, lalu bangkit menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Beberapa menit kemudian, Jasmine sudah duduk di depan meja rias. Lampu kamar memantul lembut di cermin ketika ia mengenakan hij







