Masuk
“Oh! Ahh! Kamu membuatku ketagihan.”
Di bawah temaram lampu kamar hotel mewah itu, suara desahan lembut seorang wanita memenuhi ruangan, berpadu dengan ritme napas berat pria di atasnya. Selimut kusut, aroma parfum bercampur keringat, dan hembusan AC yang dingin semakin membuat suasana terasa menggila.
"Ah, ah, pelan-pelan, Juan. Milikmu itu terlalu perkasa saat menghujam milikku," desah seorang wanita cantik yang tubuhnya terbaring pasrah di bawah himpitan seorang pria berotot, dengan dada bidang dan lengan kekar yang menahan beban tubuhnya.
Juan, dengan rambut sedikit berantakan dan garis rahang tegas, menundukkan kepalanya sambil menahan senyum penuh kenakalan.
"Mana bisa aku pelankan, Sayang? Milikmu terlalu nikmat untuk aku sia-siakan." Suaranya terdengar rendah, serak, dan penuh kesombongan yang menggoda.
"Ah, Juan …." desah wanita itu lagi, tubuhnya melengkung mengikuti setiap gerakan, seolah kehilangan kendali atas diri sendiri. Setiap kali Juan bergerak, bibirnya mengerang semakin keras, merasakan gelombang sensasi yang tak mampu ia redam.
Juan semakin mempercepat tempo permainannya. Gerakannya menjadi semakin intens, semakin dalam, seakan ingin menuntaskan seluruh amarah, frustasi, dan hasrat yang tertahan.
Tubuh kekarnya bergerak maju mundur begitu cepat hingga ranjang besar itu ikut berderit mengikuti ritme mereka. Juan mendongak, kedua matanya terpejam rapat, lalu menggigit bibir bawahnya, menahan ledakan sensasi yang melonjak dari perut bawahnya.
"Arggghhhh." Juan melenguh panjang, suaranya pecah ketika tubuhnya mencapai puncak pelepasan.
Dengan napas terengah, ia langsung ambruk di atas ranjang king size itu, membiarkan tubuhnya jatuh kembali ke kasur empuk yang menelan bobotnya. Di sampingnya, wanita yang tadi menjadi partnernya ikut terbaring beberapa detik, bibirnya melengkung dalam senyum puas. Setelah menata napasnya, ia bangkit dengan gerakan menggoda dan duduk di tepi ranjang.
"Bagaimana, Juan? Apa kamu puas dengan pelayananku?" Suaranya terdengar manja, nyaris seperti bisikan, sementara tangannya menelusuri wajah Juan yang tampak letih namun tetap tampan dalam segala sudut.
"Aku sangat puas, Naomi. Kamu benar-benar luar biasa seperti yang diceritakan oleh teman-temanku," sahut Juan dengan suara serak, hampir tertidur karena tubuhnya mulai diserang kantuk berat.
"Kalau begitu, dimana bayaranku?" tanya Naomi sambil bangkit dari ranjang dan mulai memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai kamar.
"Di tasku. Ambil berapa saja yang kamu mau," desis Juan lirih, matanya sudah sepenuhnya terpejam, tenggelam dalam kantuk dan alkohol yang masih menguasai tubuhnya.
Naomi, dengan tubuh polos tanpa sehelai benang pun, melenggang menuju meja kecil di pojok kamar tempat tas hitam milik Juan diletakkan. Ketika ia membuka resletingnya, matanya langsung berbinar melihat lembaran uang merah yang menumpuk rapi.
"Aku akan ambil semuanya," gumamnya dengan senyum penuh kemenangan.
Dengan cekatan, ia memindahkan seluruh uang itu ke dalam tas branded mungilnya. Setelah memastikan tidak ada satu lembar pun yang tertinggal, barulah ia mengenakan pakaian minimnya, nyaris seperti lingerie yang hanya menutupi sebagian kecil tubuhnya.
Wanita yang telah lama berkecimpung di dunia malam itu menoleh sekilas pada Juan yang sudah tertutup selimut, tidak sadar apa pun.
"Terima kasih banyak, Juan. Aku pergi dulu. Mmuuacchh." Ia meniupkan kiss bye sebelum melangkah keluar dari kamar hotel yang masih berantakan dan penuh jejak panas dari permainan mereka.
Sebagai pria kaya raya dengan jabatan tinggi sebagai wakil presdir, Juan memang sulit sekali mendapatkan privasi. Hidupnya terus dipenuhi pandangan, tuntutan, dan ekspektasi dari banyak pihak, membuatnya merasa seolah terus dipasung.
Kondisi itu yang mendorongnya memberontak secara diam-diam—mencari pelarian, mencari kebebasan, mencari apa pun yang bisa membebaskannya meski hanya untuk beberapa jam.
Setiap malam, ia selalu berganti-ganti wanita. Itu menjadi rutinitas yang anehnya memberinya sedikit napas lega. Para wanita malam adalah pelariannya, tempat ia menumpahkan kesepian dan tekanan hidup yang tidak pernah ia tunjukkan pada siapa pun. Tidak heran ia punya julukan casanova, pria yang selalu terlibat skandal karena kebiasaannya bergonta-ganti pasangan.
Kini, kedua matanya tertutup rapat. Juan sudah kehilangan kesadaran sepenuhnya, tubuhnya terbaring membelakangi pintu, wajahnya damai seperti anak kecil yang tertidur. Alkohol di tubuhnya bekerja sangat kuat, menghapus sebagian besar ingatan tentang apa yang baru saja terjadi.
Yang tersisa hanya gambaran kabur tubuh Naomi yang meliuk, dan aroma parfumnya yang menyengat, sensual, dan membekas kuat di pikirannya.
"Oh, Naomi." Juan meracau tanpa sadar, suaranya hampir tak terdengar.
*
Di tempat lain, suasana kontras sepenuhnya.
"Halo. Assalamualaikum, Rosa. Kamu ada dimana sekarang?"
Seorang gadis dengan pakaian syari panjang, hijab lebar, dan cadar rapi berjalan terburu-buru menuju mobil yang terparkir di area kampus. Di tangan kanannya, ponsel menempel di telinga. Nafasnya tampak sedikit terburu, mungkin karena habis berlari kecil.
"Halo, Kak Jasmine. Aku … aku lagi ada di… mmpphh."
Tiba-tiba terdengar suara asing seperti erangan dari seberang telepon. Jasmine langsung berhenti melangkah. Tubuhnya menegang.
Alisnya berkerut tajam. Suaranya berubah panik.
“Rosa, apa yang terjadi sama kamu?”
“Astaghfirullahaladzim…” bisik Jasmine dengan suara tercekat. Tubuhnya menegang seketika, seolah baru saja mendengar sesuatu yang terlalu sulit untuk dicerna.Gadis bercadar itu refleks berdiri dari duduknya. Langkahnya mundur beberapa kali, menciptakan jarak dari Marina—wanita paruh baya yang sejak tadi begitu ramah kepadanya, namun kini membuatnya terkejut setengah mati.“Ta–Tante… apa maksudnya semua ini?” suara Jasmine bergetar, matanya melebar penuh ketidakpercayaan. “Kenapa Tante bilang begitu? Kenapa Tante menyuruh saya menikah dengan anak Tante? Saya benar-benar tidak mengerti.”Kepalanya menggeleng pelan, seolah berharap semuanya hanya salah dengar.Apa salahnya hari ini sampai Allah mengujinya seperti ini? Dia bahkan masih ingat jelas bagaimana Juan—si casanova—terbaring di kamar hotel dengan guling di pelukannya, mendesah seperti kehabisan akal, dan nyaris… nyaris tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhnya.Naudzubillah. Hanya mengingatnya saja sudah membuat Jasmine ingin
“Kamu…?”Kata itu lolos dari bibir Jasmine dalam bisikan tercekat. Kedua matanya membesar, bening dan terkejut, menatap tajam ke arah sosok pria berwajah tampan yang berdiri tepat di hadapannya. Pria berkulit putih bersih dengan rahang tegas, hidung mancung sempurna, serta sorot mata yang begitu dominan dan sulit diabaikan. Dan saat ini… pria itu dengan tanpa ragu memegang pergelangan tangannya yang terbungkus sarung tangan.“Iya. Aku Juan.” suara pria itu terdengar sangat yakin, bahkan sedikit memaksa. “Ayo. Sekarang juga kamu ikut sama aku.”Juan menarik tangan Jasmine tanpa memberi ruang bagi gadis itu untuk menolak.“Enggak! Aku nggak mau! Lepas! Jangan pegang-pegang aku! Kita bukan mahram!” Jasmine meronta, tubuhnya berusaha menjauh, namun genggaman Juan terlalu kuat untuk ia lepaskan.Pria itu seolah tak menghiraukan satu pun protesnya. Ia tetap menyeret tangan Jasmine, membuat gadis itu terpaksa melangkah mengikuti arah tarikannya. Percuma melawan—ia tahu tenaga seorang perempu
Jasmine tertegun beberapa detik. Suara di seberang telepon membuat ingatannya kembali pada pesan dari nomor asing yang masuk semalam. Ia mengerutkan kening, berusaha memastikan.“Juan… itu kamu?” tanyanya pelan, penuh keraguan. “Tapi maaf, aku nggak kenal. Ya sudah, assalamualaikum.”Jasmine hendak memutus sambungan telepon, tetapi suara pria itu kembali terdengar, cepat dan memotong kalimatnya.“Eh, tunggu dulu.” Nada Juan terdengar tegas, seolah tak mau diberi kesempatan untuk disela. “Aku Juan. Kita baru ketemu di hotel tadi malam. Aku nggak mau tahu, kamu harus ke kafe ABC siang ini. Aku tunggu di sana.”Belum sempat Jasmine bernapas, teleponnya sudah terputus. Juan mematikan sambungan secara sepihak.Jasmine terpaku di tempat, tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Ia tidak menyangka bahwa pria yang mengiriminya pesan semalam ternyata pria itu—pria yang ditemuinya di hotel yang sama, pria yang membuatnya malu bukan main.“Astaghfirullahaladzim… kenapa dia lagi sih?” gerutunya sam
“Jasmine, apa yang kamu lakukan, hah!?” suara Juan menggema di kamar, meluncur dari tenggorokan pria itu dalam nada terkejut sekaligus kesal.Tubuhnya terbangun dengan kasar dari ranjang begitu merasakan selimutnya ditarik paksa seolah seseorang sedang mencoba merebutnya. Sekilas, pikirannya langsung melayang pada kejadian di hotel tadi malam—saat gadis bercadar itu, Jasmine, spontan menarik selimutnya tanpa permisi dan membuatnya refleks bangun dalam keadaan linglung.“Jasmine? Siapa Jasmine?”Sebuah suara perempuan—yang sangat dikenalnya—membuat Juan tersentak lebar dan langsung membuka kedua matanya selebar mungkin. Itu suara Marina, mamanya.Dengan gerakan tergesa, Juan bangkit sambil mengucek matanya, mencoba memperjelas pandangan yang masih samar. Ketika matanya akhirnya fokus, ia melihat Marina berdiri di tepi ranjang sambil memegang selimut yang tadi ditariknya. Ekspresi wanita paruh baya itu menunjukkan kebingungan bercampur rasa ingin tahu.“Mama,” ucap Juan pelan, terdengar
“Ah, apa yang sebenarnya kupikirkan?”Juan menggerutu pada dirinya sendiri, terdengar sangat frustrasi. Ia mengusap wajahnya kasar, seakan ingin menegur pikirannya yang sedang melenceng jauh dari kewajaran.“Tidak, tidak! Ini gara-gara gadis bercadar itu. Pikiranmu sudah kacau, Juan. Apa-apaan sih aku ini?” Ia menggeleng cepat, berusaha mengusir bayangan Jasmine yang terus menyelinap ke kepalanya tanpa izin.Bagi seorang pria yang terbiasa bermain dengan banyak wanita, memegang kendali dan pergi sesukanya, sungguh aneh ketika satu perempuan bercadar bisa mengusik ketenangannya. Rasanya seperti diserang dari arah yang tak pernah ia perhitungkan.“Gila saja kalau aku memikirkan gadis seperti itu. Tentu dia tidak akan pernah masuk ke hatiku.”Ia menarik bibirnya membentuk senyum sinis, mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa Jasmine tidak punya tempat dalam hidupnya.Namun senyum itu tampak jelas lahir dari paksaan, lebih seperti ia mencoba menenangkan diri daripada menyombongkan apa pun.
Netra indah dengan bulu mata lentik itu membesar lebih dari biasanya ketika Jasmine membaca pesan baru yang masuk ke ponselnya. Pesan itu datang dari nomor tak dikenal—tanpa foto, tanpa status, tanpa sapaan. Hanya satu kalimat singkat yang mengajaknya bertemu di kafe ABC besok siang.“Nomor siapa ini? Juan? Siapa lagi Juan?” gumamnya pelan, alisnya berkerut, berusaha mengingat siapa pun yang mungkin memakai nama itu.Ia menatap layar ponselnya lama, seolah berharap nama yang tertera bisa menjelaskan dirinya sendiri.“Kenapa dia ngajak aku ketemu? Memangnya dia siapa? Nggak penting banget. Chat juga nggak sopan, nggak pakai salam. Mending aku hapus saja.”Dengan perasaan tak nyaman yang merayap, Jasmine benar-benar menghapus pesan dari pria bernama Juan itu. Ia menaruh ponsel di meja dengan gerakan kesal, lalu bangkit menuju kamar mandi untuk menenangkan diri.Beberapa menit kemudian, Jasmine sudah duduk di depan meja rias. Lampu kamar memantul lembut di cermin ketika ia mengenakan hij







