LOGIN"Ya Allah, bagaimana mungkin Rosa bisa ada di hotel? Apa yang dia lakukan di sana?"
Jasmine memekik pelan, suara shock itu keluar begitu saja ketika matanya dengan jelas melihat foto yang ditunjukkan oleh Mutia.
Foto itu terasa seperti petir di siang bolong—membelah rasa tenangnya dan menciptakan gelombang kecemasan yang tak mampu ia bendung.
"Aku juga nggak tahu, Kak. Aku hanya lihat dari story wa dia tadi."
Mutia menggeleng perlahan, tampak ikut bingung meski ia sendiri tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi.
Wajah Jasmine tampak jelas diliputi kecemasan. Meski hampir seluruh wajahnya tertutup cadar, isi hatinya tetap bisa terbaca dari pancaran mata beningnya yang tampak terguncang hebat. Ia mengangkat tangan dan mengusap bahu Mutia, mencoba menenangkan gadis itu meski dirinya sendiri sedang goyah.
"Nggak apa-apa kok, Mutia. Jangan menyalahkan diri kamu untuk kesalahan yang nggak kamu lakukan. Tapi Kakak heran, kenapa story wa Rosa nggak muncul di ponsel kakak?"
Tatapan Jasmine berubah penuh tanda tanya, mencoba memecahkan teka-teki yang tiba-tiba menghantam pikirannya.
Ia kemudian menarik ponsel dari dalam tasnya, jemarinya bergerak cepat memeriksa aplikasi W******p. Ia menggulir layar ke atas, ke bawah, membuka lagi, memastikan ia tidak salah lihat. Namun tetap saja—story Rosa tidak muncul sama sekali.
"Itu aneh, Kak. Padahal Rosa membuat story itu beberapa jam lalu, tepatnya setelah jam kampus selesai." Mutia tampak ikut kebingungan, ekspresinya berubah resah.
Jasmine terdiam sejenak, memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang membuat dadanya semakin terasa sesak. Setelah beberapa detik yang terasa seperti menit, ia menutup ponsel dan memasukkannya kembali ke dalam tas.
"Sudahlah, Mutia. Nggak usah dipikirkan lagi. Mungkin Rosa sengaja memprivasi kontak kakak, supaya kakak nggak bisa melihat story wa-nya."
Nada Jasmine terdengar pasrah, sekaligus getir. Ada bagian dari dirinya yang tahu—Rosa sedang menyembunyikan sesuatu.
"Mungkin saja, Kak," jawab Mutia sambil mengangguk pelan.
Jasmine menggenggam ujung cadarnya, mencoba menstabilkan napasnya yang naik turun tidak karuan. Air matanya mulai menggenang, membuat pandangannya sedikit buram. Hanya matanya lah yang terlihat dari balik cadar, dan kini bening mata itu tampak rapuh.
"Ya Allah, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang, hamba mohon tolong selamatkan adik hamba. Jagalah dia dari segala mara bahaya," bisiknya dalam hati, lirih dan penuh harap.
Ia tahu ia tidak boleh berburuk sangka, namun suara erangan Rosa saat di telepon tadi berkali-kali terulang di kepalanya, membuat pikirannya dipenuhi hal-hal mengerikan. Ditambah fakta bahwa Rosa dijemput mobil mewah, dan sekarang terlihat berada di sebuah hotel… semua itu bercampur menjadi beban yang menekan dadanya tanpa ampun.
Ketika pikirannya terus berkecamuk, Jasmine tiba-tiba teringat kembali detail penting—foto story yang Mutia tunjukkan. Ada nama hotel di sana. Ia mendongak cepat, menatap Mutia.
"Mutia, di foto Rosa tadi ada nama hotelnya kan? Apa Kakak boleh lihat?"
"Tentu saja boleh, Kak."
Mutia kembali membuka ponselnya dan memperlihatkan story itu lagi. Nama hotel terpampang jelas di pojok foto, membuat Jasmine tak perlu bersusah payah mencarinya.
"Hotel A. Baiklah, aku akan kesana," gumam Jasmine sambil mencatat nama hotel itu di ponselnya.
Ia kemudian memegang tangan Mutia sebentar, memberi senyuman tipis meski matanya masih berkaca-kaca.
"Baiklah, Mutia. Terima kasih banyak atas bantuan kamu ya. Kakak pergi dulu untuk mencari Rosa. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam, Kak Jasmine. Hati-hati, Kak."
Mutia melambaikan tangan dengan wajah penuh simpati.
—
Dengan napas yang tak stabil dan hati yang dilanda kecemasan luar biasa, Jasmine segera masuk ke dalam mobilnya. Ia menyalakan mesin, lalu memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju hotel yang dimaksud. Lampu-lampu kota berkelebatan di samping mobilnya, namun tidak satupun pemandangan itu mampu menenangkan hatinya.
Malam itu tidak sunyi sama sekali. Jalanan justru ramai, dipenuhi deretan kendaraan yang bergerak tanpa henti. Klakson bersahutan, lampu kendaraan menembus gelap malam, dan kehidupan kota terus berdetak tanpa memberi Jasmine ruang untuk bernapas lega.
Di tengah keramaian itu, Jasmine berdoa lagi.
"Ya Allah, tolong lindungilah Rosa. Jangan biarkan dia sampai tersesat dalam pergaulan yang salah. Jangan biarkan dia terjerumus dalam jurang dosa."
Mobilnya melaju menembus kota yang sibuk, hingga akhirnya, sekitar tiga puluh menit kemudian, ia tiba di depan sebuah hotel berbintang yang begitu megah. Lampu-lampu bangunan itu menyala terang, seakan memamerkan kemewahannya pada setiap pengunjung.
Namun bagi Jasmine, hotel itu tampak menakutkan. Seperti tempat yang menyimpan rahasia kelam tentang adiknya.
Ia menutup pintu mobil dengan cepat, lalu berjalan tergesa memasuki hotel. Setiap langkahnya dipenuhi kegundahan, seakan lantai marmer hotel itu semakin menjauhkan dirinya dari ketenangan.
"Astaghfirullahaladzim. Aku harap pemikiranku ini salah,"
ucapnya lirih berulang-ulang sambil beristighfar.
Setibanya di lobby, ia langsung menuju meja resepsionis. Gadis itu menatap Jasmine dengan ekspresi bingung—pemandangan gadis bercadar di hotel mewah seperti ini tentu saja jarang.
"Assalamualaikum, Mbak," ucap Jasmine sopan.
"Iya, Nona. Ada yang bisa kami bantu?"
Resepsionis itu menjawab tanpa menjawab salam—dan itu membuat Jasmine harus menahan diri sejenak untuk tidak mendesah kecewa.
"Assalamualaikum. Tolong jawab salam saya, Mbak,"
pinta Jasmine, kedua tangannya disatukan seolah ia sedang menahan keresahan.
Wanita resepsionis itu terlihat kaget, seolah tidak menyangka akan ditegur seperti itu. Ia memandang Jasmine dengan campuran bingung dan salah tingkah.
"Assalamualaikum, Mbak. Saya yakin kalau Mbak adalah orang islam. Mbak pasti akan jawab salam saya."
Nada Jasmine masih sopan, namun cukup tegas untuk mendorong wanita itu melakukan kewajiban sederhana itu.
"Eh, i… iya. Waalaikumsalam,"
ucapnya tergagap, kini benar-benar terlihat tidak nyaman dengan tindakannya sendiri.
"Alhamdulillah, karena akhirnya Mbak mau menjawab salam dari saya. Oh iya, Mbak. Saya ingin bertanya, apakah ada tamu yang check in atas nama Rosa?"
"Oh, sebentar, Nona. Saya cek dulu."
Wanita itu menundukkan kepala, mengetik beberapa detik, lalu kembali menatap Jasmine sambil menggeleng.
"Maaf, Nona. Tidak ada tamu yang check in atas nama Rosa."
Dada Jasmine serasa tercabik.
Matanya melebar, menatap resepsionis itu seakan tidak percaya dengan jawaban tersebut.
Bagaimana mungkin?
Hotel ini jelas-jelas hotel yang sama dengan foto di story Rosa. Mustahil ia salah lihat.
Jika bukan dengan nama Rosa, lalu dengan nama siapa Rosa masuk ke hotel itu?
“Astaghfirullahaladzim…” bisik Jasmine dengan suara tercekat. Tubuhnya menegang seketika, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk dicerna.Gadis bercadar itu refleks berdiri dari duduknya. Langkahnya mundur beberapa kali, menciptakan jarak dari Marina—wanita paruh baya yang sejak tadi begitu ramah kepadanya, namun kini membuatnya terkejut setengah mati.“Ta–Tante… apa maksudnya semua ini?” suara Jasmine bergetar, matanya melebar penuh ketidakpercayaan. “Kenapa Tante bilang begitu? Kenapa Tante menyuruh saya menikah dengan anak Tante? Saya benar-benar tidak mengerti.”Kepalanya menggeleng pelan, seolah berharap semuanya hanya salah dengar.Apa salahnya hari ini sampai Allah mengujinya seperti ini? Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana Juan—si casanova—terbaring di kamar hotel dengan guling di pelukannya, mendesah seperti kehabisan akal, dan nyaris… nyaris tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.Naudzubillah. Hanya mengingatnya saja sudah membuat Jasmine ingin
“Kamu…?”Kata itu lolos dari bibir Jasmine dalam bisikan tercekat. Kedua matanya membesar, bening dan terkejut, menatap tajam ke arah sosok pria berwajah tampan yang berdiri tepat di hadapannya. Pria berkulit putih bersih dengan rahang tegas, hidung mancung sempurna, serta sorot mata yang begitu dominan dan sulit diabaikan. Dan saat ini… pria itu dengan tanpa ragu memegang pergelangan tangannya yang terbungkus sarung tangan.“Iya. Aku Juan.” suara pria itu terdengar sangat yakin, bahkan sedikit memaksa. “Ayo. Sekarang juga kamu ikut sama aku.”Juan menarik tangan Jasmine tanpa memberi ruang bagi gadis itu untuk menolak.“Enggak! Aku nggak mau! Lepas! Jangan pegang-pegang aku! Kita bukan mahram!” Jasmine meronta, tubuhnya berusaha menjauh, namun genggaman Juan terlalu kuat untuk ia lepaskan.Pria itu seolah tak menghiraukan satu pun protesnya. Ia tetap menyeret tangan Jasmine, membuat gadis itu terpaksa melangkah mengikuti arah tarikannya. Percuma melawan—ia tahu tenaga seorang perempu
Jasmine tertegun beberapa detik. Suara di seberang telepon membuat ingatannya kembali pada pesan dari nomor asing yang masuk semalam. Ia mengerutkan kening, berusaha memastikan.“Juan… itu kamu?” tanyanya pelan, penuh keraguan. “Tapi maaf, aku nggak kenal. Ya sudah, assalamualaikum.”Jasmine hendak memutus sambungan telepon, tetapi suara pria itu kembali terdengar, cepat dan memotong kalimatnya.“Eh, tunggu dulu.” Nada Juan terdengar tegas, seolah tak mau diberi kesempatan untuk disela. “Aku Juan. Kita baru ketemu di hotel tadi malam. Aku nggak mau tahu, kamu harus ke kafe ABC siang ini. Aku tunggu di sana.”Belum sempat Jasmine bernapas, teleponnya sudah terputus. Juan mematikan sambungan secara sepihak.Jasmine terpaku di tempat, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak menyangka bahwa pria yang mengiriminya pesan semalam ternyata pria itu—pria yang ditemuinya di hotel yang sama, pria yang membuatnya malu bukan main.“Astaghfirullahaladzim… kenapa dia lagi sih?” gerutunya sam
“Jasmine, apa yang kamu lakukan, hah!?” suara Juan menggema di kamar, meluncur dari tenggorokan pria itu dalam nada terkejut sekaligus kesal.Tubuhnya terbangun dengan kasar dari ranjang begitu merasakan selimutnya ditarik paksa seolah seseorang sedang mencoba merebutnya. Sekilas, pikirannya langsung melayang pada kejadian di hotel tadi malam—saat gadis bercadar itu, Jasmine, spontan menarik selimutnya tanpa permisi dan membuatnya refleks bangun dalam keadaan linglung.“Jasmine? Siapa Jasmine?”Sebuah suara perempuan—yang sangat dikenalnya—membuat Juan tersentak lebar dan langsung membuka kedua matanya selebar mungkin. Itu suara Marina, mamanya.Dengan gerakan tergesa, Juan bangkit sambil mengucek matanya, mencoba memperjelas pandangan yang masih samar. Ketika matanya akhirnya fokus, ia melihat Marina berdiri di tepi ranjang sambil memegang selimut yang tadi ditariknya. Ekspresi wanita paruh baya itu menunjukkan kebingungan bercampur rasa ingin tahu.“Mama,” ucap Juan pelan, terdengar
“Ah, apa yang sebenarnya kupikirkan?”Juan menggerutu pada dirinya sendiri, terdengar sangat frustrasi. Ia mengusap wajahnya kasar, seakan ingin menegur pikirannya yang sedang melenceng jauh dari kewajaran.“Tidak, tidak! Ini gara-gara gadis bercadar itu. Pikiranmu sudah kacau, Juan. Apa-apaan sih aku ini?” Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan Jasmine yang terus menyelinap ke kepalanya tanpa izin.Bagi seorang pria yang terbiasa bermain dengan banyak wanita, memegang kendali dan pergi sesukanya, sungguh aneh ketika satu perempuan bercadar bisa mengusik ketenangannya. Rasanya seperti diserang dari arah yang tak pernah ia perhitungkan.“Gila saja kalau aku memikirkan gadis seperti itu. Tentu dia tidak akan pernah masuk ke hatiku.”Ia menarik bibirnya membentuk senyum sinis, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Jasmine tidak punya tempat dalam hidupnya.Namun senyum itu tampak jelas lahir dari paksaan, lebih seperti ia mencoba menenangkan diri daripada menyombongkan apa pun.
Netra indah dengan bulu mata lentik itu membesar lebih dari biasanya ketika Jasmine membaca pesan baru yang masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal—tanpa foto, tanpa status, tanpa sapaan. Hanya satu kalimat singkat yang mengajaknya bertemu di kafe ABC besok siang.“Nomor siapa ini? Juan? Siapa lagi Juan?” gumamnya pelan, alisnya berkerut, berusaha mengingat siapa pun yang mungkin memakai nama itu.Ia menatap layar ponselnya lama, seolah berharap nama yang tertera bisa menjelaskan dirinya sendiri.“Kenapa dia ngajak aku ketemu? Memangnya dia siapa? Nggak penting banget. Chat juga nggak sopan, nggak pakai salam. Mending aku hapus saja.”Dengan perasaan tak nyaman yang merayap, Jasmine benar-benar menghapus pesan dari pria bernama Juan itu. Ia menaruh ponsel di meja dengan gerakan kesal, lalu bangkit menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Beberapa menit kemudian, Jasmine sudah duduk di depan meja rias. Lampu kamar memantul lembut di cermin ketika ia mengenakan hij







